26
Bukti keluasan hukum perikatan Islam lainnya adalah bahwa jika dalam hukum perikatan perdata barat hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia saja maka dalam perikatan hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antar manusia hablum minannas tapi juga mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan hablum minallah sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan vertikal dan horizontal. Seperti halnya dalam akad perkawinan yang merupakan
tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar manusia tapi terdapat unsur ibadah di dalamnya. Bahkan di dalam al-Qur’an sebuah pernikahan merupakan sebuah
janji yang kuat
ﻆ ﻏ قﺎﺜ ﻣ
.
B. Akad Nikah dan Prosesnya
1. Akad Nikah Al-Qur’an mengambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yang dijalin oleh
dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan dengan gambaran yang dikemukakan oleh beberapa ayat sebagai berikut:
ْﻴآو وﺬ ْﺄﺗ
ْﺪ و ﻰ ْﻓأ
ْﻢﻜ ْ ﻰ إ
ْ و
نْﺬ أ ْﻢﻜْﻨ
ﺎ ﺎ ﻴ ﺎﻈﻴ ﻏ
ءﺎ ﻨ ا :
21 Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka istri-istrimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
QS. Al-Nisa’: 21
Dalam Surat al-Nisa’ ayat 21 tersebut ikatan perkawinan dinamakan dengan ungkapan
ﻆ ﻏ قﺎﺜ ﻣ
suatu ikatan janji yang kokoh. Berkenaan dengan hal tersebut, Quraish Shihab menyatakan bahwa akad nikah adalah kewajiban
27
Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 187 dinyatakan bahwa jalinan suami istri bagaikan hubungan pakaian, berikut aneka fungsinya dengan orang
yang mengenakannya.
22
Firman Allah SWT:
ﱠﻦه ٌسﺎﺒ
ْﻢﻜ ْﻢ ْأو
ٌسﺎﺒ ﱠﻦﻬ
ةﺮ ﺒ ا
: 187
Artinya: Mereka adalah pakaian bagimu dan kalian adalah pakaian bagi mereka.
QS. al-Baqarah: 187 Demikian juga menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, dalam pasal 1 disebutkan definisi perkawinan dengan istilah ikatan lahir bathin. Arti dari kata ini adalah bahwa perkawinan di samping mempunyai
nilai ikatan yang formil, secara lahir dapat tampak, tapi juga mempunyai ikatan bathin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan bathin
ini tentunya merupakan inti dari perkawinan maupun hubungan yang erat sekali dengan kerohanian sehingga bukan saja unsur jasmani tapi juga peran penting
unsur bathin.
22
Tim Ditperta Depag, Ilmu Fiqih, Jilid III, Jakarta: Departemen Agama, t.th, h. 20-46.
28
Dengan keterangan tersebut di atas, maka akad perkawinan setidaknya mempunyai dua segi pandang yaitu dari segi formil dan sosial keagamaan. Para
ulama yang memandang hanya dari segi formil ketika mengemukaan definisi nikah misalnya seperti apa yang disampaikan Malibari dalam bukunya Qurratu
al-‘Ain bi Muhimmat al-Din yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in:
ءطو ﺔ ﺎ إ ﻦ ﺪ
وﺰﺗ وأ حﺎﻜ
23
Akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata nikah atau tazwij
. Sedangkan dari sisi sosial keagamaan pengertian nikah lebih lengkap
disampaikan oleh Abu Zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syaksiyah sebagai berikut:
ﺎ ﻬﻜ ﺎ ﺪ و ﺎﻬ وﺎ ﺗو ةءﺮ او ﺟﺮ ا ﻦﻴ ةﺮ ا لﺎ ﺪﻴ ﺪ ﻦ ﻴ ﺎ و قﻮ ﻦ
تﺎﺒﺟاو
24
Akad yang mengakibatkan hukum halal pergaulan antara laki-laki dengan perempuan dengan pertolongan serta milk hak dan kewajiban.
Definisi al-Malibari hanya melihat kebolehan hukum dalam hal hubungan laki-laki dengan perempuan yang semula hukumnya adalah haram. Adapun
definisi dari Abu Zahrah disamping melihat hukum halalnya hubungan suami-istri juga melihat kepada aspek akibat hukumnya.
25
Bandingkan hal tersebut di atas dengan segi-segi yang dimuat dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
23
Al-Malibari, Qurrat al-‘Ain, Jakarta : Dar al-Kutub al-Islami, 2010, h. 199.
24
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005, h. 19.
25
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 45.
29
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Jelas kiranya bahwa yang termuat tidak hanya segi hukum formal, tapi sampai kepada maksud sosial keagamaan yakni dengan disebutkannya
“membentuk keluarga” dan “yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Menururt Hanafiyyah, Akad nikah mempunyai dua unsur yaitu ijâb dan
qabûl . Sesuai dengan pandangan bahwa orang yang berakad ‘aqidun merupakan
konsekwensi logis dari adanya ijâb dan qabûl. Pendapat tersebut senada dengan apa yang dipaparkan oleh Abu zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah
bahwa adanya akad nikah adalah dikarenakan dua hal yaitu ijâb dan qabûl. Adapun yang berkaitan dengannya hanya terjadi yakni sebuah syarat. Syarat-
syarat tersebut menurutnya ada lima yaitu: 1 dua orang yang berakad cakap bertindak, 2 Ijâb dan qabûl terjadi dalam satu majlis, 3 sebelum ada ijâb-kabul
tidak boleh diulang 4 antara ijâb dan qabul tidak boleh dipisahkan dengan hal- hal yang menyimpang seperti disela dengan ungkapan kata yang lain, dan 5 ada
persesuain antara ijâb dan qabûl.
26
26
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 45.
30
Menurut Imam Malik rukun akad nikah ada lima yaitu; 1 wali dari memepelai perempuan, 2 maskawin, 3 Mempelai Pria, 4 mempelai wanita
dan 5 shighat, yakni unkapan kata yang menyatakan maksud akad.
27
Adapun menurut Imam Syafi’i juga ada lima rukun tetapi perinciannya berbeda yaitu 1 calon memepelai laki-laki, 2 calon mempelai perempuan, 3
wali, 4 dua orang saksi dan 5 shighat atau ijâb qabûl.
28
Rumusan terakhir inilah yang kemudian dipakai dalam Kompilasi Hukum Islam Inpres Presiden Nomor 1
Tahun 1991 Pasal 14: Untuk melakukan perkawinan harus ada:
a. Calon suami b. Calon istri
c. Wali nikah d. Dua orang saksi, dan
e. Ijan dan kabul.
2. Proses Nikah A. Gani Abdullah menuturkan bahwa dalam perikatan hukum Islam titik
tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar ijâb dan qabûl
dalam tiap perbuatan hukum. Berdasarkan uraian tentang proses terjadinya akad seperti yang sudah dipaparkan oleh Abdoerrauf sebelumnya, maka dalam
konteks akad pernikahan apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar ijâb dan qabûl akan terjadilah akad pernikahan
27
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, Kairo: Dar al-Hadits, 2004, V. IV, h.12.
28
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, h. 12.
31
tersebut perikatan. Dari uraian yang dipaparkan oleh Abdoerrauf tersebut, jika dikaitkan dengan sebuah akad pernikahan, maka dalam akad pernikahan akan
dianggap sah jika melalui tiga tahap di atas. Tahap yang pertama adalah
ﺪﻬ ا
perjanjian. Tahap ini terjadi pada pra akad. Pada tahap ini yang menjadi pihak pertama bisa jadi dari pihak laki-laki
atau sebaliknya yakni dari pihak wanita. Pihak pertama adalah pihak yang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya
dengan kemauan orang lain. Jika dalam tahap ini dari pihak laki-laki yang menawarkan diri maka ialah yang dianggap sebagai pihak pertama begitu juga
sebaliknya. Misalnya ketika seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita atau kepada wali wanita tersebut “saya ingin menikahimuputrimu” atau sebaliknya
ketika seorang wanita atau walinya mengatakan kepada laki-laki “nikahilah aku” atau dengan kalimat “saya ingin menikahkanmu dengan putriku”. kalimat
penawaran-penawaran seperti inilah yang menjadi point dalam perjanjian
ﺪﻬ ا
sebelum pernikahan. Penawaran-penawaran seperti ini biasanya terjadi pada tahap khitbah
. Adapun proses yang kedua adalah
ﻰﺿﺮ ا
persetujuan. Dalam proses akad nikah, Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa sah-
nya suatu akad perkawinan salah satunya adalah adanya keridhoan dari para pihak yang akan menikah yakni wanita dan laki-laki calon pengantin juga wali.
29
Semua
29
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr. T. Th, V. II, h. 3.
32
و ﺎﻨ ﱠﺪ
ﺔﺒْﻴ ﻦْ
ﺪﻴ ﺎﻨ ﱠﺪ
نﺎﻴْ ْﻦ
دﺎ ز ﻦْ
ﺪْ ْﻦ
ﺪْﺒ ﱠ ا
ﻦْ ْ ْا
ﻓﺎ ﻦْ
ﺮْﻴﺒﺟ ﺮﺒْﺨ
ْﻦ ﻦْا
سﺎﱠﺒ ﱠنأ
ﱠ ﺒﱠﻨ ا ﻰﱠ
ﱠ ا ْﻴ
ﻢﱠ و لﺎ
: ﻴﱠ ا
أ ﺎﻬ ْﻨ
... ﺟﺮ أ
ﻢ
Artinya: Seorang janda lebih berhak atas dirinya. HR. Muslim, nomor hadis 2546.
Sedangkan bagi gadis, para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut, termasuk juga perbedaan pendapat terhadap janda yang belum baligh. Dalam hal
ini Malik, Syafi’i dan Ibn Abi Laila berpendapat bahwa seorang ayah dapat menjadi wali mujbir bagi gadis dan janda yang belum baligh. Sedangkan Abu
Hanifah, al-Tsaury, al-Auza’i dan Abu al-Tsaur mengatakan bahwa dalam pernikahan harus memuat keridhoan mereka.
30
Dari keseluruhan perbedaan pendapat yang ada, maka penulis lebih cenderung kepada pendapat madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa keridhoan
pihak wanita dalam pernikahan juga dibutuhkan sebagai penentu absahnya suatu akad pernikahan. Disyariatkannya wali mujbir adalah untuk menjaga
kemashlahatan wanita yang belum baligh dan masih kecil bukan untuk memaksa
30
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 4.
33
wanita yang sudah baligh dan berakal. Sedangkan bagi wanita yang sudah baligh dan berakal tentunya sudah dapat memilih calon suami yang pantas baginya.
Posisi wali dalam hal ini adalah sebagai orang tua untuk tempat bermusyawarah dan memberikan pengarahan serta pendapat sebagai bekal untuk menempuh
kehidupan yang baru bagi putri-putrinya, karena boleh jadi ada beberapa hal yang belum diketahuinya sedangkan ia belum mencoba kehidupan rumah tangga.
Maka, para wali dalam hal ini bertindak sebagai penasehat dalam hal yang dianggap perlu demi kemaslahatan.
Jadi, kuasa yang diberikan kepada laki-laki bukan untuk merampas hak- hak wanita. Apapun statusnya, seorang wanita berhak dalam mengutarakan
pendapat untuk perkawinannya. Hal ini dapat dilihat dari dua hadis yang masing- masing menunjukkan betapa pentingnya mendapat keridhoan dari wanita sebagai
syarat kesempurnaan akad nikah. Hadis yang pertama adalah hadis yang diriwayatkan dari kisah Khansa’
binti Khalid al-Anshary:
ﺎﻨ ﱠﺪ ﺒﻨْ ْا
ْﻦ ﻚ ﺎ
ْﻦ ﺪْﺒ
ﻦ ْ ﱠﺮ ا ﻦْ
ﻢ ﺎ ْا ْﻦ
ﻴ أ ْﻦ
ﺪْﺒ ﻦ ْ ﱠﺮ ا
و ْ ﻨْا
ﺪ ﺰ ﻦْﻴﱠرﺎﺼْﺄْا
ْﻦ ءﺎ ْﻨ
ْﻨ ماﺬ
ﺔﱠرﺎﺼْﺄْا :
ﱠنأ ﺎهﺎ أ
ﺎﻬﺟﱠوز هو
ٌ ﻴ ْ هﺮﻜﻓ
ﻚ ذ ْتءﺎ ﻓ
لﻮ ر ﱠ ا
ﻰﱠ ﱠ ا
ْﻴ ﻢﱠ و
ْتﺮآﺬﻓ ﻚ ذ
ﱠدﺮﻓ ﺎﻬ ﺎﻜ
. اور
ﻮ أ دواد
ئﺎ ﻨ او
Artinya: Bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya padahal ia janda dan tidak menyukai hal tersebut. Karena itu ia datang dan mengadu kepada
Rasulullah. Setelah itu beliau membatalkan perkawinan tersebut. HR. Abu
Dawud, hadis nomor 1797 dan al-Nasa’i, hadis nomor 3216. Hadis kedua diriwyatkan oleh Abu Daud dan Ahmad dari Ibn Abbas:
34
ﺎﻨ ﱠﺪ نﺎ ْ
ﻦْ أ
ﺔﺒْﻴﺷ ﺎﻨ ﱠﺪ
ﻦْﻴ ﻦْ
ﺪﱠ ﺎﻨ ﱠﺪ
ﺮ ﺮﺟ ﻦْ
مزﺎ ْﻦ
بﻮ أ ْﻦ
ﺔ ﺮْﻜ ْﻦ
ﻦْا سﺎﱠﺒ
ﱠنأ ﺔ رﺎﺟ
اﺮْﻜ ﺗأ
ْ ﱠ ﺒﱠﻨ ا
ﻰﱠ ﱠ ا
ْﻴ ﻢﱠ و
ْتﺮآﺬﻓ ﱠنأ
ﺎهﺎ أ ﺎﻬﺟﱠوز
هو ٌﺔهرﺎآ
ﺎهﺮﱠﻴﺨﻓ ﺒﱠﻨ ا
. اور
ﻮ أ دواد
Artinya: Bahwa seorang gadis datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW, bahwa ia telah dinikahkan oleh ayahnya padahal ia tidak menyukai. Lalu
beliau memberinya kesempatan untuk memilih. HR. Sunan Abi Dawud, hadis
nomor 1794. Dalam kelanjutan hadis tersebut, kemudian wanita itu berkata:
Ya Rasulullah, saya sekarang telah memperkenankan apa yang dilakukan ayah saya itu, sebenarnya saya hanya menginginkan agar kaum wanita tahu
bahwa para orang tua tidak memiliki hak memaksa dalam persoalan ini .
Menurut keterangan kitab Subulu al-Salam bahwa boleh jadi wanita tersebut
ﺔ رﺎﺠ ا
adalah gadis yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, yang telah dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan sepupunya yang sekufu’.
Sekalipun sandainya wanita tersebut seorang janda, maka ia hanya ingin menegaskan bahwa kaum wanita hendaknya tahu bahwa para orang tua tidak
berhak memaksa dalam urusan ini dan Nabi-pun menyetujuinya dengan tidak adanya sanggahan dari beliau.
Islam memberi dua kesempatan kepada wanita untuk mengemukakan pendapat dan tanggapan sebagaimana yang diberikan pada laki-laki, yakni pada
saat khitbah dan pada saat berlangsungnya akad nikah. Pada saat khitbah, Islam membolehkan wanita melihat calon suaminya dan mendengarkan perkataannya
35
untuk memperoleh kesan di dalam hatinya tentang calon suaminya tersebut. begitu juga sebaliknya bagi laki-laki terhadap calon istrinya.
31
Jika pada saat khitbah saja wanita diminta pendapatnya tentang calon suaminya dengan diadakannya tatap muka, maka lebih-lebih jika di saat
terjadinya pelaksanaan akad. Hanya saja, jika wanita tersebut berstatus gadis memang tidak diminta untuk menyatakan pendapat dan tanggapannya secara
terbuka dan berterus terang, hal ini barangkali terbentur dengan rasa malu. Lagi pula, Islam tidak menginginkan seorang gadis menyatakan hasrat serta minatnya
secara terbuka dan berterus terang dalam pertemuannya dengan laki-laki, sedangkan ia masih jauh dari ambang kehidupan suami-istri. Artinya, si calon
suami tidak akan menolak sikapnya sekalipun tidak menyatakan isi hatinya secara terbuka.
32
Memang akad nikah seorang gadis diwakili oleh walinya, berbeda dengan janda yang dapat melakukannya sendiri, bahkan lebih utama apabila dilakukannya
sendiri. Misalnya saja dalam akad nikah terdapat shighat yang terdiri dari adanya sebuah ijâb dari pihak perempuan dan qabûl dari pihak laki-laki. Artinya, dalam
akad perkawinan pihak wanita menyatakan perkawinannya kepada pihak laki- laki, dan dalam waktu yang bersamaan pula pihak pria menerima pernyataan
tersebut. Tentunya bagi seorang gadis yang belum pernah berhubungan badan
31
Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban
, alih bahasa oleh Fathurrahman, Jakarta: Gema Insani Pers, 1990, cet-6, h. 48.
32
Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban
, h. 49.
36
dengan laki-laki akan merasa malu untuk menyatakan kesediannya. Dari sinilah timbul adanya perwalian tersebut.
33
Oleh karena itu dalam sebuah hadis disebutkan:
ﱠﺪ ﺎﻨ
ﺪﱠ ﻦْ
ﺔ اﺪ ﻦْ
ﻦﻴْ أ ﺎﻨ ﱠﺪ
ﻮ أ ةﺪْﻴﺒ
داﱠﺪ ْا ْﻦ
ﻮ ﻴﺋاﺮْ إو
ْﻦ أ
ْ إ ْﻦ
أ ةدْﺮ
ْﻦ أ
ﻰ ﻮ ﱠنأ
ﱠ ﺒﱠﻨ ا ﻰﱠ
ﱠ ا ْﻴ
ﻢﱠ و لﺎ
: ﺎ
حﺎﻜ ﺎﱠإ
ﻮ .
اور ﻮ أ
دواد يﺬ ﺮ او
ﻦ او ﺟﺎ
Artinya: Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan adanya wali”. HR. Sunan Abi Dawud, hadis nomor 1785. Tirmidzi, hadis nomor 1020. Ibnu Majah,
hadis nomor 1869 Dalam masalah adanya pendapat fiqih bahwa seorang ayah berhak
mengawinkan putrinya yang telah baligh tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu sebagaimana populer dalam mazhab Syafi’i, maka kita sebelumnya harus
mendudukkan persoalan dalam koridor prinsip dan kaidah syariah. Setiap mujtahid boleh jadi benar atau bisa pula keliru dan bahwa setiap orang boleh
diambil dan ditinggalkan pendapatnya kecuali Rasulullah, termasuk dalam hal ini adalah Imam Syafi’i. Meskipun beliau adalah seorang Imam besar, tetapi beliau
adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, dan beliau pernah berkata: “Pendapatku ini benar tetapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat
orang selainku adalah salah tetapi mengandung kemungkinan benar”.
34
Beliau
33
Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban
, h. 49.
34
Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal Ila Dirasat al-Madzahib al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al- Salam, 2007, Cet.2, h. 27.
37
juga pernah mengatakan: “Bila suatu hadits adalah ternyata shahih, maka itulah mazhabku”.
35
Dalam masalah perjodohan Nabi saw mewajibkan adanya musyawarah untuk berunding dan meminta izin kepada objek perjodohan calon pengantin
laki-laki maupun perempuan. Hal itu karena perjodohan tidak sah tanpa didasari prinsip sukarela ‘an taradhin wa tasyawurin sekalipun yang menikahkannya
ayahnya sendiri. Nabi saw bersabda yang artinya: Tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya
terlebih dahulu .” Para sahabat bertanya, “bagaimanakah izin persetujuannya
itu ?” beliau menjawab, “jika ia diam tidak menolak”. “seorang gadis harus
diminta persetujuannya dalam pernikahan dirinya dan persetujuannya cukup dengan diamnya
. HR. Abu Dawud Sudah diketahui bahwa Islam mengatur bahwa permasalahan harta yang
dimiliki seorang anak perempuan saja seorang ayah tidak berhak membelanjakannya tanpa seizin anaknya bila ia telah dewasa dan normal
pikirannya apalagi dalam hal penentuan nasib dirinya dalam perjodohannya. Oleh karena itu kawin paksa dengan orang yang tidak ia sukai bertentangan dengan
prinsip Islam dan logika karena dalam hal jual beli atau sewa-menyewa bagi kepentingan anak Allah tidak memperkenankan seorang wali memaksakan
kehendaknya melainkan dengan persetujuan anak tersebut, termasuk dalam masalah makan, minum, pakaian yang tidak disukainya. Maka, bagaimana
35
‘Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal Ila Dirasat al-Madzahib al-Fiqhiyyah, h. 27.
38
mungkin wali anak diperbolehkan memaksa anaknya untuk melakukan hubungan suami istri dengan orang yang tidak disukainya atau dibencinya?
Allah menjalinkan cinta dan kasih sayang antara suami-istri. Oleh karena itu, jika pernikahan itu sendiri dilandasi oleh perasaan tidak suka dan ingin
melarikan diri dari calon suami, maka akankah tumbuh cinta dan kasih sayang dalam perkawinan tersebut?.
Namun dalam beberapa kasus tertentu seorang anak dapat dijodohkan dan dipaksa dalam pernikahan ataupun sebaliknya. Pelarangan menikah sebagaimana
dijelaskan oleh madzhab Syafi’i tersebut di atas, disamping itu yang paling utama adalah apabila dikarenakan alasan penjagaan agama hifdzuddin dan
pertimbangan moral ataupun unsur kufu’ lainnya selama tidak merugikan kepentingan anak dan sesuai kaedah syariah.
36
Adapun posisi wali dalam pernikahan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Hikmahnya adalah agar pernikahan tersebut sempurna dengan adanya
kerelaan dari berbagai pihak yang terkait secara keseluruhan. Selain itu, agar wanita yang menikah tidak hanya berada di bawah kasih sayang atau kekuasaan
suami saja, karena wanita yang menikah tanpa seizin keluarganya, pada umumnya tidak lagi mendapatkan perhatian.
36
Lihat QS.An-Nur:32, Al-Qashash: 27, Al-Baqarah:231-232.
39
Adapun beberapa pertimbangan mengapa dalam suatu akad pernikahan itu perlu mendapatkan persetujuan baik dari pihak laki-laki dan wanita calon
pengantin adalah: 1. Sebagai pengakuan terhadap nilai martabat wanita bahwa ia bukanlah
komoditi yang bisa diperjual-belikan dengan mahar oleh walinya melalui jalan pernikahan.
2. Tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak wanita dan laki-laki calon pengantin merupakan salah satu dasar dari kebahagiaan bagi keduanya
setelah menjadi suami-istri. Hal tersebut tentu saja dapat didapatkan jika perkawinan tersebut berlangsung melalui pilihan masing-masing dan suka
sama suka. Bagaimanapun juga, yang akan menjalani biduk rumah tangga bukanlah wali dengan calon pengantin laki-laki tersebut tapi antara wanita dan
laki-laki calon pengantin yang nantinya akan menjadi sepasang suami-istri. 3. Memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan seorang pasti
mengakibatkan banyak kesulitan. Perkawinan yang dipaksakan hanya membuat perkawinan tersebut sulit dibangun dengan kasih sayang.
37
Selanjutnya, setelah keridhoan diperoleh, maka proses akad perikatan ini sampai pada tahap pengucapan ikrar ijâb dan qabûl. Ijâb diawali dari pihak
wanita melalui walinya yang kemudian dilanjutkan dengan qabûl dari pihak laki- laki. Setelah aqad dianggap sah, maka ia akan mengikat para pihak-pihaknya
37
Sa’id Abdul Aziz al-Jandul, Wanita dalam Naungan Islam, alih bahasa oleh Syafril Halim, Jakarta: Firdaus, 1992, h. 55.
40
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuai terhadap tugas dan kewajiban masing-masing yang disebut dengan iltizam. Iltizam sendiri selalu berjalan
beriringan dengan sebuah hak. Jadi, antara hak dan iltizam keduanya terkait dalam satu konsep.
38
C. Putusnya Ikatan Perkawinan