Hak istri untuk menolak talak perspektif fiqih dan hukum positif

(1)

Universitas Islam Negeri 

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh:

ELI ERMAWATI MS NIM: 1060 4410 13 67

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ranah hukum ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi, societas”, dimana ada masyarakat, maka disana ada hukum. Hal ini berarti pada setiap perkembangan, corak dan dinamika kehidupan masyarakat, akan ada tatanan, norma dan kaedah hukum yang mengaturnya. Berdasarkan kaedah ini masyarakat diatur, dibimbing dan diarahkan supaya pola hidup yang dijalani tetap teratur dan tertib (rule and order) serta dapat terjaga hak-hak masing-masing individu.1

Setiap perkembangan dan dinamika masyarakat, terutama pergulatan sosial, ekonomi, politik dan budaya adalah butuh jawaban/solusi dan pembenaran. Hal ini dapat membawa kalangan ahli hukum untuk melakukan telaah dan kajian ulang terhadap berbagai dasar hukum yang selama ini digunakan sebagai pijakannya. Hal itu perlu dilakukan sebagai bagian dari proses untuk mewujudkan idealitas pencarian dan penemuan hukum yang dikenal sebagai proses “recht vinding”. Hal ini berarti ada upaya penggalian dan penemuan kembali berbagai solusi hukum sehubungan dengan kemunculan berbagai persoalan sosial, hukum, politik dan lainnya yang tidak ditemukan dalam dasar hukum utamanya.2

       1

Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, (Jakarta: Lintafariska Putra, 2001), Cet. 2, h. 1. 

2


(3)

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam masalah perkawinan juga terdapat beberapa permasalahan yang butuh solusi pemecahan. Masalah akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsâqan ghalîzhan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Hal ini menunjukkan ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.

Namun, seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan. Apabila pergaulan suami istri tidak dapat mencapai tujuan perkawinan seperti yang didambakan, maka hal itu akan mengakibatkan perkawinan harus putus di tengah jalan. Karena tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka di dalam Islam terdapat suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu perceraian/talak.

Talak merupakan salah satu formula dari perceraian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Khairuddin Nasution dalam bukunya yang berjudul Status Wanita di Asia Tenggara menyebutkan bahwa dalam kitab-kitab fiqih klasik, menurut Imam Mâlik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah thalâq, khiyâr/fasakh, khulu', syiqâq, nusyûz, ilâ' dan zhihâr. Imam Syafi'î, sebagaimana ia nukil menuliskan sebab-sebab


(4)

putusnya perkawinan adalah thalâq, khulu' fasakh, khiyâr, syiqâq, nusyûz, ila', dzihâr dan li'ân.3

Dalam kitab-kitab fiqih klasik putusnya perkawinan yang disebabkan talak ada di tangan laki-laki.4 Bahkan jika diamati, seolah-olah fiqih memberikan aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah talak menjadi hak prerogatif5 laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya menceraikan istri secara sepihak.6

Berkenaan dengan hal ini, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa Islam memberikan hak talaknya kepada kaum laki-laki karena kaum laki-lakilah yang memiliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai dengan mahal sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan membutuhkan biaya yang banyak. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa laki-laki mempunyai akal tabiat yang lebih sabar menghadapi perangai istrinya. Dia tidak cepat-cepat menceraikannya. Sebaliknya, perempuan lebih cepat marah, terburu-buru dan tidak menanggung beban perceraian.7

       3

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 208. 

4

Ahmad al-Ghandur, al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1967), Cet. Ke-1, h. 32.  

5

Yaitu hak Istimewa. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Cet. Ke-5, hal. 370. 

6

Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 2001), h. 170. 

7


(5)

Pelaksanaan talak adalah tindakan sepihak dari suami; oleh karena itu tidak dikenal istilah qabul. Namun apakah keabsahan talak itu diperlukan persetujuan istri, kelihatannya tidak dibahas oleh ulama fiqih, baik secara umum atau dalam bahasan khusus. Hal ini disebabkan karena pendapat ulama secara umum talak itu adalah otoritas8 mutlak seorang suami. Otoritas itu dapat digunakannya meskipun tidak mendapat persetujuan dari istri yang ditalaknya.9

Di sisi lain, ternyata beberapa ulama kontemporer menyatakan bahwa walaupun hak talak ada di tangan laki-laki, tapi ia tidak boleh menggunakannya dengan sewenang-wenang. Abu Zahrah bahkan mengatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam permasalahan aqad termasuk di dalamnya tentang aqad pernikahan dan perceraian. Oleh karena itu dalam suatu perceraian butuh adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.10

Dari berbagai pendapat yang ada, Hukum Perkawinan di Indonesia lebih mengadopsi pendapat yang membatasi hak talak suami. Hal tersebut dapat dilihat dalam Hukum Acara Peradilan Agama yakni dalam rangkaian proses pengajuan permohonan cerai/talak seorang istri diberikan kesempatan untuk menjawab permohonan talak dari suaminya. Pada Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa tergugat/termohon, dalam hal ini adalah istri sebagai termohon, dapat mengajukan

       8

Yaitu hak untuk bertindak, kekuasaan: wewenang. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, h. 332 

9

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. ke-2, h. 214. 

10

Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 279-281.  


(6)

jawaban secara tertulis atau lisan. Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan jawaban dari termohon yakni ia bisa mengiyakan permohonan talak suaminya atau sebaliknya ia akan menjawab untuk tetap mempertahankan rumah tangganya dan menolak permohonan talak dari suaminya.11 Kesempatan untuk menjawab ini bahkan tidak hanya sekali tapi dua kali yakni dilanjutkan lagi dengan duplik (jawaban dari replik pemohon).

Dalam praktek perkara perdata pada Pengadilan Agama juga dikenal istilah upaya hukum, yakni suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara yang telah ditetapkan undang-undang.12 Upaya hukum dibagi menjadi beberapa jenis yakni adakalanya untuk melawan gugatan, melawan putusan upaya hukum luar biasa (istimewa). Adapun upaya hukum untuk melawan putusan di antaranya adalah verzet, banding (pasal 61 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989) dan kasasi (pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 jo pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo KHI pasal 130). Dengan adanya upaya hukum ini, seandainya hakim mengeluarkan putusan yang mengabulkan permohonan perceraian dari suami pada tahap pengadilan tingkat pertama, sedangkan ia (istri) masih bersikeras untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan tidak ingin

       11

Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet-1, h. 97. 

12


(7)

dicerai, maka ia dapat mengajukan upaya hukum untuk mempertahankan haknya. Bahkan, jika ia tidak bisa mendapatkan haknya pada Pengadilan tingkat pertama dengan cara banding, maka ia masih bisa mengajukan upaya hukum pada tingkat Mahkamah Agung yang biasa disebut dengan kasasi.

Dari semua realita tersebut, dapat ditemukan indikasi adanya perbedaan antara hukum fiqih dengan hukum positif di Indonesia. Yakni, jika fiqih terkesan tidak memberikan hak bagi seorang istri untuk terlibat dalam talak lebih-lebih dapat mengajukan penolakan terhadap talak yang diajukan suaminya, maka hukum positif Indonesia justru sebaliknya memberikan hak kepada seorang istri untuk dapat turut andil dalam proses talak dan pada beberapa pasalnya menyatakan secara implisit

bahwa istri dapat mengajukan hak-nya untuk menolak talak yang diajukan suaminya. Berdasarkan sebuah kesimpulan awal bahwa terdapat perbedaan antara fiqih dengan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan ada atau tidaknya hak istri dalam menolak talak yang diajukan suaminya, maka penulis terinspirasi mengambil judul untuk skripsi ini adalah: “Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih dan Hukum Positif”.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis akan merinci rumusan permasalahannya dalam bentuk pertanyaan. Adapun rumusan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:


(8)

2. Bagaimana batas hak wanita dapat menolak talak berdasarkan Fiqih klasik dan kontemporer?

3. Bagaimana batas hak wanita dapat menolak talak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)?.

4. Bagaimana perbandingan antara Fiqih dan Hukum Positif dalam memandang permasalahan hak istri untuk menolak talak?.

Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada pembahasan utamanya sehingga dapat lebih terfokus, oleh karena itu penulis akan mengemukakan batasan-batasan persoalan dalam skripsi ini hanya pada beberapa permasalahan. Secara lebih spesifik penulis hanya membatasi pada masalah perbedaan hak seorang istri untuk menolak talak perspektif fiqih lintas lima madzhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari) dan hukum positif.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengungkapkan tentang ada tidaknya hak seorang istri dalam menerima dan menolak talak.

2. Untuk mengungkapkan bagaimana batasan peran seorang istri dalam menolak talak berdasarkan kajian lintas perspektif Fiqih lintas lima madzhab; Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari.


(9)

3. Untuk mengungkapkan bagaimana batasan peran seorang istri dalam menolak talak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

4. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Fiqih dan Hukum Positif dalam memandang permasalahan hak istri dalam menolak talak.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan pengertian secara akademis mengenai hak istri dalam permasalahan talak.

2. Memberikan wacana tentang peran seorang istri dalam menolak talak ditinjau dari kajian lintas perspektif Fiqih lintas lima madzhab; Syafi’I, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari dan Hukum Positif serta perbandingan dari kedua perspektif tersebut.

3. Memberikan kesadaran bagi wanita agar dapat mengerti tentang hak-hak dan peran sertanya dalam permasalahan talak.

D. Studi Kajian Terdahulu

Sebenarnya telah banyak para peneliti yang menulis tentang permasalahan talak. Namun tulisan-tulisan tersebut masih banyak yang berupa pemaparan tentang talak dan seluk beluk lainnya. Kadang ada beberapa pembahasan yang terfokus pada suatu kasus tertentu, namun pemaparan-pemaparan tersebut hanya terfokus pada teori inti bahwa istri bersifat pasif dengan talak yang dijatuhkan suaminya.


(10)

Pemaparan seperti ini biasanya terdapat dalam bab talak yang tersebar pada kitab-kitab fiqih klasik.

Adapun pencarian dari beberapa skripsi yang sudah penulis lakukan berkenaan dengan tema tersebut hanya berkisar pada gender dan kedudukan wanita dalam perkawinan. Adapun beberapa skripsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Huzaemah. Kesetaraan Gender Dalam Buku I KHI (Studi Analisis Bab III, IV, VIII, IX dan XII). (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2004). Skripsi ini mengfokuskan pembahasannya pada permasalahan kesetaraan gender yang terkandung dalam buku I KHI. Sumber data yang dipakai olehnya berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa dalam KHI sudah terdapat beberapa point penting yang mengakomodir posisi wanita dalam hukum. Wanita mempunyai kesetaraan dalam hukum. Walaupun Huzaemah membahas kesetaraan gender dalam KHI, tapi ia meluputkan satu pembasan khusus tentang hak istri dalam menolak talak suami seperti yang tercantum dalam pasal 130 KHI. Disinilah point yang akan penulis ambil untuk dijadikan kajian dalam skripsi ini.

2. Saraswati. Status Wanita Dalam Perkawinan Dipandang Dari Konsep Fiqih Dan UUP Nomor 1 Tahun 1974 . (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2004). Skripsi ini mengfokuskan pembahasannya pada permasalahan status wanita dalam sebuah perkawinan dan perbandingan tentang eksistensi wanita dalam sebuah perkawinan jika ditinjau dari Fiqih dan UU


(11)

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam skripsi ini penulis menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa status wanita dalam fiqih masih sangat terbatas sedangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan peluang kepada wanita untuk mempunyai status yang sama di hadapan hukum. Dalam skripsi ini juga tidak temukan pembahasan tentang hak banding seorang istri yang ditalak.

3. Zaenudi, Cecep Miftah. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gender Maistreaming KHI. (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2006). Skripsi ini mengfokuskan pembahasannya pada permasalahan gender mainsteaming yang terdapat dalam KHI ditinjau dari Hukum Islam. Dalam skripsi ini penulis menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa tinjauan Islam tentang gender mainsteaming yang diadopsi oleh KHI dapat dibenarkan. Namun, ia tidak membahas lebih spesifik tentang hak istri dalam menolak talak.

Dari hasil tinjauan review kajian terdahulu yang sudah dilakukan oleh penulis ternyata tulisan-tulisan yang sudah ada belum membahas tentang posisi wanita dalam suatu perceraian secara khusus dalam hal ini adalah tentang kuasa istri menolak talak suaminya. Kalaupun ada beberapa pembahasan pada suatu kasus talak yang berkaitan dengan gender dan feminisme, namun hal tersebut belum menyentuh pada pemaparan sebuah perbandingan hukum lintas perspektif, dalam hal ini adalah perspektif Fiqih


(12)

klasik (madzhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari), Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari sini, penulis dapat berkesimpulan bahwa pembahasan tentang hak istri untuk menolak (banding) terhadap putusan talak suaminya perspektif Fiqih dan Hukum Positif belumlah dibahas secara spesifik bahkan di fiqih-pun juga masih belum ada pembahasan secara khusus, hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Prof. Dr. Amir Syarifudin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.13

E. Objek Penelitian

Objek penelitian skripsi ini adalah berawal dari sebuah perbedaan yang terjadi antara teori-teori dalam fiqih dengan Hukum Positif dalam hal ini adalah KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni berkenaan dengan permasalahan ada atau tidaknya hak istri dalam menolak talak.

Dalam fiqih, secara umum para ulama menyatakan bahwa hak menjatuhkan talak merupakan hak prerogatif bagi suami secara mutlak. Kapanpun dan dimanapun ia ingin menjatuhkannya kepada istrinya, maka talak itupun akan dianggap jatuh dan dihukumi absah. Sedangkan sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa walaupun talak ada di tangan suami tapi suami tidak dapat melakukan hal tersebut sekehendak hatinya. Hal ini terkait dengan bagaimana suami itu memandang

       13

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 214.  


(13)

maslahat dari sebuah talak yang akan dijatuhkannya. Suami haruslah amanah dengan kekuasaan (untuk mentalak) yang telah diberikan Allah SWT kepadanya.

Adapun dalam Hukum Positif Indonesia menyatakan bahwa perceraian hanya dapat terjadi jika diucapkan di hadapan Pengadilan Agama. Tentu saja dengan segala prosedur yang harus dipenuhi, misalnya suami harus mempunyai alasan ketika akan mentalak istrinya.

Hal yang paling berbeda adalah ketika fiqih tidak membahas tentang ada atau tidaknya persetujuan dari istri yang ditalak, maka pada hukum keluarga Islam kontemporer telah membahas masalah ini. KHI menyatakan jika Pengadilan Agama di tingkat pertama memutuskan antara suami-istri tersebut telah bercerai (talak), sedangkan istri tetap masih berkeinginan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya, maka istri tersebut dapat mengajukan hak banding (Pasal 130).

Dari uraian di atas, penulis akan meringkas bahwa objek penelitian ini adalah berkenaan dengan masalah kontradiktif tentang adanya hak menolak talak bagi seorang istri perspektif fiqih dan hukum positif.

F. Metode Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dipaparkan penulis sebelumnya, maka kajian ini dilakukan dengan metode kepustakaan (library research) atau kualitatif.14 Yaitu dengan cara membaca, mempelajari buku-buku

       14


(14)

yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pembahasan. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan normatif, yaitu analisis data didekati dari norma-norma hukum, maksudnya menganalisis dalil dan metode penetapan hukum yang digunakan Fiqih dan Hukum Positif. Selanjutnya dalam penjabaran skripsi ini penulis menggunakan studi analisis komparatif yaitu dengan cara membandingkan hukumnya antara perspektif Fiqih (klasik dan Kontemporer) dan hukum positif (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)) agar dapat mengetahui perbedaan dan persamaan pendapat pada kedua perspektif. Selanjutnya kedua perspektif tersebut dikomparasikan, sehingga dapat diketahui diantara dua perspentif tersebut manakah yang lebih relevan dengan kondisi sekarang ini.

Kemudian penelitian yang digunakan dengan pendekatan penelitian kualitatif yaitu sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dengan mengggunakan metode sebagai berikut:

1) Sumber Data

Dalam penyusunan ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Data primer, yakni kebanyakan menggunakan literatur berbahasa Arab seperti kitab-kitab fiqih klasik lima madzhab, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Khamsah karya Muhammad Jawad al-Mughniyyah, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah karya al-Jaziri, Kifayah al-Akhyar dari madzhab Syafi’i,

Bidayah al-Mujtahid dari Madzhab Maliki, al-Mabsuth dari Madzhab Hanafi. Tidak hanya kitab-kitab fiqih klasik tapi juga kitab fiqih


(15)

kontemporer seperti al-Ahwal al-Syakhsiyah karya Abu Zahroh, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhaili dan lain sebagainya. Selain itu juga ditunjang kitab-kitab ushul al-fiqh, kitab-kitab qawaid al-fiqhiyyah, kitab-kitab tafsir kenamaan dan kitab-kitab hadis utama seperti kutub al-sittah sebagai bahan acuan takhrij hadis. Adapun kitab hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Data buku-buku primer ini sebagian sudah dimiliki oleh penulis dan untuk sebagian besar lainnya penulis mendapatkannya dari Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum dan beberapa perpustakaan yang berada di di sekitar kampus UIN seperti perpustakaan Darus Sunnah.

b. Data sekunder, yakni memanfaatkan berbagai literatur yang terkait dengan pembahasan ini, bisa dari literatur buku-buku fikih munakahat berbahasa Indonesia dan literatur-literatur lainnya. Tidak lupa juga penulis akan mengambil beberapa data dari koran, artikel dan internet jika diperlukan. 2) Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode study library; yaitu dengan membaca kitab-kitab fiqih dan buku yang dijadikan objek penelitian yang ada di perpustakaan maupun koleksi penulis. Kemudian mengambil pendapat-pendapat dari beberapa tokoh yang sesuai dengan topik pembahasan dan kemudian menganalisanya.


(16)

3) Analisa Data

Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisa dan disusun secara sistematis dengan mengunakan metode deskriptif analitis yakni dengan memberikan gambaran terhadap objek permasalahan, sekaligus memberikan analisanya dengan berpedoman pada sumber-sumber tertulis.

Adapun untuk teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Adapun untuk menjaga sistematika penulisan sehingga terfokus pada kajian yang dimaksudkan, maka penulisan ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini.

Pada bab pertama, dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengemukakan kronologis permasalahan yang muncul berkenaan dengan perbedaan yang terjadi dalam masalah otoritas talak perspektif fiqih dan hukum positif di Indonesia. Selain itu juga permasalahan sejauh mana eksistensi seorang istri dalam sebuah proses perceraian. Setelah itu, dikemukakan batasan dan rumusan permasalahan yang akan dikemukakan pada skripsi ini. Penulis menjelaskan bahwa kajian ini merupakan kajian analisa hukum tentang kuasa seorang istri dalam menolak talak dari suaminya. Kemudian dijelaskan mengenai tinjauan review kajian terdahulu, objek penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.


(17)

Pada bab kedua, akan dikemukakan tentang tinjauan teoritis tentang akad nikah sebagai sebuah perikatan. Penulis memulai tinjauan teoritisnya dari permasalahan perikatan yang kemudian dikaitkan dengan perikatan/akad nikah sampai pada berakhirnya sebuah perikatan/akad nikah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tentang subtansi perikatan/akad nikah. Dari sini, penulis akan dapat mengetahui apakah talak itu merupakan sebuah “aqad” yang di dalamnya terkandung unsur ijab dan qabul atau ia tidak mengandung unsur ijab dan qabul. Hal ini sangat berpengaruh dalam menganalisa tentang ada tidaknya hak istri untuk menolak talak. Jika talak itu merupakan sebuah akad maka dibutuhkan adanya orang yang akan menjadi pengucap ijab dan qabul dan hal ini memerlukan kesepakatan keduanya agar akad tersebut menjadi absah. Sebaliknya, jika shigat talak ini tidak mempunyai unsur-unsur ijab dan qabul maka dalam keabsahannya tidak dibutuhkan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang perikatan dan aqad, yang kemudian mengarah pada masalah akad nikah hingga berakhirnya pernikahan tersebut.

Pada bab ketiga, akan diungkapkan pembahasan tentang hak istri untuk menolak talak. Pada bab ini pembahasan sudah mulai mengarah pada pembahasan inti tentang hak istri menolak talak suami perspektif fiqih dan hukum positif. Pada sub bab-nya akan membahas hak istri untuk menolak talak perspektif fiqih klasik dan kontemporer juga menurut perspektif hukum positif, dalam hal ini adalah KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.


(18)

Pada bab keempat, akan dikemukakan tentang analisa penulis tentang perbandingan otoritas istri untuk menolak talak setelah melihat dari berbagai perspektif yang sudah dikemukakan sebelumnya. Adapun yang menjadi pembahasan adalah persamaan dan perbedaan serta analisa dari penulis sendiri berkenaan dengan masalah yang dikaji. Pembahasan itu meliputi apakah kontradiktif permasalahan ini bagian dari perbedaan dinamis atau bahkan perbedaan kontradiktif antara hukum fiqih dan hukum positif, memahami subtansi perbedaan dan bagaimana solusi menghadapi perbedaan.

Pada bab kelima, disajikan penutup yang berupa kesimpulan dari kajian dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penulis akan menyimpulkan tentang ada atau tidaknya otoritas istri untuk menolak talak suaminya yang secara lansung akan menjadi jawaban dari permasalahan yang dirumuskan sebelumnya. Selain itu, kesimpulan ini juga disertai dengan saran yang berhubungan dengan kajian ini.


(19)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG AKAD NIKAH

SEBAGAI SEBUAH PERIKATAN

A. Perikatan

1. Arti Perikatan, Akad dan Perjanjian

Dua pihak subyek hukum terdiri dari dua unsur, apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dengan kata-kata atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. Perikatan menurut para ulama ahli fiqih biasa disebut dengan ‘aqdun (ﺪﻘ ).1

Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan dan mengikat. Dikatakan

ikatan ( ﺑﺮ ا) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali

yang mengikatkan salah satunya pada yang lainnya sehingga keduanya

bersambung dan menjadi seperti seuntas tali yang satu.2 Para ahli hukum Islam

(jumhur ulama) memberikan definisi akad adalah:

ﺮ أ

ﺮﺷ

ﺟو

لﻮﺒ

بﺎ إ

طﺎﺒﺗرإ

Pertalian antara ijâb dan qabûl yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.3

      

1

Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Cet-1, h. 1.  

2

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet-1, h. 75. 

3

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 76. Lihat juga Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), Cet-1, h. 247: Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum


(20)

Pengertian lebih lengkap tentang akad atau perikatan adalah:

ﺮﻴﻏو

مﻼآ

ﻦﻴﺗدارإ

ﻦﻴ

طﺎﺒﺗرﻹا

ﻮه

ﺪ ا

ﻦﻴﻓﺮﻃ

ﻦﻴ

ماﺰ ﻹا

ﺗﺮ و

Akad adalah suatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain dan kemudian karenanya timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya.4

Dalam KUH Perdata, Subekti memberi pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.5 Sedangkan pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.6

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, diantaranya seperti yang telah dipaparkan oleh Subekti, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa perjanjian itu menimbulkan suatu hubungan di antara para pihak tertentu yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena

       Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), ed. Revisi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 65: dan Teuku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 14. 

4

Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 1. 

5

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1992), Cet. 14, h. 1. 

6


(21)

persetujuan baik karena Undang-Undang”. Dari pasal ini, maka dapat dikatakan

bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan.7

Abdoerrauf mengemukakan bahwa terjadinya suatu perikatan (ﺪﻘ ا) adalah

melalui tiga tahap sebagai berikut:

1. ﺪﻬ ا (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu

atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang orang yang menyatakanya untuk melaksanakan janjinya tersebut. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT

dalam surat Ali Imran ayat 76 yang mempunyai arti:

“Bagi siapa yang menepati janji dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran: 76)

2. ﻰﺿﺮ ا (persetujuan) yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.

3. Apabila dua janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan ﺪﻘ ا oleh al-Qur’an yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 1 yang mempunyai arti sebagaimana berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji yang sudah diakadkan. (QS. al-Maidah ayat 1) 8

      

7

Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet-2, h. 47.

  8

Janji-janji disini adalah janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. 


(22)

Setelah itu, maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian (ﺪﻬ ا) tapi sudah menjadi ﺪﻘ ا .9

Proses di atas senada dengan esensi akad yang dipaparkan oleh Ibnu Taymiyyah dari madzhab Hambali sebagai berikut:

ﺎ ر

دﻮ ا

ﻷا

ﺎﻬﺒﺟوأ

ه

ﺎﻬ ﻴ و

ﻦ ﺪ ﺎ ا

Asal akad itu adalah kerelaaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban yang mereka tentukan.10

Proses akad ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Karena merupakan hubungan, maka perikatan atau akad ini timbul bisa karena perjanjian. Misalnya seorang mengemukakan janji menyerahkan barang untuk mendapatkan uang dan pembeli mengemukakan janji membayarkan uang untuk bisa menikmati barang. Dalam contoh ini perikatan yang terjadi kelihatan kongkret, ada pihak pertama yaitu penjual, pihak kedua yaitu pembeli, ada prestasi yaitu barang dan uang, kemudian ada ijâb dan qabûl dari masing-masing pihak. Sifat kongkret ini timbul karena perikatan tersebut timbul dari sebuah perjanjian.11

Namun, dalam penuturan lainnya Subekti mengatakan perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, yakni suatu pengertian yang tidak dapat dilihat tapi dapat dibayangkan dalam pikiran. Hal tersebut dikarenakan bahwa

      

9

Abdoerraoef, al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 122-123. 

10

T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 84. 

11


(23)

perikatan tersebut timbul tidaklah terbatas karena sebuah perjanjian atau persetujuan dua pihak namun dapat juga timbul karena ketentuan undang-undang, syara’, atau dari Undang-Undang karena perbuatan manusia.12

2. Unsur Perikatan

Menurut jumhur ulama selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa unsur atau rukun dari akad itu ada lima, yaitu:

1. al-Aqidun, pelaku perikatan, baik yang terdiri dari seseorang atau sejumlah beberapa orang tertentu, sepihak atau beberapa pihak.

2. Mahall al-aqd, bisa juga disebut ma’qud ‘alaihi yaitu benda yang menjadi objek. Kalau dalam akad jual beli, maka contohnya adalah barang yang diperjualbelikan.

3. Maudû’ al-aqd yaitu tujuan atau maksud pokok dari adanya akad. Misalnya dalam jual beli adalah seperti pemindahan hak milik melalui pembayaran. 4. Ijâb yaitu salah satu shigat al-aqd adalah suatu perkataan yang menunjukkan

kehendak mengenai suatu akad dan diucapkan oleh pihak pertama.

5. Qabûl, yaitu salah satu shigat al-aqd adalah perkataan yang menunjukkan persetujuan terhadap kehendak akad diungkapkan sebagai jawaban terhadap

ijâb.13

      

12

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasioanal, (Bandung: Alumni, 1984), h. 10. 

13


(24)

Untuk setiap rukun akad tersebut oleh para ulama dtentukan syarat masing-masing dan secara keseluruhan di dalam KUH Perdata pasal 1320 disebutkan sebagai berikut:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Mas’adi dan Fathurrahman Djamil menuturkan lebih komplek tentang unsur akad dalam Islam adalah sebagai berikut:

1. Pertalian ijâb dan qabûl

2. Dibenarkan oleh syara’, akad yang bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dan Rasulnya mengakibatkan tidak sahnya suatu akad.

3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya.14

Menurut pandangan madzhab Hanafi, bahwa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perikatan atau akad adalah hanya dua unsur saja yaitu ijâb dan

qabûl. Artinya, jika hanya ada ijâb saja tanpa qabûl atau hanya ada qabûl tanpa

ijâb, maka perikatan tidak akan pernah terwujud sama sekali. Oleh karena itu, menurut mereka ialah dua hal tersebut. Sementara hal yang lain misalnya orang yang berakad hanyalah merupakan konsekwensi logis dari terwujudnya suatu ijâb

      

14

Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., h. 248. lihat juga Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstua, h. 76-77. 


(25)

dan qabûl, bukan rukun yang berdiri sendiri yang menjadi sebab terwujudnya akad tersebut.15 Alasan lainnya adalah bahwa selain shighat, semuanya itu bukanlah bagian dari tasharruf al-aqd (perbuatan hukum akad). Semua itu adalah berada di luar perbuatan akad (syarat).16 Perbedaan mengenai rukun dan syarat menurut ulama fiqih adalah bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri. Sedangkan syarat adalah merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi berad di luar hukum itu sendiri.17

Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan

istilah perikatan (vebintenis) dalam KUH Perdata.18 Namun, perikatan dalam

KUH Perdata hanya dibatasi pada permasalahan harta. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jaenal Aripin dan Kama Rusdiana dalam bukunya yang

berjudul Perbandingan Hukum Perdata, bahwa yang dimaksud perikatan dalam

KUH Perdata adalah hubungan hukum yang terletak dalam lapangan harta kekayaan yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak berhak atas prestasi (kreditur) dan pihak lainnya berkewajiban menyerahkan prestasi

      

15

Muhammad Salam Madzkur, al-Fiqh al-Islami al-Madkhal Wa al-Amwal Wa al-Huquq Wa al-Maliyah Wa al-‘Uqud, (t.tp: 1955), h. 356. 

16

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 79. 

17

Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). H. 1510. 

18

Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., h. 248. 


(26)

(debitur).19 Sedangkan dalam perikatan Islam secara tradisional dapat dikatakan

bahwa materi pembahasannya merupakan bagian dari hukum mu’amalah dalam

kitab-kitab fiqih yang biasanya bahkan meliputi cakupan yang lebih luas, termasuk di dalamnya bidang perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak kerja dan

sebagainya.20 Hal ini senada dengan perkataan Prof. Amin Suma dalam bukunya

Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia yang

menukil dari perkataan Zaid bin Aslam bahwa al-‘uqud dibagi kedalam enam

macam yakni: (1) janji Allah (‘ahd Allah), (2) janji dalam bentuk sumpah (‘aqd

al-halaf), (3) janji bersyarikat (‘aqd al-syarikah), (4) perikatan jual-beli (‘aqd

al-bay’), (5) perikatan perkawinan (‘aqd al-nikah) dan (6) janji sumpah (‘aqd

al-yamin).21

Dapat disimpulkan, bahwa subtansi dari perikatan hukum Islam lebih luas dari materi yang terdapat dalam hukum perikatan perdata Barat. Hal ini dapat dilihat bahwa jika dalam hukum perikatan perdata Barat hanya dibatasi pada permasalahan harta benda maka dalam perikatan Islam lebih dari itu, yakni termasuk juga di dalamnya adalah masalah perkawinan dan lain sebagainya. Dan memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masalah perkawinan juga tidak dapat lepas dari permasalahan harta antara suami-istri nantinya.

      

19

Kama Rusdiana dan Jaenal aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Press, 2007), Cet-1, h. 99.s 

20

Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 2. 

21

Amin Suma, Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 11. 


(27)

Bukti keluasan hukum perikatan Islam lainnya adalah bahwa jika dalam hukum perikatan perdata barat hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja maka dalam perikatan hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan

antar manusia (hablum minannas) tapi juga mengatur hubungan manusia dengan

Tuhan (hablum minallah) sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan

vertikal dan horizontal. Seperti halnya dalam akad perkawinan yang merupakan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar manusia tapi terdapat unsur ibadah di dalamnya. Bahkan di dalam al-Qur’an sebuah pernikahan merupakan sebuah

janji yang kuat ( ﻆ ﻏ قﺎﺜ ﻣ ).

B. Akad Nikah dan Prosesnya 1. Akad Nikah

Al-Qur’an mengambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yang dijalin oleh dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan dengan gambaran yang dikemukakan oleh beberapa ayat sebagai berikut:

ْﻴآو

وﺬ ْﺄﺗ

ْﺪ و

ﻰ ْﻓأ

ْﻢﻜ ْ

ﻰ إ

ْ

و

نْﺬ أ

ْﻢﻜْﻨ

ﺎ ﺎ ﻴ

ﺎﻈﻴ ﻏ

) ءﺎ ﻨ ا : (21

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. Al-Nisa’: 21)

Dalam Surat al-Nisa’ ayat 21 tersebut ikatan perkawinan dinamakan

dengan ungkapan (ﻆ ﻏ قﺎﺜ ﻣ) suatu ikatan janji yang kokoh. Berkenaan dengan hal


(28)

Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 187 dinyatakan bahwa jalinan suami istri bagaikan hubungan pakaian, berikut aneka fungsinya dengan orang

yang mengenakannya.22 Firman Allah SWT:

ﱠﻦه

ٌسﺎﺒ

ْﻢﻜ

ْﻢ ْأو

ٌسﺎﺒ

ﱠﻦﻬ

)

ةﺮ ﺒ ا

: 187

(

Artinya: Mereka adalah pakaian bagimu dan kalian adalah pakaian bagi mereka. (QS. al-Baqarah: 187)

Demikian juga menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1 disebutkan definisi perkawinan dengan istilah ikatan lahir bathin. Arti dari kata ini adalah bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan yang formil, secara lahir dapat tampak, tapi juga mempunyai ikatan bathin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan bathin ini tentunya merupakan inti dari perkawinan maupun hubungan yang erat sekali dengan kerohanian sehingga bukan saja unsur jasmani tapi juga peran penting unsur bathin.

      

22


(29)

Dengan keterangan tersebut di atas, maka akad perkawinan setidaknya mempunyai dua segi pandang yaitu dari segi formil dan sosial keagamaan. Para ulama yang memandang hanya dari segi formil ketika mengemukaan definisi

nikah misalnya seperti apa yang disampaikan Malibari dalam bukunya Qurratu

al-‘Ain bi Muhimmat al-Din yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in:

ءطو

ﺔ ﺎ إ

وﺰﺗ

وأ

حﺎﻜ

23

Akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata nikah atau tazwij.

Sedangkan dari sisi sosial keagamaan pengertian nikah lebih lengkap

disampaikan oleh Abu Zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syaksiyah sebagai

berikut:

ﺎ ﻬﻜ ﺎ

ﺪ و

ﺎﻬ وﺎ ﺗو

ةءﺮ او

ﺟﺮ ا

ﻦﻴ

ةﺮ ا

لﺎ

ﺪﻴ

ﺎ و

قﻮ

تﺎﺒﺟاو

24

Akad yang mengakibatkan hukum halal pergaulan antara laki-laki dengan perempuan dengan pertolongan serta milk hak dan kewajiban.

Definisi al-Malibari hanya melihat kebolehan hukum dalam hal hubungan laki-laki dengan perempuan yang semula hukumnya adalah haram. Adapun definisi dari Abu Zahrah disamping melihat hukum halalnya hubungan suami-istri

juga melihat kepada aspek akibat hukumnya.25 Bandingkan hal tersebut di atas

dengan segi-segi yang dimuat dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:

      

23

Al-Malibari, Qurrat al-‘Ain, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islami, 2010), h. 199. 

24

Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 19. 

25


(30)

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Jelas kiranya bahwa yang termuat tidak hanya segi hukum formal, tapi sampai kepada maksud sosial keagamaan yakni dengan disebutkannya “membentuk keluarga” dan “yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Menururt Hanafiyyah, Akad nikah mempunyai dua unsur yaitu ijâb dan

qabûl. Sesuai dengan pandangan bahwa orang yang berakad (‘aqidun) merupakan

konsekwensi logis dari adanya ijâb dan qabûl. Pendapat tersebut senada dengan

apa yang dipaparkan oleh Abu zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah

bahwa adanya akad nikah adalah dikarenakan dua hal yaitu ijâb dan qabûl.

Adapun yang berkaitan dengannya hanya terjadi yakni sebuah syarat. Syarat-syarat tersebut menurutnya ada lima yaitu: (1) dua orang yang berakad cakap

bertindak, (2) Ijâb dan qabûl terjadi dalam satu majlis, (3) sebelum ada ijâb-kabul

tidak boleh diulang (4) antara ijâb dan qabul tidak boleh dipisahkan dengan

hal-hal yang menyimpang seperti disela dengan ungkapan kata yang lain, dan (5) ada

persesuain antara ijâb dan qabûl.26

      

26


(31)

Menurut Imam Malik rukun akad nikah ada lima yaitu; (1) wali dari memepelai perempuan, (2) maskawin, (3) Mempelai Pria, (4) mempelai wanita

dan (5) shighat, yakni unkapan kata yang menyatakan maksud akad.27

Adapun menurut Imam Syafi’i juga ada lima rukun tetapi perinciannya berbeda yaitu (1) calon memepelai laki-laki, (2) calon mempelai perempuan, (3) wali, (4) dua orang saksi dan (5) shighat atau ijâbqabûl.28 Rumusan terakhir inilah yang kemudian dipakai dalam Kompilasi Hukum Islam Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Pasal 14:

Untuk melakukan perkawinan harus ada: a. Calon suami

b. Calon istri c. Wali nikah

d. Dua orang saksi, dan e. Ijan dan kabul.

2. Proses Nikah

A. Gani Abdullah menuturkan bahwa dalam perikatan hukum Islam titik

tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijâb dan

qabûl) dalam tiap perbuatan hukum. Berdasarkan uraian tentang proses terjadinya akad seperti yang sudah dipaparkan oleh Abdoerrauf sebelumnya, maka dalam konteks akad pernikahan apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati

dan dilanjutkan dengan ikrar (ijâb dan qabûl) akan terjadilah akad pernikahan

      

27

‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), V. IV, h.12. 

28


(32)

tersebut (perikatan). Dari uraian yang dipaparkan oleh Abdoerrauf tersebut, jika dikaitkan dengan sebuah akad pernikahan, maka dalam akad pernikahan akan dianggap sah jika melalui tiga tahap di atas.

Tahap yang pertama adalah ﺪﻬ ا (perjanjian). Tahap ini terjadi pada pra

akad. Pada tahap ini yang menjadi pihak pertama bisa jadi dari pihak laki-laki atau sebaliknya yakni dari pihak wanita. Pihak pertama adalah pihak yang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Jika dalam tahap ini dari pihak laki-laki yang menawarkan diri maka ialah yang dianggap sebagai pihak pertama begitu juga sebaliknya. Misalnya ketika seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita atau kepada wali wanita tersebut “saya ingin menikahimu/putrimu” atau sebaliknya ketika seorang wanita atau walinya mengatakan kepada laki-laki “nikahilah aku” atau dengan kalimat “saya ingin menikahkanmu dengan putriku”. kalimat

penawaran-penawaran seperti inilah yang menjadi point dalam perjanjian (ﺪﻬ ا )

sebelum pernikahan. Penawaran-penawaran seperti ini biasanya terjadi pada tahap

khitbah.

Adapun proses yang kedua adalah ﻰﺿﺮ ا (persetujuan). Dalam proses akad

nikah, Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa

sah-nya suatu akad perkawinan salah satusah-nya adalah adasah-nya keridhoan dari para pihak

yang akan menikah yakni wanita dan laki-laki calon pengantin juga wali.29 Semua

      

29


(33)

و

ﺎﻨ ﱠﺪ

ﺔﺒْﻴ

ﻦْ

ﺪﻴ

ﺎﻨ ﱠﺪ

نﺎﻴْ

ْﻦ

دﺎ ز

ﻦْ

ﺪْ

ْﻦ

ﺪْﺒ

ﱠ ا

ﻦْ

ْ ْا

ﻓﺎ

ﻦْ

ﺮْﻴﺒﺟ

ﺮﺒْﺨ

ْﻦ

ﻦْا

سﺎﱠﺒ

 

ﱠنأ

ﱠ ﺒﱠﻨ ا

ﻰﱠ

ﱠ ا

ْﻴ

ﻢﱠ و

لﺎ

:

ﻴﱠ ا

أ

ﺎﻬ ْﻨ

...

)

ﺟﺮ أ

(

Artinya: Seorang janda lebih berhak atas dirinya. (HR. Muslim, nomor hadis 2546).

Sedangkan bagi gadis, para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut, termasuk juga perbedaan pendapat terhadap janda yang belum baligh. Dalam hal ini Malik, Syafi’i dan Ibn Abi Laila berpendapat bahwa seorang ayah dapat menjadi wali mujbir bagi gadis dan janda yang belum baligh. Sedangkan Abu Hanifah, al-Tsaury, al-Auza’i dan Abu al-Tsaur mengatakan bahwa dalam pernikahan harus memuat keridhoan mereka.30

Dari keseluruhan perbedaan pendapat yang ada, maka penulis lebih cenderung kepada pendapat madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa keridhoan pihak wanita dalam pernikahan juga dibutuhkan sebagai penentu absahnya suatu akad pernikahan. Disyariatkannya wali mujbir adalah untuk menjaga kemashlahatan wanita yang belum baligh dan masih kecil bukan untuk memaksa       

30


(34)

wanita yang sudah baligh dan berakal. Sedangkan bagi wanita yang sudah baligh dan berakal tentunya sudah dapat memilih calon suami yang pantas baginya. Posisi wali dalam hal ini adalah sebagai orang tua untuk tempat bermusyawarah dan memberikan pengarahan serta pendapat sebagai bekal untuk menempuh kehidupan yang baru bagi putri-putrinya, karena boleh jadi ada beberapa hal yang belum diketahuinya sedangkan ia belum mencoba kehidupan rumah tangga. Maka, para wali dalam hal ini bertindak sebagai penasehat dalam hal yang dianggap perlu demi kemaslahatan.

Jadi, kuasa yang diberikan kepada laki-laki bukan untuk merampas hak-hak wanita. Apapun statusnya, seorang wanita berhak-hak dalam mengutarakan pendapat untuk perkawinannya. Hal ini dapat dilihat dari dua hadis yang masing-masing menunjukkan betapa pentingnya mendapat keridhoan dari wanita sebagai syarat kesempurnaan akad nikah.

Hadis yang pertama adalah hadis yang diriwayatkan dari kisah Khansa’ binti Khalid al-Anshary:

ﺎﻨ ﱠﺪ

ﺒﻨْ ْا

ْﻦ

ﻚ ﺎ

ْﻦ

ﺪْﺒ

ﻦ ْ ﱠﺮ ا

ﻦْ

ﻢ ﺎ ْا

ْﻦ

ﻴ أ

ْﻦ

ﺪْﺒ

ﻦ ْ ﱠﺮ ا

و

ْ ﻨْا

ﺪ ﺰ

 

ﻦْﻴﱠرﺎﺼْﺄْا

ْﻦ

ءﺎ ْﻨ

ْﻨ

ماﺬ

ﺔﱠرﺎﺼْﺄْا

:

 

ﱠنأ

ﺎهﺎ أ

ﺎﻬﺟﱠوز

هو

ٌ ﻴ

ْ هﺮﻜﻓ

ﻚ ذ

ْتءﺎ ﻓ

لﻮ ر

ﱠ ا

ﻰﱠ

ﱠ ا

ْﻴ

ﻢﱠ و

ْتﺮآﺬﻓ

ﻚ ذ

ﱠدﺮﻓ

ﺎﻬ ﺎﻜ

.

)

اور

ﻮ أ

دواد

ئﺎ ﻨ او

(

 

Artinya: Bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya padahal ia janda dan tidak menyukai hal tersebut. Karena itu ia datang dan mengadu kepada Rasulullah. Setelah itu beliau membatalkan perkawinan tersebut. (HR. Abu Dawud, hadis nomor 1797 dan al-Nasa’i, hadis nomor 3216).


(35)

ﺎﻨ ﱠﺪ

نﺎ ْ

ﻦْ

أ

ﺔﺒْﻴﺷ

ﺎﻨ ﱠﺪ

ﻦْﻴ

ﻦْ

ﺪﱠ

ﺎﻨ ﱠﺪ

ﺮ ﺮﺟ

ﻦْ

مزﺎ

ْﻦ

بﻮ أ

ْﻦ

ﺔ ﺮْﻜ

ْﻦ

ﻦْا

سﺎﱠﺒ

ﱠنأ

ﺔ رﺎﺟ

اﺮْﻜ

ﺗأ

ْ

ﱠ ﺒﱠﻨ ا

ﻰﱠ

ﱠ ا

ْﻴ

ﻢﱠ و

ْتﺮآﺬﻓ

ﱠنأ

ﺎهﺎ أ

ﺎﻬﺟﱠوز

هو

ٌﺔهرﺎآ

ﺎهﺮﱠﻴﺨﻓ

ﺒﱠﻨ ا

.

)

اور

ﻮ أ

دواد

(

 

Artinya: Bahwa seorang gadis datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW, bahwa ia telah dinikahkan oleh ayahnya padahal ia tidak menyukai. Lalu beliau memberinya kesempatan untuk memilih. (HR. Sunan Abi Dawud, hadis nomor 1794).

Dalam kelanjutan hadis tersebut, kemudian wanita itu berkata:

Ya Rasulullah, saya sekarang telah memperkenankan apa yang dilakukan ayah saya itu, sebenarnya saya hanya menginginkan agar kaum wanita tahu bahwa para orang tua tidak memiliki hak memaksa dalam persoalan ini.

Menurut keterangan kitab Subulu al-Salam bahwa boleh jadi wanita tersebut (ﺔ رﺎﺠ ا)adalah gadis yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, yang telah dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan sepupunya yang sekufu’. Sekalipun sandainya wanita tersebut seorang janda, maka ia hanya ingin menegaskan bahwa kaum wanita hendaknya tahu bahwa para orang tua tidak berhak memaksa dalam urusan ini dan Nabi-pun menyetujuinya dengan tidak adanya sanggahan dari beliau.

Islam memberi dua kesempatan kepada wanita untuk mengemukakan pendapat dan tanggapan sebagaimana yang diberikan pada laki-laki, yakni pada

saat khitbah dan pada saat berlangsungnya akad nikah. Pada saat khitbah, Islam


(36)

untuk memperoleh kesan di dalam hatinya tentang calon suaminya tersebut.

begitu juga sebaliknya bagi laki-laki terhadap calon istrinya.31

Jika pada saat khitbah saja wanita diminta pendapatnya tentang calon

suaminya dengan diadakannya tatap muka, maka lebih-lebih jika di saat terjadinya pelaksanaan akad. Hanya saja, jika wanita tersebut berstatus gadis memang tidak diminta untuk menyatakan pendapat dan tanggapannya secara terbuka dan berterus terang, hal ini barangkali terbentur dengan rasa malu. Lagi pula, Islam tidak menginginkan seorang gadis menyatakan hasrat serta minatnya secara terbuka dan berterus terang dalam pertemuannya dengan laki-laki, sedangkan ia masih jauh dari ambang kehidupan suami-istri. Artinya, si calon suami tidak akan menolak sikapnya sekalipun tidak menyatakan isi hatinya secara

terbuka.32

Memang akad nikah seorang gadis diwakili oleh walinya, berbeda dengan janda yang dapat melakukannya sendiri, bahkan lebih utama apabila dilakukannya

sendiri. Misalnya saja dalam akad nikah terdapat shighat yang terdiri dari adanya

sebuah ijâb dari pihak perempuan dan qabûl dari pihak laki-laki. Artinya, dalam

akad perkawinan pihak wanita menyatakan perkawinannya kepada pihak laki-laki, dan dalam waktu yang bersamaan pula pihak pria menerima pernyataan tersebut. Tentunya bagi seorang gadis yang belum pernah berhubungan badan       

31

Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, alih bahasa oleh Fathurrahman, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1990), cet-6, h. 48. 

32

Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, h. 49. 


(37)

dengan laki-laki akan merasa malu untuk menyatakan kesediannya. Dari sinilah

timbul adanya perwalian tersebut.33 Oleh karena itu dalam sebuah hadis

disebutkan:

ﱠﺪ

ﺎﻨ

ﺪﱠ

ﻦْ

ﺔ اﺪ

ﻦْ

ﻦﻴْ أ

ﺎﻨ ﱠﺪ

ﻮ أ

ةﺪْﻴﺒ

داﱠﺪ ْا

ْﻦ

ﻴﺋاﺮْ إو

ْﻦ

أ

ْ إ

ْﻦ

أ

ةدْﺮ

ْﻦ

أ

ﻰ ﻮ

ﱠنأ

ﱠ ﺒﱠﻨ ا

ﻰﱠ

ﱠ ا

ْﻴ

ﻢﱠ و

لﺎ

:

حﺎﻜ

ﺎﱠإ

.

 

اور

ﻮ أ

دواد

يﺬ ﺮ او

ﻦ او

ﺟﺎ

(

  Artinya: Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan (adanya) wali”. (HR. Sunan Abi Dawud, hadis nomor 1785. Tirmidzi, hadis nomor 1020. Ibnu Majah, hadis nomor 1869)

Dalam masalah adanya pendapat fiqih bahwa seorang ayah berhak mengawinkan putrinya yang telah baligh tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu sebagaimana populer dalam mazhab Syafi’i, maka kita sebelumnya harus mendudukkan persoalan dalam koridor prinsip dan kaidah syariah. Setiap mujtahid boleh jadi benar atau bisa pula keliru dan bahwa setiap orang boleh diambil dan ditinggalkan pendapatnya kecuali Rasulullah, termasuk dalam hal ini adalah Imam Syafi’i. Meskipun beliau adalah seorang Imam besar, tetapi beliau adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, dan beliau pernah berkata: “Pendapatku ini benar tetapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang selainku adalah salah tetapi mengandung kemungkinan benar”. 34 Beliau

      

33

Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, h. 49. 

34

Ali Jum’ah Muhammad, Madkhal Ila Dirasat Madzahib Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-Salam, 2007), Cet.2, h. 27. 


(38)

juga pernah mengatakan: “Bila suatu hadits adalah ternyata shahih, maka itulah mazhabku”.35

Dalam masalah perjodohan Nabi saw mewajibkan adanya musyawarah untuk berunding dan meminta izin kepada objek perjodohan (calon pengantin laki-laki maupun perempuan). Hal itu karena perjodohan tidak sah tanpa didasari prinsip sukarela (‘an taradhin wa tasyawurin) sekalipun yang menikahkannya ayahnya sendiri. Nabi saw bersabda yang artinya:

Tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu.” Para sahabat bertanya, “bagaimanakah izin (persetujuannya) itu?” beliau menjawab, “jika ia diam (tidak menolak)”. “seorang gadis harus diminta persetujuannya dalam pernikahan dirinya dan persetujuannya cukup dengan diamnya. (HR. Abu Dawud)

Sudah diketahui bahwa Islam mengatur bahwa permasalahan harta yang dimiliki seorang anak perempuan saja seorang ayah tidak berhak membelanjakannya tanpa seizin anaknya bila ia telah dewasa dan normal pikirannya apalagi dalam hal penentuan nasib dirinya dalam perjodohannya. Oleh karena itu kawin paksa dengan orang yang tidak ia sukai bertentangan dengan prinsip Islam dan logika karena dalam hal jual beli atau sewa-menyewa bagi kepentingan anak Allah tidak memperkenankan seorang wali memaksakan kehendaknya melainkan dengan persetujuan anak tersebut, termasuk dalam masalah makan, minum, pakaian yang tidak disukainya. Maka, bagaimana

      

35


(39)

mungkin wali anak diperbolehkan memaksa anaknya untuk melakukan hubungan suami istri dengan orang yang tidak disukainya atau dibencinya?

Allah menjalinkan cinta dan kasih sayang antara suami-istri. Oleh karena itu, jika pernikahan itu sendiri dilandasi oleh perasaan tidak suka dan ingin melarikan diri dari calon suami, maka akankah tumbuh cinta dan kasih sayang dalam perkawinan tersebut?.

Namun dalam beberapa kasus tertentu seorang anak dapat dijodohkan dan dipaksa dalam pernikahan ataupun sebaliknya. Pelarangan menikah sebagaimana dijelaskan oleh madzhab Syafi’i tersebut di atas, disamping itu yang paling utama adalah apabila dikarenakan alasan penjagaan agama (hifdzuddin) dan pertimbangan moral ataupun unsur kufu’ lainnya selama tidak merugikan kepentingan anak dan sesuai kaedah syariah.36

Adapun posisi wali dalam pernikahan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Hikmahnya adalah agar pernikahan tersebut sempurna dengan adanya kerelaan dari berbagai pihak yang terkait secara keseluruhan. Selain itu, agar wanita yang menikah tidak hanya berada di bawah kasih sayang atau kekuasaan suami saja, karena wanita yang menikah tanpa seizin keluarganya, pada umumnya tidak lagi mendapatkan perhatian.

      

36


(40)

Adapun beberapa pertimbangan mengapa dalam suatu akad pernikahan itu perlu mendapatkan persetujuan baik dari pihak laki-laki dan wanita calon pengantin adalah:

1. Sebagai pengakuan terhadap nilai martabat wanita bahwa ia bukanlah

komoditi yang bisa diperjual-belikan dengan mahar oleh walinya melalui jalan pernikahan.

2. Tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak (wanita dan laki-laki calon

pengantin) merupakan salah satu dasar dari kebahagiaan bagi keduanya setelah menjadi suami-istri. Hal tersebut tentu saja dapat didapatkan jika perkawinan tersebut berlangsung melalui pilihan masing-masing dan suka sama suka. Bagaimanapun juga, yang akan menjalani biduk rumah tangga bukanlah wali dengan calon pengantin laki-laki tersebut tapi antara wanita dan laki-laki calon pengantin yang nantinya akan menjadi sepasang suami-istri.

3. Memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan seorang pasti

mengakibatkan banyak kesulitan. Perkawinan yang dipaksakan hanya

membuat perkawinan tersebut sulit dibangun dengan kasih sayang.37

Selanjutnya, setelah keridhoan diperoleh, maka proses akad (perikatan) ini sampai pada tahap pengucapan ikrar ijâb dan qabûl. Ijâb diawali dari pihak wanita melalui walinya yang kemudian dilanjutkan dengan qabûl dari pihak laki-laki. Setelah aqad dianggap sah, maka ia akan mengikat para pihak-pihaknya

      

37

Sa’id Abdul Aziz al-Jandul, Wanita dalam Naungan Islam, alih bahasa oleh Syafril Halim, (Jakarta: Firdaus, 1992), h. 55. 


(41)

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuai terhadap tugas dan kewajiban masing-masing yang disebut dengan iltizam. Iltizam sendiri selalu berjalan beriringan dengan sebuah hak. Jadi, antara hak dan iltizam keduanya terkait dalam satu konsep. 38

C. Putusnya Ikatan Perkawinan

Konsep hak dan iltizam dalam akad perkawinan akan terus berjalan selama

akad tersebut masih dipegang oleh kedua belah pihak. Yang menjadi masalah adalah

apabila dari salah satu pihak menyalahi perjajian (wanprestasi) dan dapat

menimbulkan perselisihan dan sengketa sampai pada hal yang merusak dan membatalakan akad yang ada. Dalam perikatan Islam, pembatalan atau berakhirnya suatu akad ini dapat terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah:

a. Fasakh yakni pembatalan yang dikarenakan adanya hal-hal yang tidak dibenarkan

oleh syara’. Dalam masalah akad pernikahan, misalnya batalnya (fasakh)

pernikahan sedarah.

b. Dengan sebab adanya khiyar (khiyar cacat, rukyat, syarat atau majlis). Dalam

masalah akad pernikahan misalnya berakhirnya akad nikah karena suami/istri mempunyai cacat yang ditutup-tutupi dan baru diketahui setelah akad berlangsung.

      

38

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 34. Lihat juga Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 76. 


(42)

c. Iqalah, yakni pembatalan dari salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain untuk membatalkan karena menyesal. Misalnya berakhirnya akad nikah karena

khulu’, yakni gugatan dari pihak istri yang disetujui oleh pihak suami.

d. Karena habis waktunya, misalnya berakhirnya akad nikah mut’ah sesuai dengan

waktu yang disepakati.

e. Karena kematian, yakni berakhirnya hubungan suami-istri ketika salah satu

dianataranya telah meninggal.

f. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh

pihak-pihak yang bersangkutan. 39

Pada alasan yang terakhir ini, penulis mengalami kesulitan dalam memahami keambiguan tentang apa yang dimaksud dengan pihak suami-istri yang bersangkutan. Apakah yang dimaksud pihak disini hanya mengenai suami saja, istri saja atau suami-istri bersama-sama. Jika yang dimaksud disini adalah pihak suami yang tidak melakukan kewajibannya, maka disinilah para ulama mengatakan bahwa berakhirnya

sebuah pernikahan karena khulu’ adalah hak wanita untuk dapat mengajukan gugatan

pengakhiran akad nikah karena suami yang tidak melaksanakan kewajibannya. Sebaliknya, jika yang dimaksud disini adalah pihak istri yang tidak melakukan kewajibannya, maka disinilah para ulama mengatakan bahwa berakhirnya sebuah pernikahan karena talak yang dilakukan oleh suami adalah hak baginya atas pelanggaran yang dilakukan oleh istri.

      

39

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 114-117. Lihat juga Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 92. 


(43)

Perkataan " "قﻼ ا dan "ﺔ ﺮﻔ ا" dalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya, seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang suami atau istri. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.40

Perkataan talak oleh ahli fiqih klasik41 lebih banyak diartikan dengan arti yang umum daripada arti yang khusus. Hal ini dapat dilihat pada kitab-kitab fiqih klasik yang yang menyebut bab perceraian dengan kitab al-thalaq. Sedangkan para ahli fiqih kontemporer lebih banyak mengartikan talak lebih khusus dari arti yang umum. Perkataan furqah sendiri lebih diartikan dengan arti yang umum dari yang khusus.42

Untuk selanjutnya adalah arti talak. Secara harfiyah (etimologi) kata talak

adalah bentukan kata (musytaq) dari kata قﻼ ﻹا yang berarti كﺮﺘ او لﺎﺳرﻹا yakni melepaskan dan meninggalkan. Ketika seorang berkata “ ﺔ ﺎﻧ” maka ini berarti

unta itu lepas dari pemeliharaan dan bebas semaunya”.43 Jika dihubungkan dengan masalah perkawinan, maka talak dalam arti ini adalah putusnya

      

40

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang. 1974), h. 143. 

41

Yang dimaksud ulama fiqih klasik adalah ulama fiqih sebelum abad ke-19 M. 

42

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 144. 

43

Taqiyyudin al-Hushni, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2001), hal 517. 


(44)

Dalam mengartikan talak secara terminologis kelihatannya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama. al-Mahalli dalam kitab Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan:

ﻮ و

قﻼﻃ

حﺎﻜﻨ ا

ﺪﻴ

Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz thalaq dan sejenisnya.45

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.46 Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab Kifayah al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafadz jahiliyyah yang setelah Islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadis, ijma’ ahli agama dan ahli sunnah.47

Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyah memberikan definisi yang lebih lengkap, beliau merumuskan talak adalah:

      

44

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 198. 

45

Al-Mahalli, Kanzu al-Raghibin, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, T.Th), V. 3, h. 496. 

46

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), V. II, h. 206. 

47


(45)

لﺎ ا

ﻰﻓ

وأ

،لﺎ ا

ﻰﻓ

حﺎﻜﻨ ا

ﺪﻴ

ﻓر

ﺎهﺎﻨ

ﻰﻓ

وأ

قﻼ ا

ةدﺎ

Melepaskan ikatan nikah dari sisi kehalalan hubungan dan atau dari sisi hubungan harta dengan menggunakan lafadz thalaq atau dengan lafadz lain yang semakna dengan lafadz thalaq tersebut.48

Ahmad al-Ghandur dalam bukunya al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun mengatakan bahwa perceraian yang diinginkan salah satu dari suami atau istri dalam istilah hukum yang berlaku di Mesir dan Sudan adalah disebut “thalaq”. Sedangkan jika masalah perceraian itu diselesaikan oleh Pengadilan, maka hal tersebut disebut “al-tathliq”.49

Dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh ulama yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqih terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian yang bernama talak, yaitu;

Pertama, kata “melepaskan” atau membuka atau menggagalkan berarti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yakni ikatan perkawinan.

Kedua, kata “ikatan perkawinan” yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu membolehkan hubungan antara suami-istri, maka dengan telah dibukakannya ikatan tersebut status suami dan istri kembali pada keadaan semula yaitu haram.

Ketiga, kata “dengan lafadz thalaqah dan kalimat lain yang mengandung makna sejenis” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu

      

48

Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 279. 

49


(46)

ucapan (shighat) dan ucapan yang digunakan itu adalah dengan kata thalaq. Tidaklah disebut putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan tersebut, seperti putus karena kematian.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, masalah talak tidak tercantum di dalamnya. Namun, dalam pasal 38 disebutkan bahwa:

Perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b) perceraian dan (c) atas putusan pengadilan.

KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 menyatakan bahwa:

Perkawinan dapat putus karena; (a) kematian, (b) perceraian dan (c) atas putusan pengadilan.

Dalam perkawinan dapat putus karena perceraian dijelaskan dalam pasal 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian yaitu perceraian karena talak dan perceraian karena gugatan.50

Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI Pasal 117 menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah:

Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.

      

50


(47)

Dari semua uraian tersebut di atas tentang arti dari kata talak, baik secara bahasa maupun istilah, maka dapat disimpulkan bahwa talak adalah bentuk ucapan yang mengandung arti untuk mengakhiri hubungan perkawinan dengan melafazkan “thalaq” atau kalimat lain yang sejenis.

Demikianlah sengketa yang kadang terjadi dalam akad pernikahan sehingga sampai pada keputusan berakhirnya suatu akad pernikahan. Namun, dalam keputusan berakhirnya hubungan akad pernikahan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai ilustrasi, berikut dapat dilihat skema mengenai bagaimana sengketa dalam akad dapat timbul dan jalan penyelesaiannya apabila perdamaian tidak dapat diperoleh, dan ke lembaga mana sengketa tersebut dapat diselesaikan sebagaimana berikut:

Gambar Bagaimana Bisa Timbul Sengketa51

      

Terlaksana

Beda Pendapat dalam memahami isi

Tidak terlaksana

Tidak sempurna Dengan sempurna

Akan timbul sengketa

Bagaiman menyelesaikannya? Perjanjian

51


(48)

Harus dilihat apa yang disepakati oleh kedua belah pihak menegenai cara

penyelesaian sengketa Melalui

Pengadilan

Melalui Arbitrase


(49)

BAB III

HAK ISTRI UNTUK MENOLAK TALAK

A. Pengertian Hak

Sudah maklum bahwa dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh suami dan istri setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri. Masing-masing dari pasangan tersebut tidak ada yang lebih dan yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajibannya. Keseimbangan ini adalah sebagai langkah awal dalam menyelaraskan motif ideal perkawinan dengan realitas perkawinan yang dijalani oleh suami-istri tersebut.

Dalam hal ini, jika terdapat indikator dalam sebuah perkawinan bahwa suami lebih mendominasi istri, atau suami memiliki hak yang lebih dibandingkan dengan istri, dan sebaliknya istri dalam posisi yang didominasi dan memiliki kewajiban yang lebih jika dibandingkan dengan suami, maka hal yang demikian akan menjadi pemikiran dan kajian kritis untuk dapat dicari akar persoalannya dan diselesaikan secara konsepsional. Bisa jadi diskriminasi yang terjadi adalah akibat perlakuan hukum yang tidak adil terhadap perempuan.

Hak-hak perkawinan (marital right) marupakan salah satu indikator penting

bagi status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan dan kesejajaran antara pihak suami dan istri. Akan tetapi, jika dalam sebuah keluarga terjadi ketidakadilan dalam soal hak, dan kebanyakan


(50)

perempuan yang menjadi korbannya, maka perlu dipikirkan dan dicari jalan keluar dalam mengatasi hal tersebut.

Pada prinsipnya, perkawinan dalam Islam membawa norma-norma yang mendukung terciptanya suasana damai, sejahtera, adil dan setara dalam keluarga. Akan tetapi, karena pengaruh interpretasi ajaran yang kurang benar, maka terjadi beberapa rumusan ajaran Islam yang tidak membela kepentingan—bahkan menyudutkan—perempuan. Berikut ini, penulis akan menguraikan tentang permasalahan hak perempuan dalam perkawinan lebih khususnya dalam masalah

perceraian (thalaq) berdasarkan dari hasil bacaan penulis terhadap nash-nash

al-Qur’an dan al-Hadis yang penulis dekati dengan pendekataan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia (hukum positif).

Sebelum menuju pada pembahasan lebih mendetail alangkah baiknya jika penulis mengemukakan apa yang dimaksud dengan “hak” dalam pembahasan permasalahan ini. Dalam kamus hukum, kata “hak” mempunyai beberapa arti diantaranya adalah: (1) sesuatu yang benar, (2) kepunyaan, milik, (3) kewenangan, (4) kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang atau peraturan lain, (5) kekuasaan yang benar untuk menuntut sesuatu atau kekuasaan

yang benar atas sesuatu.1 Arti lain adalah wewenang menurut hukum.2

       1

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta. 2007), h. 154. 


(51)

Para ahli fiqih ternyata mempunyai banyak opini dalam memberikan pengertian “hak”, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menurut sebagian ulama mutaakhirin; hak adalah sesuatu hukum yang telah

ditetapkan secara syara’.

2. Menurut Syekh Ali al-Khafifi (dari Mesir); hak adalah kemaslahatan yang

diperoleh secara syara’

3. Menurut Musthafa al-Zarqa (Ahli fiqih Yordania asal Suriah); hak adalah suatu

kekhususan yang padanya di tetapkan syara’ suatu kekuasaan atau taklif.

4. Menurut Ibn Nujaim (Ahli fiqih dari madzhab Hanafi); hak adalah suatu

kekhususan yang terlindungi.3

Dari beberapa pengertian tersebut, jika dihubungkan dengan permasalahan pada bab ini, maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hak istri adalah kewenangan atau kekuasaan bagi seorang istri untuk dapat melakukan sesuatu dan atau menuntut sesuatu karena adanya ketentuan dari syara’, Undang-Undang dan peraturan lain yang menjaminnya. Artinya, bahwa hukum memberikan jaminan bagi seorang istri untuk dapat bertindak dan menuntut dalam permasalahan perceraian sesuai dengan aturan yang ada.

      

2

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 382. 

3

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Mu’amalat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.  


(52)

B. Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih

Dalam sudut pandang fiqih, perceraian karena talak adalah hak laki-laki. Begitu seorang laki-laki mengucapkan lafadz talak terhadap istrinya, misalnya “kamu

saya cerai (thallaqtuki, anti thâliqun, dan seterusnya)”, maka jatuhlah talak tersebut.

Lalu bagaimanakah peran seorang istri ketika suaminya menjatuhkan talak? Pertanyaan lain, Apakah ia pasif dan mau tidak mau ia harus menerima talak yang dijatuhkan suaminya atau apakah ia mempunyai suatu kuasa untuk melakukan penolakan terhadap talak yang dijatuhkan suaminya tersebut.

Menurut Prof. Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa dalam talak tidak terdapat ijab dan qabul karena perbuatan talak itu merupakan tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada tindakan istri untuk itu. Oleh Karena itu, sebagai imbalan akad dalam perkawinan, maka dalam talak berlaku shighat atau ucapan talak.4 Jika mengamati pendapat Prof Amir Syarifuddin ini, maka seakan-akan ia mengatakan bahwa dalam shighat talak hanya terdapat unsur ijab dari suami dan tidak ada unsur qabul dari istri di dalamnya. Dari sini, jika seorang suami ingin mengakhiri hubungan perkawinan dengan istrinya maka ia tinggal mengucapkan shighat talak tanpa harus menunggu qabul dari istrinya agar talak tersebut dianggap absah.

      

4

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 208. 


(53)

Dalam hal ini, fiqih memandang bahwa istri tidaklah mempunyai hak untuk

dapat menolak talak dari suaminya. Setelah shighat talak diucapkan, walaupun tanpa

ada kesepakatan sebelumnya dari pihak istri, maka jatuhlah talak bagi istri tersebut. Seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya atau seorang dari istri-istrinya tanpa adanya kewajiban untuk memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya terhadap istri sebagai sebuah otoritas yang ia miliki. Sebaliknya perempuan, dapat

bercerai dalam hal ini adalah dapat menggugat cerai (khulu’) hanya dengan kerelaan

suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan

dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya mengurus istri.5

Sesuai dengan uraian di atas, bahwa suami dapat mentalak istrinya tanpa persetujuannya adalah sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Imam al-Ghazali.

Ia dalam bukunya yang berjudul al-Wajiz menyatakan bahwa istri dalam talak adalah

sebagai objek. Pernyataannya diuraikan ketika menyebutkan bahwa dalam talak

terdapat 5 rukun di antaranya adalah ﱢ ﻤ ا (orang yang mentalak/laki-laki/suami),

ﻆﻔ ا (shigat talak), ﺪﺼﻘ ا (kesengajaan atau niat), ﻤ ا (obyek talak yakni istri) dan

ﺔ ﻻﻮ ا

ﻤ ا (kekuasaan untu menjatuhkan talak, yakni yang menjatuhkan talak

adalah suami dari wanita yang akan ditalak). Dari rukun-rukun talak yang disebutkan Imam al-Ghazali tersebut, terkesan bahwa ia mengambarkan kedudukan seorang istri

       5

Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa oleh Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LkiS dan Pustaka Pelajar, 1994), h. 337 – 338. 


(1)

Dimana pada dasarnya keputusan pemerintah berupa Undang-Undang atau peraturan lainnya tersebut tidak dapat lepas dari dua kaidah berikut:

فﺮﺼﺗ

مﺎ ﺈْا

ﺔﱠﻴ ﱠﺮ ا

ٌطﻮﻨ

ﺔ ْﺼ ْﺎ

Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan.

ﻢْﻜ

ﻢآﺎ ْا

ﺋﺎ ْا

ْﺨ ْا

ﺎﻬﻴﻓ

ﻓْﺮ

فﺎ ﺨْا

 

Keputusan hakim dalam perbedaan pendapat produk ijtihad dapat menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.

Berdasarkan kaidah tersebut, maka dengan adanya keputusan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan lainnya itu sudah cukup untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.

B. Saran

Dari pembahasan di atas, besar harapan penulis bahwa tulisan ini akan memberikan sedikit masukan kepada pemerintah, ulama dan masyarakat untuk bersama-sama membangun suatu tatanan hukum yang baik demi kemaslahatan bersama.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di negara ini, diharapkan untuk peka dengan gejala hukum yang ada di masyarakat. Kemudian mengatur hal-hal yang dirasa dapat meresakan warganya, sehingga masyarakat akan merasa terjamin hak-haknya. Selain itu, ketegasan pemerintah dalam pelaksanaan hukum yang ada


(2)

 

juga sangat diperlukan, sehingga hukum yang ada tidak hanya ditakuti tapi juga mempunyai wibawa untuk ditaati dan dipegang teguh oleh warganya.

Begitu juga bagi para ulama yang merupakan komponen penting dalam penentuan hukum, untuk lebih bisa mengayomi dan menjadi maraji’ bagi masyarakat secara umum, khususnya bagi masyarakat awam. Peran ulama dalam memberikan pengertian atas pentingnya pelaksanaan suatu hukum perlu melihat konteks kekinian sehingga tidak terasa saklek atau tekstual dengan nash-nash yang ada. Karena bagaimanapun juga, hukum selalu berkembang seiring dengan berkembangnya waktu dan tempat.

Adanya pemerintah maupun ulama dalam penentuan hukum, tentu tidak akan seimbang jika masyarakat tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Sudah seharusnya masyarakat mendukung aturan-aturan baik yang ada. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi saja tapi untuk kepentingan bersama.

Terakhir, penulis merasa bahwa pembahasa pada skripsi ini tentunya masih sangat sederhana dan tentu saja memiliki ketidaksempurnaan. Oleh karena itu diharapkan saran dan kritik yang sehat agar lebih bermanfaat. Semoga tulisan ini menjadi penyambung lidah positif bagi para pengkaji hukum.


(3)

Daftar Pustaka

A. Rasyid, Raihan. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pers. 2003. Abu Ishaq, al-Syirazy. Al-Muhadzdzab. Surabaya: Hidayah. T. Th.

Abu Suja’, al-Ashfani. Fiqih Sunnah Imam Syafi’I Pedoman Amaliah Muslim Sehari-hari. Bandung: PADI. 2009.

Abdoerraoef. al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study. Jakarta: Bulan Bintang. 1970.

Abdullah, Abdul Ghani. Pengantar Kompilasi hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. 2002. Cet-2.

Ahmed An-Na’im, Abdullah. Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa oleh Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LkiS dan Pustaka Pelajar. 1994.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 2006. Cet-13. Aripin, Jaenal. Latif, Azharudin. Filsafat Hukum Islam Tasyri’ dan Syar’i. Jakarta:

UIN Press. 2006. Cet-1.

Arto, A. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Cet-1.

Azhar, Muhammad. Fiqih Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta: Lesiska. 1996.

Aziz al-Jandul, Sa’id Abdul. Wanita dalam Naungan Islam, alih bahasa oleh Syafril Halim. Jakarta: Firdaus, 1992.

al-Bandari, Abdul Wahab. al-Nikah Wa Thalaq. Kairo: Mathba’ah al-‘Amaliyah. 1969.

al-Bahi, Muhammad. Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, alih bahasa oleh Fathurrahman. Jakarta: Gema Insani Pers.1990. cet-6.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002.


(4)

Dewi, Gemala dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.

Djamil, Faturrahman. “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001.

al-Fadani, Muhammad Yasin. Fawaid Janiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Al-Ghandur, Ahmad. Al-Thalaq Fi al-Syari’ah Wa al-Qanun. Mesir: Dar al-Ma’arif 1967. Cet-1.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Wajiz. Kairo: Dar al-Risalah. 2004.

al-Ghazzi, Muhammad Bin Qasim. Fath al-Qarib al-Mujib. Surabaya: Maktabah Sa’d Bin Nashir Bin Nabhan. T. Th.

al-Hadad, al-Thahir. Wanita Dalam Syari’at Dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993. Cet-4.s

al-Hakim, Abd al-Hamid. Mabadi' Awwaliyah. Jakarta: Sa'adiyah Putra. T. Th. ____________________. al-Sullam. Jakarta: Sa'adiyah Putra. T. Th.

al-Hishni, Taqiyyuddin. Kifayah al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2001. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Cet-4. Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Mu’amalat). Jakarta:

Raja Grafindo Persada. 2003.

Hasyim, Syafiq. Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam. Bandung: Mizan. 2001.

Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talaq-Rujuk dan Kewarisan. Jakarta: Yayasan Ihya ‘Ulumuddin Indonesia. 1971. Cet.-1.

I Doi, A. Rahman. Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.

Ibn Rusyd. Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Dar al-fikr. T. Th.

Jaziri, ‘Abd Rahman. Fiqh ‘Ala Madzahib ‘Arba’ah. Kairo: Dar al-Hadits. 2004.


(5)

Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Rajawali Press. 1995.

Ma’ani, Abdu al-‘Adzim. al-Ghundur, Ahmad. Hukum-Hukum dari al-Qur;an dan Hadis Secara Etimologi Sosial dan Syari’at. Terj-Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2003.

Mahmood, Tahir. Family Law Reform In The Muslim World. New Delhi: NM Tripathi PVT LTD. 1972.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Jakarta: MA RI. 2006.

Makki al-Amili, Ali Husain Muhammad. Perceraian Salah Siapa?. Jakarta: Lentera. 2001.

Al-Malibari. Fath al-Mu’in. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islami. 2010.

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1974.

Mughniyyah, Muhammad Jawad. Fiqih lima Madzhab. Jakarta: Lentera. 2001. Muhammad, Daud Ali. Hukum Islam Dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan.

(Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002). Cet-2.

Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta :CEQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 1995.

Rusdiana, Kama. Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2007. Cet-1.

al-Shan'ani. Subulu al-Salam. Kairo: Dar al-Hadits. 2004.

al-Shiba’I, Musthofa. Wanita Dalam Pergumulan Syari’at Dan Hukum Konvensinal. Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara. T. Th.

al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadhair. Mesir: Dar al-Salam. 2006. Sabbiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Mauqi' Ya'sub, T. Th.


(6)

Subekti, R. Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang Pokok Agraria Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: PT. Prandya Paramita. 2007. Cet-8.

Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.

Suma, Amin. Teori dan Praktek Ijtihad Di Negara Modern Pengalaman Indonesia. Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.

Syarifin, Pipin. Pengantar ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 1999.

Syarifuddin, Amir. Hukum perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada media. 2006. Cet-1. Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos

Wacana Ilmu. 2003.

Tarigan, Azhari Akmal. Nuruddin, Amiur. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2004.

Team KAKI LIMA. Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Buku Satu. Surabaya: Khalista. 2005.

Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Buku Dua. Surabaya: Khalista. 2006.

Tholchah Hasan, Muhammad. Diskursus Islam Kontemporer. Jakarta: Lintafariska Putra. 2001. Cet-2.

Turmudzi, Imam. Dialog Wanita Dan Islam. Surabaya: Cipta Media. T. Th.

Ulin Nuha, Muhammad. 55 Cinta Allah Terhadap Wanita. Jombang: Lintas Media. 2007.

Umar Ba’lawy, Abdurrahman bin Muhammad bin Husain. Bughyah al-Mustarsyidin. Libanon: Dar al-Fikr.1995.

Wahiduddin Khan, Maulana. Woman In Islamic Shari’ah. New Delhi: al-Risalah Books. 1995.

al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar al-Fikr. 2001.