C. KONSEP SISWA PRIBUMI DAN NON-PRIBUMI
Pelly 2003 menjelaskan bahwa identitas siswa pribumi merupakan identitas yang muncul dari peninggalan belanda dimana mereka merupakan warga
negara Indonesia WNI keturunana asli indonesia, yang berasal dari suku-suku asli di Indonesia.
Siswa non-pribumi menurut Pelly 2003 yaitu identitas yang muncul kepada mereka yang berasal dari keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing
umumnya kulit putih maupun campuran, walaupun telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia yang biasa dikenal sebagai warga negara Indonesia WNI
keturunan asing.
D. Adversity QuotientPadaSiswa Pribumi di Sekolah Pembauran dan
Siswa Pribumi di Sekolah Negeri.
Siswa pribumi adalah siswa WNI keturunan suku asli Indonesia. Dewasa ini, banyak siswa pribumi yang bersekolah di sekolah pembauran dengan alasan
kualitas sekolah yang lebih baik dari sekolah negeri. Namun, tidak selamanya sekolah pembauran berhasil memberikan manfaat kepada peserta didiknya.
Karena lingkungan sekolah sering sekali menghasilkan kendala apabila siswa tidak dapat beradaptasi. Kendala tersebut tidak akan menjadi masalah bagi
performa akademis siswa ataupun kesehatannya apabila dapat dihadapi dengan baik.
Sekolah pembauran memiliki tingkat disiplin yang tinggi. Aturan sekolah, sistem belajar, kompetisi memperoleh nilai hasil belajar yang maksimal antar
siswa dan cara mengajar pendidik membuat siswa yang bersekolah di sekolah pembauran harus bekerja keras untuk beradaptasi agar tidak tertinggal dari siswa
lainnya. Siswa pribumi yang mampu mengikuti cara belajar, tingkat disiplin sekolah dan cara mengajar pendidiknya dikatakan berhasil menghadapi tantangan
di sekolah pembauran. Siswa tersebut memiliki AQ yang baik yang berasal dari aspek AQ itu sendiri seperti control, endurance, reach, owrnership dan
origin.Satu hal yang tidak kalah penting adalah faktor teman sebaya dimana etnis Tionghoa tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari
sehingga akan menimbulkan tantangan tersendiri bagi siswa pribumi untuk bisa bergaul dengan siswa nonpribumi tersebut.
Siswa pribumi di sekolah pembauran yang memiliki kontrol dan aspek- aspek AQ yang baik akan mudah menjawab semua tantangan tersebut. Mereka
bahkan diuntungkan dengan atsmosfer kompetisi memperoleh peringkat kelas yang tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Ryan 2001 bahwa siswa yang
memiliki kelompok teman sebaya yang berprestasi tinggi juga turut menghasilkan bentuk prestasi yang sama. Namun, apabila siswa pribumi di sekolah pembauran
tidak memiliki AQ yang baik maka sulit untuk menghadapi tantangan serta ekspektasi hasil belajar yang maksimal, karena apabila sudah gagal akan
menimbulkan stres yang berakibat buruk bagi performa akademis dan kesehatan siswa tersebut.
Tantangan yang dihadapi oleh siswa pribumi di sekolah negeri juga beragam. Sekolah negeri memiliki perbedaan tingkat disiplin sekolah, cara
mengajar pendidik, sistem nilai dan pergaulan teman sebaya yang lebih
heterogen.Tapi tetap saja tidak semua siswa mampu mengatasi kendala yang ada dengan bijak.Misalkan, seorang siswa pribumi yang awalnya seorang yang rajin
dan ingin mencapai nilai tertinggi di setiap matapelajaran namun selalu gagal dikarenakan cara mengajar pendidik, standar nilai dan teman sebaya yang tidak
mendukung tujuan tersebut. Hal ini tentu menjadi sumber stres bagi siswa apabila tidak dapat diatasi dengan cara yang seharusnya. Kasus tersebut bisa saja terjadi
di sekolah pembauran maupun di sekolah negeri. Untuk itu, penting bagi anak agar mampu mengasah kemampuan bertahan dan mengatasi hambatan yang ada.
AQ menurut Stoltz 2004 dapat meramalkan siapa anak yang bertahan dalam kesulitan dan mengubahnya menjadi kesempatan dan siapa anak yang
berhenti dan tidak akan mencoba. Ketiga tipe siswa tersebut telah dijelaskan oleh Stoltz melalui teori mengenai tipe climbers, campers dan quitters. Tipe-tipe
tersebut bergantung pada tinggi atau rendahnya skor pada dimensi dari adversity quotient yaitu daya tahan, kendali, kepemilikan dan jangkauan. Menurut Stoltz
2004, AQ dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah lingkungan yaitu ketersediaan daya saing yang mengakibatkan para siswa mampu
menciptakan peluang dalam kesulitan. Pengalaman belajar siswa di sekolah yang berbeda akan menghasilkan tingkat AQ yang berbeda pula. AQ sendiri sangat
penting untuk diketahui oleh siswa di kedua sekolah mengingat sekolah pembauran dan sekolah negeri menyediakan pengalaman belajar yang berbeda
kepada peserta didik mereka.
E. Hipotesa Penelitian