Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Advokat atau kuasa hukum adalah pemberi bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum yang keberadaannya sangat dibutuhkan. Saat ini semakin penting seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat serta kompleksitasnya masalah hukum. Advokat merupakan profesi yang memberi jasa hukum, saat menjalankan tugas dan fungsinya dapat berperan sebagai pendamping, pemberi advise hukum, atau menjadi kuasa hukum untuk dan atas namanya. 1 Jika manusia memiliki banyak kesibukan, itu wajar-wajar saja. Baik itu kesibukan dalam berdagang, bertani, maupun lainnya. Biasanya jika seseorang memiliki banyak kesibukan, maka waktu pelaksanaan antara satu urusan dan yang lainnya akan saling berbenturan, secara otomatis pihak yang bersangkutan tidak bisa menjalankan semua kesibukannya sendiri secara bersamaan. Khususnya jika yang bersangkutan terpaksa harus pergi keluar negeri maka urusannya yang lain akan terbengkalai. 2 1 Abdul Kadir Muhammad, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2008, h. 70 2 Ibid 2 Demi kebaikan dan kemaslahatan manusia, maka syariat Islam memberikan kemudahan dengan jalan memperbolehkan perwakilan dalam suatu urusan tertentu, kepada orang lain agar ia melaksanakan tugas yang semestinya terbengkalai itu. Dengan diperbolehkannya perwakilan, orang bisa mewakilkan beberapa pekerjaan penting misalnya, untuk menyewakan sesuatu atau membelikan barang tertentu lainnya. 3 Dengan demikian orang yang mewakilkan bisa lebih tenang ia masih bisa untuk terus mengembangkan hartanya dan menyempurnakan atau melaksanakan peraturan dan planning yang telah dibuatnya. 4 Menurut sistem HIR dan Rbg beracara di muka persidangan pengadilan dapat dilakukan secara langsung, dan dapat juga secara tidak langsung. Apabila beracara secara tidak langsung, maka pihak-pihak yang berperkara dapat mewakilkan perkaranya itu kepada pihak lain, yaitu penerima kuasa perwakilan atau pemberian kuasa ini di atur dalam pasal 123 HIR, 147 Rbg, menerut ketentuan pasal tersebut, pihak-pihak yang berperkara dapat menguasakan perkaranya kepada orang lain dengan surat kuasa khusus, sedangkan penggugat dapat juga dilakukan dengan mencantumkan pemberian kuasa itu dalam gugatannya. Meskipun pihak-pihak telah memberikan kuasa atau mewakilkan perkaranya kepada orang lain, sekedar dipandang perlu hakim berkuasa untuk memerintahkan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk menghadapi sendiri 3 Ibid 4 Ibid., h.71 3 kemuka sidang pengadilan. Kekuasaan atau wewenang hakim tersebut tidak berlaku terhadap presiden. Pemberian surat kuasa khusus artinya menunjuk kepada macam perkara tertentu dengan rincian isi kuasa yang diberikan. Berbicara masalah perwakilan atau kuasa hal tersebut terdapat suatu ibarah yang diungkapkan di dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fii Halli Ghayati al- Ikhtishar : “Dan segala sesuatu itu yang telah dijalani oleh seseorang, boleh pula diwakilkan kepada orang lain untuk menjalaninya, seseorang juga boleh menjadi wakil untuk menjalani sesuatu yang boleh dijalani.” 5 Jadi penerimaan kuasa dapat juga melimpahkan kuasa kepada pihak pengganti penerima kuasa yang disebut dengan hak substitusi. Hak substitusi perlu dicantumkan dalam surat kuasa khusus apabila tidak dicantumkan, penerima kuasa tidak boleh menggunakan hak substitusi. Perlunya hak substitusi dicantumkan dalam surat kuasa khusus adalah untuk menjaga kemungkinan berhalangannya penerima kuasa, misalnya berhalangan karena dinas keluar negeri atau karena sakit. 6 Sejalan dengan perkembangan kehidupan dan kesadaran masyarakat diberbagai bidang, khususnya dibidang hukum. Jasa hukum melalui advokat dewasa ini berkembang menjadi kekuatan institusional. Dengan munculnya 5 Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakri Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayatu Al-Akhyar Fii Hali Ghayati Al-Ikhtishar, Juz I Surabaya : Al-Hidayah, Tt, h. 283 6 Moh. Tafik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara perdata Jakarta : Rineka Cipta, 2004, h. 25 4 organisasi advokat yang dikelola secara profesional, perannya dianggap penting demi berjalannya peradilan yang bebas, cepat, dan sederhana. Dalam pemberian kuasa bisa melalui organisasi penerima kuasa advokat. Dalam sejarahnya di Indonesia organisasi profesi hukum yang pertama adalah PERADI Persatuan Advokat Indonesia kemudian organisasi profesi hukum yang dibentuk adalah Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal kemudian dengan Yayasan Lembaga Bantuan hukum yang dikenal kemudian dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI. Setelah itu muncul berbagai institusi yang bergerak di bidang bantuan hukum antara lain yang dapat disebutkan adalah, Himpunan Penasihat Hukum Indonesia HPHI, Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum PUSBADHI, Persatuan Pengacara Indonesia PERPIN dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya ada keinginan oleh para advokat untuk mempunyai satu wadah profesi hukum. 7 Dengan ditambahnya lembaga-lembaga profesi hukum dapat kita lihat bahwa pelimpahan kuasa atau pemberian kuasa itu bisa diwakilkan akan tetapi permasalahannya adalah dalam prakteknya di muka persidangan jarang sekali kita melihat suatu kasus perkara cerai talak ketika dalam pengucapan atau menghadiri ikrar talak seorang advokat perempuan diperkenankan dirinya sebagai wakil untuk mengucapkan ikrar talak kliennya dalam perkara tersebut, sedangkan yang terdapat dalam teorinya yaitu dalam undang-undang No 7 tahun 1989 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam KHI, seorang suami jika tidak 7 Ibid., h. 26-27 5 bisa menghadiri ikrar talak, maka suami boleh mewakilkan kepada wakilnya baik dia seorang advokat maupun bukan dari advokat. Dalam praktek di Pengadilan Agama seorang kuasa perempuan dalam hal tersebut tidak diperbolehkan. Ada apa di balik semua ini? Dalam perkara tersebut menjadi timbul rasa ingin tahu di balik semua ini bagi saya sebagai penulis, Oleh karena itu penulis sangat tertarik dalam permasalahan tersebut sehingga penulis dapat mengangkat sebuah skripsi yang berjudul :“Wewenang Advokat Perempuan Dalam Mengikrarkan Talak Kliennya” Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok Kelas II A.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah