75
Demikianlah kurang-lebih perbedaan yang terjadi antara fiqih dan hukum positif di Indonesia dalam permasalahan peran serta seorang istri dalam perkara talak
bahkan peran istri untuk dapat menolak permohonan talak dari suaminya. Kasus seperti ini dapat dilihat misalnya pada kasus permohonan talak yang diajukan oleh
Bambang Triatmojo kepada Istrinya Halimah. Halimah yang tidak menginginkan rumah tangganya hancur, mengajukan Banding atas permohonan Bambang yang
dimenangkan pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan nomor putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tanggal 16 Januari 2008. Sampai akhirnya, Halimah
dapat memenangkan kasusnya sampai pada Kasasi di Mahkamah Agung sehingga statusnya sampai saat ini adalah masih resmi menjadi istri dari Bambang Triatmojo.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah perbedaan antara fiqih dan hukum positif tersebut dapat dibenarkan dari sisi penetapan syari’ah itu sendiri?.
Inilah yang akan dianalisis lebih mendalam pada sub bab berikutnya.
13
B. Perbedaan Dinamis dan Kontradiktif Antara Hukum Fiqih Dan Hukum
Indonesia
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham pendapat. Ikhtilaf berasal
dari bahasa Arab yang asal katanya mashdar berasal dari khalafa-yakhlifu-khilafan.
13
www.octavita.comkasasi-bambang-tri-ditolak. di akses pada tanggal 6 Juni 2010.
76
Maknanya lebih umum daripada al-dhiddu, sebab setiap hal yang berlawanan; al- dhiddain
, pasti akan saling bertentangan mukhtalifain.
14
Sedangkan ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek masalah tertentu, baik berlainan itu dalam
bentuk “tidak sama” ataupun “betentangan secara diametral”. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf
adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian ketentuan hukum terhadap satu obyek hukum.
15
Perbedaan pendapat merupakan sebuah sunnatullah yang sering terjadi pada diri manusia, hal tersebut ditegaskakn Allah dalam beberapa ayat berikut:
ْﻢﻜﱠإ لْﻮ
ْﺨ .
تﺎ راﺬ ا :
8
Artinya: Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat.
QS. Al-Zariyat: 8
ْﻮ و ءﺎﺷ
ﻚ ر سﺎﱠﻨ ا
ﺔﱠ أ ةﺪ او
و نﻮ اﺰ
ﻦﻴ ْﺨ .
دﻮﻬ ا :
118
Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.
QS. Hud ayat 118 Perbedaan pendapat dalam hukum Islam bagaikan buah yang banyak yang
berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah, bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah
al-Qur’an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil aqli dan naqli, sedangkan buahnya adalah hukum Islam fiqih meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, disamping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya
14
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003, h. 47.
15
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 48.
77
segi-segi khusus yang berlainan dengan agama. Syekh Muhammad al-Madani dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’ membagi sebab-sebab ikhtilaf kepada empat hal
yakni 1 Pemahaman al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, 2 sebab-sebab khusus tentang Sunnah Rasulullah SAW, 3 sebab-sebab yang berkenaan dengan
kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah, dan 4 sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
16
Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Semakin lama semakin berkembang sepanjang
sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi. Apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi
karena perbedaan dalam berijtihad. Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkn tenaga dan pikirannya untuk
menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan
mereka yang pokok adalah sama yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai dengan
ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.
16
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 51.
78
Jawad Mughniyyah dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Fiqih Lima Madzhab
mengatakan bahwa fiqih itu adalah sebuah lautan yang tidak diketahui tepinya. Oleh karena itu, satu masalah saja dapat berkembang dan bercabang-cabang
menjadi sangat banyak. Biasanya, dalam fiqih satu masalah saja dapat mempunyai beberapa pendapat di antara berbagai madzhab, bahkan bisa jadi perbedaan tersebut
terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama dalam satu madzhab tersebut, atau bisa jadi juga terjadi perbedaan yang dikeluarkan oleh satu orang alim saja.
17
Variasi hasil ijtihad-ijtihad tersebut adakalanya merupakan sebuah keragaman tanawwu’
namun bisa jadi merupakan sebuah pertentangan tanaqud dari pokok sumber hukum yakni al-Qur’an dan al-Sunnah.
Yusuf al-Qardhawy mengatakan bahwa Allah SWT telah menitipkan sifat kelenturan, fleksibilitas, dan keluasan yang menakjubkan sehingga membuat syari’at
Islam dapat dirasakan sebagai rahmat bagi pemeluknya; orang mempelajari syari’at dan fiqih akan merasakan luasnya ruang kemaafan manthiqah al’afwa atau ruang
kosong yang sengaja oleh nash-nash agama dibiarkan demikian, sebagai ruang gerak bagi para mujtahid untuk diisi dengan hal-hal yang paling baik bagi umat sesuai
dengan zaman dan kondisinya.
18
Nyatanya, perbedaan yang terjadi dalam pengalaman antara hukum Islam fiqih dengan hukum positif seperti yang sudah
17
Muhammad Jawwad Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B, dkk., Jakarta: Lentera 2001, Cet. 7, h. XX.
18
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 66.
79
penulis paparkan sebelumnya apakah termasuk dalam ruang kemaafan manthiqah al-‘afwa
seperti yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawy?. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu penulis paparkan terlebih dahulu
perbedaan antara syari’ah dan fiqih. Mengenai istilah fiqih, penulis akan mengutip pandangan DR. Wahbah al-Zuhaili, dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Fiqh al-
Islami mengatakan:
Fiqih ialah suatu ilmu yang mengkaji hukum syara’ yaitu titah Allah yang berkaitan dengan aktivitas mu’allaf berupa tuntutan, seperti wajib,
haram, sunnat dan makruh. Atau pilihan yaitu mubah. Ataupun ketetapan seperti sebab, syarat dan mani’, yang kesemuanya digali dari dalil-dalilnya
yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah melalui dalil-dalil terperinci seperti ijma’, qiyas
dan lain sebagainya.
19
Dalam memahami
perbedaan antara
fiqih dan syari’ah, ulama berbeda pendapat dalam tiga kelompok. Pertama, bahwa fiqih itu sama pengertiannya dengan
syari’at. Hal tersebut seperti yang diucapakan oleh Prof TM Hasbi ash Shiddieqy dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hukum Islam sebagai berikut:
Hukum Islam yang sebenarnya tidak lain dari pada Fiqih Islam, atau syari’at Islam, yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
20
Kelompok kedua menyatakan bahwa pengertian fiqih dengan syari’at itu
sesuatu yang berbeda. Fiqih merupakan produk pemikiran manusia yang bersifat relatif terhadap syari’at Allah, sedangkan syari’at adalah nilai-nilai Islam yang
19
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Kairo : Dar al-Fikr, 2001, h. 19.
20
Muhammad Azhar, Fiqih Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam, Yogyakarta: Lesiska, 1996, h. 4.
80
bersifat absolut, universal dan abadi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Ibrahim Hosen:
Sengaja saya bedakan antara hukum fiqih dan hukum syari’ah sesuai dengan pendapat ulama muta’akhirrin. Dulu syari’ah lebih luas. Akidah
termasuk syari’ah. Semua masuk syari’ah. Sekarang syari’ah dikhususkanpada hukum dengan tingkah laku manusia. Syari’ah tidak
menerima penafsiran seperti wajibnya shalat dan haramnya judi. Dalam masalah fiqih, biasa terdapat perbedaan. Itu sudah sifat fiqih. Sedangkan
syari’ah hanya satu.
21
Sedangkan kelompok ketiga mengatakan bahwa fiqih itu secara historis bukan hanya diorientasikan kepada hukum Islam, tetapi juga mencakup disiplin ilmu
lainnya. Jadi, fiqih pada dasarnya berarti faham. Dengan demikian setiap upaya memahami ajaran Islam baik menyangkut hukum, aqidah, akhlak dan lain-lain itu
berrti fiqih. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh DR. Nurcholis Madjid:
Fiqih ialah pemahaman keseluruhan ajaran agama, seperti dimaksudkan dalam kitab suci. Sistem hukum dalam al-Qur’am lebih
merupakan ketentuan etis dan moral daripada ketentuan legal-formal seperti yang ada dalam pengertian fiqih sekarang. Tapi justru karena kenyataan ini,
maka fiqih yang ada sekarang pun tetap mengandung bagian-bagian yang sesungguhnya merupakan perkara etis dan moral. Bukan masalah legal.
Contohnya yang paling mudah adalah selalu dimulainya pembahasan dalam kitab-kitan fiqih dengan bab thaharah atau kebersihan badani.
22
Melihat uraian di atas, secara implisit dinyatakan bahwa al-Qur’an lebih
menekankan aspek moralitas daripada legalitas dalam pemahaman ajaran Islam
21
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan,
Jakarta: Yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia, 1971, Cet. 1, h. 3.
22
Nurkhalish Madjid, Keislaman dan Keindonesiaan Menatap Masa Depan, Makalah KAA Paramadina, Jakarta: 1989.
81
khususnya yang berkenaan dengan hukum Islam. Dengan kata lain aspek moralitas Islam lebih permanen sedangkan aspek legalitasnya cenderung bersifat relatif
kondisional. Dari ketiga pandangan kelompok ahli Islam di atas, penulis berkesimpulan
bahwa pendapat kelompok kedua dan ketiga lebih relevan untuk dijadikan rujukan dalam pembahasan skripsi ini. Dengan catatan sebagai berkut:
Pertama , pembedaan pengertian antara fiqih dan syari’at lebih menjamin dari
kekeliruan dalam upaya memahami ajaran Islam. Jelas mana yang syari’at ajaran Islam yang tetap, tidak diperlukan lagi penafsiran, dan dimana yang disebut fiqih
hasil pemikiran ulama Islam yang terus menerus mengalami penafsiran sesuai perkembangan zaman.
Kedua , menyamaratakan pengertian syari’at dengan fiqih akan menyulitkan
umat Islam sendiri dalam upaya penyesuaian Islam dengan zaman yang berkembang. Karena bila diadakan upaya pembaharuan akan menimbulkan image bahwa ajaran
Islam dirubah-rubah secara keseluruhan. Dengan demikian akan menjadikan Islam sebagai lahan yang empuk bagi orang-orang yang anti Islam karena dengan mudah
mereka menolak keutuhan ajaran Islam. Ketiga
, harus dapat dibedakan antara aspek moralitas Islam dan aspek legalitasnya. Kerancuan dalam memahami perbedaan tersebut akan mengakibatkan
pemahaman umat tentang hukum Islam lebih bersifat skriptualistis dan tekstualis, hal tersebut akan menghambat adanya proses pembaruan hukum Islam, yang pada
akhirnya menjadikan Islam sebagai agama irrelevan dengan zaman.
82
Senada dengan hal tersebut, Abdul Ghani Abdullah mengatakan bahwa hukum Islam memang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Kata “hukum” di sini
berarti wahyu atau produk Allah syari’. Namun, hukum dari Allah tersebut adakalanya muncul dengan bentuk rumusan norma yang sangat kecil sekali
mempunyai peluang interpretasi, sedangkan pada sisi lain rumusan norma menyediakan peluang yang luas bagi interpretasi. Dalam kaitannya dengan bentuk
kedua, timbul pertanyaan sejauh mana peran manusia memunculkan hukum sehingga tetap terjaga kemurniannya dan terhindar dari campur tangan manusia itu sendiri?.
23
Berkenaan dengan apa yang telah dikatakan oleh Abdul Ghani tersebut, menurut penulis sendiri memang benar bahwa dalam nash-nash al-Qur’an dan al-
Hadits sebagian ada yang mempunyai peluang sangat kecil untuk diinterpretasikan atau bisa juga disebut dengan nash-nash yang qath’i dan sebagian lain sangat
mungkin terbuka lebar untuk diinterpretasikan yakni pada nash-nash yang bersifat dzanni
. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah nash-nash tentang talak tersebut adalah termasuk bagian nash-nash yang qath’i atau dzanni?.
Memang, pensyari’atan sebuah talak tersebut diserahkan di tangan suami berdasarkan beberapa nash yang menyebutkan
permasalahan tentang talak dengan mempunyai khithab objek pembicaraan bagi laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada
ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi
ﻤﺘﻘﱠ نإو ﱠﻦهﻮ
Jika kamu menceraikan
23
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 15.
83
Para ulama fiqih memang tidak pernah menyebutkan tentang keterlibatan istri dalam perkara talak, namun jika melihat ruh dari konsep hukum menjatuhkan talak
yang tidak dapat dijatuhkan sembarangan, maka akan dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menjatuhkan talak haruslah dihindari adanya kedzaliman dari pihak
suami kepada pihak istri. Dalam beberapa ayat tentang talak, misalnya pada surat al-Thalaq ayat 1 yang
mempunyai khitab untuk Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
ْ أو ﱠﻦﻬﺗﱠﺪ ﱠﻦهﻮ ﻓ ءﺎ ﻨ ا ﻢ ْﱠﻃ اذإ ﺒﱠﻨ ا ﺎﻬ أ ﺎ ةﱠﺪ ْا اﻮﺼ
قﻼ ا :
1
Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya yang
wajar. QS. al-Thalaq:1
24
QS. al-Baqarah: 237.
25
QS. al-Thalaq:1.
26
QS. al-Thalaq:1.
27
QS. al-Baqarah: 228.
84
Ayat tersebut memang ditujukan kepada Nabi, yang kemudian pensyari’atannya berlaku juga bagi umatnya. Namun, pada faktanya Nabi Muhammad SAW tidak
pernah mentalak salah satu dari sekian banyak istrinya. Pada kisah lainnya, memang benar jika walaupun nabi tidak pernah menjatuhkan talak pada istri-istrinya, namun
para sahabat nabi pernah melakukannya dan nabi Muhammad SAW tidak melarangnya, sebut saja perkara Ibnu Umar yang mentalak istrinya. Nabi tidak
melarang Ibnu Umar mentalak istrinya, hanya saja melarangnya agar tidak menjatuhkan talak di saat istrinya dalam keadan haid thalaq bid’i.
28
Dari kisah tersebut, penulis mempunyai dugaan bahwa seorang Nabi Muhammad SAW tidak pernah mentalak istrinya karena beliau tahu bahwa talak
hanyalah jalan terakhir jika istri benar-benar tidak dapat diajak kepada jalan kebaikan dalam berumah tangga. Begitupun juga dengan Ibnu Umar dan para sahabat lainnya.
Intinya, motif penjatuhan talak Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidaklah sama dengan motif para suami di zaman sekarang ini. Nabi Muhammad adalah
manusia yang ma’shum terjaga dari kesalahan sedangkan para sahabat adalah manusia-manusia yang dekat dengan nabi, dalam artian, memang para sahabat bukan
manusia ma’shum tapi karena mereka dekat dengan manusia ma ‘shum maka segala tindak-tanduk mereka terjaga dan pasti akan diingatkan oleh nabi seandainya mereka
melenceng dari kebenaran. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar diperingatkan oleh nabi karena ia sudah menyalahi prosedur kebenaran.
28
Ibn Ruysd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, T.th, V.II, h. 48.
85
Penulis menduga kuat bahwa Ibnu Umar tidaklah mungkin mentalak istrinya tanpa ada alasan kuat yang membuat dia lebih memilih jalan talak. Adapun
pelarangan nabi terhadapnya hanyalah pada permasalahan prosedural masa penjatuhan talak yakni di saat haid. Yang ingin penulis katakan lebih jauh adalah
bahwa ikut campurnya nabi dalam permasalahan talak yang telah dijatuhkan oleh Ibnu Umar ternyata tidak terbatas pada permasalahan karena talak tersebut
dijatuhkan pada saat haid. Namun, esensi yang lebih kuat dari pelarangan nabi tersebut adalah pelarangan adanya kedzaliman ketika seorang suami menjatuhkan
talak istrinya pada saat haid. Kedzaliman tersebut adalah, jika talak tersebut dijatuhkan pada saat haid, maka akan membuat masa iddah istri menjadi semakin
lama. Ibnu Umar tidak sama seperi nabi, dan para suami pada saat ini tentu sangat
berbeda dengan keduanya. Jika orang seperti Ibnu umar saja dalam kasus perceraiannya melibatkan Nabi harus turun tangan menetapkan maka lebih-lebih bagi
para suami saat ini. Jika kedzaliman kecil yang dilakukan Ibnu Umar telah ditegur oleh Nabi, lalu bagaimana dengan kedzaliman besar yang akan dilakukan oleh para
suami zaman sekarang ini ketika mentalak istrinya. Bedanya, karena nabi sekarang sudah wafat dan tidak mungkin dapat memberikan pertimbangan atau menyalahkan
talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, maka sekarang ada para hakim yang akan memberikan pertimbangan atau menjadi penengah antara suami-istri yang
sedang bertikai tersebut sehingga paling tidak di antara keduanya akan diputuskan seadil-adilnya tanpa membuat kedzaliman bagi keduanya.
86
Dari sinilah, kemudian pada hukum positif di Indonesia dirumuskan beberapa hal yang diluar konteks fiqih ditetapkan untuk menjamin kemaslahatan istri dari
kedzaliman suami dan demi tercapainya keadilan bersama, yakni misalnya dengan melibatkan istri dalam proses pemeriksaan perkara talak bahkan istri mempunyai hak
untuk mengajukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali selama ia merasa hak-haknya belum terpenuhi.
Lebih lanjut, dengan mengutip dari apa yang diungkapkan oleh Abdul Ghani Abdullah bahwa kondisi kemajuan sekarang ini memang membutuhkan tafsiran
ajaran agama secara konstektual, dan sangat tidak relevan apabila selalu dilihat dengan kacamata tekstual.
29
Dengan adanya Undang-Undang atau peraturan yang memberi kewenangan kepada istri untuk melakukan hal yang sama seperti suaminya,
yakni dalam peran yang sama adalah merupakan gambaran betapa besarnya perhatian pembuat Undang-Undang terhadap keaktualan upaya lanjut dari
peningkatan derajat kaum wanita seperti juga yang dikehendaki oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
30
Kedudukan baik yang diberikan oleh ajaran Islam kepada wanita muslim ini kadang tidak jelas tampak
dalam masyarakat Islam di zaman modern. Ini disebabkan karena beberapa faktor yang harus dicari tidak dalam ajaran Islam tetapi pada kebudayaan manusia yang
beragama Islam tersebut yang misunderstood salah paham tentang ajaran agama yang dipeluknya dalam hal penghargaan yang diberikan kepada wanita. Annie
29
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 16.
30
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 32.
87
Besant, salah seorang pimpinan gerakan wanita, dalam bukunya The Life and Teachings Of Muhammad
Madras: 1932, h. 26 mengatakan bahwa hukum Islam jauh melebihi hukum-hukum Barat. Ketentuan al-Qur’an tentang wanita jauh lebih
adil dan liberal dari hukum Barat.
31
Sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abdul Ghani Abdullah, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Amin Suma
juga mengatakan bahwa pada dasarnya dan dalam kenyataanya, praktek ijtihad di Indonesia tidak pernah berhenti, apalagi diberhentikan oleh siapapun dan kapanpun.
Dengan kalimat lain, ijtihad hukum Islam fiqhiyyah di Negara hukum Indonesia, tentu dengan lika-liku pasang-surutnya terus berjalan dan terus dijalankan oleh ahli
fiqih Indonesia fuqaha’ al-indonesia, apapun kategori tingkatan kefaqihan atau kemuftian serta kemujtahidannya. Yang jelas, praktik ijtihad fiqhiyyah di Negara
hukum Indonesia terus berlaku dan diberlakukan, terutama yang bersifat kolektif kelembagaan.
32
Dari beberapa uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa Undang-Undang dan aturan yang sudah ditetapkan dan diberlakukan di Indonesia walaupun berbeda
dengan hasil pemikiran para ulama fuqaha’ klasik adalah merupakan buah pemikiran fuqaha’
pada zaman ini. Perbedaan yang muncul dari buah pemikiran fuqaha’
31
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, h. 37.
32
Amin Suma, Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengalaman Indonesia, Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, h. 28.
88
terdahulu merupakan sebuah perbedaan yang dinamis tanawwu’, yakni sebuah perbedaan yang tidak menyalahi dari hukum asalnya.
C. Solusi Menghadapi Perbedaan