Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih

50

B. Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih

Dalam sudut pandang fiqih, perceraian karena talak adalah hak laki-laki. Begitu seorang laki-laki mengucapkan lafadz talak terhadap istrinya, misalnya “kamu saya cerai thallaqtuki, anti thâliqun, dan seterusnya”, maka jatuhlah talak tersebut. Lalu bagaimanakah peran seorang istri ketika suaminya menjatuhkan talak? Pertanyaan lain, Apakah ia pasif dan mau tidak mau ia harus menerima talak yang dijatuhkan suaminya atau apakah ia mempunyai suatu kuasa untuk melakukan penolakan terhadap talak yang dijatuhkan suaminya tersebut. Menurut Prof. Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa dalam talak tidak terdapat ijab dan qabul karena perbuatan talak itu merupakan tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada tindakan istri untuk itu. Oleh Karena itu, sebagai imbalan akad dalam perkawinan, maka dalam talak berlaku shighat atau ucapan talak. 4 Jika mengamati pendapat Prof Amir Syarifuddin ini, maka seakan-akan ia mengatakan bahwa dalam shighat talak hanya terdapat unsur ijab dari suami dan tidak ada unsur qabul dari istri di dalamnya. Dari sini, jika seorang suami ingin mengakhiri hubungan perkawinan dengan istrinya maka ia tinggal mengucapkan shighat talak tanpa harus menunggu qabul dari istrinya agar talak tersebut dianggap absah. 4 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan , h. 208. 51 Dalam hal ini, fiqih memandang bahwa istri tidaklah mempunyai hak untuk dapat menolak talak dari suaminya. Setelah shighat talak diucapkan, walaupun tanpa ada kesepakatan sebelumnya dari pihak istri, maka jatuhlah talak bagi istri tersebut. Seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya atau seorang dari istri-istrinya tanpa adanya kewajiban untuk memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya terhadap istri sebagai sebuah otoritas yang ia miliki. Sebaliknya perempuan, dapat bercerai dalam hal ini adalah dapat menggugat cerai khulu’ hanya dengan kerelaan suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasar- dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya mengurus istri. 5 Sesuai dengan uraian di atas, bahwa suami dapat mentalak istrinya tanpa persetujuannya adalah sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Imam al-Ghazali. Ia dalam bukunya yang berjudul al-Wajiz menyatakan bahwa istri dalam talak adalah sebagai objek. Pernyataannya diuraikan ketika menyebutkan bahwa dalam talak terdapat 5 rukun di antaranya adalah ﱢ ﻤ ا orang yang mentalaklaki-lakisuami, ﻆﻔ ا shigat talak, ﺪﺼﻘ ا kesengajaan atau niat, ﻤ ا obyek talak yakni istri dan ﻰ ﺔ ﻻﻮ ا ﻤ ا kekuasaan untu menjatuhkan talak, yakni yang menjatuhkan talak adalah suami dari wanita yang akan ditalak. Dari rukun-rukun talak yang disebutkan Imam al-Ghazali tersebut, terkesan bahwa ia mengambarkan kedudukan seorang istri 5 Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa oleh Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta: LkiS dan Pustaka Pelajar, 1994, h. 337 – 338. 52 Hal tersebut tentu berbeda dengan pernyataan Imam al-Ghazali ketika membahas permasalahan khulu’. Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa dalam khulu’ juga terdapat 5 rukun, di antaranya: pertama dan kedua ناﺪ ﺎ ا dua pihak yang melakukan akad yakni suami-istri. Ketiga dan keempat, نﺎﺿﻮ ا dua barang penggantitebusan, yakni harta dari pihak suami yang sudah diberikan kepada istrinya sebagai mahar dan harta dari pihak istri sebagai pengembalian kepada suami karena meminta talak. Adapun rukun kelima adalah ﺔﻐ ﺼ ا redaksi ucapanshigat. 7 Dari sini, jika dalam masalah talak Imam al-Ghazali menggunakan istilah ﻤ ا objek bagi wanita, namun dalam masalah khulu’ ia justru menganggap wanita sebagai salah satu bagian dari unsur para pihak yang melakukan akad ناﺪ ﺎ ا yakni sebagai ﺑﺎﻘ ا pihak yang menerimaqabul. Dari uraian tersebut, maka dapat disinyalir bahwa perceraian bukanlah suatu akad yang membutuhkan kesepakatan dari kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam masalah khulu’ yang dianggap merupakan sebuah akad, maka dalam keabsahannya membutuhkan kesepakatan dari kedua belah pihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. 6 Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, Kairo: Dar al-Risalah. 2004, h. 382-387. 7 Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, h. 372-374. 53 Pendapat seperti ini tentu saja tidak lepas dari dasar nash-nash al-Qur’an yang menerangkan tentang talak. Hampir keseluruhan ayat-ayat yang menerangkan permasalahan tentang talak mempunyai khithab objek pembicaraan bagi laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi ﱠﻦهﻮﻤﺘﻘﱠ نإو Jika kamu menceraikan istri-istrimu 8 atau ﱠﻦهﻮﻘﱢ maka hendaklah kamu ceraikan mereka 9 . Dalam redaksi kedua ayat tersebut, dlomir kata ganti ﻦه yang berarti “mereka perempuan banyak” adalah sebagai kata ganti yang mempunyai kedudukan sebagai objek لﻮ ﻔﻤ ا . Hal ini juga tercermin dari penggunaan kalimat ءﺎﺴﱢ ا ﺘﻘﱠ اذإ apabila kamu menceraikan istri-istrimu 10 dan kemudian menyebut wanita-wanita tersebut dengan istilah تﺎﻘﱠ ﻤ ا wanita-wanita yang ditalak. 11 Dari keseluruhan nash-nash al-Qur’an tersebut di atas-lah yang kemudian menghasilkan buah ijtihad dari para ulama bahwa hanya laki-laki yang mempunyai hak talak dan istri adalah sebagai obyek dari talak. Maka, tidak heran jika dalam kosa kata kitab-kitab fiqih klasik sering ditemukan kalimat ﺎ ﺖﻧأ dan bukan kalimat ﺔﻘ ﺎ ﺖﻧأ untuk menyebut istri yang ditalak. Kalimat ﺎ ﺖﻧأ yang merupakan bentuk isim mudzakar namun diperuntukkan bagi wanita mu’annats adalah merupakan sebuah pernyataan bahwa tidak ada manusia berjenis kelamin lain yang dapat dijatuhi talak kecuali wanita. Penggunaan kalimat seperti ini sudah sangat 8 QS. al-Baqarah: 237. 9 QS. al-Thalaq:1. 10 QS. al-Thalaq:1. 11 QS. al-Baqarah: 228. 54 Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa dalam fiqih wanita didudukkan sebagai obyek dari talak. Namun, timbulah sebuah pertanyaan besar bahwa benarkah talak yang dijatuhkan seorang suami pada istrinya berhukum sah, sesuai dengan spirit hukum talak itu sendiri, tanpa lebih dahulu diadakan dialog, minimal antar pasangan?. Padahal jika berdasarkan pada prinsip dasar yang ada dalam permasalahan talak itu sendiri, dimana kebolehan menjatuhkannya hanyalah ketika terpaksa, yakni ketika antara suami-istri sudah tidak bisa didamaikan lagi dengan cara apapun. Jika teori dipahami bahwa suami dapat menjatuhkan talak kapanpun sesuka dia, baik dengan alasan ataupun tidak, maka bisa saja seorang istri dapat ditalak tanpa mengetahui alasan penalakannya. Apakah tindakan semacam ini sesuai dengan spirit talak itu sendiri?. Dapat dikatakan bahwa setelah akad nikah, memang posisi suami akan menjadi pemilik dan istri adalah yang dimiliki. Dari sini, maka Jaenal Aripin berpendapat bahwa orang yang berhak menghilangkan kepemilikan adalah yang 55 memilikinya, bukan yang dimiliki. 12 Namun, walaupun seorang suami mempunyai hak kepemilikan terhadap istrinya, pengertian seperti ini perlu diperjelas lagi. Berkenaan dengan hal tersebut, Ibrahim Hosen dalam bukunya Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan memaparkan bahwa menurut ulama fiqih hak milik itu terbagi atas tiga macam, yaitu: 1. Milku al-raqabah yakni memiliki sesuatu benda secara keseluruhannya. Misalnya dengan jalan membeli atau warisan. Benda yang dimiliki ini dapat dijual atau digadai oleh si pemilik. Contoh lainnya adalah seperti kepemilikan seseorang terhadap budak. 2. Milku al-manfa’ah yakni hak memiliki kemanfaatan suatu benda misalnya dengan jalan menyewa. Si pemilik manfaat dapat pula menyewakan kepada orang lain atau meminjamkannya. 3. Milku al-intifa’ yakni hak memiliki penggunaan pemakaian suatu benda. Si pemilik penggunaan tidak berhak selain ia mempergunakannya untuk diri sendiri. 13 Akad nikah bukanlah suatu akad untuk memiliki raqabah bukan pula untuk memiliki manfa’ah. Tetapi akad nikah adalah akad untuk memiliki intifa’ terhadap 12 Jaenal Aripin, Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam Tasyri’ dan Syar’i, Jakarta: UIN Press, 2006, h. 125. 13 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, Jakarta: Yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia, 1971, Cet. 1, h. 66. 56 wanita yang telah menjadi istri. Dari definisi ini maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Suami mempunyai hak monopoli dalam memiliki kenikmatan terhadap istrinya. Selain suaminya, haram ikut serta merasakan kenikmatan tersebut. 2. Istri tidak terikat dengan suami, karena itu ia mempunyai hak untuk melepaskan diri dari suaminya. 3. Kemaluan istri adalah hak miliknya selaku pemilik raqabah dan manfa’ah. Karena jika terjadi kekeliruan, misalnya dijima’ oleh laki-laki lain yang bukan suaminya tapi menyangka bahwa ia adalah istrinya, maka wajib atas laki-laki tersebut membayar mahar mitsil kepada istri tersebut bukan kepada suami dari istri tersebut. 4. Suami tidak berkewajiban menjima’ istrinya tetapi istri berkewajiban menyerahkan kemaluannya sewaktu diminta oleh suaminya. Kewajiban suami bukanlah dikehendaki oleh akad tetapi oleh kewajiban memelihara moral istri. Jadi, ketika suami sudah membuktikan kepada istrinya dalam jima’ yang pertama kali dan membuktikan bahwa ia tidak impotent, maka hal ini sudah dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan istrinya. 14 14 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, h. 66-67. 57 Sebagian ulama Syafi’iyyah memandang bahwa akad nikah adalah aqad al- ibahah yaitu membolehkan suami menyetubuhi istrinya jadi bukan akad tamlik yaitu untuk memiliki penggunaan milku intifa’. 15 Implikasi dari perbedaan masalah di atas adalah bahwa akad nikah itu bukanlah untuk memberikan kepada laki-laki saja hak memiliki penggunaan kenikmatan tetapi hak tersebut adalah diberikan pula kepada kedua belah pihak. Jadi, dengan adanya konsep milku intifa’, maka istri juga berhak menuntut persetubuhan dari suaminya dan suami berkewajiban memenuhinya sebagaimana suami berhak menuntut persetubuhan dari istrinya. 16 Dari pemaparan Ibrahim Hosen tersebut di atas, penulis melihat adanya kesetaraan hak dan kewajiban antara suami-istri atas pernikahan mereka tasharruf. Bentuk tasharruf dari perikatanakad nikah antara mereka adalah bahwa istri dimiliki oleh suami tapi kepemilikan ini adalah “milku intifa’” hak memiliki penggunaan, tidak hanya dari pihak istri untuk suami tapi juga suami untuk istri. Terlihat sekali hubungan timbal balik antar keduanya. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan permasalahan pemutusan akad maka akad atas dasar milku intifa’ sudah selayaknya jika pemutusan tersebut membutuhkan musyawarah atau keesepakatan antar keduanya. 15 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, h.67. 16 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, h.67. 58 Namun, alasan yang paling mendasar yang selalu digunakan bahwa hak talak hanya ada di tangan laki-laki adalah bahwa berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang talak, hampir semuanya mempunyai khitab objek pembicaraan ayat bagi para suami. Dari sinilah akhirnya para ulama sepakat mengatakan bahwa hak talak ada di tangan laki-laki. Pertanyaan yang selalu timbul adalah mengapa hak cerai dipegang suami sehingga ia kapanpun bisa saja mengakhiri kehidupan rumah tangganya?. Mengapa istri tidak diberi hak berpendapat dalam masalah ini, padahal ia adalah pasangan hidup suaminya?. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Penulis mencoba untuk membedakan antara al-Qur’an yang lebih menekankan aspek kesadaran moral dengan fiqih yang berada dalam wilayah legal-formal. Fiqih, tidak mau mengambil resiko dengan bermain di dunia “hatirasa” yang bersifat subyektif. Dalam konteks perceraian, fiqih hampir tidak pernah untuk mensiasati bagaimana perceraian bisa dihindari sebisa mungkin. Hal ini dikarenakan sifat fiqih yang selalu mengenakan ukuran formal-obyektif, sementara kondisi “keterpaksaan bagi suatu perceraian” bagaimanapun bersifat subyektif. Umumnya literatur fiqih, ketika membicarakan masalah cerai langsung yang dibicarakan adalah dimensi-dimensi teknis dan prosedural, atau lebih jauh tentang implikasi-implikasi hukum yang ditimbulkannya. Berkenaan dengan hal tersebut, ‘Abd al-Rahman al-Jaziri dalam bukunya al- Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah menyatakan bahwa tidaklah diperbolehkan bagi seorang suami untuk mentalak istrinya tanpa ada sebab khusus walaupun itu thalaq 59 sunni . Menurutnya, seperti yang sudah disepakati para ulama empat madzhab bahwa pada dasarnya hukum thalaq itu adalah menurut ulama Malikiyyah tidak diperbolehkan al-man’u, atau paling tidak ‘ala al-aqal menurut ulama Syafi’iyah thalaq dihukumi makruh sedangkan ulama Hanafiyyah menghukuminya dengan karahah al-tahrim makruh haram. Hal ini didasarkan karena adanya talak tersebut sudah memutus akad antara suami-istri yang sudah disyari’atkan oleh Allah SWT. Thalaq yang dijatuhkan tanpa sebab yang membenarkannya adalah merupakan bentuk kufr al-ni’mah lebih-lebih jika istri sudah mempunyai anak maka dengan adanya thalaq tersebut akan menjerumuskan suami pada perbuatan dholim terhadap keluarganya. 17 Menanggapi pendapat dari al-Jaziri, penulis berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan secara tiba-tiba oleh suami, menurut fiqih sebagai “aturan formal keagamaan” adalah sah. Tetapi, keabsahan yang dimaksudkan adalah keabsahan formal. Kasusnya sama seperti ibadah haji dengan uang korupsi, dalam kacamata fiqih hajinya sah, tapi apakah secara spiritual yang demikian itu bisa diterima oleh Allah?. Segala yang sah menurut fiqih tidak dapat digeneralisasi sah dari sudut moral keagamaan. Sehingga walaupun seorang laki-laki yang menjatuhkan talak seenaknya kepada seorang istri sah secara fiqih tetapi dari sudut moral keagamaan adalah sangat tercela dan dimurkai Allah. Firman Allah SWT: 17 ‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, Kairo: Dar al-Hadits, 2004, V. IV, h.242. 60 ْنﺈﻓ ْﻢﻜﻨْ ﻃأ ﻼﻓ اﻮﻐْﺒﺗ ﱠﻦﻬْﻴ ﻼﻴﺒ ءﺎ ﻨ ا : 34 Artinya: Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari- cari jalan untuk menyusahkannya. QS. Al-Nisa’: 34 Ali al-Sayis menafsirkan kata “la tabghuna” dengan arti bahwa hendaklah jangan mencari cara atau jalan yang melewati batas yang membawa akibat aniaya. Ayat ini mengatur tentang nusyuz, yang ketika sifat nusyuznya hilang, maka hukum dikembalikan kepada jalan yang tidak menganiaya. Hal ini mengandung pengertian bahwa hilangnya sebab hilang pulalah hukum kebolehan. 18 Menceraikan istri memang tidak ada sangsi formal duniawi yang dijatuhkan oleh agama, seperti mencuri, berzina, atau membunuh. Akan tetapi bukan berarti perceraian bisa dilakukan tanpa resiko. Seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya tanpa alasan yang kuat dan tanpa persetujuan istrinya, layak dimurkai Allah karena secara terang-terangan ia mengkhianati amanat yang dipikulkan kepadanya. Bukankah wewenang talak diserahkan kepada suami dengan asumsi bahwa sebagai laki-laki suami lebih bisa berlaku amanah?. Namun, amanah yang diberikan Allah tersebut telah disalahgunakan dalam pemakaiannya sehingga terjadilah perceraian thalaq sewenang-wenang yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya. 18 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Qahirah: Ali Sabih, T.th, V. III, h. 100. 61

C. Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Hukum Positif