Perikatan Hak istri untuk menolak talak perspektif fiqih dan hukum positif

18 BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG AKAD NIKAH SEBAGAI SEBUAH PERIKATAN

A. Perikatan

1. Arti Perikatan, Akad dan Perjanjian Dua pihak subyek hukum terdiri dari dua unsur, apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dengan kata-kata atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. Perikatan menurut para ulama ahli fiqih biasa disebut dengan ‘aqdun ﺪﻘ . 1 Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan dan mengikat. Dikatakan ikatan ﺑﺮ ا maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali yang mengikatkan salah satunya pada yang lainnya sehingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seuntas tali yang satu. 2 Para ahli hukum Islam jumhur ulama memberikan definisi akad adalah: ﻓ ﺮ أ ﺒ ﺮﺷ ﺟو ﻰ لﻮﺒ بﺎ إ طﺎﺒﺗرإ Pertalian antara ijâb dan qabûl yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. 3 1 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Rajawali Press, 1995, Cet-1, h. 1. 2 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, Cet-1, h. 75. 3 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 76. Lihat juga Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, Cet-1, h. 247: Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum 19 Pengertian lebih lengkap tentang akad atau perikatan adalah: ﺮﻴﻏو مﻼآ ﻦ ﻦﻴﺗدارإ ﻦﻴ طﺎﺒﺗرﻹا ﻢ ﺎ ﻮه ﺪ ا ﻦﻴﻓﺮﻃ ﻦﻴ ماﺰ ﻹا ﻴ ﺗﺮ و Akad adalah suatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain dan kemudian karenanya timbul ketentuankepastian pada dua sisinya . 4 Dalam KUH Perdata, Subekti memberi pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 5 Sedangkan pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 6 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, diantaranya seperti yang telah dipaparkan oleh Subekti, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa perjanjian itu menimbulkan suatu hubungan di antara para pihak tertentu yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena Mu’amalat Hukum Perdata Islam , ed. Revisi, Yogyakarta: UII Press, 2000, h. 65: dan Teuku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, h. 14. 4 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 1. 5 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1992, Cet. 14, h. 1. 6 Subekti, Hukum Perjanjian, h. 1. 20 persetujuan baik karena Undang-Undang”. Dari pasal ini, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. 7 Abdoerrauf mengemukakan bahwa terjadinya suatu perikatan ﺪﻘ ا adalah melalui tiga tahap sebagai berikut: 1. ﺪﻬ ا perjanjian, yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang orang yang menyatakanya untuk melaksanakan janjinya tersebut. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 76 yang mempunyai arti: “Bagi siapa yang menepati janji dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa” . QS. Ali Imran: 76 2. ﻰﺿﺮ ا persetujuan yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama. 3. Apabila dua janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan ﺪﻘ ا oleh al-Qur’an yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 1 yang mempunyai arti sebagaimana berikut: Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji yang sudah diakadkan . QS. al-Maidah ayat 1 8 7 Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, Cet-2, h. 47. 8 Janji-janji disini adalah janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. 21 Setelah itu, maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian ﺪﻬ ا tapi sudah menjadi ﺪﻘ ا . 9 Proses di atas senada dengan esensi akad yang dipaparkan oleh Ibnu Taymiyyah dari madzhab Hambali sebagai berikut: ﺎ ر دﻮ ا ﻓ ﻷا ﺎﻬﺒﺟوأ ﺎ ه ﺎﻬ ﻴ و ﻦ ﺪ ﺎ ا Asal akad itu adalah kerelaaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban yang mereka tentukan. 10 Proses akad ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Karena merupakan hubungan, maka perikatan atau akad ini timbul bisa karena perjanjian. Misalnya seorang mengemukakan janji menyerahkan barang untuk mendapatkan uang dan pembeli mengemukakan janji membayarkan uang untuk bisa menikmati barang. Dalam contoh ini perikatan yang terjadi kelihatan kongkret, ada pihak pertama yaitu penjual, pihak kedua yaitu pembeli, ada prestasi yaitu barang dan uang, kemudian ada ijâb dan qabûl dari masing-masing pihak. Sifat kongkret ini timbul karena perikatan tersebut timbul dari sebuah perjanjian. 11 Namun, dalam penuturan lainnya Subekti mengatakan perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, yakni suatu pengertian yang tidak dapat dilihat tapi dapat dibayangkan dalam pikiran. Hal tersebut dikarenakan bahwa 9 Abdoerraoef, al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, h. 122-123. 10 T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 84. 11 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 2. 22 perikatan tersebut timbul tidaklah terbatas karena sebuah perjanjian atau persetujuan dua pihak namun dapat juga timbul karena ketentuan undang-undang, syara’, atau dari Undang-Undang karena perbuatan manusia. 12 2. Unsur Perikatan Menurut jumhur ulama selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa unsur atau rukun dari akad itu ada lima, yaitu: 1. al-Aqidun, pelaku perikatan, baik yang terdiri dari seseorang atau sejumlah beberapa orang tertentu, sepihak atau beberapa pihak. 2. Mahall al-aqd, bisa juga disebut ma’qud ‘alaihi yaitu benda yang menjadi objek. Kalau dalam akad jual beli, maka contohnya adalah barang yang diperjualbelikan. 3. Maudû’ al-aqd yaitu tujuan atau maksud pokok dari adanya akad. Misalnya dalam jual beli adalah seperti pemindahan hak milik melalui pembayaran. 4. Ijâb yaitu salah satu shigat al-aqd adalah suatu perkataan yang menunjukkan kehendak mengenai suatu akad dan diucapkan oleh pihak pertama. 5. Qabûl, yaitu salah satu shigat al-aqd adalah perkataan yang menunjukkan persetujuan terhadap kehendak akad diungkapkan sebagai jawaban terhadap ijâb . 13 12 Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasioanal, Bandung: Alumni, 1984, h. 10. 13 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 7. 23 Untuk setiap rukun akad tersebut oleh para ulama dtentukan syarat masing-masing dan secara keseluruhan di dalam KUH Perdata pasal 1320 disebutkan sebagai berikut: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Mas’adi dan Fathurrahman Djamil menuturkan lebih komplek tentang unsur akad dalam Islam adalah sebagai berikut: 1. Pertalian ijâb dan qabûl 2. Dibenarkan oleh syara’, akad yang bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dan Rasulnya mengakibatkan tidak sahnya suatu akad. 3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya. 14 Menurut pandangan madzhab Hanafi, bahwa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perikatan atau akad adalah hanya dua unsur saja yaitu ijâb dan qabûl . Artinya, jika hanya ada ijâb saja tanpa qabûl atau hanya ada qabûl tanpa ijâb , maka perikatan tidak akan pernah terwujud sama sekali. Oleh karena itu, menurut mereka ialah dua hal tersebut. Sementara hal yang lain misalnya orang yang berakad hanyalah merupakan konsekwensi logis dari terwujudnya suatu ijâb 14 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., h. 248. lihat juga Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstua, h. 76-77. 24 dan qabûl, bukan rukun yang berdiri sendiri yang menjadi sebab terwujudnya akad tersebut. 15 Alasan lainnya adalah bahwa selain shighat, semuanya itu bukanlah bagian dari tasharruf al-aqd perbuatan hukum akad. Semua itu adalah berada di luar perbuatan akad syarat. 16 Perbedaan mengenai rukun dan syarat menurut ulama fiqih adalah bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri. Sedangkan syarat adalah merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi berad di luar hukum itu sendiri. 17 Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah perikatan vebintenis dalam KUH Perdata. 18 Namun, perikatan dalam KUH Perdata hanya dibatasi pada permasalahan harta. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jaenal Aripin dan Kama Rusdiana dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Hukum Perdata, bahwa yang dimaksud perikatan dalam KUH Perdata adalah hubungan hukum yang terletak dalam lapangan harta kekayaan yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak berhak atas prestasi kreditur dan pihak lainnya berkewajiban menyerahkan prestasi 15 Muhammad Salam Madzkur, al-Fiqh al-Islami al-Madkhal Wa al-Amwal Wa al-Huquq Wa al-Maliyah Wa al-‘Uqud , t.tp: 1955, h. 356. 16 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 79. 17 Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. H. 1510. 18 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., h. 248. 25 debitur. 19 Sedangkan dalam perikatan Islam secara tradisional dapat dikatakan bahwa materi pembahasannya merupakan bagian dari hukum mu’amalah dalam kitab-kitab fiqih yang biasanya bahkan meliputi cakupan yang lebih luas, termasuk di dalamnya bidang perkawinan akad nikah, wakaf, kontrak kerja dan sebagainya. 20 Hal ini senada dengan perkataan Prof. Amin Suma dalam bukunya Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia yang menukil dari perkataan Zaid bin Aslam bahwa al-‘uqud dibagi kedalam enam macam yakni: 1 janji Allah ‘ahd Allah, 2 janji dalam bentuk sumpah ‘aqd al-halaf , 3 janji bersyarikat ‘aqd al-syarikah, 4 perikatan jual-beli ‘aqd al- bay’ , 5 perikatan perkawinan ‘aqd al-nikah dan 6 janji sumpah ‘aqd al- yamin . 21 Dapat disimpulkan, bahwa subtansi dari perikatan hukum Islam lebih luas dari materi yang terdapat dalam hukum perikatan perdata Barat. Hal ini dapat dilihat bahwa jika dalam hukum perikatan perdata Barat hanya dibatasi pada permasalahan harta benda maka dalam perikatan Islam lebih dari itu, yakni termasuk juga di dalamnya adalah masalah perkawinan dan lain sebagainya. Dan memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masalah perkawinan juga tidak dapat lepas dari permasalahan harta antara suami-istri nantinya. 19 Kama Rusdiana dan Jaenal aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Press, 2007, Cet-1, h. 99.s 20 Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 2. 21 Amin Suma, Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia , Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2010, h. 11. 26 Bukti keluasan hukum perikatan Islam lainnya adalah bahwa jika dalam hukum perikatan perdata barat hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja maka dalam perikatan hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antar manusia hablum minannas tapi juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhan hablum minallah sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan vertikal dan horizontal. Seperti halnya dalam akad perkawinan yang merupakan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar manusia tapi terdapat unsur ibadah di dalamnya. Bahkan di dalam al-Qur’an sebuah pernikahan merupakan sebuah janji yang kuat ﻆ ﻏ قﺎﺜ ﻣ .

B. Akad Nikah dan Prosesnya