Faktor-Faktor Penghambat Dalam Menjalankan Fungsi Kejaksaan Sebagai

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH JAKSA DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Menjalankan Fungsi Kejaksaan Sebagai

Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara Adapun hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum khususnya Jaksa sebagai penuntut umum sekaligus menjadi penyidik adalah sebagai berikut: 156 1. Dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi ada seseorang yang mengetahui telah terjadi tindak pidana korupsi, tetapi tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib. Hal ini dikarenakan karena orang tersebut takut kepada atasannya. 2. Dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi ada seseorang yang mengetahui telah terjadi tindak pidana korupsi, tetapi dilarang oleh rekan sesama pelaku tindak pidana korupsi. 3. Dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi ada seseorang yang mengetahui telah terjadi tindak pidana korupsi, tetapi tidak berani dalam melaporkannya. 4. Dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi ada seseorang yang mengetahui telah terjadi tindak pidana korupsi, tetapi tidak mau melaporkannya. 5. Saksi dan terdakwa yang terlalu lama karena sering berpindah-pindah tempat tinggalnya, sehingga akan menjadikan penyidikan memakan waktu yang lama. 156 Hasil Wawancara dengan P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 10 Juni 2010. Untuk itu kerja sama dengan instansi terkait sangat perlu guna suksesnya penanganan tindak pidana korupsi. 6. Kesulitan yang timbul adalah dalam hal penyidik untuk menemukan harta benda tersangka atau keluarganya yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi untuk disita sebagai barang bukti. Penyitaan ini sangat penting sifatnya yaitu untuk mengembalikan keuangan negara yang telah di korupsi, untuk selanjutnya digunakan untuk melaksanakan pembangunan. Pada dasarnya penanganan tindak pidana korupsi diprioritaskan untuk mengembalikan keuangan negara. 7. Di dalam kewenangan menyidik perkara tindak pidana korupsi, terdapat krtidaksinkronan antaraKUHAP dan undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 26 UU Nomor 31 Tahun 1999 dikatakan bahwa penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku kecuali dditentukan dalam undang-undang ini. Sedangkan dalam hukum acara pidana KUHAP dikatakan dalam Pasal 6 ayat 1, bahwa penyidik adalah penyiduk Kepolisian Republik Indonesia sementara di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak secara tegas mengatakan bahwa penyidik dalam tindak pidana korupsi adalah kejaksaan, hanya tersirat di dalam Pasal 39 yang mengatakan bahwa Jaksa Agung mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi terhadap orang yang tunduk pada peradilan umum dan militer. Dan di dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1951 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa penyidik dalam tindak pidana khusus korupsi adalah kejaksaan. Dari rumusan KUHAP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1951 terdapat rumusan mengenai kewenangan menyidik yang tidakk sinkron. Hal ini mengakibatkan timbulnya kerag-raguan dalam hal dilakukannya penyidikan tindak pidana korupsi. Seperti kenyataan di lapangan, bahwa terjadi perebutan lahan penyidikan tindak pidana korupsi antara pihak kepolisian dan pihak kejaksaan. Dalam kenyataannya pihak mana yang terlebih dahulu mendapatkan informasi mengenai dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi, maka pihak itulah yang menjadi penyidik. 8. Sumber daya manusia di Kejaksaan Negeri Medan masih kurang handal untuk menangani perkara tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari analisa pembuktian di persidangan terhadap kasus atas nama terdakwa Pramono Sigit. Dari pemeriksaan di sidang pengadilan, baik pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, alat bukti maupun petunjuk yang didapat sseharusnya tim jaksa penuntut umum merumuskan bahwa dakwaan primair mengenai tindak pidana korupsi yang terbukti mengingat jumlah kerugian negara dalam hal ini pihak Jamsostek sudah terbukti. Namun dalam kenyataannya, tim jaksa penuntut umum malah membuktikan ke dakwaan subsidair yaitu mengenai penggelapan. Dari kejadian ini terdapat dua kemungkinan yang menjadi alasan, yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman tin jaksa penuntut umum mengenai penanganan tindak pidana korupsi atau adanya pesan-pesan tertentu dari pihak terdakwa agar tim jaksa mengaraahkan pembuktian ke arah dakwaan subsidair dengan harapan ancaman hukuman yang lebih rendah. Sebagaimana diketahui bahwa perbuatan korupsi sangat erat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang dari ketentuan hukum sehingga tindakan tersebut telah merugikan keuangan negara. Dalam perkembangan selanjutnya perbuatan korupsi sangatlah majemuk sebagai bentuk kejahatan yang sangat sukar diungkap dengan semakin canggihnya modus operandi yang digunakan serta kelihaian pelaku menghilangkan barang bukti. Keadaan ini mengakibatkan pengungkapan kasus-kasus tindak pidana korupsi semakin sulit dijangkau sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan cara yang cukup sulit untuk melakukan pembuktian yang memadai secara yuridis. 157 Selain itu sulitnya mengungkap atau menjerat pelaku tindak pidana korupsi juga diakibatkan kesulitan gagalnya Jaksa Penuntut Umum dalam memberikan alat bukti yang dapat meyakinkan hakim, terlebih lagi pengungkapan tindak pidana korupsi memang sulit yang penanganannya memerlukan konsentrasi dan kecermatan di samping pemahaman yang benar-benar terhadap Undang-Undang korupsi. Dengan demikian apabila Jaksa Penuntut Umum tidak memahami hal tersebut, akan membuat tindak pidana korupsi sulit diberantas. 158 157 Darwan Prins., Op. cit, hal. 28. 158 Ibid., hal. 28. Sulitnya memperoleh bukti-bukti dan saksi-saksi dalam mengungkap kasus korupsi sebagai salah satu penyebab pihak Kejaksaan Tinggi tidak berdaya untuk dapat menyeret pelaku tindak pidana korupsi di depan pengadilan. 159 Pelaku korupsi dan saksi maupun mereka yang terlibat di dalamnya seolah-olah saling menutupi sehingga pihak Kejaksaan Tinggi mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti- bukti dan saksi-saksi tersebut berikut data-data yang akurat serta konkrit sebagai dasar untuk melakukan penuntutan. Menurut P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus Pada Kejaksaan Negeri Medan, bahwa dalam penangananan terhadap tindak pidana korupsi maka perlu diperhatikan: 160 1. Terdakwa benar-benar melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya yang jauh di atas penghasilan resminya; 2. Tali temali korupsi sering begitu ruwet; 3. Pintarnya terdakwa menghilang barang bukti; dan 4. Penuntut Umum tidak berhasil menyakinkan hakim atas dakwaannya. Lebih lanjut menurut P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus Pada Kejaksaan Negeri Medan, bahwa hambatan dalam melakukan penangangan tindak pidana korupsi adalah: 161 1. Pelaku tindak pidana korupsi mempunyai kualitas tertentu baik kemampuan maupun kedudukan sosialnya; 159 Ibid., hal. 29. 160 Ibid. 161 Hasil Wawancara dengan P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 10 Juni 2010. 2. Pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya memiliki kualitas sebagai orang yang pintar, orang yang mempunyai wewenang dan kesempatan; 3. Modus operandi yang rumit dan dilakukan dengan teknik yang canggih; 4. Oleh karena korupsi dilakukan oleh orang yang pintarberpendidikan dan mempunyai wewenang, maka perbuatan korupsi dapat ditutupi dalam jangka waktu yang panjang, sehingga sulit untuk diketahui terutama untuk mencari alat bukti yang diperlukan dan upaya mengembalikan uang kerugian negara; 5. Saksi-saksi dan saksi hali sering kali kurang koperatif; dan 6. Pelaku tindak pidana korupsi dengan sengaja mempersulit penyidikan. Selain hal tersebut di atas, dalam praktek di lapangan pada dasarnya kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan Negeri dalam mengungkap korupsi adalah sebagai berikut: a. Pembuktian Terbalik Pembalikan Beban Pembuktian. Dalam UUPTPK khususnya pada bagian perubahan yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga telah mencantumkan mengenai sistem pembuktian yaitu pembuktian terbalik pembalikan beban pembuktian. Pembuktian terbalik ini yaitu pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa, terdakwa sudah dianggap melakukan tindak pidana korupsi kecuali ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Berkenaan dengan sistem pembalikan beban pembuktian tersebut, setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatan, maka wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperoleh ini diatur dalam Pasal 37 a, 38 a, 38 b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menjamin adanya keseimbangan antara asas praduga tak bersalah presumption of innocence dengan menyalahkan diri sendiri non self incrimination dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada setiap orang. Di Pengadilan Negeri Medan dari hasil penelitian diperoleh data bahwa selama ini pembuktian terbalik belum diterapkan dalam proses pemeriksaan perkara pidana korupsi, ini berarti beban pembuktian masih sepenuhnya berada pada pihak jasa penuntut umum sehingga terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan perbuatannya bukan merupakan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, kendala yang paling sering dihadapi dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi dalam menghadirkan saksi-saksi, ketidak hadiran saksi dapat menyebabkan penundaan sidang, dan memperlambat proses penyelesaian pemeriksaan perkara pidana korupsi. b. Perluasan alat bukti. Dalam rangka mendukung upaya penerapan system pembuktian terbalik dalam Pasal 26 a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah ditetapkan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk khusus dalam tindak pidana korupsi alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk selain sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, juga dapat diperoleh dari: 1 Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat itu. 2 Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf tanda, angka atau performasi yang memiliki makna. Bila peluang untuk menerapkan system pembalikan beban pembuktian itu diberikan sepenuhnya kepada lembaga penegak hukum yang sudah ada, terdapat kekhawatiran tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Perlu adanya suatu komisi pemberantasan Korupsi yang benar-benar independen untuk memproses perkara tindak pidana korupsi. Independen dimaksudkan tidak terkait dengan kepentingan penguasa maupun kepentingan politik kelompok manapun. c. Profesionalisme Aparat Penegak Hukum. 1. Sistem Peradilan Yang Lemah. Berbicara tentang sistem peradilan pidana tidak hanya berbicara tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana saja, akan tetapi juga menyoroti permasalahan mekanisme atau pun manajemen dari bekerjanya peradilan tersebut untuk melahirkan suatu putusan yang adil. Namun sejalan dengan prakteknya sistem peradilan pidana yang merupakan sarana terakhir bagi pencari keadilan ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ini masih kurang terpadunya 4 empat komponen sistem peradilan pidana yaitu Kepolisian, Pengadilan dan Pemasyarakatan dan Advokat. Bahkan dalam sejumlah kasus masih terdapat kelambatan-kelambatan proses pemeriksaan dengan alasan yang sederhana tidak hadirnya saksi yang harus diperiksa, keadaan kesehatan terdakwa yang menurun dan alasan-alasan lain. Kecenderungan lain dari pemeriksaan kasus-kasus korupsi adanya permintaan penangguhan penahanan agar tersangka dan atau terdakwa tidak ditahan di Rumah Tahanan Negara, sehingga sampai pada gilirannya akan mempersulit proses pemeriksaan. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam Gratifikasi merupakan komponen yang terdapat dalam sistem peradilan pidana, sistem ini harus dipahami, pemahaman dimaksudkan untuk memperlancar proses jalannya pemeriksaan kasus- kasus korupsi dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut dapat tercapai. Peraturan perundang-undangan maupun aparat penegak hukum yang terkait dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah satu kesatuan proses yang harus bekerja secara koordinatif dan integratif yang dilandasi dengan perundang- undangan dengan tujuan menekan dan menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi, sesuai dengan sistem dan perangkat perundang-undangan yang ada. 2. Rendahnya kualitas aparat penegak hukum Untuk melihat kualitas dari penegak hukum dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain: aspek pendidikan yang ditempuh oleh penegak hukum, Proses pemeriksaan yang dijalankan dan putusan yang dihasilkan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi. Bila dilihat dari sisi pendidikan kepada seluruh komponen penegak hukum, maka terdapat kesenjangan diantara penegak hukum ini. Pada tingkat penyidikan bila diperhatikan dari sisi Hukum Acara Pidana HAP, Penyidik di pegang oleh pihak kepolisian, untuk menjadi seorang Penyidik tidak terdapat kewajiban harus Sarjana Hukum. Timbul kekhawatiran penyidikan yang dihasilkan mengalami keterlambatan dan kendala di lapangan. Para Jaksa yang mewakili negara dalam melakukan tuntutan terhadap terdakwa, dengan sungguh-sungguh memperhatikan Surat Dakwaan yang diajukan, bila terdapat kelemahan-kelemahan atau tidak memenuhi ketentuan-ketentuan seperti terdapat dalam Pasal 143 KUHAP, dapat dipergunakan sebagai alat untuk menggagalkan dakwaan Penuntut Umum. Dengan kegagalan pihak kejaksaan tentunya dapat dijadikan sebagai ukuran kualitas jaksa yang bersangkutan sebagai komponen dari sistem peradilan pidana, untuk itu terdapatnya peluang-peluang terdakwa untuk melepaskan diri dari dakwaan penuntut umum menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat terhadap kualitas seorang Jaksa. Kualitas seorang Hakim dapat dilihat dari Putusan yang dihasilkan, bila dalam Putusan Hakim memuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang baik dan sesuai dengan ketentuan hukum serta sesuai dengan pembuktian di persidangan, maka terhadap putusan Hakim yang seperti itu akan sulit untuk dapat dikoreksi oleh Peradilan yang lebih tinggi, sehingga Putusan yang dihasilkan tersebut telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. d. Sarana dan Prasarana Dilihat dari volume perkara-perkara korupsi 3 tiga tahun belakangan ini hanya terdapat 3 tiga perkara, maka sarana dan prasarana yang tersedia telah mencukupi, namun demikian dilihat dari perluasan alat-alat bukti yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, masih diperlukan keterampilan khusus dalam membaca dan mengartikan alat-alat bukti tersebut. Bisa saja suatu waktu diperlukan sarana dan prasarana yang lebih dari memadai bila terjadi penungkapan kasus-kasus korupsi dengan pembuktian dan sifatnya tidak sederhana dalam arti memerlukan bantuan alat-alat elektronik, serta keahlian khusus seperti untuk mengenali suara dalam suatu rekaman misalnya. Keadaan seperti ini memerlukan fasilitas relatif lebih canggih agar dapat meyakinkan hakim terhadap suatu alat bukti. Fasilitas canggih seperti itu belum dijumpai di Kejaksaana Tinggi Medan, sehingga ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijadikan dasar pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. Maka diperlukan persiapan sarana dan prasarana aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi. Seiring beberapa pejabat bertanya tentang rumusan tindak pidana korupsi. Dari pertanyaan yang dikemukakan timbul kesan bagi, “bahwa sebagian korupsi ada kalanya korupsi dalam jumlah besar terjadi karena pejabat yang bersangkutan terlibat tidak mengetahui rumusan Tindak Pidana Korupsi”. 162 Untuk perumusan delik ada dua pendapat tentang cara merumuskannya, yakni: 163 1. Aliran monoisme; dan 2. Aliran dualisme. Aliran monoisme, antara lain simons yang merumuskan delik sebagai “eene straf gesteld onrechtmatige, met schuld in verbad stande handeling van een toerekeningsvatbar persoon” terjemahan bebas ; suatu perbuatan yang oleh hukum di ancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Aliran monoisme dalam perbuatan delik tidak memisahkan unsur objektif dan unsur subjektif. Sedangkan aliran dualisme, antara lain Moelyatno, Roeslan Saleh, yang merumuskan perbuatan pidana adalah “perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar aturan tersebut.”. Aliran dualisme, diadakan pemisahan antara unsur objektif yaitu perbuatannya sendiri dan unsur objektif yaitu manusia yang berbuat dalam suatu delik. 162 Baharuddin Lopa., Masalah-Masalah Politik Hukum Sosial Budaya dan Agama, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 40. 163 Martiman Prodjohamidjojo., Op. cit., hal. 37. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pada dasarnya kendala yang dihadapi Kejakaan dalam mengungkap korupsi adalah: 164 1. Kendala yuridis yang meliputi: a. Masalah pembuktian di persidangan sering kali saksi-saksi yang diajukan di depan persidangan mencabut kembali pernyataan yang telah diberikan sebagaimana dalam Berita Acara Pemeriksaan di tingkat penyidikan dengan alasan bahwa saksi sewaktu memberikan pernyataan dalam BAP tersebut berada dalam tekanan. Selain itu pada umumnya saksi-saksi yang diajukan ke persidangan ternyata mempunyai hubungan kerja dengan terdakwa yaitu sebagai bawahan dari terdakwa sehingga keterangan yang diberikan cenderung memberi pembelaanmeringankan bagi terdakwa yang sekaligus merupakan atasannya dalam kerja. b. Kerugian negara sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi telah dikembalikan oleh terdakwa sehingga dalam hal ini terdakwa tidak lagi bisa dituntut melakukan tindak pidana merugikan keuangan negara. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa terdakwa tidak dapat dijeratterlepas dari ketentuan Undang-Undang Korupsi. c. Pengungkapan terjadinya tindak pidana korupsi yang relatif lama sehingga membuat kesulitan untuk mendapatkan dan mengungkapkan bukti-bukti yang ada. Dalam hal ini biasanya kasus adanya dugaan korupsi tersebut baru 164 Hasil Wawancara dengan P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 11 Juni 2010. terungkap setelah terdakwa menjalani masa pensiun dari kerja, sedangkan adanya indikasi terjadinya korupsi tersebut sewaktu terdakwa masih aktif bekerja dalam memegang jabatan tertentu. d. Diberlakukannya asas oportunitas dalam hal ini misalnya dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan dari Kejakaan Agung sehingga penuntutan perkara korupsi tidak dapat diteruskan. 2. Kendala Non Yuridis yang meliputi: a. Kejakaan masuk dalam satu unsur Muspika. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1986 tanggal 17 Pebruari 1986 tentang Musyawarah Pimpinn Daerah yang terdiri dari: 2 Kepala Daerah GubernurPemkot; 3 Kejaksaan; 4 Kepolisian; 5 Komandan Daerah Militer; dan 6 Ketua Pengadilan Negeri selaku penasehat Muspika. b. Adanya intervensi dari pihak ketiga. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan dari pihak-pihak lain dalam kasus korupsi tersebut sehingga membawa kesulitan bagi Kejaksaan untuk mengungkap kasus-kasus korupsi yang masuk.

B. Solusi Untuk Mengatasi Faktor Penghambat Dalam Menjalankan Fungsi