Solusi Menghadapi Perbedaan Hak istri untuk menolak talak perspektif fiqih dan hukum positif

88 terdahulu merupakan sebuah perbedaan yang dinamis tanawwu’, yakni sebuah perbedaan yang tidak menyalahi dari hukum asalnya.

C. Solusi Menghadapi Perbedaan

kondisi kemajuan sekarang ini membutuhkan tafsiran ajaran agama secara konstektual, dan sangat tidak relevan apabila selalu dilihat dengan kacamata tekstual. Konstatansi yang disebut terakhir tersebut akan mengantarkan suatu pandangan bahwa hukum dan fiqih secara kontekstual tidak dapat dibedakan apalagi dipisahkan satu dengan lainnya. Bukan saatnya lagi mempertajam perbedaan tekstual yang memang berlainan, dan melanjutkan kondisi tersebut hanya akan memperkuat anggapan bahwa agama menghambat kemajuan. 33 Dalam masalah adanya perbedaan antara fiqih dan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan permasalahan hukum keluarga yakni Undang-Undang perkawinan, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang perkawinan tersebut tidak selaras dengan hukum Islam dan karena itu beberapa umat muslim di negara Indonesia enggan memahami dan melaksanakannya secara baik dan benar. Hal seperti ini menurut penulis perlu dikomentari. Dalam pembentukan hukum perkawinan nasional, unsur hukum Islam menjadi unsur hukum penentu dalam pembicaraannya di DPR dahulu. Menurut Prof.H.M. Rasjidi, mantan Gurubesar Hukum Islam Dan lembaga-lembaga Islam 33 Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 16. 89 Universitas Indonesia dalam salah satu percakapan dengan para asistennya di FH-UI tahun 1974 sesudah Undang-Undang Perkawinan disahkan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan yang berlaku juga bagi umat Islam Indonesia adalah hasil ijtihad umat Islam Indonesia, melalui para wakilnya di DPR bersama pemerintah, yang bersifat pengembangan pemahaman tentang hukum syari’at atau hukum agama Islam fiqih mengenai perkawinan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah untuk kemashlahatan umat Islam Indonesia. Bertitik tolak dari pandangan ini, dapatlah dimengerti mengapa ketentuan-ketentuan atau kaidah- kaidah yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan itu kemudian dimasukkan ke dalam KHI dan kemudian dianggap sebagai hukum Islam. 34 Mengenai sifat Undang-Undang perkawinan dalam mengangkat harkat dan derajat kedudukan kaum wanita yakni para istri dapat dijelaskan dalam uraian singkat bahwa dalam Undang-Undang perkawinan tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa hak dan kedudukan suami-istri adalah seimbang dalam kehidupan keluarga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989, kata seimbang artinya sama berat kalau ditimbang, sama kuat kalau diukur. Akibatnya adalah bahwa antara suami-istri sama-sama berhak melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Dalam hal perceraian akibat talak, maka wajar jika istri diberi hak untuk berperan-serta dalam prosesnya. 34 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 43. 90 Sebagai solusi dari perbedaan yang ada, maka perlu dipahami bahwa keputusan pemerintah yang kemudian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang atau peraturan lainnya tentunya tidak lepas daripada kaidah: فﺮﺼﺗ مﺎ ﺈْا ﻰ ﺔﱠﻴ ﱠﺮ ا ٌطﻮﻨ ْﺼ ْﺎ ﺔ 35 Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan. Dengan demikian, pemimpin dan seluruh perangkatnya dalam mengambil kebijakan sudah seharusnya mendasarkan pertimbangannya pada kebaikan mashlahah maupun yang lebih mashlahah yakni al-ashlah di antara hal-hal mashlahah lainnya. Pemerintah tidak diperbolehkan mengambil sebuah kebijakan berdasarkan satu pertimbangan saja, walaupun hal tersebut bermanfaat jika masih diyakini ada manfaat yang lebih besar lagi. Kecuali apabila dalam pengambilan kebijakan itu akan berdampak pada hal-hal yang merugikan dan fatal. Kewajiban ini dapat diaplikasikan dengan menggunakan prinsip dasar fiqih, yaitu: ءْرد ﺪ ﺎ ْا ﻰ ْوأ ْﻦ ْﺟ ﺎﺼ ْا 36 Mendahulukan upaya pencegahan hal-hal yang merusak daripada menarik kemashlahatan. Disamping itu, pijakan pemerintah dalam mengambil keputusan adalah memberi perhatian lebih besar pada kemaslahatan yang bersifat umum kemaslahatan universalmashlahah al-‘ammah di atas kemashlahatan individual. Dalam penetapan peraturan yang memberikan ruang peran serta bagi istri dalam permasalahan talak adalah dalam rangka pencapaian mashlahah bahkan ashlah demi keadilan tidak 35 al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, Mesir: Dar al-Salam, 2006, V.1, h. 278. 36 al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, V. 1, h. 161. 91 hanya bagi istri tapi juga bagi suami. Inilah yang penulis maksud dengan kemaslahatan yang bersifat umum kemaslahatan universalmashlahah al-‘ammah. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi rakyat untuk mengikuti arahan dari peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Berkenaan dengan permasalahan menaati peraturan pemerintah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj menyatakan bahwa mentaati perintah imam pemerintah yang berupa pekerjaan haram hanya wajib secara dzahir tidak berdosa bila bila tidak dilaksanakan. Sedangkan untuk pekerjaan makruh dan mubah akan dibagi hukumnya sebagai berikut: 37 Pertama , jika terdapat mashlahah universal mashlahah al-‘ammah maka wajib taat secara dzahir dan bathin taat bathin yakni berdosa jika tidak dilaksanakan. Kedua, sedangkan jika tidak terdapat mashlahah al-‘ammah, maka hanya wajib secara dzahir saja sehingga jika tidak dilakukan tidak akan mendapat dosa. 38 Mengenai status hukum sunnah dan mubah, disesuikan sepenuhnya pada keyakinan orang yang diperintah baca: rakyat. 39 Sebab, mungkin saja antara persepsi seorang imam dan rakyatnya berbeda, misalnya antara kedua belah pihak berbeda madzhab. Sehingga kedua belah pihak dalam memandang status hukum sebuah pekerjaan kadang kala berbeda sesuai keyakinan madzhab masing-masing. 37 Abdul Haq,. dkk, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006, Cet-2, V. II, h. 83. 38 Abdul Haq,. dkk, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, h. 83. 39 Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, Libanon: Dar al-Fikr, 1995, h. 57-58. 92 Namun satu hal yang tidak bisa ditinggalkan juga adalah bahwa keputusan pemerintah hakim adalah sebagai jembatan dari perbedaan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan kaidah: ﻢْﻜ ﻢآﺎ ْا ﻓ ﺋﺎ ْا ْا ْﺨ ﺎﻬﻴﻓ ﻓْﺮ فﺎ ﺨْا 40 Keputusan hakim dalam perbedaan pendapat produk ijtihad dapat menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan. Berdasarkan kaidah tersebut, maka dengan adanya keputusan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan lainnya itu sudah cukup untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan. 40 al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, V. 1, h. 479. 93 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan