Latar Belakang Masalah Hak istri untuk menolak talak perspektif fiqih dan hukum positif

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ranah hukum ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi, societas”, dimana ada masyarakat, maka disana ada hukum. Hal ini berarti pada setiap perkembangan, corak dan dinamika kehidupan masyarakat, akan ada tatanan, norma dan kaedah hukum yang mengaturnya. Berdasarkan kaedah ini masyarakat diatur, dibimbing dan diarahkan supaya pola hidup yang dijalani tetap teratur dan tertib rule and order serta dapat terjaga hak-hak masing-masing individu. 1 Setiap perkembangan dan dinamika masyarakat, terutama pergulatan sosial, ekonomi, politik dan budaya adalah butuh jawabansolusi dan pembenaran. Hal ini dapat membawa kalangan ahli hukum untuk melakukan telaah dan kajian ulang terhadap berbagai dasar hukum yang selama ini digunakan sebagai pijakannya. Hal itu perlu dilakukan sebagai bagian dari proses untuk mewujudkan idealitas pencarian dan penemuan hukum yang dikenal sebagai proses “recht vinding”. Hal ini berarti ada upaya penggalian dan penemuan kembali berbagai solusi hukum sehubungan dengan kemunculan berbagai persoalan sosial, hukum, politik dan lainnya yang tidak ditemukan dalam dasar hukum utamanya. 2 1 Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, Jakarta: Lintafariska Putra, 2001, Cet. 2, h. 1. 2 Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, h. 2. 2 Berkaitan dengan hal tersebut, dalam masalah perkawinan juga terdapat beberapa permasalahan yang butuh solusi pemecahan. Masalah akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci mitsâqan ghalîzhan yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Hal ini menunjukkan ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera mawaddah wa rahmah dapat terwujud. Namun, seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan. Apabila pergaulan suami istri tidak dapat mencapai tujuan perkawinan seperti yang didambakan, maka hal itu akan mengakibatkan perkawinan harus putus di tengah jalan. Karena tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka di dalam Islam terdapat suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu perceraiantalak. Talak merupakan salah satu formula dari perceraian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Khairuddin Nasution dalam bukunya yang berjudul Status Wanita di Asia Tenggara menyebutkan bahwa dalam kitab-kitab fiqih klasik, menurut Imam Mâlik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah thalâq, khiyârfasakh, khulu, syiqâq, nusyûz, ilâ dan zhihâr. Imam Syafiî, sebagaimana ia nukil menuliskan sebab-sebab 3 putusnya perkawinan adalah thalâq, khulu fasakh, khiyâr, syiqâq, nusyûz, ila, dzihâr dan liân. 3 Dalam kitab-kitab fiqih klasik putusnya perkawinan yang disebabkan talak ada di tangan laki-laki. 4 Bahkan jika diamati, seolah-olah fiqih memberikan aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah talak menjadi hak prerogatif 5 laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya menceraikan istri secara sepihak. 6 Berkenaan dengan hal ini, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa Islam memberikan hak talaknya kepada kaum laki-laki karena kaum laki-lakilah yang memiliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai dengan mahal sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan membutuhkan biaya yang banyak. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa laki-laki mempunyai akal tabiat yang lebih sabar menghadapi perangai istrinya. Dia tidak cepat-cepat menceraikannya. Sebaliknya, perempuan lebih cepat marah, terburu-buru dan tidak menanggung beban perceraian. 7 3 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004, h. 208. 4 Ahmad al-Ghandur, al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun, Mesir: Dar al- Ma’arif, 1967, Cet. Ke-1, h. 32. 5 Yaitu hak Istimewa. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Cet. Ke-5, hal. 370. 6 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam Bandung: Mizan, 2001, h. 170. 7 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, T. Th, V. 2, h. 178. 4 Pelaksanaan talak adalah tindakan sepihak dari suami; oleh karena itu tidak dikenal istilah qabul. Namun apakah keabsahan talak itu diperlukan persetujuan istri, kelihatannya tidak dibahas oleh ulama fiqih, baik secara umum atau dalam bahasan khusus. Hal ini disebabkan karena pendapat ulama secara umum talak itu adalah otoritas 8 mutlak seorang suami. Otoritas itu dapat digunakannya meskipun tidak mendapat persetujuan dari istri yang ditalaknya. 9 Di sisi lain, ternyata beberapa ulama kontemporer menyatakan bahwa walaupun hak talak ada di tangan laki-laki, tapi ia tidak boleh menggunakannya dengan sewenang-wenang. Abu Zahrah bahkan mengatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam permasalahan aqad termasuk di dalamnya tentang aqad pernikahan dan perceraian. Oleh karena itu dalam suatu perceraian butuh adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. 10 Dari berbagai pendapat yang ada, Hukum Perkawinan di Indonesia lebih mengadopsi pendapat yang membatasi hak talak suami. Hal tersebut dapat dilihat dalam Hukum Acara Peradilan Agama yakni dalam rangkaian proses pengajuan permohonan ceraitalak seorang istri diberikan kesempatan untuk menjawab permohonan talak dari suaminya. Pada Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa tergugattermohon, dalam hal ini adalah istri sebagai termohon, dapat mengajukan 8 Yaitu hak untuk bertindak, kekuasaan: wewenang. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, h. 332 9 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, Cet. ke-2, h. 214. 10 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005, h. 279-281. 5 jawaban secara tertulis atau lisan. Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan jawaban dari termohon yakni ia bisa mengiyakan permohonan talak suaminya atau sebaliknya ia akan menjawab untuk tetap mempertahankan rumah tangganya dan menolak permohonan talak dari suaminya. 11 Kesempatan untuk menjawab ini bahkan tidak hanya sekali tapi dua kali yakni dilanjutkan lagi dengan duplik jawaban dari replik pemohon. Dalam praktek perkara perdata pada Pengadilan Agama juga dikenal istilah upaya hukum, yakni suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungankepastian hukum, menurut cara yang telah ditetapkan undang-undang. 12 Upaya hukum dibagi menjadi beberapa jenis yakni adakalanya untuk melawan gugatan, melawan putusan upaya hukum luar biasa istimewa. Adapun upaya hukum untuk melawan putusan di antaranya adalah verzet, banding pasal 61 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 dan kasasi pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 jo pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo KHI pasal 130. Dengan adanya upaya hukum ini, seandainya hakim mengeluarkan putusan yang mengabulkan permohonan perceraian dari suami pada tahap pengadilan tingkat pertama, sedangkan ia istri masih bersikeras untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan tidak ingin 11 Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet-1, h. 97. 12 Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 271. 6 dicerai, maka ia dapat mengajukan upaya hukum untuk mempertahankan haknya. Bahkan, jika ia tidak bisa mendapatkan haknya pada Pengadilan tingkat pertama dengan cara banding, maka ia masih bisa mengajukan upaya hukum pada tingkat Mahkamah Agung yang biasa disebut dengan kasasi. Dari semua realita tersebut, dapat ditemukan indikasi adanya perbedaan antara hukum fiqih dengan hukum positif di Indonesia. Yakni, jika fiqih terkesan tidak memberikan hak bagi seorang istri untuk terlibat dalam talak lebih-lebih dapat mengajukan penolakan terhadap talak yang diajukan suaminya, maka hukum positif Indonesia justru sebaliknya memberikan hak kepada seorang istri untuk dapat turut andil dalam proses talak dan pada beberapa pasalnya menyatakan secara implisit bahwa istri dapat mengajukan hak-nya untuk menolak talak yang diajukan suaminya. Berdasarkan sebuah kesimpulan awal bahwa terdapat perbedaan antara fiqih dengan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan ada atau tidaknya hak istri dalam menolak talak yang diajukan suaminya, maka penulis terinspirasi mengambil judul untuk skripsi ini adalah: “Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih dan Hukum Positif” .

B. Rumusan dan Batasan Masalah