Perbedaan Adversity Quotient antara Siswa Pribumi di Sekolah Pembauran dengan Siswa Pribumi di Sekolah Negeri di Kota Medan

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

Laili Isrami

111301020

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Perbedaan Adveristy Quotient antara Siswa Pribumi di Sekolah Pembauran dengan Siswa Pribumi di Sekolah Negeri di Kota Medan

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 30 April 2015

Laili Isrami NIM 111301020


(3)

ABSTRAK

Adversity Quotient (AQ)adalah kapasitas seseorang dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup secara teratur. Sekolah pembauran adalah sekolah yang berisikan mayoritas etnis Tionghoa. Siswa yang bersekolah di sekolah pembauran memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh siswa yang bersekolah di sekolah negeri dikarenakan faktor lingkungan. AQ seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan adversity quotient antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumi di sekolah negeri di kota Medan. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 47 orang siswa pribumi kelas XI dari sekolah pembauran dan 50 orang siswa pribumi kelas XI dari sekolah negeri, menggunakan teknik pengambilan sampel cluster random samplinguntuk sekolah negeri.Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala adversity quotientyang dirancang berdasarkan teori dimensi adversity quotient oleh Stoltz (2004). Data penelitian dianalisis menggunakan uji U sampel independen. Berdasarkan hasil analisa data, diperoleh tidak ada perbedaan signifikanadversity quotient antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumidi sekolah negeri di kota Medan dengan nilai signifikasi (p= 0,054 > 0,05).

Kata kunci: Adversity quotient, siswa pribumi, sekolah negeri, sekolah pembauran


(4)

ABSTRACT

Adversity Quotient (AQ) is the capacity of the person to deal with adversities of life regularly. Pembauran school is the school that contains Tionghoa ethnic as majority. Students who are study in pembauran school have unique characteristic which arenot owned by students of public school because of environmental factors. AQ is also affected by environmental.

This research aims to see the difference of adversity quotient betweenindigenousstudents in pembauran school with indigenousstudents in public school in Medan city. The number of samples in this study were 47 indigenousstudents from pembauran school and 50 indigenousstudents from public school, which was collected using cluster random samplingfor public school.Measuring instruments used in this study is Adversity Quotient Scale, which is designed based on dimension theory of adveristy quotient by Stoltz (2004). The research data were analyzed using independent samples U test. The finding suggest there is no significant difference of adversity quotient between pribumistudents in pembauran school with pribumistudents in public school in Medan city with significant value (p= 0,054 > 0,05).

Keywords:Adversity quotient, indigenousstudents, public school, pembauran school


(5)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas rahmat kesehatan, kelapangan hati dan pikiran, ilmu dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Perbedaan Adversity Quotient antara Siswa Pribumi di Sekolah Pembauran dengan Siswa Pribumi di Sekolah Negeri di Kota Medan” dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan.

Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

2. Rr. Lita Hadiati Wulandari, M.Pd, Psikolog selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih atas bimbinganwaktu, kesempatan yang telah diberikan dari awal seminar hingga skripsi ini diselesaikan.

3. Filia Dina Anggaraeni, M.Pd selaku Dosen Penguji Skripsi. Terima kasih atas bimbingan revisi dan dukungan yang telah diberikan sehingga isi skripsi ini lebih baik lagi.

4. Lili Garliah, M.Si selaku Dosen Penguji Skripsi. Terima kasih atas bimbingan revisi yang telah diberikan sehingga isi skripsi ini lebih baik lagi.

5. Kepala Sekolah SMAN 4 Medan; Supiah, S.Pd,.Kons selaku kepala Bimbingan dan Konseling SMAN 4 Medan dan seluruh guru serta siswa kelas XI SMAN 4 Medan


(6)

7. Kedua orang tua penulis, Alm.H.Ir. Panusunan Nasution dan Hj.Ir. Vivi Khairani yang selalu menjadi sumber motivasi penulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Serta kedua adik penulis, Muhammad Reza Nasution dan Rahma Cesiyanti.

8. Sahabat penulis yang selalu mendukung dan membantu penulis melewati masa-masa pengerjaan skripsi dan bangku perkuliahan, Ratri Pramuwidyandari, Haifa Chairunnisa, Winda Lidya Sari, Nurul Fadhillah, Zulfa Dzatarohmah, Fadiah Atikah, Faurantia Sigit, Maghfirah Faraidiany serta Muhammad Farhan Fuady, terima kasih untuk selalu menjadi inspirasi penulis dari dulu hingga sekarang.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan yang membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 30 April 2015


(7)

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

1. Manfaat Teoritis ... 11

2. Manfaat Praktis ... 11

E. Sistematika Penulisan... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

A. Adversity Quotient ... 13

1. Pengertian Adversity Quotient ... 13

2. Faktor-Faktor Pembentuk Adversity Quotient ... 15

3. Dimensi AdversityQuotient ... 16

4. Tipe Siswa Berdasarkan Tingkat Adversity Quotient... 17


(8)

D. Adversity Quotientpada Siswa Pribumi di Sekolah Pembauran dan

Siswa Pribumi di Sekolah Negeri... 21

E. Hipotesa Penelitian ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

A. Jenis Penelitian ... 25

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 25

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 26

1. Adversity Quotient ... 26

2. Sekolah Pembauran ... 27

3. Sekolah Negeri ... 27

4. Siswa Pribumi ... 28

D. Populasi, Sampel, Metode Pengambilan Sampel ... 28

1. Populasi ... 28

2. Sampel ... 28

3. Metode Pengambilan Sampel ... 28

E. Metode Pengumpulan Data ... 30

1. Alat Ukur Adversity Quotient ... 30

2. Uji Validitas Alat Ukur ... 32

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 32


(9)

G. Metode Analisa Data ... 34

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Analisa Data ... 35

1. Gambaran Subjek Penelitian ... 35

2. Hasil Penelitian ... 36

a. Hasil Uji Asumsi Data Penelitian ... 36

1) Uji Normalitas ... 36

2) Uji Homogenitas Varians ... 37

b. Hasil Uji Hipotesa Penelitian ... 38

B. Pembahasan ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. Kesimpulan ... 43

B. Saran ... 43


(10)

Tabel 3.2. Bobot Setiap Aspek Adveristy Quotient ... 31

Tabel 4.1. Gambaran Umum Subjek ... 36

Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas ... 37

Tabel 4.3. Hasil Uji Homogenitas ... 37

Tabel 4.4. Statistik Kelompok ... 38


(11)

Lampiran 2.Hasil Uji Reliabilitas Dan Daya Beda Aitem ... 52

Lampiran 3.Hasil Uji Normalitas ... 60

Lampiran 4.Hasil Uji Homogenitas... 63

Lampiran 5.Hasil Uji Hipotesis ... 65


(12)

ABSTRAK

Adversity Quotient (AQ)adalah kapasitas seseorang dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup secara teratur. Sekolah pembauran adalah sekolah yang berisikan mayoritas etnis Tionghoa. Siswa yang bersekolah di sekolah pembauran memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh siswa yang bersekolah di sekolah negeri dikarenakan faktor lingkungan. AQ seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan adversity quotient antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumi di sekolah negeri di kota Medan. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 47 orang siswa pribumi kelas XI dari sekolah pembauran dan 50 orang siswa pribumi kelas XI dari sekolah negeri, menggunakan teknik pengambilan sampel cluster random samplinguntuk sekolah negeri.Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala adversity quotientyang dirancang berdasarkan teori dimensi adversity quotient oleh Stoltz (2004). Data penelitian dianalisis menggunakan uji U sampel independen. Berdasarkan hasil analisa data, diperoleh tidak ada perbedaan signifikanadversity quotient antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumidi sekolah negeri di kota Medan dengan nilai signifikasi (p= 0,054 > 0,05).

Kata kunci: Adversity quotient, siswa pribumi, sekolah negeri, sekolah pembauran


(13)

ABSTRACT

Adversity Quotient (AQ) is the capacity of the person to deal with adversities of life regularly. Pembauran school is the school that contains Tionghoa ethnic as majority. Students who are study in pembauran school have unique characteristic which arenot owned by students of public school because of environmental factors. AQ is also affected by environmental.

This research aims to see the difference of adversity quotient betweenindigenousstudents in pembauran school with indigenousstudents in public school in Medan city. The number of samples in this study were 47 indigenousstudents from pembauran school and 50 indigenousstudents from public school, which was collected using cluster random samplingfor public school.Measuring instruments used in this study is Adversity Quotient Scale, which is designed based on dimension theory of adveristy quotient by Stoltz (2004). The research data were analyzed using independent samples U test. The finding suggest there is no significant difference of adversity quotient between pribumistudents in pembauran school with pribumistudents in public school in Medan city with significant value (p= 0,054 > 0,05).

Keywords:Adversity quotient, indigenousstudents, public school, pembauran school


(14)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sekolah merupakan lembaga formal yang memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peranan tersebut berupa kesempatan yang diperoleh siswa untuk mempelajari informasi, mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan teman sebaya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu meningkatkan potensi diri peserta didik (Kemendiknas, 2010). Sekolah di Indonesia terdiri dari beberapa jenis berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 11 dan 16. Beragam jenis tersebut ialah sekolah formal standar yang masih memiliki beberapa kekurangan terkait standar nasional hingga sekolah bertaraf internasional (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, 2005).

Saat ini Indonesia akan segera memasuki era masyarakat ekonomi ASEAN yang menjadikan peningkatan kompetensi dan kualitas generasi muda sangat penting dilakukan agar para generasi muda ini siap menghadapi persaingan global. Usaha yang dapat dilakukan salah satunya di bidang pendidikan dimana anak dituntut memiliki prestasi akademik yang baik. Alasan tersebut menjadikan orang tua lebih selektif dalam hal memilih sekolah bagi anak mereka. Sekolah dengan akreditasi sangat baik dan reputasi cemerlang pada bidang akademis maupun fasilitas yang dimiliki menjadi pilihan utama bagi para orangtua. Bahkan


(15)

banyak orang tua yang mengabaikan aspek lain yang dapat mengganggu proses belajar anak mereka jika kelak menimba ilmu di sekolah tersebut. Padahal tujuan awal bersekolah adalah memperoleh ilmu pengetahuan setinggi-tingginya agar mencapai kompetensi diri yang maksimal sehingga berprestasi di sekolah dan memiliki jenjang karir yang memumpuni kedepannya. Hal ini didukung dari hasil komunikasipersonal sebagai berikut :

“ Sekolah itu yang penting citranya, saya lebih milih sekolahin anak saya di sekolah yang sudah bertaraf internasional dan terkenal sering ikut

olimpiade supaya anak saya bisa ngikut kayak gitu.”

(Komunikasi personal, 8 November 2014)

Setiap sekolah menghasilkan pengalaman belajar yang berbeda dikarenakan standarisasi nilai yang berbeda, fasilitas penunjang belajar yang berbeda hingga kondisi lingkungan lainnya yang turut mempengaruhi proses belajar siswa. Belajar menurut Skinner merupakan proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlaku secara progresif (dalam Slamet, 1996). Sutikno (2007) mengatakan belajar merupakan proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan yang dilakukan secara sadar atau disengaja dan bertujuan untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Proses belajar yang kita lakukan tentu memiliki tujuan, salah satunya memperoleh pengetahuan (Sudirman, 2007).

Proses belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Proses pembelajaran tentu tidak akan terlepas dari fasilitas belajar yang


(16)

termasuk dalam faktor eksternal. Fasilitas belajar sangat penting dalam proses pembelajaran untuk memudahkan dan memperlancar kegiatan pengajaran. Fasilitas belajar yang memadai dan digunakan secara optimal akan banyak memberikan peluang kepada siswa untuk mencapai prestasi yang baik. Hal ini menyimpulkan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh lingkungan siswa baik di sekolah, di rumah, maupun di luar rumah. Lingkungan sendiri merupakan salah satu faktor yang banyak menentukan perbedaan pada setiap individu. Menurut Somanto (2006) faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar seorang individu, baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun sosio-kultural yang dapat mempengaruhi atau membentuk kepribadian seorang individu.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa tujuan bersekolah adalah mencapai prestasi belajar maksimal. Pada kenyataannya, banyak tantangan yang dihadapi anak dalam mencapai prestasi belajar dan tidak semua anak dapat menghadapi tantangan tersebut dengan baik. Keberhasilan siswa dalam menyelesaikan program-program pembelajaran dan mengikuti proses pembelajaran dapat terlihat dari prestasi belajar yang dicapai. Jika prestasi belajar siswa tinggi, proses pembelajaran dapat dikatakan berhasil. Namun, jika prestasi belajar siswa berada di bawah norma yang telah ditentukan, siswa dikatakan kurang atau belum berhasil. Menurut Blassic & Jones (dalam Sugihartono dkk, 2007), kesulitan belajar yang dialami siswa menunjukkan adanya kesenjangan atau jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademikyang dicapai oleh siswa pada kenyataannya.


(17)

Kesulitan belajar merupakan sebuah permasalahan yang menyebabkan seorang siswa tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik seperti siswa lain pada umumnya. Hal ini disebabkan faktor-faktor tertentu seperti faktor fisiologis, yaitu keadaan fisik dari peserta didik seperti penurunan fungsi tubuh,kelainan organ hingga disable serta faktor psikologis yaitu kondisi psikologis siswa seperti mudah stres, sulit berkonsentrasi ditambah lagi dengan ekspektasi standar yang berlebihan hingga sarana dan prasarana dalam belajar dan pembelajaran serta faktor lingkungan belajarnya (Irham, 2013). Faktor-faktor tersebut yang menjadikan siswa terlambat atau bahkan tidak dapat mencapai tujuan belajar sesuai yang diharapkan. Kartadinata (2010) menambahkan siswa sering sekali dipaksa memenuhi harapan standar sekolah dan menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses satu arah yang mengakibatkan tekanan psikologis bagi peserta didik. Aypay (2011) juga mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran, stres dapat muncul dari pelajaran di kelas, tugas mata pelajaran atau tekanan psikologis lainnya yang mengakibatkan kelelahan emosional dan rasa berprestasi rendah.

Stres dapat mengakibatkan dampak psikologis lainnya yang lebih berbahaya bagi peserta didik. Stres terjadi dikarenakan ketidakmampuan individu memenuhi tuntutan lingkungan dikarenakan kurangnya kemampuan yang dimiliki diri. Stres yang bersifat destruktif atau merusak tidak akan terjadi pada siswa yang memiliki kemampuan mengatasi segala hambatan dengan baik dan mengubahnya menjadi peluang. Sebaliknya, stres akan menjadi stres yang baik atau


(18)

eutressapabila stres dapat menjadi sumber kekuatan baru bagi siswa, bahkan bisa jadi menyehatkan secara fisik maupun psikologis (Sarafino, 2010).

Siswa yang duduk di bangku sekolah menengah atas berada pada masa remaja dan memiliki pola perkembangan psikososial yang berbeda dengan individu dari rentang usia lainnya. Siswa remaja menjadikan teman sebaya sebagai tolak ukur dalam penerimaan sosial mereka. Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap performa akademis juga telah banyak diteliti di berbagai negara. Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kelompok teman sebaya yang berprestasi tinggi juga turut menghasilkan bentuk prestasi yang sama dengan kelompok teman sebayanya serta sebaliknya (Ryan, 2001). Kapasitas untuk membangun kedekatan dengan kelompok teman sebaya berhubungan dengan penyesuaian diri psikologis dan kompetensi sosial. Remaja yang memiliki pertemenan yang dekat, stabil, dan mendukung umumnya memiliki pandangan yang baik tentang diri mereka sendiri, menjalani pendidikan di sekolah dengan baik, mampu bergaul, serta memiliki kemungkinan yang kecil untuk menjadi sosok yang kasar, cemas atau depresi (Berndt & Perry, 1990; Buhrmester, 1990;Hartup & Stevens,1999).

Kelas adalah salah satu tempat murid bersosialisasi dengan teman sebaya. Dan faktanya banyak dari mereka berpikir bahwa memperoleh teman yang banyak dan mampu bersosialisasi dengan baik dan diterima secara baik pula lebih penting daripada belajar dan mencapai prestasi kelas yang baik (Brown, 1993). Menjalin pertemenan pada masa remaja bukan hal yang mudah apabila terdapat lebih banyak perbedaan dibanding persamaan baik dari latar belakang budaya hingga


(19)

agama. Hal itu tentu akan menyulitkan bagi siswa yang tidak mampu mengatasi permasalahan terkait menjalin persahabatan antar teman sekelas dan ini biasa terjadi pada siswa minoritas di sekolah pembauran yang memiliki siswa mayoritas etnis Tionghoa dan memiliki banyak perbedaan latar belakang dengan mereka.

Adversity quotient (AQ) atau dalam bahasa Indonesia disebut daya lenting merupakan bentuk kecerdasan seseorang menghadapi hambatan. Adversity quotientmampu membantu siswa menghadapi masalah yang menimbulkan stres. Siswa yang memiliki AQ yang baik pada dimensi-dimensi yang diungkapkan oleh Stoltz (2004) seperti kontrol yaitu ketika siswa mampu mengontrol sumber masalah dan segera menyelesaikan masalah yang timbul sehingga tidak bertambah banyak dan mempengaruhi siswa dalam jangka panjang. Ketika siswa dapat membatasi sumber masalahnya, siswa juga dikatakan memiliki ketahanan dan jangkauan yang baik dan kedua hal tersebut termasuk aspek AQ yang terbangun di dalam diri siswa.

Sekolah pembauran saat ini telah menjelma menjadi sekolah swasta yang terkenal dengan disiplin yang tinggi. Beberapa sekolah pembauran di kota Medan terkenal dengan disiplin yang tinggi sehingga menghasilkan siswa- siswi yang unggul dan mengikuti berbagai olimpiade. Sekolah pembauran memiliki nilai minimum kelulusan pada mata pelajaran yang tidak jauh berbeda dengan sekolah negeri namun tingkat disiplin belajar dan persaingan kelas menjadi karakter pembeda. Tak hanya itu, siswa keturunan Indonesia sebagai kelompok minoritas juga harus berosialisasi dengan teman sebaya yang memiliki latar belakang budaya berbeda dan penggunaan bahasa sehari-hari di lingkungan sekolah yang


(20)

berbeda. Perbedaan tersebut sering sekali menimbulkan kendala. Padahal menurut Brown (1993) teman sebaya memegang peranan penting bagi kebanyakan remaja Hal ini didukung oleh komunikasi personal sebagai berikut :

“ Disana semua orang individualis dan gak peduli orang lain. Gurunya

juga gak peduli dengan murid yang gak bisa mata pelajaran tertentu karena mereka mengejar standar sekolah. Tugasnya banyak dan disiplin sekali, gak ada alasan kalo udah melanggar aturan gitu, semuanya serba cepat dan

gak sempet nikmati hidup kalo aku bilang kak”

(Komunikasi personal, 30 November 2014)

Siswa yang belajar di sekolah pembauran akan mudah stres dan berdampak negatif bagi kesehatan dan performa akademis mereka apabila tantangan tidak diatasi dengan baik. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam penelitian Pelly (2003) mengenai siswa pribumi dan nonpn-pribumi di Medan yaitu terdapat hambatan fisik dan psikologis, seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan murid keturunan Tionghoa, letak sekolah pembauran yang sebagian besar berada di komunitas WNI keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang sekolah yang tinggi.

Beberapa peserta didik yang tidak mampu lagi menghadapi hambatan fisik dan psikologis ini memilih pindah ke sekolah dengan standar akademis yang lebih rendah ataupun mencari sekolah yang memiliki iklim sekolah yang menyenangkan. Hal ini tidak dapat terelakkan dikarenakan siswa sudah tidak mampu menahan beban akibat berbagai hambatan yang berakibat stres. Stres yang dialami siswi dapat disebut sebagai stres akademik yang terjadi karena beberapa faktor seperti yang diungkapkan oleh Suldo (2009) yaitu kebutuhan akademik


(21)

yang tidak terpenuhi, kejadian yang menekan remaja dan hubungan sebaya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan dari komunikasipersonal sebagai berikut :

“Saya lebih milih untuk pindah saja karena terus-terusan ditantang dapat standar nilai 10 besar kelas. Padahal coba mama tahu kalo dikelas itu belajar susahnya minta ampun. Apalagi temennya pada gak asik mau

nonjol sendiri.”

( Komunikasi personal, 30 November 2014)

Komunikasi personal diatas juga menunjukkan bahwa siswa pribumi di sekolah pembauran tidak memiliki ketahanan yang baik akan masalahnya sehingga memilih untuk pindah sekolah. Ketahanan sendiri merupakan salah satu aspek dari adversity quotientdan apabila siswa tersebut memiliki ketahanan yang baik, dia tidak akan pindah sekolah dan memilih untuk mencari cara mengatasi sumber masalah yang menyebabkan dia tidak tahan bersekolah di sekolah yang bersangkutan.

Siswa pribumi atau siswa keturunan asli Indonesia juga memiliki pengalaman yang berbeda apabila mereka bersekolah di sekolah negeri yang pada dasarnya memiliki keberagaman baik ras, sosial-ekonomi, agama, pendidikan dan sebagainya, sehingga tidak ada kelompok mayoritas dan minoritas. Hal ini juga seharusnya memudahkan siswa pribumi bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan dengan latarbelakang yang bermacam-macam. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua siswa di sekolah negeri berhasil mengatasi hambatan mereka terkait proses belajar dan lingkungan yang mempengaruhinya. Hal ini didukung oleh hasil komunikasipersonal yaitu sebagai berikut :


(22)

“Ibu itu kasih tugas tiap hari kak. Tapi bukan diperiksanya. Kumpulin aja, kalo gak ngumpul tugas jadi dua kali lipat. Nyusahin aja. Kalo saya mending gak masuk trus pura-pura gak tau kalo ada tugas”

(Komunikasi personal, 30 November 2014)

Apabila tantangan yang dihadapi siswa pribumi atau WNI keturuan Indonesia asli tidak mampu diubah menjadi peluang dalam memaksimalkan potensi yang dimiliki maka perlu adanya bantuan terhadap siswa-siswa tersebut. Kemampuan siswa dalam mengahadapi segala kendala yang ada tentu perlu diasah sejak dini. Terlebih peran lingkungan yang dapat mempengaruhi kemampuan siswa untuk dapat mengatasi segala kendala yang ia temui di sekolah. Potensi siswa untuk mengubah segala bentuk kendala yang mereka hadapi di sekolah menjadi peluang disebut sebagai adversity quotient (AQ).

Teori AQ yang dikembangkan Stoltz mengatakan bahwa ada beberapa tipe siswa yang muncul akibat hambatan yang dihadapinya, yaitu tipe siswa yang terus bertahan dan berusaha semaksimal mungkin dalam mencapai kesuksesan atau disebut climbersdan ada juga tipe siswa yang berhenti mencoba ketika dihadapkan pada situasi yang menghambat diri mereka atau disebut quitters . Fakta ini sangat umum ditemukan di sekolah-sekolah karena nyatanya dari cara siswa memandang hambatan bisa memprediksi seperti apa pencapaian akademis mereka. Stoltz (2004) memandang bahwa kesuksesan sangat dipengaruhi dan dapat diramalkan melalui cara seseorang berespon dan menjelaskan kesulitan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa AQ yang dimiliki seseorang lebih signifikan meramalkan kesuksesan global individu dibandingkan IQ, pendidikan ataupun keterampilan sosial.


(23)

Dari hal-hal diatas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang AQ pada siswa pribumi yang bersekolah di sekolah pembauran dan siswa pribumi yang bersekolah di sekolah negeri. Siswa pribumi di sekolah pembauran dan negeri dipilih karena adanya perbedaan dalam lingkungan seperti disiplin dan teman sebaya. Menurut Stoltz (2004) adversity quotient juga dipengaruhi oleh lingkungan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

penulis tertarik untuk mengetahui “Apakah terdapat perbedaan adversity quotient

pada siswa pribumi di sekolah pembauran dengan adversity quotient pada siswa

pribumi di sekolah negeri?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data empiris sebagai dasar untuk menjawab permasalahan utama yang diangkat, yaitu melihat perbedaan antara adversity quotient pada siswa pribumi di sekolah pembauran dengan


(24)

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang psikologi, khususnya di bidang psikologi pendidikan terutama yang berkaitan dengan adversity quotient, adversity quotient pada sekolah pembauran dan sekolah negeri. Penelitian inijuga diharapkan sebagai referensi teoritis mengenai keadaan adversity quotient di kedua sekolah. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi teoritis atau empiris untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai referensi bagi orang tua dan siswa untuk lebih memahami hambatan yang dapat diubah menjadi peluang dalam proses belajar dan mengajar. Sebagai referensi bagi pihak sekolah, siswa, guru dan orang tua agar dapat melakukan peningkatan dan perbaikan kualitas diri serta pemahaman mengenai adversity quotient.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimulai dari bab I sampai bab V. Adapun sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah :

BAB I: Pendahuluan


(25)

Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian (manfaat teoritis dan manfaat praktis), dan sistematika penulisan.

BAB II: Landasan Teori.

Merupakan bab yang berisi landasan teori, yang terdiri atas: teori adversity quotient, sekolah pembauran dan sekolah negeri serta perbedaan adversity quotient antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumi di sekolah negeri.

BAB III: Metode Penelitian

Merupakan bab yang menguraikan jenis penelitian; identifikasi variabel penelitian; definisi operasional variabel penelitian; populasi, sampel, dan metode pengambilan sampel; metode pengumpulan data; alat ukur penelitian, validitasdan reliabilitas alat ukur;metode analisa data dan tahap pelaksanaan penelitian.

BAB IV: Analisa Data dan Pembahasan

Merupakan bab yang menguraikan hasil analisa data dan pembahasan dari hasil analisa datayang diperoleh.

BAB V: Kesimpulan dan Saran

Merupakan bab yang menguraikan kesimpulan dan saran dari hasil analisa data yang diperoleh dari bab sebelumnya.


(26)

A. ADVERSITY QUOTIENT 1. PengertianAdversity Quotient

Adversity atau kesulitan adalah bagian kehidupan kita yang hadir dan ada karena sebuah alasan dan kita sebagai manusia dapat memilih untuk menjadikan hambatan tersebut sebagai bahan pelajaran hidup yang berharga. Menurut bahasa, kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan (Echols & Shadily, 1993). Nashori (2007) berpendapat bahwa adversity quotient

merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berpikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyulitkan dirinya. Leman (2007) mendefenisikan adversity quotient secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah.

“Adversities are part of living, and people choose the way they react to

each adversity in their lives. Many times they will be senseless, unfair, painful, and beyond our control to prevent. Howeever, they come into our lives for a reason. People can choose to learn valuable lessons from each

adversity they encounter”


(27)

Adversity quotient merupakan teori populer yang dikembangkan oleh Paul G. Stoltz dan pertama sekali diperkenalkan di dalam bukunya berjudul Adversity Quotient : Turning Obstacle into Opportunities yang diterbitkan pada tahun 1997. teori ini muncul atas gabungan dari tiga cabang ilmu yaitu psikologi kognitif, neuropsikologi dan psikoneuroimunologi. Stoltz (2004) mengungkapkan bahwa

adversity quotient adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-sehari.

Adversity Quotient (AQ) menjelaskan seberapa baik individu dapat bertahan dan mampu mengatasi kesulitan, dapat meramalkan siapa yang dapat bertahan akan kesulitan atau siapa yang akan hancur. AQ juga dapat memprediksi siapa yang dapat melebihi harapan dari potensi yang dimiliki.

Menurut Stoltz, kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient yang terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :

a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.

b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.

c. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.


(28)

2. Faktor-Faktor Pembentuk Adversity Quotient

Stoltz menguraikan adversity qoutient sebagai bentuk kesuksesan yang digambarkan seperti sebuah pohon. Bagian paling atas merupakan kinerja seseorang yang dipengaruhi oleh bagian paling bawah pohon yaitu akar. Faktor pembentuk adversity quotient menurut Stoltz yaitu :

a. Genetika

Genetika terkait dengan hereditas, yaitu pewarisan sifat-sifat tertentu dari orang tua individu. Selain karakteristik fisik, faktor genetika juga mempengaruhi sikap seseorang. Adversity quotient memang tidak diturunkan secara genetis sebagaimana karakteristik fisiologis seseorang. Hanya saja karena AQ adalah hasil dari proses belajar individu,maka pembentukannya membutuhkan kemampuan dasar yang harus terpenuhi.

b. Pendidikan

Pendidikan terkait dengan proses belajar, yaitu perubahan yang relatif permanen pada perilaku individu sebagai akibat dari latihan (Atkinson dkk, 1992). Proses belajar tersebut tidak hanya berlangsung secara formal di sekolah atau bangku perkuliahan, namun dapat berlangsung secara informal di tengah-tengah keluarga dan lingkungan sosial sekitar individu. Adversity quotient tidak terlepas dari pengaruh pendidikan yang dialami seseorang di awal kehidupan yaitu keluarga. Grotberg (1999) menyatakan bahwa pola asuh orang tua dan respon lingkungan sosial di sekitar anak memberikan dukungan dan dasar kemampuan anak untuk menyikapi kesulitan hidup. Adversity quotient dengan kata lain dipengaruhi oleh lingkungan dimana setiap individu memiliki pengalaman yang


(29)

berbeda dan cara menyikapi yang berbeda terhadap suatu lingkungan tertentu baik formal maupun informal.

c. Keyakinan

Keyakinan diartikan sebagai penilaian subjektif terhadap dunia, termasuk pemahaman sesorang terhadap diri sendiri dan lingkungannya ( Fishbein & Ajzen, 1975). Keyakinan juga diperoleh dari hasil belajar. Keyakinan juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya tempat individu hidup, seperti budaya di sekolah maupun rumah. Stoltz mengungkapkan bahwa keyakinan akan menimbulkan motivasi dan sebagian besar orang yang sangat sukses memiliki faktor keyakinan di dalam dirinya.

3. Dimensi Adversity Quotient

Dimensi AQ yang digunakan pada penelitian ini adalah yang diungkapkan oleh Stoltz (2004) yaitu sebagai berikut :

a. C = Control/ kendali

Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali seseorang rasakan saat menghadapi situasi sulit. Kontrol atau kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu dapat dilakukan. b. O = Ownership and origin/ Kepemilikan

Sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat dari kesulitan. Dan mempertanyakan sejauh mana seseorang tersebut mau bertanggung jawab atas peristiwa apapun penyebabnya dan berusaha mencari solusi.


(30)

c. R = Reach/ Jangkauan

Sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan atau mempengaruhi aspek kehidupan lain individu. Individu dengan tingkat jangkauan yang baik tidak mudah terganggu aspek kehidupan lain saat mengalami masalah. Individu tersebut mampu membedakan masalah yang muncul dan respon yang ditujukan pada situasi tersebut.

d. E = Endurance / Ketahanan

Berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan ini akan berlangsung. Aspek ketahanan menjelaskan bahwa suatu masalah tidak berlangsung selamanya dan bisa terselesaikan atas kemauan diri individu atau sebaliknya.

4. Tipe Siswa Berdasarkan Tingkat Adversity Quotient

Stoltz (2004) mengatakan bahwa terdapat tiga tipe manusia berdasarkan tingkat adversity quotient yang dimiliki yaitu sebagai berikut :

a. Climbers

Pendaki adalah mereka yang selalu optimis, melihat peluang dan celah dibalik keputusasaan, selalu bersemangat untuk maju. kemungkinan sekecil apapun dapat menjadi sumber harapan besar untuk meraih kesuksesan (Agustian, 2001). Pendaki adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan


(31)

usia, jenis kelamin, ras, cacat fisik maupun hambatan lainnya menghalangi pendakian mereka (Stoltz, 2004).

b. Campers

Campers adalah golongan yang mudah puas atas segala sesuatunya. Tipe ini puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Mereka adalah orang-orang yang tidak terdorong perubahan karena takut dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan. Hanya saja, campers setidaknya sudah melangkah dan menanggapi tantangan namun setelah mencapai tahap tertentu mereka akan berhenti (Stoltz, 2004).

c. Quitters

Quitters adalah mereka yang berhenti. Mereka adalah sosok yang memilih untuk mundur, menghindari kewajiban dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Quitters akan berhenti di tengah pendakian, mudah putus asa dan mudah menyerah (Agustian, 2001). Orang dengan tipe ini cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan cenderung pasif.

B. JENIS SEKOLAH

Jenis sekolah pada penelitian ini berdasarkan status sekolah tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Sekolah Pembauran

Sekolah adalah lembaga formal yang menyelengarakan tujuan pendidikan nasioanal. Sedangkan pembauran adalah konsep yang pertama sekali


(32)

diperkenalkan oleh presiden Soeharto guna mewujudkan integrasi nasional di Indonesia baik di bidang pendidikan maupun budaya yang menekankan pada asimilasi warga negara Indonesia keturunan asing dengan warga negara Indonesia keturunan Indonesia (Suryadinata, 2003). Mitchell (1999) menjelaskan mengenai konsep pembauran sebagai konsep metafora yang menetapkan bahwa kaum minoritas (microculture) harus melebur ke dalam kelompok mayoritas, menyingkirkan bahasa ibu mereka dan tradisi budayanya dan menyesuaikan adat istiadat budaya dengan budaya mayoritas (macroculture).

Kebijakan asimilasi pada era pemerintahan presiden Soeharto menghasilkan peraturan yaitu, pada tahun 1967 pemerintah mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) sebagai sekolah pembauran (berdasarkan Intruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967). Maksud dari sekolah nasional proyek khusus ini ialah dimana sekolah yang awalnya berdiri sebagai sekolah khusus etnis Tionghoa, menggunakan bahasa pengantar mandarin dan kurikulum yang berbeda diwajibkan untuk berbaur dengan warga negara Indonesia keturunan asli dan menggunakan bahasa pengantar Indonesia dan kurikulum pendidikan nasional. Sekolah dilihat sebagai wadah pembauran (melting pot) antara kelompok pribumi dengan kelompok non pribumi, agar generasi muda non pribumi dapat meleburkan diri dan budayanya ke dalam budaya nasional melalui wadah pendidikan.

Sekolah pembauran berdasarkan SNPK adalah sekolah yang komposisi muridnya adalah 50 % merupakan WNI asli (murid pribumi) dan WNI keturunan asing (murid nonpribumi). Sekolah tersebut juga harus menerapkan kurikulum


(33)

nasional yang digunakan oleh semua sekolah di Indonesia (Pelly, 2003). Namun, lebih lanjut komposisi murid pribumi pada sekolah pembauran tidak sama dengan nonpribumi yang mengakibatkan sekolah pembauran berisikan mayoritas siswa nonpribumi dengan eksklusivitas etnis keturunan Tionghoa (Pelly, 2003). Sekolah pembauran di wilayah Sumatera Utara sendiri terlihat dari perubahan nama yayasan yang semula identik dengan nama Tionghoa menjadi nama Indonesiakarena kebijakan pemerintah. Selain itu, lebih lanjut sekolah pembauran yang ada di kota Medan telah menjadi sekolah swasta yang dulunya mengadopsi sistem aturan sekolah pembauran (Komunikasi personal, 2015).

2. Sekolah Negeri

Sekolah negeri adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru yang dikelola oleh pemerintah. Sekolah menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.29 tahun 2003, pasal 18 tentang pendidikan nasional merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan jenjang pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sekolah menurut Alif (2006) adalah sebuah lembaga yang ditujukan khusus untuk pengajaran dengan kualitas formal. Sekolah negeri dalam hal ini adalah status sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah dimana pendanaan dan peraturan pendidikan berasal dari pemerintah.


(34)

C. KONSEP SISWA PRIBUMI DAN NON-PRIBUMI

Pelly (2003) menjelaskan bahwa identitas siswa pribumi merupakan identitas yang muncul dari peninggalan belanda dimana mereka merupakan warga negara Indonesia (WNI) keturunana asli indonesia, yang berasal dari suku-suku asli di Indonesia.

Siswa non-pribumi menurut Pelly (2003) yaitu identitas yang muncul kepada mereka yang berasal dari keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih) maupun campuran, walaupun telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia yang biasa dikenal sebagai warga negara Indonesia (WNI) keturunan asing.

D. Adversity QuotientPadaSiswa Pribumi di Sekolah Pembauran dan Siswa Pribumi di Sekolah Negeri.

Siswa pribumi adalah siswa WNI keturunan suku asli Indonesia. Dewasa ini, banyak siswa pribumi yang bersekolah di sekolah pembauran dengan alasan kualitas sekolah yang lebih baik dari sekolah negeri. Namun, tidak selamanya sekolah pembauran berhasil memberikan manfaat kepada peserta didiknya. Karena lingkungan sekolah sering sekali menghasilkan kendala apabila siswa tidak dapat beradaptasi. Kendala tersebut tidak akan menjadi masalah bagi performa akademis siswa ataupun kesehatannya apabila dapat dihadapi dengan baik.

Sekolah pembauran memiliki tingkat disiplin yang tinggi. Aturan sekolah, sistem belajar, kompetisi memperoleh nilai hasil belajar yang maksimal antar


(35)

siswa dan cara mengajar pendidik membuat siswa yang bersekolah di sekolah pembauran harus bekerja keras untuk beradaptasi agar tidak tertinggal dari siswa lainnya. Siswa pribumi yang mampu mengikuti cara belajar, tingkat disiplin sekolah dan cara mengajar pendidiknya dikatakan berhasil menghadapi tantangan di sekolah pembauran. Siswa tersebut memiliki AQ yang baik yang berasal dari aspek AQ itu sendiri seperti control, endurance, reach, owrnership dan

origin.Satu hal yang tidak kalah penting adalah faktor teman sebaya dimana etnis Tionghoa tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari sehingga akan menimbulkan tantangan tersendiri bagi siswa pribumi untuk bisa bergaul dengan siswa nonpribumi tersebut.

Siswa pribumi di sekolah pembauran yang memiliki kontrol dan aspek-aspek AQ yang baik akan mudah menjawab semua tantangan tersebut. Mereka bahkan diuntungkan dengan atsmosfer kompetisi memperoleh peringkat kelas yang tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Ryan (2001) bahwa siswa yang memiliki kelompok teman sebaya yang berprestasi tinggi juga turut menghasilkan bentuk prestasi yang sama. Namun, apabila siswa pribumi di sekolah pembauran tidak memiliki AQ yang baik maka sulit untuk menghadapi tantangan serta ekspektasi hasil belajar yang maksimal, karena apabila sudah gagal akan menimbulkan stres yang berakibat buruk bagi performa akademis dan kesehatan siswa tersebut.

Tantangan yang dihadapi oleh siswa pribumi di sekolah negeri juga beragam. Sekolah negeri memiliki perbedaan tingkat disiplin sekolah, cara mengajar pendidik, sistem nilai dan pergaulan teman sebaya yang lebih


(36)

heterogen.Tapi tetap saja tidak semua siswa mampu mengatasi kendala yang ada dengan bijak.Misalkan, seorang siswa pribumi yang awalnya seorang yang rajin dan ingin mencapai nilai tertinggi di setiap matapelajaran namun selalu gagal dikarenakan cara mengajar pendidik, standar nilai dan teman sebaya yang tidak mendukung tujuan tersebut. Hal ini tentu menjadi sumber stres bagi siswa apabila tidak dapat diatasi dengan cara yang seharusnya. Kasus tersebut bisa saja terjadi di sekolah pembauran maupun di sekolah negeri. Untuk itu, penting bagi anak agar mampu mengasah kemampuan bertahan dan mengatasi hambatan yang ada.

AQ menurut Stoltz (2004) dapat meramalkan siapa anak yang bertahan dalam kesulitan dan mengubahnya menjadi kesempatan dan siapa anak yang berhenti dan tidak akan mencoba. Ketiga tipe siswa tersebut telah dijelaskan oleh Stoltz melalui teori mengenai tipe climbers, campers dan quitters. Tipe-tipe tersebut bergantung pada tinggi atau rendahnya skor pada dimensi dari adversity quotient yaitu daya tahan, kendali, kepemilikan dan jangkauan. Menurut Stoltz (2004), AQ dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah lingkungan yaitu ketersediaan daya saing yang mengakibatkan para siswa mampu menciptakan peluang dalam kesulitan. Pengalaman belajar siswa di sekolah yang berbeda akan menghasilkan tingkat AQ yang berbeda pula. AQ sendiri sangat penting untuk diketahui oleh siswa di kedua sekolah mengingat sekolah pembauran dan sekolah negeri menyediakan pengalaman belajar yang berbeda kepada peserta didik mereka.


(37)

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka untuk menjawab rumusan masalah yang ada, penulis mengajukan hipotesis penelitian sebagai jawaban sementara yang akan diteliti kebenarannya. Hipotesis dalam penelitian ini adalah

“Terdapat perbedaan AQ antara siswa pribumi pada sekolah pembauran dengan


(38)

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif deskriptif yang bertujuan untuk melihatperbedaan adversity qoutient antara siswa pribumi yang bersekolah di sekolah pembauran dengan siswa pribumi yang bersekolah di sekolah negeri. Adapun jenis penelitian ini dipilih karena peneliti hanya ingin melihat perbedaan pada dua sampel yang berbeda tanpa melakukan manipulasi. Sesuai dengan pengertian penelitian komparatif menurut Sugiyono (2012) yaitu penelitian komparatif adalah jenis penelitian yang membandingkan dua sampel atau lebih pada sampel yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula.

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel adalah simbol ataupun lambang yang diletakkan bilangan atau nilai (Kerlinger, 2006). Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas

(independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Menurut Kerlinger (2006) variabel bebas adalah sebab yang dipandang sebagai sebab kemunculan dari variabel terikat yang dipandang atau diduga sebagai akibatnya. Variabel bebas adalah anteseden dan variabel terikat adalah konsekuensi. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis sekolah yang terdiri dari sekolah


(39)

pembauran dan sekolah negeri. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah adversity quotient.

C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

Definisi operasional menurut Suryabrata (1989) adalah suatu definisi atau pengertian mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan

karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati atau diobservasi (dalam Mas‟ud, 2012). Maka definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Adversity Quotient

Adversity quotient adalah suatu kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala macam kesulitan dengan bentuk perilaku yang muncul seperti :

a) Control / kendali

1. Kemampuan siswa menangani masalah yang muncul dalam belajar 2. Menghadapi masalah yang muncul

b) Endurance / Daya tahan

1. Persepsi siswa terhadap waktu berlangsungnya masalah 2. Ketahanan siswa menghadapi masalah

c) Origin and ownership/ Kepemilikan

1. Siswa mengakui bahwa masalah timbul karena diri mereka. 2. Siswa bertanggung jawab terhadap masalah yang ditimbulkan


(40)

d) Reach/ Jangkauan

1. Kemampuan siswa menjalani aktivitas sehari-hari saat masalah disekolah muncul

2. Kemampuan siswa membedakan setiap masalah yang mucul

Nantinya, adversity quotient pada penelitian ini diukur dengan jumlah skor yang dihasilkan melalui skala sikap Likert yang dirancang oleh peneliti yang diberikan kepada subjek penelitian yang dibuat berdasarkanaspek adversity quotient oleh Paul G Stoltz yaitu control (C) atau kendali, origin and ownership

(O2) atau asal-usul dan pengakuan, reach (R) atau jangkauan danendurance (E) atau daya tahan.

2. Sekolah Pembauran

Sekolah pembauran adalah sekolah swasta dengan akreditasi A. Sekolah tersebut memiliki komposisi muridyaitu siswa nonpribumi sebagai mayoritas dengan perbandingan jumlah siswa pribumi dan nonpribumi sebanyak 80 : 20 yang datanya diperoleh dari bagian tata usaha dan terletak di kota Medan. Sekolah pembauran yang dipilh pada penelitian ini adalah SMA WR. Supratman 2Medan yang terletak di Jalan Asia No.143 Medan.

3. Sekolah Negeri

Sekolah negeri adalah sekolah yang didirikan atas keputusan presiden dan peraturan undang-undang yang berlaku dan berisikan siswa dari berbagai latar belakang agama, ras, sosial-ekonomi dan tingkat intelegensi siswanya yang


(41)

terdapat di kota Medan. Sekolah ini juga harus memenuhi standar akreditasi A (Amat Baik). Sekolah negeri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah SMA Negeri 4Medan.

4. Siswa Pribumi

Siswa pribumi adalah siswa yang berasal dari SMA WR.Supratman 2Medan dan SMAN 4Medan yang merupakan warga negara Indonesia (WNI) keturunana asli Indonesia, yang berasal dari suku-suku asli di Indonesia yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya melalui kartu pelajar ataupun data identitas milik sekolah.

D. POPULASI, SAMPEL, DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk diteliti berdasarkan ciri-ciri yang telahditetapkan. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000)

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa pribumikelas XI di sekolah pembauran yaitu SMA WR.Supratman 2Medan serta seluruh siswa pribumi kelas XI di sekolah negeri yaitu SMAN 4 Medan.

2. Sampel

Mengingat adanya keterbatasan yang dimiliki peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari populasi untuk


(42)

dijadikan subjek penelitian. Sampel adalah sebagian dari populasi yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus memiliki paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000)

Menurut Sugiyono (2012), sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Apabila kurang dari 100 lebih baik diambil semua hingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15 % atau 20-55 % atau lebih tergantung sedikit banyaknya.

Penelitian ini menggunakan sampel seluruhnya untuk kelompok populasi siswa pribumi di sekolah pembauran yaitu 47 orang siswa dan sebanyak 50 orang siswa pribumi di sekolah negeri.

3. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel untuk kelompok populasi sekolah negeri menggunakan teknik cluster random sampling. Cluster random sampling adalah teknik sampling probabilitas yang digunakan saat populasi memiliki anggota yang terbagi ke dalam golongan atau kelompok menurut kesamaan ciri atau kondisi bukan karena jenjang tertentu. Jumlah SMA negeri di kota Medan banyak dan tersebar di berbagai wilayah sehingga dengan keterbatasan waktu, peneliti secara random memilih satu SMA negeri di kota Medan yaitu SMAN 4 Medan.

SMAN 4 memiliki siswa pribumi kelas XI sebanyak 549 siswa. Sampel yang diambil dari 549 orang siswa tersebut hanya 10 % yaitu 50 orang siswa. Selanjutnya, anggota atau siswa kelas XI dibagi kedalam 4 kelompok berdasarkan


(43)

jenis kelamin dan jurusannya, yaitu kelompok siswa kelas XI jurusan IPA, kelompok siswa kelas XI jurusan IPS, kelompok siswi kelas XIjurusan IPA dan kelompok siswi kelas XI jurusan IPS. Berdasarkan jumlah sampel yang telah ditentukan (50 orang), maka peneliti ingin mengambil masing-masing sampel sebanyak 4 orang dari kelas XI IPA dan 5 orang dari kelas XI IPS secara random. Jumlah kelas XI IPA di SMAN4 yaitu 10 kelas dan 2 kelas XI IPS. Berikut adalah proporsi sampel di masing-masing kelompok :

Tabel 3.1 Proporsi Sampel Pada Masing-Masing Strata / Kelompok

Strata / Kelompok JumlahSampel

1. Siswa kelas XI IPA 20 Orang 2. Siswi kelas XI IPA 20 Orang 3. Siswa kelas XI IPS 5 orang 4. Siswi kelas XI IPS 5 orang

Total 50 Orang

Tidak ada metode pengambilan sampel pada populasi siswa pribumi di sekolah pembauran karena jumlah keseluruhan siswa hanya 47 orang sehingga sampel yang diambil sebagai data merupakan keseluruhan populasi.

E. METODE PENGUMPULAN DATA

1. Alat Ukur Adversity Quotient

Data mengenai adversity quotient diperoleh dengan menggunakan skala pengukuran psikologis yang dirancang oleh peneliti. Alat tes ini berbentuk skala


(44)

quotientyang dikembangkan oleh Stoltz (2007) yaitu control, origin and ownership, reach, dan endurance.

Skor subjek terhadap suatu item favorable jika memilih respon sangat tidak setuju adalah (1), tidak setuju adalah (2), setuju adalah (3). Dan sangat setuju (4). Sebaliknya, skor subjek terhadap item-item unfavorable terhadap respon sangat tidak setuju adalah (4), tidak setuju adalah (3), setuju adalah (2). Sangat setuju adalah (1) . Semakin tinggi total skor yang diperoleh subjek dalam merespon seluruh item dalam skala, maka dapat diartikan bahwa tingkat Adversity Quotient juga semakin tinggi.

Tabel 3.2. Bobot Setiap Aspek Adveristy Quotient

ASPEK INDIKATOR BOBOT

Control

1.1. siswa segera menyelesaikan masalah yang timbul.

2.2.Siswamenyelesaikan masalah dengan Kemampuan diri.

12,5 % 12,5 %

Origin and ownership

1. 1. Siswa mengakui masalah timbul karena diri sendiri.

2.

3. 2. Siswa menentukan sikap atas masalah yang dihadapi.

12,5 % 12,5 %

Endurance

1. 1. Siswa yakin masalah akan segera teratasi.

2.

3. 2. Siswa segera mengalami kondisi emosi yang baik saat menghadapi masalah.

12,5 %

12,5 %

Reach

1. Siswa menjalankan aktifitas

sekolah seperti biasa ketika banyak masalah.

2. Siswa dapat membedakan setiap masalah yang muncul.

12,5 %


(45)

2. Uji Validitas Alat Ukur

Validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana ketetapan (mampu mengukur apa yang hendak diukur) dan kecermatan (mampu memberikan gambaran mengenai perbedaan sekecil-kecilnya antara subyek yang satu dengan yang lainnya) alat ukur dalam melakukan fungsinya(Azwar, 2009). Uji validitas dilakukan dengan content validation dan construct validation. Content validity

bertujuan untuk melihat sejauh mana isi angket mewakili atribut yang hendak diukur. Pengujian content validity dilakukan dengan cara analisis rasional atau

professional judgement dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak yang ahli pada bidangnya. Selanjutnya, uji beda aitem yang bertujuan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu yang memiliki atribut dengan yang tidak, menggunakan cara dengan menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri. Perhitungan ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan istilah parameter daya aiter (Azwar, 2009). Daya beda aitem tersebut dianggap memuaskan jika koefisien aitem total mencapai nilai 0,2 (Azwar, 2009).

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas alat ukur adalah kekonsistenan (kestabilan) hasil pengukuran jika alat ukur tersebut digunakan pada waktu yang berbeda kepada kelompok yang sama. Menurut Azwar (2009), reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang


(46)

sama diperoleh hasil yang relatif sama. Teknik uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik konsistensi internal dengan rumus Alpha Cronbach. Suatu alat ukur dinyatakan reliabel jika koefisien α > 0,6 (Azwar,

2009). Alat ukur dalam penelitian ini diproses dengan menggunakan program

software Statistical Program for Social Sciences (SPSS) versi 17.0 for windows.

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

1. Tahap Persiapan Penelitian

Penelitian dimulai dengan mencari fenomena di kota Medan terkait dengan siswa, sekolah dan adversity quotient. Lalu, melakukan perumusan masalah dan mencari landasan teori yang sesuai berdasarkan fenomena yang muncul dan sesuai. Selanjutnya, menentukan populasi dan sampel dari penelitian. Menyiapkan administrasi seperti surat izin ke sekolah dimana populasi dan sampel penelitian berada serta membuat blueprint dan rancangan alat ukur awal. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Penelitian mulai dilaksanakan ketika alat ukur adversity quotient selesai dibuat. Lalu peneliti menyebarkan skala tersebut kepada sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Penyebaran skala masih berupa try-out dimana setelah hasil try-out dapat terlihat item yang dapat dipakai dan tidak. Setelah itu baru dilakukan penyebaran skala berisi item fix.


(47)

3. Tahap Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh melalui penyebaran skala kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan menggunakan analisis data statistik yaitu menggunakan SPSS 17.0 for windows.

G. Metode Analisa Data

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Untuk menganalisa data yang telah diperoleh, penulis menggunakan metode analisa data U-Mann Whitneyuntuk melihat perbedaan antara dua kelompok yang independen. Metode ini termasuk uji statistik non-parametrik dengan bantuan program SPSS 17.0 for Windows. Alasan menggunakan statistik non parametrik dikarenakan data yang diperoleh tidak terdistribusi secara normal sehingga syarat untuk melakukan uji statistik parametrik tidak terpenuhi.


(48)

Hasil Penelitian secara keseluruhan akan dibahas pada bab ini. Analisa data dilakukan dengan menguraikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian. Selanjutnya akan dibahas hasil analisa data pada sub pembahasan.

A. ANALISA DATA

1. Gambaran Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa sekolah menengah atas (SMA) yang duduk di bangku kelas XI IPA dan IPS tahun ajaran 2014/2015. Siswa tersebut terbagi atas jenis asal sekolah mereka yaitu siswa yang berasal dari sekolah pembauran dan sekolah negeri di kota Medan. Sekolah pembauran yang dipilih yakni SMA WR. Supratman 2 Medan yang beralamat di Jalan Zein Hamid No. 2 Medan , sedangkan sekolah negeri yaitu SMA Negeri 4 yang terletak di Jalan Gelas No. 12 Medan. Jumlah subjek penelitian di sekolah pembauran sebanyak 47 orang siswa dan jumlah subjek penelitian di sekolah negeri sebanyak 50 orang siswa. Berikut rincian distribusi jumlah subjek per kelompok :


(49)

Tabel 4.1. Gambaran Umum Subjek

NO Jenis Sekolah Jumlah Siswa Rincian Kelas/Jurusan

1 Pembauran 47

27 XI IPA

20 XI IPS

2 Negeri 50

40 XI IPA

10 XI IPS

TOTAL 97 97 XI IPA/IPS

2. Hasil Penelitian

a. Hasil Uji Asumsi Data Penelitian

Uji asumsi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji normalitas dan uji homogenitas varians. Pengujian asumsi ini dilakukan untuk melihat apakah data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dihitung menggunakan metode statistik parametrik atau tidak. Pengujian asumsi penelitian dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS 17.0 for Windows.

1) Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah data terdistribusi dengan normal. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov berdasarkan data pada

Liliefors Significance Correction. Data dikatakan terdistribusi normal apabila nilai signifikansinya diatas 0.05. Hasil uji normalitas terhadap kedua kelompok dapar dilihat pada tabel berikut :


(50)

Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas

Kelompok Signifikansi Status

Pembauran 0,021 Terdistribusi tidak normal Negeri 0,200 Terdistribusi normal

Data pada tabel hasil uji normalitas menunjukkan tidak normal pada kelompok pembauran dimana syarat asumsi normalitas tidak terpenuhi yaitu 0,021 < 0,05. Sedangkan pada kelompok negeri data terdistribusi secara normal yaitu 0,200 > 0,05.

2) Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah kedua kelompok berasal dari populasi yang sama (Field, 2009), atau untuk melihat apakah data dalam penelitian ini adalah homogen. Pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Levene’s Test. Data dikatakan homogen apabila nilai signifikasinya lebih besar daripada 0,05. Hasil uji homogenitas dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 4.3. Hasil Uji Homogenitas Levene

Statistic

df1 df2 Signifikansi Status

8,777 1 95 0,004 Tidak

homogen

Data tidak memenuhi syarat asumsi homegenitas secara varians dimana signifikansi lebih kecil dari 0,05(


(51)

0,004 < 0,05). Maka dari itu, data hasil penelitian ini tidak dapat diolah menggunkan statistik parametrik karena tidak memenuhi syarat yaitu data harus normal dan homogen. Peneliti akhirnya menggunakan statistik non-parametrik dimana tidak menggunakan syarat uji normalitas maupun homogenitas.

b. Hasil Uji Hipotesa Penelitian

Hipotesa nol yang diuji dalam penelitian ini adalah: “Tidak ada perbedaan adversity quotient antara siswa pribumi di sekolah pembauran

dengan siswa pribumi di sekolah negeri.” Uji hipotesa tersebut dilakukan

dengan menggunakan Mann-Whitney Test, yakni dengan membandingkan nilai skor siswa pada sekolah pembauran dengan nilai skor siswa di sekolah negeri. Berikut adalah gambaran statistik umum pada masing-masing kelompok:

Tabel 4.4 Statistik Kelompok

Jenis Kelompok N MeanRank Sum of Ranks

Pembauran 47 54,68 2570,00

Negeri 50 43,66 2183,00

Hipotesa nol akan ditolak apabila nilai signifikan (2-tailed) lebih kecil daripada 0,05. Hasil uji U sampel independen Mann-Whitney dengan taraf kepercayaan 95% dapat dilihat sebagai berikut :


(52)

Tabel 4.5. Hasil Uji U- Mann Whitney

Mann-Whitney U Z Sig.(2-tailed)

908,000 -1,930 0,054

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa hipotesa nol penelitian ini diterima dengan p= 0,054 > 0,05. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan tingkat adversity quotient yang signifikan antara kelompok pembauran (M = 54,68) dengan kelompok negeri (M = 43,66).

B. PEMBAHASAN

Hasil penelitian komparasi pada masing-masing kelompok sekolah dengan jumlah siswa pada masing-masing kelompok 47 orang siswa (pembauran) dan 50 orang siswa (negeri) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai AQ siswa-siswa di sekolah pembauran dengan nilai AQ siswa-siswa di sekolah negeri, dengan p = 0,054 >0,05. Hasil penelitian ini menerimahipotesa nolyang berbunyi “tidak terdapat perbedaan adversity quotient

antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumi di sekolah negeri di kota Medan.”

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesa awal peneliti yang

menyebutkan “terdapat perbedaan adversity quotient antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumi di sekolah negeri di kota Medan.” Sesuai dengan teori yang dipaparkan sebelumnya yaitu adversity quotient

dipengaruhi oleh pendidikan yang diterima oleh individu dari lingkungan. Lingkungan merupakan salah satu aspek penting dalam pembentukan adversity


(53)

quotient seseorang (Stoltz, 2004). Sekolah pembauran memiliki karakteristik lingkungan yang berbeda dari sekolah negeri. Salah satu perbedaan yang mencolok yaitu pada sekolah pembauran siswa pribumi memiliki teman sebaya yang menjadi etnis mayoritas di sekolah tersebut yaitu etnis Tionghoa.

Meskipun dari hasil uji hipotesis statistik menunjukkan terdapat perbedaan pada mean rank pada kedua kelompok yaitu sekolah pembauran dengan (M = 54,68) yang lebih tinggi dari sekolah negeri yaitu (M = 43,66). Hasil uji statistik ini menunjukkan bahwa rata-rata skor adversity quotient siswa pada sekolah pembauran lebih tinggi dibanding rata-rata skor adversity quotientsiswa pada sekolah negeri.Secara teoritis, Stoltz (2004) menuturkan bahwa faktor genetika turut andil dalam pembentukan adversity quotient. Hanya saja faktor genetika yang dimaksud oleh Stoltz, tidak diturunkan dari orangtua ke anaknya secara lansung seperti karakter fisiologis namun genetika menjadi kemampuan dasar seorang anak dalam menghadapi lingkungannya ketika tumbuh besar. Peneliti menyadari bahwa ada kemungkinan siswa pribumi di sekolah pembauran memang memiliki kemampuan dasar yang dibawa dari faktor genetika yang baik sehingga orang tua mereka percaya diri menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut meskipun tantangan yang akan dihadapi banyak.

Pendidikan yang diterima siswa di sekolah pembauran juga mempengaruhi pembentukan adversity quotient dimana siswa terbiasa menghadapi persaingan di kelas dengan teman sebaya yang mayoritas non-pribumi. Dalam jurnal tulisan Ryan (2001) On Happiness and Human Potentials : A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being dikatakan bahwa siswa yang memiliki


(54)

teman sebaya berprestasi tinggi juga turut menghasilkan bentuk prestasi yang sama serta sebaliknya. Maka dari itu siswa di sekolah pembauran memiliki skor rata-rata adversity quotientlebih tinggi karena mereka terbiasa menghadapi tantangan untuk terus berprestasi baik di sekolah karena teman sebaya mereka juga demikian. Faktor teman sebaya yang semula menjadi karakteristik pembeda antar siswa pribumi di sekolah pembauran dengan sekolah negeri terlihat dari hasil penelitian ini.

Hal senada juga diikuti oleh siswa di sekolah negeri. Dimana siswa memperoleh skor adversity quotientyang tidak berbeda secara signifikan dengan siswa di sekolah pembauran. Lingkungan sekolah negeri juga turut memberikan tantangan kepada para siswa untuk berprestasi akademik baik. Sistem pengajaran yang mereka terima turut membentukadversity quotientmereka karena pasti berbeda dengan apa yang dialami oleh siswa di sekolah pembauran. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti juga ditemukan bahwa guru-guru di sekolah negeri menekankan tidak hanya pada aspek pencapaian akademis siswa namun juga akhlak yang baik. Berbeda dengan para guru di sekolah pembauran yang menekankan hanya pada disiplin belajar siswa.

Tidak adanya perbedaan yang siginifikan pada skoradversity quotient

siswa pada kedua sekolah terjadi dikarenakan siswa memang memiliki keyakinan yang baik dalam menimba ilmu guna mencapai prestasi akademik yang baik. Keyakinan tersebut yang menjadi salah satu faktor pembentukan adversity quotient yang tinggi. Namun, dari keempat aspek adversity quotient yang diuji menggunakan bantuan SPSS ditemukan aspek reach siswa pribumi di negeri lebih


(55)

tinggi (M = 58,64) dibandingkan siswa pribumi di sekolah pembauran yaitu (M = 38,74). Hal ini menunjukkan bahwa siswa pribumi di sekolah negeri memiliki kemampuan membedakan masalah yang baik.Artinya, manakala siswa pribumi di SMA negeri mengalami masalah, masalah yang dihadapi tersebut tidak akan mengganggu aspek kehidupan lainnya. Dari hasil penelitian Damayanti (2012) menemukan bahwa tingkat perilaku membolos pada siswa SMA swasta relatif tinggi ketika siswa SMA swasta tersebut menghadapi masalah yang bersumber dari sekolah dan keluarga.Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang diperoleh peneliti yang menunjukkan bahwa reach siswa pribumi di kelompok sekolah pembauran lebih rendah dari sekolah negeri.


(56)

Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran-saran sehubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Pada bagian awal akan dipaparkan kesimpulan dari penelitian ini, lalu dilanjutkan dengan pemaparan saran praktis serta metodelogis yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian-penelitian berikutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

A. Kesimpulan

Berikut ini akan diuraikan beberapa kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data:

1. Tidak terdapat perbedaan tingkat adversity quotient yang signifikan antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumi di sekolah negeri di kota Medan.

B. Saran

Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian yang telah diperoleh, peneliti ingin mengajukan beberapa saran praktis dan metodelogis. Saran praktis ini ditujukan kepada semua siswa sekolah menengah atas, dan para pendidik pada kedua sekolah yaitu pembauran dan negeri. Sedangkan saran metodelogis ditujukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.


(57)

1. Saran Praktis

Saran praktis ini ditujukan kepada siswa sekolah menengah atas, baik di sekolah pembauran maupun sekolah negeri untuk banyak membaca buku motivasi dan biografi orang sukses. Buku karangan Paul G.Stoltz yaitu turning obstacle into oppotunities juga sangat direkomendasikan untuk dibaca karena akan membuka wawasan tentang apa itu hambatan dan bagaimana menjadi individu yang tidak mundur dan berhenti ketika menghadapi suatu masalah. Bagi yang tidak suka membaca disarankan untuk banyak bergaul dengan teman sebaya yang memiliki pandangan positif tentang hidup yang tidak akan pernah sempurna. Selain itu pihak sekolah, guru dan keluarga dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kecerdasan

adversity ini dan dapat menemukan cara efektif agar kemampuan siswa mengatasi hambatan lebih baik lagi sehingga berdampak pada kesuksesan masa depan siswa itu sendiri.

2. Saran Metodologis

Penelitian ini memiliki kekurangan, oleh karena itu peneliti ingin menyampaikan saran metodologis berupa menambah jumlah variabel penelitian sehingga hasil penelitian lebih kompleks dan berkualitas. Apabila peneliti selanjutnya ingin melakukan penelitian dengan metode yang sama yaitu komparasi dengan subjek penelitian yang berbeda diharapkan dapat mengontrol extranous variable yang kemungkinan dapat menganggu hasil penelitian.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

A.M., Sudirman . (2011). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Grafindo Persada

Aypay, A .(2011). Relationships of High School Students‟ Subjective Well Being

and School Burnout. International Journal of Education Science, p. 181- 199

Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar Berndt, T. J. (2002). Friendship quality and social development. Psychological

Science, Vol.11, No. 1, 7-10.

Brown, B. B., Mounts, N., Lamborn, S. D., & Steinberg, L. (1993). Parenting practices and peer group affiliation in adolescence. Child Development, 64(2), 467-482.

Brunkhorst. (2005). Sukses itu Mudah. Yogyakarta : Penerbit Saujana

Budicahyadi, U. (2003). Adversity Quotient pada siswa SMU yang mengikuti kurikulum kelas program percepatan belajar dan kelas reguler.

Echols & Shadily. (1993). Kamus InggrisIndonesia. Jakarta : P.T. Gramedia

Evers, H.D.1980 „Ethnic and Class Conflict in Urban Southeast Asia‟, dalam

Hans-Dieter Evers (peny.) Readings on Social Change and Development. Sociology of Southeast Asia. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Hlm.121–12.

Ginanjar A.,A. (2003). Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power : Sebuah Inner Journey Melalui Al- Ihsan. Jakarta : Penerbit Arga.

Ginanjar,A.,A. (2001). ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spriritual. Jakarta: Grasindo.

Hadi, S. (2000). Metodology Research Jilid I - IV. Yogyakarta: Andi Offset. Hartup, W.W., & Stevens, N. (1999). Friendship and Adaptation Across the Life

Span.Current Directions in Psychological Science, Vol. 8, No. 3, 76-79 Irham, Muhammad & Novan Ardy Wiyani. (2013). Psikologi Pendidikan : Teori


(59)

Kartadinata. (2010). Landasan-Landasan Pendidikan Sekolah Dasar.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemendiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta

Kemendiknas. (2010). Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menegah Pertama. Jakarta

Kerlinger, F. N. (2006). Foundations of Behavioral Research. Chicago: Holf, Rinehari& Winston. Leman. (2007). The Best of Chinnese Life Philoshopies. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Margono, S. (1996). Filsafat dan Prinsip-Prinsip Managemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi. Jakarta : Heds Project

Mas‟ud, M.H. (2012). Pengaruh Sikap, Norma-Norma Subyektif, dan Kontrol Perilaku Yang Dipersepsikan Nasabah Bank Terhadap Keinginan Untuk Menggunakan ATMBank BCA di Kota Malang. Jurnal Manajemen dan Akuntansi (Vol. 1, No. 3): Malang: Universitas Widyagama.

Mitchell, B. M., & Salsbury, R.E. (1999). Encyclopedia of Multicultural Education. USA: Greenwood Press

Nashori. (2007). Pelatihan Adversity Intellegence untuk Meningkatkan

Kebermaknaan Hidup Remaja Panti Asuhan. Jurnal Psikologi No.23 Thn XII Januari 2007.

Nurmalasari, Y. (2001). Efektifitas Restrukturisasi Kognitif dalam Menangani Stres Akademik Siswa.Skripsi Jurusan PPB-FIP UPI. (tidak diterbitkan) Papalia, D., Olds, S., & Feldman, R. (2009). Human Development :

Perkembangan Manusia Edisi 10 Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika. Pelly, U. (2003). Murid Pri dan Nonpri pada Sekolah Pembauran: Kebijakan

Asimilasi Orde Baru di Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Masyarakat Multikultural. Jurnal Antropologi Indonesia: Universitas Negeri Medan

Republik Indonesia. (2003) . Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan. Sekretariatan Negara : Jakarta

Republik Indonesia.(2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 tentang Jenis Sekolah. Sekretariatan Negara : Jakarta


(60)

Ryan, R. M., Dece, E. L. (2001). On Happiness and Human Potentials : A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being.Annual Review Psychology, 52, 141-166

Sarafino, E. P. (2010). Health Psychology : Biopsychosocial Interaction. New York : John Wiley & Sons

Soemanto, W. (2006). Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan (Cetakan Ke 5). Jakarta: Rineka Cipta

Stoltz, P.G. (2004). Adversity Quotient : Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT.Grasindo.

Sufren., Natanael,Y. (2014). Belajar Otodidak SPSS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta : UNY press Sugiyono (2012). Metode Penelitian Administrasi. Bandung : alfabeta

Sujarweni,W.V. (2014). SPSS Untuk Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Baru Press Suldo, S.M., et al. (2009). Sources of Stress for Sudents in High School College

Prepatory and General Education Programs: Group Difference and Associations with Adjustment.Journal of Adolescence, 44, (179). Suryabrata, S . (1995). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Suryadinata,L. (2003). Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa :

dari Asimilasi ke Multikulturalisme. Jurnal Antropologi Indonesia, 71

Sutikno, M. (2004). Menuju Pendidikan Bermutu . Matram: NTP press Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. (2005). Yogyakarta: Pustaka


(61)

(62)

LAMPIRAN 1


(63)

1

Jika saya memperoleh juara kelas

itu karena saya rajin belajar

SS

S

TS

STS

2

Saya tidak bisa membuat guru

menyukai hasil kerja saya

SS

S

TS

STS

3

Nilai saya buruk karena saya

bodoh

SS

S

TS

STS

4

Nilai saya tidak bisa lebih baik dari

sebelumnya meskipun saya sudah

berusaha keras

SS

S

TS

STS

5

Saya akan memilih pindah sekolah

apabila tidak ada teman yang

cocok dengan saya

SS

S

TS

STS

6

Saya akan tetap belajar keras

meskipun nilai saya jelek

SS

S

TS

STS

7

Saya merasa bersalah ketika

teman sekelas menjauhi saya

karena tidak memberi contekan

saat ujian

SS

S

TS

STS

8

Saya tidak pernah juara kelas

karena saya memang orang yang

tidak beruntung

SS

S

TS

STS

9

Saya tidak akan pernah bisa

mengerjakan soal pelajaran yang

tidak saya sukai

SS

S

TS

STS

10

Saya akan memilih pindah sekolah

apabila cara mengajar gurunya

tidak sesuai dengan saya

SS

S

TS

STS


(64)

dengan baik meskipun saya sakit

12

Saya

tidak

bisa

menjawab

pertanyaan dari guru karena saya

tidak memahami penjelasan beliau

SS

S

TS

STS

13

Saya akan baik-baik saja jika

tugas yang banyak segera saya

selesaikan

SS

S

TS

STS

14

Meskipun saya sedang bosan

sekolah, saya akan tetap masuk


(65)

Lampiran 2

Hasil Uji Reliabilitas Dan Uji Daya Beda Aitem


(66)

1. Aspek control

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items

.263 .307 12

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Squared Multiple Correlation Cronbach's Alpha if Item

Deleted

VAR00001 31.2754 7.379 .260 .329 .187

VAR00005 31.1159 8.428 -.138 .120 .357

VAR00009 30.3188 7.956 .044 .152 .261

VAR00013 30.7246 7.438 .156 .220 .217

VAR00017 30.4493 7.751 .068 .157 .253

VAR00021 31.0725 7.068 .125 .150 .225

VAR00025 30.9420 7.555 .260 .406 .197

VAR00029 32.2464 8.071 -.012 .210 .285

VAR00033 31.3623 8.499 -.138 .176 .345

VAR00037 30.9275 6.627 .225 .260 .166

VAR00041 30.3913 7.859 .087 .377 .246


(67)

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items

.444 .461 9

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

VAR00001 24.5652 6.396 .334 .286 .371

VAR00009 23.6087 7.153 .039 .138 .462

VAR00017 23.7391 6.960 .061 .153 .459

VAR00025 24.2319 6.710 .283 .322 .393

VAR00041 23.6812 7.014 .098 .320 .443

VAR00013 24.0145 6.603 .168 .209 .421

VAR00021 24.3623 6.293 .120 .104 .449

VAR00037 24.2174 5.731 .258 .248 .381


(68)

2. Aspek Origin & Ownership

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items

.323 .362 13

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Squared Multiple Correlation Cronbach's Alpha if Item

Deleted

VAR00002 33.4928 9.371 .253 .395 .256

VAR00010 33.6957 9.068 .225 .479 .256

VAR00018 33.1884 10.890 -.103 .225 .370

VAR00026 34.5362 9.664 .215 .271 .273

VAR00034 33.4783 9.930 .032 .208 .337

VAR00042 34.0725 10.862 -.127 .215 .397

VAR00006 33.8986 10.004 .001 .114 .353

VAR00014 33.0725 9.274 .248 .253 .254

VAR00022 33.4203 8.600 .395 .261 .193

VAR00030 34.0290 11.058 -.159 .140 .407

VAR00038 33.2754 10.202 .052 .156 .323

VAR00046 33.6522 8.760 .380 .450 .204

VAR00049 34.2754 9.526 .149 .256 .289

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized


(69)

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items

.519 .536 10

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Squared Multiple Correlation Cronbach's Alpha if Item

Deleted

VAR00002 25.2609 9.372 .247 .373 .485

VAR00010 25.4638 8.988 .237 .400 .486

VAR00026 26.3043 9.597 .228 .192 .492

VAR00034 25.2464 9.541 .101 .174 .533

VAR00014 24.8406 9.283 .241 .200 .486

VAR00022 25.1884 8.626 .384 .225 .442

VAR00038 25.0435 10.189 .050 .122 .535

VAR00046 25.4203 8.247 .512 .393 .405

VAR00049 26.0435 9.072 .243 .241 .485

VAR00006 25.6667 9.667 .056 .064 .552

3. Aspek Endurance

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items


(1)

Variance 46.312

Std. Deviation 6.805

Minimum 84

Maximum 116

Range 32

Interquartile Range 9

Skewness .347 .337

Kurtosis .301 .662

Tests of Normality

SEKOLA H

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

AQ Pembauran .141 47 .021 .937 47 .013

Negeri .096 50 .200* .979 50 .520

a. Lilliefors Significance Correction


(2)

LAMPIRAN 4


(3)

Test of Homogeneity of Variance

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

AQ Based on Mean 8.777 1 95 .004

Based on Median 6.590 1 95 .012

Based on Median and with adjusted df

6.590 1 93.300 .012


(4)

LAMPIRAN 5


(5)

Ranks

SEKOLAH N Mean Rank Sum of Ranks

AQ Pembauran 47 54.68 2570.00

Negeri 50 43.66 2183.00

Total 97

Test Statisticsa

AQ Mann-Whitney U 908.000 Wilcoxon W 2183.000

Z -1.930

Asymp. Sig. (2-tailed)

.054 a. Grouping Variable:


(6)

LAMPIRAN 6