69
BAB IV Antara Fiqih dan Hukum Positif Tentang
Hak Istri Untuk Menolak Talak
A. Memahami Subtansi Perbedaan
Setelah melewati beberapa pembahasan yang dimulai dari pembahasan tentang talak dan hak-hak wanita dalam talak pada dua bab sebelumnya, maka
sampailah pada bab analisa penulis tentang perbandingan kontradiktif permasalahan hak istri dalam menolak talak suami. Namun, sebelum penulis melangkah lebih jauh
alangkah baiknya jika penulis mengulas sedikit tentang subtansi perbedaan antara fiqih dan hukum positif Indonesia berkenaan dengan peran serta seorang istri dalam
perkara talak. Dari sisi fiqih, penulis menggolongkan menjadi dua bagian yakni pada sisi
fiqih klasik
1
dan sisi fiqih kontemporer
2
. Dalam fiqih klasik, para ulama secara umum menyatakan bahwa dalam talak adalah murni hak suami. Hanya suami yang
bisa menjatuhkan talak dan ia bisa menjatuhkan hak tersebut kepada istrinya dimanapun dan kapanpun baik dengan persetujuan istrinya maupun tidak asalkan
1
Sekitar abad VII-XII.
2
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, pengertian kontemporer adalah: 1 sewaktu, semasa, pada masa atau waktu yang sama. 2 pada masa kini, dewasa ini. Dari kedua makna tersebut,
penulis memakai makna yang kedua yakni kontemporer adalah masa kini atau dewasa ini. Jadi, “fiqih kontemporer” adalah tentang perkembangan pemikiran fiqih Islam dewasa ini yakni dimulai pada
abad XIX.
70
talak tersebut bukanlah talak bid’i.
3
Namun, mereka berbeda pendapat tentang hukum menjatuhkan talak itu sendiri. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa talak adalah makruh tapi sah-sah saja jika suami ingin menggunakan hak tersebut. Baik dengan
persetujuan istri maupun tidak. 2. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa walaupun hak talak ada ditangan suami,
tapi suami tidak dapat mentalak istrinya begitu saja tanpa sebab. Hal ini dikatakan oleh ulama Hanafiyyah sebagai sebuah bentuk kufur ni’mat. Oleh
karena itu, mereka mengatakan bahwa hukum asal talak adalah makruh littahrim. Dari sini, suami tidak diperbolehkan mentalak istrinya tanpa adanya sebab yang
membolehkannya untuk menggunakan haknya. Penulis dapat mengatakan bahwa ulama Hanafiyyah mengakui hak talak pada suami tapi kemudian mereka
membatasi dengan sebuah persyaratan dan mereka bermain pada tataran dosa dan tidaknya seorang suami yang ingin menggunakan hak talaknya.
3. Sedangkan ulama Maliki mengatakan bahwa hukum asal talak adalah lebih dari sekedar “al-man’u”, dengan khilaf aula maka boleh jadi talak tersebut dihukumi
haram yakni tatkala seorang suami menceraikan istrinya tanpa adanya sebab- sebab yang dapat dibenarkan.
4
3
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, Kairo: Dar al-Hadits, 2004, V. IV, h. 242.
4
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, h. 243.
71
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada sisi fiqih klasik, permasalahan peran seorang istri dalam talak belumlah diakui. Seorang istri hanya
dianggap sebagai mahal obyek dari talak itu sendiri.
5
oleh karena itu seorang suami dapat saja menjatuhkan talak kepada istrinya walaupun si istri tidak
menginginkannya. Namun, di sisi lain dapat ditemukan beberapa pendapat yang berusaha menjamin hak-hak istri agar tidak terdzalimi dengan talak yang dijatuhkan
suaminya sehingga para ulama seperti dalam kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah membicarakannya dalam tataran dosa dan tidaknya tapi tetap mengabsahkan talak
yang dijatuhkan oleh suami tersebut. Berbeda dengan uraian pada tataran fiqih klasik, jika melihat dari sisi fiqih
kontemporer, maka akan didapatkan beberapa pendapat yang sedikit menyebut peran serta istri dalm talak. Hal ini seperti yang diungkap oleh Abu Zahrah dalam bukunya
al-Ahwal al-Syakhsiyyah bahwa talak tidak ubahnya seperti sebuah akad yang dalam
keabsahannya membutuhkan kerelaan dari pihak pertama dan pihak kedua yakni antara suami dan istri. Ketidakrelaan dari salah satu pihak menjadikan akad atau
talak tersebut tidak sah. Oleh karena itu, talak hanya akan terjadi jika kedunya menginginkannya dan rela terhadap terjadinya perceraian tersebut.
6
Namun, menurut Abu Zahrah bahwa ketika antara suami dan istri sepakat untuk mengakhiri hubungan perkawinannya dengan sebuah perceraian, maka dalam
hal ini mereka harus bercerai demi kemaslahatan keduanya. Permasalahan utama
5
Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, Kairo: Dar al-Risalah. 2004, h. 382-387.
6
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005, h. 281.
72
adalah ketika di antara keduanya tidak terjadi kesepakatan untuk bercerai. Dalam hal seperti ini, maka keduanya harus menyerahkan permasalahannya kepada Hakim
untuk diselesaikan bagaimana baiknya. Dengan memasukkan masalah tersebut kepada Pengadilan maka mereka berdua akan mendapatkan keputusan yang lebih
adil dan maslahat bagi keduanya.
7
Beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa talak adalah salah satu formulasi dari sebuah perceraian yakni sebuah tindakan untuk mengakhiri akad nikah dan akad
nikah itu sendiri adalah sebuah perikatan. Oleh karena itu, jika dalam akad nikah dibutuhkan oleh sebuah persetujuan oleh kedua belah pihak, maka tentu saja ketika
akan mengakhirinya juga dibutuhkan persetujuan antar keduanya. Hampir sama dengan pendapat para ulama fiqih kontemporer, dalam hukum
positif di Indonesia peran seorang wanita dalam perkara perceraian talak diakui adanya. Yang membedakan adalah, jika fiqih baik klasik maupun kontemporer, tidak
memandang keharusan seorang suami untuk mentalak istrinya di hadapan majlis hakim Pengadilan Agama, maka dalam hukum positif di Indonesia menyatakan
bahwa perceraian talak hanya akan diakui jika diucapkan di hadapan majlis hakim.
8
Sebaliknya dari konteks fiqih, hukum di Indonesia yang terkait dengan permasalahan ini, seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan UUP, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
7
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 281-282.
8
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, pasal 149, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h. 121. Lihat juga pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1991. Lihat
juga Pasal 66 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
73
dan Kompilasi Hukum Islam KHI terkesan mempersulit perceraian tersebut. Untuk dapat mewujudkan sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang
dibenarkan oleh Undang-Undang dan ajaran agama, Jadi tidak semata-mata diserahkan pada aturan-aturan agama.
9
Hal ini mengandung pengertian bahwa suami tidak dapat mentalak istrinya tanpa alasan tertentu. Dalam rangka menjaga prinsip
maslahat terutama terhadap istri, maka perlu dibatasi hak suami itu sehingga ia tidak mentalak istrinya kecuali sudah cukup alasan untuk itu. Talak tanpa alasan apapun
tidak dinyatakan sah.
10
Pengajuan permohonan talak oleh suami pada Pengadilan Agama adalah merupakam jenis perkara kontentius tetapi menggunakan istilah permohonan. Dalam
perkara tersebut, kedudukan suami adalah sebagai pemohon dan istri sebagai termohon. Antara pemohon dan termohon mempunyai hak dan kedudukan yang
sama di muka hakim.
11
Permohonan cerai talak meskipun berbentuk permohonan tetapi pada hakikatnya adalah kontentius karena di dalamnya mengandung unsur sengketa. Oleh
karena itu, harus diproses sebagai perkara kontentius untuk melindugi hak-hak istri dalam mencari upaya hukum dan keadilan. Selain itu, perkara ini harus diproses
sebagai perkara kontentius karena persetujuan istri sangat diperlukan di dalamnya.
12
9
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1995, h. 59.
10
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan
, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 216.
11
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet-1, h. 202.
12
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 203.
74
Dalam jalannya persidangan, peran serta istri sebagai “termohon” tidaklah pasif. Beberapa hal yang membuktikan bahwa peran serta istri dalam perkara
permohonan talak tidaklah pasif adalah adanya hak seorang istri untuk menjawab isi permohonan gugatan cerai yang diajukan suaminya, hak mengajukan duplik dan
hak mengajukan upaya hukum mulai dari banding, kasasi di Mahkamah Agung sampai pada upaya hukum peninjauan kembali.
Untuk lebih memudahkan dalam memetakan perbedaan yang terjadi antara fiqih dan hukum positif maka penulis akan membuat daftar diagram perbedaan
berkenaan dengan permasalahan peran istri dalam perkara talak yang diajukan suaminya sebagai berikut:
No Segi perbedaan
Fiqih Hukum Positif
1. Hak talak
Mutlak pada suami Pada suami tapi bersyarat
2. Saat pengikraran
Diikrarkan oleh suami dimanapun
Diikrarkan suami dihadapan Majlis Hakim Pengadilan
Agama. 3.
Alasan talak Tidak harus ada
Harus ada 4.
Peran istri Tidak ada pasif
Ada aktif
5. Upaya Hukum
dari pihak istri Tidak ada
Ada banding, kasasi, peninjauan kembali
6. Hak istri untuk
menolak Tidak ada
Ada secara implisit
75
Demikianlah kurang-lebih perbedaan yang terjadi antara fiqih dan hukum positif di Indonesia dalam permasalahan peran serta seorang istri dalam perkara talak
bahkan peran istri untuk dapat menolak permohonan talak dari suaminya. Kasus seperti ini dapat dilihat misalnya pada kasus permohonan talak yang diajukan oleh
Bambang Triatmojo kepada Istrinya Halimah. Halimah yang tidak menginginkan rumah tangganya hancur, mengajukan Banding atas permohonan Bambang yang
dimenangkan pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan nomor putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tanggal 16 Januari 2008. Sampai akhirnya, Halimah
dapat memenangkan kasusnya sampai pada Kasasi di Mahkamah Agung sehingga statusnya sampai saat ini adalah masih resmi menjadi istri dari Bambang Triatmojo.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah perbedaan antara fiqih dan hukum positif tersebut dapat dibenarkan dari sisi penetapan syari’ah itu sendiri?.
Inilah yang akan dianalisis lebih mendalam pada sub bab berikutnya.
13
B. Perbedaan Dinamis dan Kontradiktif Antara Hukum Fiqih Dan Hukum