Gambaran Resiliensi Siswa SMA Yang Beresiko Putus Sekolah Di Masyarakat Pesisir

(1)

GAMBARAN RESILIENSI SISWA SMA

YANG BERESIKO PUTUS SEKOLAH

DI MASYARAKAT PESISIR

Guna Memenuhi Persyaratan Skripsi Bidang Psikologi Pendidikan

Oleh:

AHMAD

JUNAEDI

SALIM

PULUNGAN

071301074

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP 2012


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN RESILIENSI SISWA SMA

YANG BERESIKO PUTUS SEKOLAH

DI MASYARAKAT PESISIR

Dipersiapkan dan disusun oleh: AHMAD JUNAEDI SALIM PULUNGAN

071301074

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 02 Agustus 2012

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Tarmidi, M.Psi, psikolog Penguji I

NIP. 198060720050112003 Merangkap pembimbing 2. Sri Supriyantini, Msi., psikolog

NIP. 196204092000122001 Penguji II 3. Ika Sari Dewi, S.Psi., psikolog


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Resiliensi Siswa SMA yang Beresiko Putus Sekolah di Masyarakat Pesisir

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Agustus 2012

AHMAD JUNAEDI SALIM PULUNGAN 071301074


(4)

Gambaran resiliensi siswa SMA yang Beresiko Putus Sekolah di Masyarakat Pesisir

Ahmad Junaedi Salim Pulungan dan Tarmidi

ABSTRAK

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan dan mampu cepat kembali kepada kondisi baik. Dalam kehidupan masyarakat pesisir yang hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional, pada umumnya masyarakatnya mempunyai ciri berpendidikan rendah yang pada akhirnya anak-anak di masyarakat pesisir harus menerima kenyataan untuk mengalami tingkat pendidikan yang rendah juga. Walaupun dengan kondisi seperti itu tetap ada siswa yang sekolah, siswa itu merupakan siswa yang resilien. Terdapat tujuh aspek yang membentuk resiliensi yaitu: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan karakteristik subjek yang diteliti. Teknik pengambilan sampel menggunakan incidental sampling, subjek dalam penelitian ini berjumlah 150 siswa. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA yang berdomisili di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan. Alat ukur yang digunakan berupa skala yang di adopsi dari skala resiliensi Reivich & Shatte (2002). Data yang diolah dalam penelitian ini adalah nilai mean, standar deviasi, skor minimum dan skor maksimum.

Hasil penelitian adalah resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir secara umum tergolong sedang sampai tinggi. Dalam penelitian ini yang memiliki kemampuan tingkat resiliensi tinggi pada aspek: Emotion Regulation, Optimisme dan aspek Reach Out. Lalu yang memiliki kemampuan tingkat resilinsi sedang pada aspek: Impulse Control, Causal Analysis, Empathy dan aspek Self-efficacy.


(5)

Description of high school students who resilience Dropout Risk in Coastal Communities

Ahmad Junaedi Salim Pulungan and Tarmidi

ABSTRACT

Resilience is the ability of individuals to be able to adapt to difficult situations in life and be able to quickly get back to good condition. In the lives of coastal communities that most of the work as traditional fishermen, in general, less educated people have traits that ultimately children in coastal communities should accept the fact to have low education levels as well. Even with such conditions persist school students, students that are resilient students. There are seven aspects that make up the resilience that is: Emotion regulation, impulse control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy and Reaching out.

This study is a quantitative descriptive study that aims to explain and describe the characteristics of the subject under study. Sampling technique using the incidental sampling, the subjects in this study amounted to 150 students. Subjects in this study were high school students who live in the Village of Bagan Deli, Belawan Medan District. Measuring devices used in the scale of adoption of the resilience scale Reivich & Shatte (2002). Data are processed in this study is the mean, standard deviation, minimum score and maximum score.

The study is the resilience of high school students who are at risk of dropping out of school in the coastal communities are generally classified as moderate to high. In this research, which has the capability of high levels of resilience in the aspect: Emotion Regulation, Optimism and aspects of Reach Out. So who has the ability level of resilience is the aspect: Impulse Control, Causal Analysis, Empathy and Self-efficacy aspects.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana yang diharapkan. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasullulah Muhammad SAW, pribadi tangguh, pengukir peradaban, pembawa kebenaran, dan sebagai inspirasi bagi peneliti sebagai suri tauladan dalam kehidupan.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini Peneliti banyak memperoleh dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Bang Tarmidi, M.Psi selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini yang telah sepenuh hati, sabar dan iklas membimbing, mendorong, memberikan saran, perhatian, bantuan serta dukungan kasih sayang sehingga penulis lebih bersemangat dan pantang menyerah.

3. Kedua orangtua saya, peneliti mengucapkan terima kasih dan bersyukur karena selalu berada dalam bimbingannya. Terima kasih penulis ucapkan untuk setiap perjuangan, didikan, cinta dan kasih sayang, pengertian, perhatian, doa, dan semua hal yang telah kalian berikan. Hannya Allah yang bisa membalas semua kebaikan mama dan papa.

4. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi., psikolog dan Ibu Sri Supriyantini, Msi selaku dosen penguji. Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan


(7)

masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Untuk Pak Eka Danta Jaya Ginting, M.A. psikolog, terimakasih telah bersedia menjadi dosen penguji, walaupun pada hari itu Bapak sakit, semoga cepat sembuh ya pak. Dan terimakasih sekali untuk Bu Ika yang telah bersedia menjadi dosen penguji disaat-saat terkahir sebelum sidang dimulai. Hannya Allah yang dapat membalas kebaikan Ibu, aminnn.

5. Kak Ivo yang telah meminjamkan buku Resilience, bang Alif, kak Dina, Pak Feri, Pak Eka dan Pak Zul yang telah banyak membantu peneliti, terima kasih atas bimbingan, saran, dan arahan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan seluruh Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Psikologi USU, terima kasih untuk segala ilmu dan pengalaman yang telah diberikan.

6. Pak Aswan, Pak Iskandar, Kak Devi, Kak Ari, Bang Hendra dan seluruh staf pegawai di Fakultas Psikologi, terimakasih atas semua bantuannya selama ini. 7. Kepala Sekolah dan Guru-guru SMAN 20 Medan yang telah memberikan ijin

untuk melakukan tryout dan penelitian. Lalu Uda Pulungan dan Udin Pulungan yang tinggal di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, yang telah banyak membantu peneliti dalam proses pengambilan data. Terimakasih untuk dukungan dan informasi yang telah kalian berikan dalam mengerjakan skripsi ini.

8. Spesial terimakasih untuk Putri Lia Rahman yang selalu menemani dalam susah dan senang, dan selalu setia menemani ke tempat penelitian yang jauh disana. Terima kasih juga sudah memberi saya perhatian, cinta dan kasih


(8)

sayang, dan yang terutama adalah motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman terbaik saya selama studi: Putri, Tari, Imel, Septri, Sheila, Christy, Junias, Fida, Ali, Aslam, Iqbal dan semua teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang sudah kasih semangat dalam penyelesaian skripsi. 10.Imel yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan skripsi hingga

akhir. Terimakasih saya ucapkan, hannya Allah SWT yang bisa membalas kebaikan mu.

11.Teman-teman seperjuangan Pendidikan: Rina, Shela, leli, Tua, Kak Sisa, Kak Vivi, Kak Risda. Serta teman-teman angkatan 2007, terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.

12.Teman-teman Sekretariat Dies Natalis ke 60 USU: Bang Fahmi, Bang Ronald, Kak Endang, Kak Sarah, Icha, Bang Fauji dan Bebeb. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada saya. Tiada hari yang terlewatkan tanpa kalian.

13.Adik-adik ku Iyan, Novi, Nanda dan kiki endut yang selalu membuat terhibur ketika sampai dirumah.

Peneliti berharap agar Allah SWT membalas segala kebaikan saudara-saudara semua dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi kehidupan sosial dan generasi yang akan datang.

Medan, Agustus 2012


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah. ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II. LANDASAN TEORI ... 15

A. RESILIENSI ... 15

1. Definisi Resiliensi ... 15

2. Aspek-Aspek Resiliensi ... 16

3. Sumber-sumber Resiliensi ... 23

4. Konsep Berpikir Resiliensi ... 28

5. Protective and Risk Factor ... 29


(10)

B. Latar Belakang Terjadinya Anak Beresiko Putus Sekolah .. 33

1. Keadaan Kehidupan Keluarga ... 34

2. Keadaan Ekonomi Orang Tua ... 36

3. Keadaan Sekolah ... 37

4. Keadaan Masyarakat ... 38

C. MASYARAKAT PESISIR ... 40

1. Definisi Masyarakat Pesisir ... 40

2. Karakteristik Masyarakat Pesisir ... 41

3. Permasalahan di Masyarakat Pesisir ... 42

BAB III. METODE PENELITIAN ... 44

A. Identifikasi Variabel Penelitian... 45

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 45

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 48

1. Populasi ... 48

2. Sampel ... 48

3. Metode Pengambilan Sampel ... 49

4. Jumlah Sampel Penelitian... 50

D. Metode pengambilan data ... 50

1. Skala Resiliensi ... 50

E. Validitas, Analisis Faktor, dan Reliabilitas Alat Ukur ... 53

1. Uji Validitas Alat Ukur... 53


(11)

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur... 57

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 58

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 61

1. Tahap persiapan penelitian ... 61

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 63

H. Metode Analisis Data ... 64

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 65

A. Analisis Data... 65

1. Gambaran Umum Subyek Penelitian... 65

a. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin... 65

b. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku...66

c. Gambaran Subjek Berdasarkan Penerima Bantuan Pendidikan (Beasiswa) ... 67

d. Gambaran Subjek Berdasarkan Pekerjaan Orangtua....67

e. Gambaran Subjek Berdasarkan Penghasilan Orangtua.68 f. Gambaran Masalah-masalah yang Dihadapi Siswa... 69

g. Gambaran Sumber Dukungan yang Diperoleh Siswa..70

2. Hasil Penelitian... 70

a. Hasil Utama Penelitian... 70

i. Uji Normalitas...71

ii. Gambaran Umum Resiliensi Siswa SMA yang Beresiko Putus Sekolah di Masyarakat Pesisir... 72


(12)

iii. Gambaran aspek-aspek resiliensi siswa SMA

yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir...74 iv. Kategorisasi resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan tujuh aspek resiliensi... 75 b. Hasil Tambahan Penelitian... 78

i. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan

jenis kelamin... 79 ii. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko

putus sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan

jenis suku... 80 iii. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko

putus sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan

penerima bantuan pendidikan (beasiswa) ... 81 iv. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko

putus sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan

pekerjaan orangtua... 82 v. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko

putus sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan

penghasilan orangtua... 83


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ...97

B. Saran ...98


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Resiliensi Sebelum Diuji Coba...51

Tabel 2. Nilai KMO MSA and Bartlett's Test... 56

Tabel 3. Distribusi Item Skala Resiliensi Sebelum Uji Coba... 59

Tabel 4. Distribusi Item skala resiliensi Setelah Diuji Coba... 60

Tabel 5. Distribusi Item Skala Resiliensi Setelah Uji Coba...61

Tabel 6. Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin... 66

Tabel 7. Persentase Subjek Berdasarkan Suku... 66

Tabel 8. Persentase Subjek Berdasarkan Penerima Beasiswa... 67

Tabel 9. Persentase Subjek Berdasarkan Pekerjaan Orangtua... 67

Tabel 10. Persentase Subjek Berdasarkan Penghasilan Orangtua... 68

Tabel 11. Masalah-masalah yang Dihadapi Siswa... 69

Tabel 12. Sumber Dukungan yang Diperoleh Siswa... 70

Tabel 13. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian dari Skala Resiliensi... 71

Tabel 14. Deskripsi Umum Skor Maksimum, Minimum, Mean, dan Standar Deviasi Skor Resiliensi... 72

Tabel 15. Pengkategorian Resiliensi Siswa SMA yang Beresiko Putus Sekolah di Masyarakat Pesisir... 73

Tabel 16. Penggolongan Resiliensi Siswa SMA yang Beresiko Putus Sekolah di Masyarakat Pesisir Berdasarkan Skor Skala Resiliensi... ...73


(15)

Tabel 17. Gambaran aspek-aspek resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan

tujuh aspek resiliensi... 74 Tabel 18. Penggolongan resiliensi siswa berdasarkan

aspek-aspek resiliensi... 76 Tabel 19. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus

sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan jenis kelamin... 79 Tabel 20. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus

sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan suku...80 Tabel 21. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus

sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan penerima beasiswa.... 81 Tabel 22. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus

sekolah di masyarakat pesisir berdasarkan pekerjaan orangtua.... 82 Tabel 23. Gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Adaptasi Lampiran 2. Skor Hasil Uji Coba

Lampiran 3. Analisis Faktor Skala Adaptasi Lampiran 4. Skala Penelitian

Lampiran 5. Data Responden Penelitian Lampiran 6. Data Mentah Penelitian


(17)

Gambaran resiliensi siswa SMA yang Beresiko Putus Sekolah di Masyarakat Pesisir

Ahmad Junaedi Salim Pulungan dan Tarmidi

ABSTRAK

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan dan mampu cepat kembali kepada kondisi baik. Dalam kehidupan masyarakat pesisir yang hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional, pada umumnya masyarakatnya mempunyai ciri berpendidikan rendah yang pada akhirnya anak-anak di masyarakat pesisir harus menerima kenyataan untuk mengalami tingkat pendidikan yang rendah juga. Walaupun dengan kondisi seperti itu tetap ada siswa yang sekolah, siswa itu merupakan siswa yang resilien. Terdapat tujuh aspek yang membentuk resiliensi yaitu: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan karakteristik subjek yang diteliti. Teknik pengambilan sampel menggunakan incidental sampling, subjek dalam penelitian ini berjumlah 150 siswa. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA yang berdomisili di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan. Alat ukur yang digunakan berupa skala yang di adopsi dari skala resiliensi Reivich & Shatte (2002). Data yang diolah dalam penelitian ini adalah nilai mean, standar deviasi, skor minimum dan skor maksimum.

Hasil penelitian adalah resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir secara umum tergolong sedang sampai tinggi. Dalam penelitian ini yang memiliki kemampuan tingkat resiliensi tinggi pada aspek: Emotion Regulation, Optimisme dan aspek Reach Out. Lalu yang memiliki kemampuan tingkat resilinsi sedang pada aspek: Impulse Control, Causal Analysis, Empathy dan aspek Self-efficacy.


(18)

Description of high school students who resilience Dropout Risk in Coastal Communities

Ahmad Junaedi Salim Pulungan and Tarmidi

ABSTRACT

Resilience is the ability of individuals to be able to adapt to difficult situations in life and be able to quickly get back to good condition. In the lives of coastal communities that most of the work as traditional fishermen, in general, less educated people have traits that ultimately children in coastal communities should accept the fact to have low education levels as well. Even with such conditions persist school students, students that are resilient students. There are seven aspects that make up the resilience that is: Emotion regulation, impulse control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy and Reaching out.

This study is a quantitative descriptive study that aims to explain and describe the characteristics of the subject under study. Sampling technique using the incidental sampling, the subjects in this study amounted to 150 students. Subjects in this study were high school students who live in the Village of Bagan Deli, Belawan Medan District. Measuring devices used in the scale of adoption of the resilience scale Reivich & Shatte (2002). Data are processed in this study is the mean, standard deviation, minimum score and maximum score.

The study is the resilience of high school students who are at risk of dropping out of school in the coastal communities are generally classified as moderate to high. In this research, which has the capability of high levels of resilience in the aspect: Emotion Regulation, Optimism and aspects of Reach Out. So who has the ability level of resilience is the aspect: Impulse Control, Causal Analysis, Empathy and Self-efficacy aspects.


(19)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan anak merupakan salah satu bagian dari tujuan mencerdaskan bangsa. Dengan adanya pendidikan, anak-anak diasah melalui seperangkat pengetahuan untuk memiliki kesadaran dan kemauan yang positif dalam menemukan tujuan untuk dirinya di masa yang akan datang. Perkembangan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib belajar enam tahun dan pembangunan infrastruktur sekolah, lalu diteruskan dengan wajib belajar sembilan tahun adalah program pendidikan yang diakui cukup sukses (Latief, 2009).

Meskipun program pendidikan wajib belajar sembilan tahun sudah berjalan di Indonesia, tetapi masih terdapat persoalan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu masih tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan data BKKBN tahun 2010, angka putus sekolah di Indonesia mencapai 13.685.324 siswa dengan usia sekolah 7-15 tahun. Jumlah total angka putus sekolah tersebut, sekitar 627.947 siswa putus sekolah berada di propinsi Sumatera Utara (Kiroyan, 2010). Siswa yang putus sekolah di propinsi Sumatera Utara banyak berasal dari masyarakat pesisir. Peneliti mendapatkan informasi bahwa terdapat kurang lebih 20.000 nelayan di Medan yang didapati 3.000 anak nelayan tersebut putus sekolah. Dari jumlah itu umumnya mereka hanya mengecap pendidikan di bangku sekolah menengah pertama (SMP) (Nusajaya, 2011).


(20)

Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa banyak siswa yang mengalami putus sekolah berasal dari anak nelayan yang tinggal di daerah pesisir pantai. Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan, merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Daerah tersebut memiliki angka partisipasi murni sekolah yang rendah dan angka putus sekolah yang tinggi. Berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan mutas mutandis kependudukan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, penduduk yang berusia 15-19 tahun pada lingkungan 2, 4 dan 7 sebesar 487 orang, sedangkan siswa yang bersekolah pada usia tersebut atau jenjang SLTA sebanyak 193 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka partisipasi murni (APM) SLTA di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan hannya sebesar 39,6%. Data ini jauh berbeda dengan penduduk yang berusia 16-18 tahun di Kota Medan selama tahun 2010 sebesar 140.282 orang, sedangkan siswa yang bersekolah pada usia tersebut atau jenjang SMA/MA/Paket C sebanyak 93.626 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka partisipasi murni (APM) SMA/MA/Paket C di Kota Medan sebesar 66,74%.

Berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan mutas mutandis kependudukan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, jumlah siswa pada tingkat SLTA pada lingkungan 2, 4 dan 7 sebesar 193 orang, sedangkan jumlah siswa yang tidak sekolah pada tingkat SLTA selama bulan Mei tahun 2011 mencapai 294 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka putus sekolah SLTA di Kelurahan Bagan Deli


(21)

Kecamatan Medan Belawan sebesar 60,3%. Data ini jauh berbeda dengan jumlah siswa pada jenjang SMA/SMK/MA di Kota Medan pada tahun ajaran 2009/2010 sebesar 142.733 orang, sedangkan jumlah siswa yang putus sekolah pada jenjang SMA/SMK/MA selama tahun 2010 mencapai 1.857 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka putus sekolah SMA/SMK/MA di kota Medan sebesar 1,30%.

Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilihat bahwa banyak siswa yang beresiko putus sekolah berasal dari daerah pesisir jika dibandingkan dengan kota Medan. Siswa yang beresiko putus sekolah tidak terlepas dari kemiskinan yang melingkupi masyarakat pesisir (Sulistyowati, 2003). Masyarakat pesisir adalah sekelompok orang atau komunitas yang tinggal di daerah pesisir yang sumber kehidupan perekonomiannya secara langsung bergantung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat pesisir terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan dan orang-orang yang bekerja pada sarana produksi perikanan (Muhadjirin, 2009).

Masyarakat pesisir hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional, yang pada umumnya mempunyai ciri yang sama yaitu berpendidikan yang rendah. Hal ini terjadi karena pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang berat, seseorang yang menjadi nelayan sulit membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah dan yang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, oleh karena itu setinggi apa pun tingkat pendidikan masyarakat pesisir tidak akan mempengaruhi kemahiran mereka


(22)

dalam melaut (Sudarso, 2005). Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam, maka hal tersebut membuat sulit bagi masyarakat pesisir untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir sehingga membuat mereka hidup dalam kemiskinan (Winengan, 2007).

Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah mempersulit mereka dalam hal menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah, karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya. Apabila para orangtua nelayan mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya, mereka berusaha menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, sehingga tidak harus menjadi nelayan seperti orangtuanya, tetapi biasanya orangtua nelayan tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, turun-temurun adalah nelayan (Mubyarto, 1989). Anak-anak dituntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orangtuannya (Fathul, 2002). Oleh karena itu, sebagian besar anak nelayan masih ingin bekerja di bidang kenelayanan untuk menambah pendapatan keluarga daripada bersekolah (Mulyadi, 2005).

Fenomena keseharian masyarakat pesisir yaitu anak pria atau wanita mulai sejak kecil sudah terlibat dalam proses pekerjaan nelayan, mulai dari persiapan orangtua untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berdampak kepada keberlangsungan pendidikan anak-anak nelayan (Pengemanan, 2002). Pada umumnya rumah tangga di masyarakat pesisir kurang memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan untuk


(23)

sebagian besar keluarga di masyarakat pesisir masih belum menjadi suatu kebutuhan yang penting didalam keluarga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap pendidikan di masyarakat pesisir relatif masih rendah (Anggraini, 2000).

Dalam hal pendidikan perlu dipertahankan tingkat daftaran anak usia sekolah, baik pria maupun wanita sebagai target kebijakan pendidikan untuk masyarakat pesisir. Dalam hal ini ditetapkan bahwa setidaknya anak nelayan diharuskan menyelesaikan pendidikan setingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) maupun SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) (Pengemanan, 2002). Pendekatan pendidikan masyarakat pesisir juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial ekonomi keluarga di masyarakat pesisir untuk lebih memfokuskan sasaran target pelayanan pendidikan kepada mayoritas keluarga nelayan yang miskin. Selanjutnya pendidikan kepada masyarakat pesisir harus memberikan prioritas kepada anak usia 13 tahun keatas (Pengemanan, 2002).

Banyak anak-anak nelayan yang berusia 13 tahun keatas sudah tidak bersekolah lagi atau terpaksa putus sekolah. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan salah satu kepala lingkungan di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan.

“....Masalahnya adalah banyak anak nelayan yang putus sekolah. Anak nelayan dari kecil sudah putus sekolah, ada yang semenjak dari SD, SMP dan SMA, jarang anak nelayan yang terus bersekolah sampai SMA. Itu karena orang tua mereka sudah tidak bisa lagi membayar sekolah, tapi ada juga yang memang malas sekolah lagi karena banyak anak nelayan yang kalau sudah bisa pergi melaut (mencari ikan) mereka sudah malas untuk sekolah, mereka merasa sudah bisa mencari uang sendiri dan sekolah ga penting lagi buat orang itu”


(24)

Hampir setiap tahun jumlah anak-anak nelayan yang putus sekolah di seluruh wilayah Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi karena terus memburuknya kemiskinan keluarga mereka. Memburuknya kemiskinan nelayan tersebut terjadi seiring dengan terus menurunnya pendapatan melaut mereka (Suhana, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lusiana (2010) yang berjudul faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap motivasi anak nelayan untuk sekolah, kasus di Kampung Nelayan Lingkungan XII, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan. Hasil penelitian diperoleh (1) Tingkat motivasi anak nelayan untuk sekolah di Kampung Nelayan Lingkungan XII, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan adalah sedang, yang berarti bahwa responden di daerah penelitian tidak sepenuhnya mengeluarkan upaya dan dayanya untuk bersekolah. Hal ini disebabkan karena pola pikir anak nelayan yang menganggap bahwa pendidikan tidak berpengaruh terhadap masa depan mereka (2) Secara serempak, kelima variabel independen yang dikaji (pendapatan keluarga, jumlah tanggungan keluarga, persepsi nelayan, tingkat kosmopolitan nelayan dan infrastruktur) berpengaruh nyata terhadap motivasi anak nelayan untuk sekolah dengan jumlah presentase sebesar 70,5%, sedangkan sisanya dipengaruhi variabel lain seperti kondisi lingkungan sekolah (murid, teman dan guru). Secara parsial, variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap motivasi anak nelayan untuk sekolah adalah persepsi nelayan, dengan sumbangan pengaruh sebesar 68%, hal ini dikarenakan semakin meningkatnya persepsi nelayan tentang pendidikan ke arah yang positif maka akan semakin nyata


(25)

dukungan, perhatian dan motivasi nelayan kepada anaknya untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Lusiana, 2010).

Penelitian menunjukkan bahwa kegagalan di sekolah menengah dan tinggi biasanya mempunyai tiga karakteristik umum (1) Siswa yang performansinya buruk di bidang akademik, (2) Siswa yang memiliki angka putus sekolah tinggi, dan (3) Siswa yang berasal dari sosial ekonomi yang rendah (Balfanz & Legters, 2004). Selain masalah ekonomi, hal yang menjadi pendorong banyaknya kasus putus sekolah ialah kendala teknis yang bersifat mikro, misalnya lokasi sekolah yang jauh sekali dari rumah, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan juga menjadi penyebab anak malas untuk berangkat sekolah sehingga akhirnya terjadi putus sekolah.

Ditengah kemiskinan dan kesulitan tersebut, masih ada siswa yang tetap melanjutkan sekolah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan mutas mutandis kependudukan, dari 15 lingkungan yang ada di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, penduduk yang berusia 15-19 tahun berjumlah kurang lebih 1.500 orang, sedangkan penduduk yang bersekolah SMA pada usia tersebut hannya sekitar 500 orang saja. Siswa yang tetap melanjutkan sekolah tersebut menyadari bahwa akan pentingnya pendidikan untuk masa depan mereka nanti (Prasodjo, 2005).

Meskipun banyak anak yang putus sekolah dan beresiko putus sekolah tetapi tetap ada anak yang meneruskan sekolah hingga SMA di masyarakat pesisir, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya meliputi minat, motivasi, harapan, dan persepsi siswa tentang sekolah


(26)

tinggi. Faktor eksternalnya yaitu persepsi orangtua tentang pendidikan tinggi, walaupun orangtuanya miskin tetapi mereka tetap berusaha agar anak-anaknya tetap sekolah. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan salah satu staf pegawai di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan.

“....Di desa ini memang banyak yang putus sekolah, tetapi ada juga anak yang terus sekolah walaupun orangtuanya miskin, anak itu ada yang kerja setelah pulang sekolah, walaupun kerja tetapi dia tetap sekolah. Selain itu ada juga orang tua yang peduli terhadap pendidikan anaknya, ada orang tua yang melakukan apa saja asalkan anaknya tetap sekolah supaya jangan seperti orangtuanya yang miskin. Orangtua itu berpikir dengan sekolah bisa merubah nasib mereka yang miskin jadi nelayan”

(Komunikasi Personal, 12 Mei 2011). Faktor eksternal yang lainya yaitu, usaha kepala sekolah SMAN 20 Medan yang berusaha agar murid-murid di SMAN 20 Medan mendapatkan beasiswa yang banyak daripada murid-murid di SMA lain yang ada di Medan, selain itu SMAN 20 Medan membuat kebijakan tidak memaksakan murid-murid untuk harus membeli buku, tetapi cukup dengan membeli LKS (lembar kerja siswa) saja. Untuk membeli LKS ini pun, bisa dilakukan dengan cara kredit bagi yang belum memiliki uang. Sekolah berusaha agar muridnya memiliki LKS terlebih dulu dan untuk masalah biayanya bisa dibayar belakangan, sehingga sekolah berhutang kepada penerbit LKS tersebut dan baru akan melunasinya apabila beasiswa murid sudah keluar. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan beberapa guru di SMAN 20 Medan.

“....sebenarnya murid-murid di SMAN 20 banyak yang tidak mampu untuk sekolah, ini terlihat dari pengurangan jumlah murid kelas satu yang akan naik ke kelas dua dan lebih berkurang lagi di kelas tiga. Syukurlah dua tahun belakangan ini kepala sekolah berusaha membuat banyak beasiswa bagi murid yang tidak mampu disini, sehingga uang beasiswa tersebut kami pegang untuk membayar LKS mereka, karena apabila murid yang menerima kami takut tidak dibayarnya, jadi kami sampaikan murid


(27)

yang menerima beasiswa dan pihak sekolah yang menyimpanya untuk dibayarkan ke SPP dan LKS mereka. Usaha ini kami lakukan supaya anak-anak disini tetap mau sekolah dan jangan sampai putus sekolah”

(Komunikasi Personal, 12 April 2012). Beberapa siswa yang tetap melanjutkan sekolah hingga jenjang SMA atau berhasil dalam akademis walaupun mereka berada pada kondisi yang sulit, mereka tetap yakin bahwa mereka mampu untuk bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut. Tingkat fleksibilitas yang membuat siswa berhasil dalam akademis walaupun mereka berada pada kondisi yang sulit, sehingga ia mampu untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi sulit, hal inilah yang disebut dengan resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte, 2002). Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich & Shatte, 2002). Reivich & Shatte (2002) mengungkapkan beberapa kemampuan yang menyumbang pada resiliensi individu yaitu: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis,Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out.

Penelitian ilmiah yang telah dilakukan lebih dari 50 tahun, telah membuktikan bahwa resiliensi adalah kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat, memiliki efek terhadap kesehatan individu tersebut secara


(28)

fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Semua hal tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya kebahagiaan dan kesuksesan hidup seseorang (Reivich & Shatte, 2002). Apakah resiliensi lebih cocok dikarekteristikkan sebagai hasil atau proses (McCubbin, 2001). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Morales (2008) resiliensi dapat dilihat sebagai proses dan hasil.

Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang yang disebut sebagai individu yang resilien, yaitu mereka yang dapat bangkit, berdiri diatas penderitaan, dan memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya. Selain itu kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan. Resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada pada tantangan atau masalah. Semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik resiliensi dalam dirinya atau tidak (Bobey, 1999).

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan tantangan kehidupan yang sulit (Bryan, 2005). Dalam bidang pendidikan, resiliensi bisa disebut sebagai resiliensi edukasi, resiliensi akademik atau siswa yang memiliki resiliensi yang baik disebut sebagai siswa resilien. Siswa resilien adalah siswa yang berhasil di sekolah meskipun adanya kondisi yang kurang menguntungkan (Waxman et al., 2003). Resiliensi dalam bidang akademis dapat diartikan sebagai kemampuan seorang siswa untuk sukses di bidang akademik meskipun ia berada dalam kondisi yang membuatnya sulit untuk berhasil (Benard,


(29)

1991 & Wang et al., 1997 dalam Bryan, 2005). Kondisi atau lingkungan yang kurang mendukung tersebut bisa berupa kemiskinan, kondisi sekolah yang serba kekurangan, maupun kondisi keluarga yang kurang baik. Secara spesifik resiliensi akademik dipahami sebagai proses dan hasil yang menjadi bagian dari cerita hidup seorang individu yang meraih kesuksesan akademik, meskipun ia mengalami banyak rintangan yang dapat mencegah kebanyakan orang dari latar belakang yang sama untuk meraih kesuksesan (Morales & Trotman 2004).

Selain faktor internal atau yang berasal dari siswa itu sendiri, ternyata faktor sekolah, keluarga, komunitas dan masyarakat dimana siswa itu berada juga turut berperan dalam menciptakan siswa yang resilein. Penelitian yang dilakukan Bryan (2005) yang berjudul “Meningkatkan akademik resiliensi dan pencapaian akademik di sekolah pedesaan melalui sekolah, keluarga, dan komunitas. Hasilnya adalah dengan adanya hubungan antara sekolah, keluarga dan komunitas, itu bisa menciptakan kesempatan yang baik untuk siswa yang resilien, dengan menghilangkan stresor, batasan maupun rintangan dalam mencapai prestasi akademiknya (Bryan, 2005). Karakteristik sekolah yang dapat meningkatkan resiliensi siswanya adalah model komunitas atau lingkungan sekolah yang mendukung, termasuk elemen-elemen yang secara aktif melindungi anak-anak dari kesulitan. Intinya adalah sekolah pandai menciptakan suasana yang harmonis agar siswanya merasa tidak berbeda dari kaum mayoritas (Borman & Rachuba, 2001). Dengan kata lain, sekolah itu menggunakan cara untuk membuat lingkungan belajar yang positif, dimana kompetensi akademik dan perilaku siswa


(30)

didukung, lalu responsif terhadap kebutuhan siswa yang mengarah kepada pencapaian akademik, dan mengurangi masalah perilaku (Close & Solberg, 2007). Berdasarkan fenomena yang terjadi yaitu banyaknya anak nelayan yang putus sekolah dan beresiko putus sekolah tetapi tetap masih ada anak nelayan yang bertahan untuk meneruskan pendidikanya hingga ke jenjang sekolah menengah atas (SMA), maka peneliti tertarik ingin melihat gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir walaupun berada dalam kondisi yang membuatnya sulit dan mengalami banyak rintangan yang dapat mencegah kebanyakan anak dari latar belakang yang sama untuk tetap bersekolah.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian yaitu: ”Bagaimanakah gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir.


(31)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu psikologi pendidikan, khususnya resiliensi pada psikologi pendidikan yang berkaitan dengan resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya literatur dalam bidang Psikologi Pendidikan, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir.

b.

Bagi Pemerintah Daerah Setempat

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk lebih mempertimbangkan pentingnya aspek resiliensi bagi siswa SMA agar menjaga siswa SMA tidak putus sekolah dan mengurangi resiko putus sekolah pada masyarakat pesisir.


(32)

Sebagai masukan bagi siswa agar lebih memahami pentingnya resiliensi dalam hal mengingkatkan potensi diri siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah.

E. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini berisi teori - teori yang berkaitan dengan variabel yang diteliti, yaitu resiliensi, latar belakang terjadi putus sekolah dan masyarakat pesisir.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, instrumen atau alat ukur yang digunakan, dan prosedur penelitian serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV Analisis Data Dan Pembahasan

Terdiri dari analisis data dan pembahasan yang berisi tentang gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan/diskusi.

Bab V Kesimpulan Dan Saran

Merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.


(33)

BAB II

LANDASAN TEORI A. RESILIENSI

1. Definisi Resilliensi

Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.

Liquanti (1992), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja dimana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental. Masten & Coatswerth (dalam Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik.


(34)

Menurut Reivich dan Shatte (2002) yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan, bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dihadapi dalam kehidupannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk mampu bertahan dan tidak mengalah dalam situasi tertekan, sehingga terhindar dari kegagalan di sekolah dan mampu untuk beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.

2. Aspek-Aspek Resiliensi

Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan Emosi (Emotion Regulation)

Pengaturan emosi diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengatur emosi sehingga tetap tenang meskipun berada dalam situasi di bawah tekanan. Indikator perilaku dari pengaturan emosi, yaitu:

a. Mampu mengontrol perasaan ketika sedang menghadapi kesulitan

b. Mampu mengidentifikasi pemikiran sendiri dan bagaimana pemikiran tersebut bisa mempengaruhi kecenderungan berperilaku

c. Tetap mampu menjaga kestabilan emosi dan perilaku ketika berada pada situasi yang emosional


(35)

d. Bisa menjaga diri untuk tidak bertingkah laku secara emosional

e. Bisa menjaga emosi ketika berdiskusi dengan orangtua, guru, teman, dan pasangan

f. Bisa mengontrol emosi positif untuk membantu individu tetap fokus dalam penyelesaian tugas

g. Tidak mudah terbawa perasaan

h. Emosi tidak mempengaruhi kemampuan individu untuk fokus terhadap pekerjaan rumah, sekolah, maupun pekerjaan sampingan

i. Menggunakan kemampuan yang berkembang dengan baik untuk mengontrol emosi dan perilaku

j. Mudah diajak bekerja sama karena mudah mengatur emosi k. Mudah berteman karena memiliki kemampuan mengatur emosi

2. Kontrol Terhadap Impuls (Impuls Control)

Kontrol terhadap impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan impuls atau dorongan-dorongan dalam dirinya, kemampuan mengontrol impuls akan membawa kepada kemampuan berpikir yang jernih dan akurat. Indikator perilaku dari kontrol impuls, yaitu:

a. Tidak mudah terdistraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sedang dikerjakan


(36)

c. Mampu mendengarkan apa yang orang lain katakan terlebih dahulu sebelum menunjukkan sebuah reaksi ketika menghadapi komplain atau reaksi emosional dari orang lain

d. Memiliki prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati

e. Tidak mudah menyerah ketika segala sesuatu berjalan dengan tidak lancar f. Memiliki perencanaan terhadap pekerjaan, tugas ataupun keuangan

g. Memilih melakukan hal-hal secara terencana daripada secara spontan agar segala sesuatu berjalan baik

h. Jika menginginkan sesuatu, mampu melakukan perencanaan terlebih dahulu untuk mewujudkannya

3. Optimisme (Optimism)

Optimisme berarti individu memiliki kepercayaan bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan dan kontrol atas kehidupannya. Indikator perilaku dari optimisme, yaitu:

a. Lebih meyakini bahwa masalah itu dapat dikontrol meskipun pada kenyataannya itu tidak selalu benar

b. Mampu memahami penyebab dari sisi positif ketika menghadapi seseorang yang terlalu berlebihan dalam menghadapi masalah

c. Yakin bahwa setiap kerja keras pasti tidak sia-sia dan memberikan hasil d. Ketika berhadapan dengan situasi yang sulit, tetap yakin situasi sulit

tersebut dapat memiliki akhir yang baik e. Tidak cemas dengan kesehatan di masa depan


(37)

f. Setelah menyelesaikan suatu tugas, yakin tugas tersebut akan dievaluasi secara positif

g. Yakin segala suatu penyelesaian masalah berada di dalam kontrol individu h. Ketika berpikir tentang masa depan, individu melihat dirinya sebagai

orang yang sukses

i. Yakin segala hal yang buruk dapat berubah menjadi lebih baik

j. Merasa mampu melaksanakan tugas-tugas lebih baik daripada teman sekolah

k. Ketika sedang sakit, individu akan melakukan hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesempatan bagi kesembuhannya

4. Kemampuan Menganalisis Masalah (Causal Analysis)

Kemampuan menganalisis masalah pada diri individu dapat dilihat dari bagaimana individu dapat mengidentifikasikan secara akurat sebab-sebab dari permasalahan yang menimpanya. Indikator perilaku dari kemampuan menganalisis masalah, yaitu:

a. Ketika ada masalah yang muncul, individu memiliki berbagai alternatif solusi untuk mencoba menyelesaikannya

b. Ketika ada masalah yang muncul, individu memikirkan terlebih dahulu apa penyebabnya sebelum mencoba menyelesaikannya

c. Tidak menghabiskan waktu untuk memikirkan faktor-faktor yang berada di luar kontrol saya


(38)

d. Dalam sebagian besar situasi, individu yakin mampu mengidentifikasi penyebab sebenarnya dari masalah tersebut

e. Tidak terburu-buru dalam menyelesaikan masalah f. Tidak salah dalam menginterpretasi kejadian dan situasi

g. Tidak langsung mengambil keputusan atau kesimpulan ketika muncul suatu masalah

h. Bagi individu, lamanya menyelesaikan suatu masalah itu tidak penting, yang penting adalah pemahaman secara penuh terhadap masalah tersebut i. Jarang terjebak dalam melakukan kesalahan yang sama

5. Empati (Emphaty)

Empati merupakan kemampuan individu untuk bisa membaca dan merasakan bagaimana perasaan dan emosi orang lain. Indikator perilaku dari empati, yaitu:

a. Dengan hanya melihat ekspresi wajah seseorang, individu mampu memahami emosi yang sedang mereka alami

b. Jika seseorang sedang marah, sedih, atau malu, individu mampu memahami apa yang mungkin sedang mereka pikirkan

c. Jika teman sedang marah, individu cukup bisa mengerti alasan yang melatarbelakanginya

d. Cukup mudah bagi individu untuk terbawa dalam alur cerita sebuah film atau buku


(39)

e. Tidak sulit bagi individu untuk memahami alasan orang lain melakukan apa yang mereka lakukan

f. Orang-orang terdekat individu mengatakan kalau individu sangat mengerti mereka

g. Teman-teman individu mengatakan bahwa individu mampu mendengarkan apa yang mereka katakan, individu tidak mendominasi dalam setiap percakapan ketika orang lain sedang menceritakan permasalahannya

6. Efikasi Diri(Self-efficacy)

Efikasi diri mewakili kepercayaan individu bahwa individu mampu untuk mengatasi segala permasalahan disertai keyakinan akan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Indikator perilaku dari efikasi diri, yaitu:

a. Jika solusi pertama gagal, individu bisa kembali dan melanjutkan mencoba solusi yang berbeda sampai menemukan yang cocok

b. Berharap individu dapat melakukan segala sesuatu dengan baik

c. Orang-orang sering mencari individu untuk membantu mereka memecahkan masalah

d. Yakin memiliki kemampuan coping yang baik dan mampu berespon baik terhadap kebanyakan tantangan

e. Lebih menyukai sesuatu yang menantang untuk dilakukan


(40)

g. Tidak ragu terhadap kemampuan individu memecahkan masalah dalam rumah maupun pekerjaan

h. Lebih menikmati tugas yang kompleks dan berubah-ubah

i. Lebih suka menjadi pemimpin dalam suatu kelompok daripada menjadi anggota

7. Pencapaian(Reaching out)

Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya. Indikator perilaku dari pencapaian, yaitu:

a. Individu yang memiliki rasa ingin tahu yang besar b. Individu adalah orang yang suka mencoba hal-hal baru

c. Apa yang orang lain pikirkan tentang individu, tidak mempengaruhi perilaku individu tersebut

d. Melihat tantangan sebagai jalan untuk belajar dan meningkatkan diri e. Merasa nyaman berada dalam keadaan dimana individu satu-satunya orang

yang memiliki tanggung jawab f. Suka tantangan-tantangan baru

g. Suka bertemu dengan orang-orang baru h. Suka memiliki rutinitas yang baru


(41)

3. Sumber-sumber Resiliensi

Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan sumber yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Sumber tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi siswa), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik dan kemampuan berkomunikasi).

Grotberg (1995), mengemukakan sumber-sumber resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’. Sumber-sumber resiliensi yang dapat menggambarkan resiliensi pada individu.

1. I Have

I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah:

1) Trusting relationships

mengasihi dan menerima anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga.


(42)

2) Struktur dan aturan di rumah

anak mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak.

3) Role models

Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain.

4) Dorongan agar menjadi mandiri

Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak menjadi mandiri.

5) Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan

Anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit, dokter, sekolah, guru, layanan sosial, polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.

2. I Am

I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Sumber-sumbernya adalah:


(43)

1)Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik

Individu sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.

2) Mencintai, empati, dan altruistik

Individu mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata.

3) Bangga pada diri sendiri

Individu mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Individu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.

4) Otonomi dan tanggung jawab

Individu dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Individu merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut.


(44)

5) Harapan, keyakinan, dan kepercayaan

Individu percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini.

3. I Can

I Can adalah kemampuan interpersonal yang dimiliki individu. Sumber-sumbernya adalah:

1)Berkomunikasi

Individu mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain.

2) Pemecahan masalah

Individu dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara memecahkannya.

3) Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan

Individu dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, menyatakannya dengan kata-kata, perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri.

4)Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain

Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui


(45)

berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.

5) Mencari hubungan yang dapat dipercaya

Individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.

Apabila karakteristik resiliensi telah berkembang maka siswa tersebut dapat menjadi pribadi yang dapat beradaptasi dengan baik pada saat ia berhadapan dengan masalah sehingga dapat melampaui kemungkinan kegagalan dan akhirnya mampu melanjutkan kehidupannya dengan baik. Mungkin masih ada kekecewaan dan halangan yang ia hadapi, tetapi ia akan menjadi pribadi yang tangguh dan selalu bangkit kembali dari masalah yang dihadapi.

Setiap sumber dari I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi.


(46)

4. Konsep Berpikir Resiliensi

Untuk menciptakan konsep berpikir dalam melihat proses resiliensi ada beberapa komponen dasar yang digunakan. Empat dinamika sering didiskusikan dalam teori resiliensi yaitu (a) Risk factor, (b) Protektive factor, (c) Area vulnerability, (d) Strategy kompensatori (Kitano & Lewis 2005).

a. Risk Factor adalah kondisi lingkungan yang menetapkan siswa dalam situasi yang berbahaya. Misalnya seperti dikucilkan dalam sekolah, budaya kekerasan dan atau kurangnya perhatian orang tua. Kondisi tersebut ataupun kondisi lain yang mirip kondisi tersebut dapat menempatkan siswa dalam kategori “At-risk”

b. Protektive Factor adalah kekuatan siswa yang bekerja dalam mengatasi risk factor. Misalnya seperti hubungan yang saling peduli, etos kerja yang tinggi, internal locus of control, ataupun berada dalam komunitas yang mendukung.

c. Area Vulnerability adalah aspek yang spesifik dari seorang siswa yang membuatnya berada dalam situasi yang problematik. Misalnya seperti gender, kelas sosial, ras-etnis adalah kondisi yang rentan dan berpotensial, tergantung pada dinamika situasi psikososial yang ada.

d. Strategy Kompensatori adalah taktik yang dikembangkan oleh siswa untuk melidungi dirinya dari kondisi yang rentan dan berkontribusi terhadap hasil akademik yang positif.

Hubungan antara Risk factor, Protektive factor, Area vulnerability dan Strategy kompensatori itulah yang menciptakan resiliensi (Kitano & Lewis 2005).


(47)

5. Protective dan Risk Factor

Studi resiliensi tidak terlepas dari pembahasan tentang protective factor (faktor penyeimbang atau pelindung) dan risk factor (faktor beresiko). Roberts (2007) menyatakan bahwa resiliensi merupakan istilah yang muncul dari riset tentang protective factor dan risk factor. Risk factor merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan terhadap distress. Konsep risk dalam penelitian resiliensi untuk menyebutkan kemungkinan terdapatnya maladjusment (ketidakmampuanmenyesuaikan diri) dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti: anak yang tumbuh pada keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah, tumbuh di daerah yang terdapat kekerasan, dan pengalaman trauma. Faktor resiko ini dapat berasal dari faktor genetik seperti penyakit sejak lahir, faktor psikologis, lingkungan dan sosioekonomi yang mempengaruhi kemungkinan terdapatnya kerentanan terhadap stres. Faktor-faktor ini mempengaruhi individu baik secara afektif maupun kognitif (Schoon, 2006).

Penelitian-penelitian terhadap kelompok yang beresiko (risk factor) menemukan bahwa tidak semua orang berada pada kondisi beresiko mengalami maladjusment. Penelitian-penelitian lain juga mencatat bahwa anak yang tumbuh pada kondisi yang menekan atau beresiko dapat tumbuh dan beradaptasi secara positif. Hal inilah yang menjadi fokus para peneliti yaitu untuk melihat faktor-faktor apa yang dapatmenyebabkan individu mampu beradaptasi positif meskupin berada pada kondisi yang bersiko. Kualitas-kualitas ini mengacu pada istilah protective factor.


(48)

Protective factor (faktor pelindung) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut faktor penyeimbang atau melindungi dari risk factor (faktor yang memunculkan resiko) pada individu yang resilien (Riley, 2005). Sebagaimana yang dinyatakan Werner (2005) bahwa banyak hal yangdapat menjadi protective factor bagi seseorang yang resilien ketika berhadapan dengan kondisi yang menekan. Dalam penelitiannya Werner (2005) menemukan kualitas-kualitas individu yang dapat menjadi protective factor yang memungkinkan seseorang dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan mereka yaitu antara lain kesehatan, sikap yang tenang (easygoing), kontrol emosi, kompetensi intelektual, internal locus of control, konsep diri yang positif, kemampuan perencanaan, dan kualitas keimanan (Werner, 2005).

Protective factor dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu internal protective factor dan external protective factor. Internal protective factor merupakan protective factor yang bersumber dari individu seperti harga diri, efikasi diri, kemampuan mengatasi masalah, regulasi emosi, dan optimisme. Sedangkan external protective factor merupakan protectivefactor yang bersumber dari luar individu seperti suport dari kelurga dan lingkungan (McCubbin, 2001).

Sedikit berbeda dengan pembagian oleh McCubbin, Schoon membagi faktor yang mendukung resiliensi seseorang (protective factor) kedalam aspek individu, keluarga dan komunitas. Protective factor dari aspek individu antara lain intelegensi, kemampuan sosial, dan aspek individu lainnya. Aspek keluarga terkait dengan dukungan keluarga ketika seseorang menghadapi tekanan. Sedangkan


(49)

aspek komunitas berkenaan dengan aspek lingkungan yang dapat menjadi pendukung bagi individu ketika menghadapi sebuah tekanan (Schoon, 2006).

Risk factor dan protective factor berhubungan dan saling berpengaruh secara interaktif. Protective factor, khususnya, menjadi penting ketika individu menghadapi faktor beresiko (Roberts, 2007). Ada beberapa cara bagaimana kedua faktor ini saling berhubungan. Protective factor dapat bekerja dengan mengurangi atau meringankan stress ketika terdapat faktor beresiko. Sebagai contoh, dukungan orang tua dapat mengurangi resiko anak yang mengalami hubungan sosial yang kurang baik. Protective factor dapat mencegah dari terjadinya faktor beresiko. Sebagai contoh, Morriset (dalam Roberts, 2007) melaporkan bahwa anak yang mempunyai temperamen yang periang dan cara yang sehat dalam bergaul dapat memunculkan reaksi yang positif terhadap teman sebayanya yang mempunyai kecendrungan nakal. Selain itu protective factor juga dapat bekerja dengan memutus rantai dari faktor beresiko. Misalnya, konflik keluarga merupakan faktor beresiko yang dapat memunculkan penggunaan narkoba pada anak. Dengan adanya protective factor hal tersebut dapat diputus, contohnya dengan adanya teman sebaya yang baik dan mempunyai pengaruh yang positif akan memutus resiko akan terlibatnya anak pada narkoba (Roberts, 2007).

6. Level Resiliensi

Level resiliensi merupakan periode atau tahapan sebagai hasil ketika seseorang menghadapi sebuah ancaman atau kondisi yang menekan. Terkait dengan masalah ini O’Leary dan Ickovics (dalam Coulson, 2006) menyebutkan


(50)

empat level yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami situasi yang cukup menekan yaitu succumbing,survival, recovery, dan thriving.

1. Succumbing (Mengalah)

Merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi yang menurun dimana individu mengalah (succumbs) atau menyerah setelah menghadapi suatu ancaman atau kondisi yang menekan. Level ini merupakan kondisi ketika individu menemukan atau mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi mereka. Penampakan (outcomes) dari individu yang berada pada kondisi ini berpotensi mengalami depresi, narkoba sebagai pelarian, dan pada tataran ekstrim bisa menyebabkan individu bunuh diri.

2. Survival (Bertahan)

Pada level ini individu tidak mampu meraih atau mengembalikan fungsi psikologis dan emosi yang positif setelah saat menghadapi tekanan. Efek dari pengalaman yang menekan sangat melemahkan mereka yang membuat mereka gagal untuk kembali berfungsi secara wajar (recovery), dan berkurang pada beberapa respek. Individu pada kondisi ini bisa mengalami perasaan, perilaku dan kognitif yang negatif yang berkepanjangan seperti menarik diri dalam hubungan sosial, berkurangnya kepuasaan kerja, dan depresi.

3. Recovery (Pemulihan)

Merupakan kondisi ketika individu mampu pulih kembali (bounce back) pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan dapat beradaptasi terhadap kondisi yang menekan, meskipun masih menyisahkan efek dari perasaan yang


(51)

negatif. Dengan demikian individu dapat kembali beraktivitas dalam kehidupan sehari-harinya, mereka menunjukkan diri mereka sebagai individu yang resilien. 4. Thriving (Berkembang dengan pesat)

Pada kondisi ini individu tidak hanya mampu kembali pada level fungsi sebelumnya setelah mengalami kondisi yang menekan, namun mereka mampu melampaui level ini pada beberapa respek. Proses pengalaman menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan dan menantang hidup mendatangkan kemampuan baru yang membuat individu menjadi lebih baik. Hal ini dapat termanifestasi pada perilaku, emosi dan kognitif seperti sense ofpurpose of in life, kejelasan visi, lebih menghargai hidup, dan keinginan akan hubungan sosial yang positif.

B. LATAR BELAKANG TERJADINYA ANAK BERESIKO PUTUS

SEKOLAH

Hampir disetiap tempat banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan terutama di daerah pesisir pantai, banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Pendidikan putus di tengah jalan disebabkan karena berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan, salah satunya disebabkan oleh kondisi ekonomi orangtua yang memprihatinkan. Kondisi ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan dan menyelesaikan pendidikannya. Hal ini disebabkan berbagai faktor, diantaranya orangtua tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan dan faktor lainnya (Nata, 2003).


(52)

Kondisi ekonomi masyarakat berbeda-beda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anak beresiko putus sekolah antara lain adalah:

1. Keadaan Kehidupan Keluarga

Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah (pendidikan formal), akan tetapi dapat juga berlangsung di dalam keluarga (pendidikan informal). Keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya anak dalam pendidikan, karena pendidikan yang pertama dan utama diterima oleh anak adalah di dalam keluarga. Orang tua bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Begitu anak dilahirkan ke dunia masih dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya, pada saat itu sangat membutuhkan bantuan terutama dari kedua orangtua dan anggota keluarga yang lainnya sampai anak menjadi dewasa. Disinilah anak memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman, baik yang berupa susah, gembira dan kebiasaan-kebiasaan lain, seperti larangan, celaan, pujian dan juga sikap kepemimpinan orang tuanya, kesemuanya ini ikut mempengaruhi jiwa anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung (Farmadi, 2004).

Keadaan sebuah rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendidikan anak, karena di dalam keluarga anak menerima kesan-kesan yang


(53)

merupakan pengalaman pertama setelah seorang anak dilahirkan. Kalau di dalam rumah tangga sering terjadi pertengkaran antara ibu dan ayah, maka ini akan berakibat pada mental si anak dan akan mengakibatkan anak minder dalam pergaulan, sehingga anak akan malas pergi ke sekolah bahkan bisa mengakibatkan anak meninggalkan sekolahnya. Pendidikan dari keluarga sangat menentukan pendidikan yang akan menentukan corak kehidupan anak. Selanjutnya juga tingkat pendidikan orangtua ikut mempengaruhinya. Hal seperti ini sering kita lihat pada keluarga yang mampu ekonominya dan tidak mempunyai pendidikan, belum tentu bisa berhasil dalam masalah pendidikan bagi anak-anaknya. Sebaliknya keadaan keluarga yang ekonominya kurang tetapi banyaknya pengetahuan yang dimiliki maka sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam bidang pendidikan.

Kemudian kehidupan seorang anak dalam keluarga sangat mendambakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Hal ini sesuai dengan sumber resiliensi “I

Have” (Grotberg, 1995), yaitu

teman-teman yang mengasihi dan menerima anak. Dalam hal ini orang tua dituntut sangat hati-hati dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, agar tidak terlalu dimanjakan. Dalam memberikan kasih sayang kepada anak tidak perlu berlebih-lebihan, karena hal itu dapat menghilangkan rasa tanggung jawab yang ada pada diri anak dan memungkinkan si anak dapat menunjukkan sikap-sikap dan cara bertingkah laku yang tidak baik. Apabila seorang anak yang mendapat kasih sayang secara berlebih-lebihan dari keluarganya, maka dalam


(54)

tindakan mereka sering menuruti kata hatinya sendiri. Dengan demikian setiap perbuatan yang mereka lakukan kebanyakan cenderung ke arah yang tidak baik yang dapat menjadikan dirinya sebagai penjahat, pemalas dan sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan anak putus sekolah serta terbengkalai pendidikannya.

2. Keadaan Ekonomi Orang Tua

Lemahnya keadaan ekonomi orangtua adalah salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi orangtua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Hal ini sudah masuk dalam konsep risk dalam penelitian resiliensi, yaitu terdapatnya maladjusment (ketidakmampuan menyesuaikan diri) dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti anak yang tumbuh pada keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah.

Bila dilihat dari segi perkembangan zaman sekarang, biaya pendidikan yang setiap tahun terus meningkat, kebutuhan pokok masyarakat terus meningkatkan harganya sedangkan mata pencahariannya semakin merosot, sehingga keadaan kehidupan semakin sulit dan melarat. Hal seperti ini akan mengakibatkan anak tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena terpaksa membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu pendidikan anak terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam bekerja (Nata, 2003).

Pendidikan anak terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam bekerja sering terjadi di kalangan keluarga yang kurang mampu dan akibatnya pendidikan


(55)

anak terhambat. Dalam hal ini faktor dana dalam dunia pendidikan sangat menentukan. Jika tanpa adanya dana yang cukup, tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan pendidikan yang sempurna. Hal seperti inilah yang dapat menjadikan seorang anak menjadi putus sekolah.

Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu sebagian besar merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah; yaitu semata-mata bergantung pada hasil tangkapan yang bersifat musiman. Faktor non alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak, dan pendidikan yang rendah untuk anak-anaknya (Kusnadi 2003).

3. Keadaan Sekolah

Lingkungan sekolah merupakan suatu situasi yang sangat erat kaitannya dengan anak putus sekolah. Dimana sekolah merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh pendidikan dan pengetahuan kepada anak, serta berusaha agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di sekolah guru mengajarkan seorang anak untuk bisa bertanggung jawab baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.

Dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan seperti, fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya. Sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan bagi anak, tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai, sedangkan


(56)

di negara Republik Indonesia sarana baik gedung sekolah maupun ruangan sekolah masih adanya kekurangan, jumlah gedung atau ruangan yang ada tidak dapat menampung seluruh aspek usia sekolah, sehingga masih ada anak yang terpaksa meninggalkan masa sekolahnya (Baharuddin, 1982).

Selain masalah kurangnya sarana dan alat-alat sekolah, terdapat juga masalah tenaga pengajar, yaitu kurangnya tenaga guru. Guru sangat menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah. Disamping perlu banyaknya jumlah tenaga pengajar juga sangat diperlukan kemampuan dan sifat-sifat seorang guru yang baik. Guru harus sanggup menciptakan suasana yang harmonis. Disekolah para guru dapat memberikan contoh-contoh yang baik dalam proses pendidikan dan pengajaran pada murid (Baharuddin, 1982). Daradjat (1980) guru mempunyai peranan sangat penting dalam pendidikan anak, jika guru tidak ada maka bisa mengakibatkan anak putus sekolah.

4. Keadaan Masyarakat

Masalah kehidupan anak bukan saja berlangsung di dalam rumah tangga dan sekolah, tetapi sebahagian besar kehidupannya berada dalam masyarakat yang lebih luas. Kehidupan dalam masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun negatif. Hal ini menunjukkan bahwa anak akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain (Harahap, 1981).


(57)

Masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan anak, karena di lingkungan masyarakat terdapat berbagai pengaruh. Pengaruh tersebut ada yang positif dan ada yang negatif yang ditimbulkan dari lingkungan masyarakat. Keadaan anak sejak ia dibesarkan di tengah-tengah masyarakat, maka apa saja yang ditemukan di dalamnya itulah menjadi pedoman yang akan dicontohnya. Sebagaimana diketahui bahwa insting pada anak cukup kuat, sehingga anak akan sangat mudah terpengaruh oleh tindakan-tindakan yang ada di lingkungan di mana ia berada (Harahap, 1981).

Masyarakat sebagai ruang gerak dimana para remaja dalam pengembangan diri, menemukan diri dan menetapkan diri, turut berperan dalam memberikan corak khusus sesuai dengan yang masyarakat, namun masyarakat itu sanggup untuk membentuk anak sebagai seorang pilihan dalam masyarakat. Jadi kehidupan manusia di dalam masyarakat terdapat hubungan timbal balik dalam mengembangkan, menetapkan dirinya, serta turut berperan dalam memberikan corak yang sesuai dengan kehidupan masyarakat yang ada di lingkungannya (Singgih, 1985). Masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal. Lingkungan masyarakat pesisir sudah mengenalkan cara mendapatkan uang dengan mudah bahkan semenjak anak-anak pun sudah ikut mendapatkan uang dengan mudah untuk mendapatkannya. Disinilah peranan orang tua sangat diharapkan oleh anak


(58)

Apabila orangtua kurang memperhatikan tentang kehidupan anak dalam masyarakat, maka segala tindakan, sikap serta perbuatan masyarakat yang tidak baik dengan mudah akan diterima oleh anak begitu saja. Hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk pergaulan dan perbuatan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tanggapan terhadap pendidikan anak dan perkataan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tantangan terhadap pendidikan anak, dengan demikian cepat atau lambatnya hal tersebut dapat mengakibatkan seorang anak putus sekolah.

Berdasarkan keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadinya putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keadaan ekonomi orang tua yang tidak stabil juga sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana adalah salah satu penunjang bagi anak untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif.

C. MASYARAKAT PESISIR

1. Definisi Masyarakat Pesisir

Pengertian masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Oleh karena itu terlebih dahulu memahami tentang definisi masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alifianto, A. (2008). Kuliah Kerja Nyata Wajib Belajar 9 Tahun. [online]. http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com. Tanggal akses 06 Maret 2011.

Al-Husaini, A. H. (2003). Pendidikan Anak Menurut Islam (Terjemahan Abdullah Mahadi), cet.I, Bandung: Sinar baru Al-Gensiondo.

Anggraini, E. (2000). Menyelamatkan Generasi Nelayan. [online]. www.SuaraKaryaOnline.com. Tanggal akses 06 Maret 2011.

Audiyahira, J. (2010). 13 Juta Anak Terancam Putus Sekolah. [online].

Harahap, A.H. (1981). Bina Remaja. Medan: Yayasan Bina Pembangunan Indonesia.

Axford, K., M. (2007). Attachment, Affect Regulation, and Resilience in Undergraduate Students. Dissertation, Walden University, hlm. 63.

Azwar, S. (1999). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_______. (1999). Penyusunan skala psikologi (edisi 1). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

_______. (2001). Methodology Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. _______. (2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Baharuddin, M. (1982). Putus Sekolah dan Masalah Penanggulangannya, Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda 66.

Balfanz, B., Legters, N. (2004). Locating the dropout crisis: Which high schools produce the nation’s dropouts? Where are they located? Who attends them?. Center for Research on the Education of Students Placed At Risk, Baltimore, MD: Johns Hopkins University.

Bandura, Albert. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H Freeman and Company.

Benard, B. (1991). Fostering resiliency in kids: Protective factors in the family, school, and community. Portland, OR: Northwest Regional Educational Laboratory. (ERIC Document Reproduction Service No. ED335781).


(2)

Bobey, Mary. (1999). Resilience : The ability to Bounce Back from Adversity. American Academy of Pediatric. Available

Bryan, J. A. (2005). Fostering Educational Resilience and Achievement in Urban Schools Through School-Family-Community Partnerships. Professional School Counseling. 8:3.

Brown, J. H., D'Emidio-Caston, M., & Benard, B. (2001). Resilience education. U.S.; California: Corwin Press.

Close, W. & Solberg, S. (2007). Predicting achievement, distress and retention among lower-income Latino youth. Journal of Vocational Behavior, 72, pp. 31-42.

Coulson, R. (2006). Resilience and Self-Talk in University Students. Thesis University of Calgary, hlm. 5.

Dahuri, R. (2001). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Dahuri, R. (2004). Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.

Daftar Tabel Data Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 2009/2010. Daradjat, Z. (1975). Pendidikan Rumah Tangga Dalam Pembinaan Mental.

Jakarta: Bulan Bintang.

Davis, N. J. (1999). Subtance Abuse and Mental Health Services Administration Center for Mental Health Services Division of Program Development, Special Populations & Projects Special Programs Development Branch (301), pp.443-2844. Status of Research and Research-based Programs. HYPERLINK. [online]. Tanggal akses 20 Febuari 2011.

Fakhrudin, A. & Yulianto. G. (2008). Karakteristik sosial ekonomi masyarakat.

Pesisir.[online].

Farmadi. (2004). Selamatkan Anak-Anak dari Putusnya Pendidikan. Semarang: Mujahid Press.


(3)

Fathul. (2002). Peran Komunitas dalam Pengasuhan. [online].

September 2011.

Garmenzy, N. (1991). Resiliency and vulnerability to adverse developmental outcomes associated with poverty. American Behavioral Scientist, 34(4), 416–430.

Gordan, E., & Song, L. (1994). Variations in the experience of educational resilience. In M. Wang, & E. Gordan (Eds.), Educational resilience in inner-City America: Challenges and prospects (pp. 27–43). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.

Grahacendikia. (2009). Anak Putus Sekolah dan Cara Pembinaannya. [online]. Tanggal akses 06 Maret 2011.

Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development: Practice and Reflections. Number8. The Hague: Benard van Leer Voundation.

Hadi, S., (2000). Metodologi research. Jilid I, II & III. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. and Black, W.C. (2006). Multivariate

Data Analysis. Sixth Edition. Prentice Hall International: UK.

Hasanuddin, B. (2000). Diundur Hingga 2009, Penuntasan Wajib Belajar

Sembilan Tahun. [online].

Kompas. Edisi 3 Maret. Tanggal akses 06 Maret 2011.

Holaday, M. (1997). Resilience and Severe Burns. Journal of Counseling and Development.75. 346-357.

Johnson, N. And Wichern, D. (2002). Applied Multivariate Statistical Analysis. Prentice-Hall. Englewood Cliffs. N.J.

Kalyanamitra. (2005). Kuingin Anak nelayan Pintar. Kompas Cyber Media. [online]. w

Kiroyan, J. (2010). 13 Juta Anak Terancam Putus Sekolah. [online].


(4)

Kitano, M. K., & Lewis, R. B. (2005). Resilience and coping: Implications for gifted children and youth at risk. Roeper Review, 27(4), 200–215.

Klohnen, E.C. (1996). Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p 1067-1079.

Kurniawan, I., N. & Vita R. (2008). Pengaruh Pelatihan Resiliensi terhadap Perilaku Asertif pada Remaja. Jurnal Psikologi Islam, Vol. 5, Nomor 1, hlm. 93-105. ada, berorientasi pada tujuan, pencarian dukungan dari orang lain, rasa humor (sense of humor) dan efikasi diri (self-efficacy).

Kusnadi. (2003). Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogyakarta.

Latief. (2009). Siswa SD Putus Sekolah. [online].

Liquanti, R. (1992). Using Community-wide Collaboration to Foster Resiliency in Kids: A Conceptual Framework Western Regional Center For Drugs-Free School and Communities. Far West Laboratory fo Educational Research and Development. San Fransisco. [online].

Tanggal akses 20

Febuari 2011.

Lusiana. (2010). Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Berpengaruh Terhadap Motivasi Anak Nelayan Untuk Sekolah. [online]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17858/7/Cover.pdf.

Tanggal akses 25 April 2011.

Mendiola, J. J. (2006) . A Case of Resilience at a Local Bay Area School: Defying the Odds. International Comparative Education. School of Education. Stanford University.

McCubbin, L. (2001). Chalange to The Definition of Resilience. Paper presented at The Annual Meeting of The American Psychological Association in San Francisco, 24-28 Agustus 2001, hlm. 9.

Morales, E. E. (2008). Exceptional Female Students of Color: Academic Resilience and Gender in Higher Education. Innovative Higher Education. 33:197–213.

Morales, E. E., & Trotman, F. (2004). Promoting academic resilience in multicultural America: Factors affecting student success. New York, NY: Peter Lang.


(5)

Muhadjirin. (2009). Sosiologi Pedesaan Masyarakat Pesisiran. [online]. Tanggal akses 25 April 2011.

Mulyadi, S. (2005). Ekonomi Kelautan. Jakarta: Rajawali Pers.

Nata, A. (2003). Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, ed. 1, cet. 1, Jakarta: Kencana.

Nikijuluw, V.P.H. (2001). Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. Jakarta: Kerja Sama Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo.

Nusajaya. (2011).. Maret 2011.

Pengemanan, A.P. (2002). Sumber daya Manusia (SDM) Masyarakat Nelayan. [online]. http://tumoutou.net/702_05123/group_a_123.htm. Tanggal akses 30 Maret 2011.

Prasodjo, I. (2005). Remaja berdamai dengan kekerasan dan kriminalitas. [online]

Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor; 7 Essential Skill For Overcoming Life’s Inevitable Obstacle. New York, Broadway Books. Riley, J., R., & Masten, A. S. (2005). Resilience in Context. Dalam Peters dkk.,

Resilience in Children, Families and Community: Linking Context to Practice and Policy. Plenum Publisher, New York, hlm. 16.

Roberts, K., A. (2007). Self-Efficacy, Self-Concept, and Social Competence as Resources Supporting Resilience and Psychological Well-Being in Young Adults Reared within The Military Community. Dissertation, Fielding Graduate University, hlm. 18.

Rudkin, J.K. (2003). Community Psychology: Guiding Principles and Orienting Concepts. New Jersey: Prentice Hall.

Santrock, Jhon, W. (2003). Life-Span development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Schoon, I. (2006). Risk and Resilience: Adaptation in Changing Times. Cambridge University Press, New York, hlm. 8.

Sharma, S. (1996). Applied Multivariate Techniques. New-York: John Wiley & Sons, Inc.


(6)

Singgih D.G dan Ny. Y. Singgih D. G. (1985) Psikologi Remaja, Jakarta: Gunung Mulia.

Sudarso. (2005). Tekanan Kemiskinan Struktural Komunitas Nelayan Tradisonal di Perkotaan. Universitas Airlangga.

Suhana. (2006). Krisis Sumberdaya Manusia Nelayan (Memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2006). [online]. http://ocean.iuplog.com. Tanggal akses 02 Maret 2011.

Sulistyowati, L. (2003). Analisis Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Gugus Kepulauan. [online]. http://tumoutou.net/702_07134/venda_i_pical.htm. Tanggal akses 8 Maret 2011.

Surachmad, W. (1977). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kesehatan.

Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Vembriarto. (1975) Pendidikan Sosial. Jilid II. Yogyakarta: Paramita.

Wang, M. C., Haertel, G.D., & Walberg, H. J. (1997). Fostering educational resilience in inner-city schools. Children and Youth, 7, 119–140.

Waxman, H. C., Gray, J.P., & Padron, Y. N. (2003). Review of Research on Educational Resilience (p.1). CA: Center for Research on Education, Diversity & Excellence.

Winengan. (2007).[online]. Tanggal akses 14 November 2011.

Werner, Emmy, E. (2005). Resilience Research: Past, Present, and Future. Dalam Peters dkk., Resilience in Children, Families and Community: Linking Context to Practice and Policy. Plenum Publisher, New York, hlm. 5.