Penyingkiran simbol-simbol Islam PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER

BAB III PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER

SEBELUM TAHUN 1990-1998

A. Penyingkiran simbol-simbol Islam

Proses ini mengambil bentuk penyingkiran simbol-simbol Islam dari kegiatan-kegiatan politik, mengeliminasi partai-partai politik Islam, dan menghindarkan arena politik dari politisi Islam. Depolitisasi Islam mencapai puncaknya, berkenaan dengan sarana politik dalam penggabungan semua partai politik Islam yang ada ke dalam PPP tahun 1973 dan berkenaan dengan ideologi politik dalam keharusan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh semua orsospol dan ormas tahun 1985. Bahkan, sejatinya depolitisasi Islam adalah bagian dari proyek yang lebih besar yakni massa mengambang, yang mengurangi kesadaran politik rakyat akar rumput grassroot dan mengasingkan pemimpin- pemimpin politik dari pendukung mereka. 1 Depolitisasi Islam tidak berarti Islamisasi dalam pengertian umum. Karena dalam kasus Indonesia, depolitisasi Islam dijalankan dengan ”domestifikasi” kekuatan-kekuatan politik Muslim melalui proses pelemahan partai-partai politik Islam. Tetapi proses tersebut dilakukan untuk mendorong pelembagaan kekuatan-kekuatan umat Islam lewat pembentukan banyak organisasi Islam ”korporatis” atau kuasi-korporatis. 2 Dengan kondisi yang demikian ini, pantaslah bahwa kiranya jika sepanjang tahun rezim ORBA, paling tidak hingga pertengahan atau akhir dekade 1980-an, politik 1 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2000, h. 66-67 2 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 79-80 58 Islam merupakan sesuatu yang oleh negara harus diperlakukan bagaikan ”kucing kurap”. Para aktivis politik Islam, dalam format dan langgam, yang dimunculkan oleh generasi lama, merupakan pihak-pihak yang kepada mereka negara menerapkan kebijakan domestifikasi. Dengan mind-set seperti itu, dan sumber daya sosial ekonomi dan politik yang dimilikinya, negara berhasil menundukan Islam secara politik, ideologi dan intelektual. Situasi ”ideologis” yang tidak mengenakan inilah yang kemudian melahirkan antagonisme politik pemerintah terhadap umat Islam. Ini berarti, kecurigaan politik negara terhadap umat Islam merupakan kelanjutan dari adanya gesekan-gesekan ideologis. Bahkan, kecurigaan itu berkembang menjadi antagonisme politik yang semakin menyudutkan posisi umat Islam. Lebih parah lagi, kecurigaan dan antagonisme itu tumbuh di kedua belah pihak, Islam dan negara. Kenyataan seperti itu merupakan sesuatu yang ”aneh-sekali” dan ”membingungkan” mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Tapi, telah menjadi sebuah kelaziman, bahwa persepsi ideologi maupun politik adalah potensial untuk menumbuhkan kategorisasi untuk tidak mengatakan friksi- friksi. 3 Tak berlebihan, jika Hartono Mardjono menuding ada kekuatan yang sikap dan tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta berusaha menyingkirkan umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto. Kelompok itu ada di bawah pimpinan Ali Moertopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan ORBA di samping itu menjadi pemimpin Operasi Khusus OPSUS, sebuah badan ekstra- konstitusional yang melakukan operasi khusus dengan cara-cara intelejen. Dalam 3 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 144 praktiknya, OPSUS merupakan invisible goverment yang dapat melakukan segala macam tindakan, termasuk merekayasa kehidupan sosio-politik sehingga peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat. 4 Indonesia sebagai negeri dengan gugusan pulau-pulau dikenal memiliki beragam warna tradisi, bahasa, kebudayaan, ras, etnis, agama dan keyakinan. Tetapi sayangnya multikulturalisme sebagai suatu “datum” suatu yang terberi dan “factum” sesuatu yang dibuat dan dihidupi belum sepenuhnya menjadi wawasan dan kesadaran bersama. Akibatnya selama puluhan tahun sejak kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi dan ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi. Bukan soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi juga soal penindasan kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum pernah hilang dari kesadaran politik kolonial. Kondisi seperti inilah yang sebenarnya mengancam kehidupan yang plural dan demokrasi di Indonesia. Selain itu tentu saja kehidupan yang harmonis di negeri ini akan diwarnai oleh kecenderungan konflik sosial yang sewaktu-waktu akan membakar kebersamaan masyarakat kita. Tapi tepat persoalannya adalah ini bukan perkara nilai-nilai normatif yang kerap diperdengarkan dalam khotbah sang moralis, tetapi lebih melibatkan relasi-relasi macam apa yang diciptakan oleh nalar kekuasaan baik politik, pengetahuan maupun agama dalam diskursus publik. Bilakah pemerintah ber-Pancasila? Bilakah pemerintah ber-NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia? Adakah keduanya dilakukan secara bersamaan 4 Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, Jakarta. Gema Insani Perss,1996, h. 30 oleh pemerintah? Artinya, ketika seorang demagog meneriakkan selamatkan NKRI, maka dirinya dan orang-orang yang tersihir oleh kata-kata itu akan bertindak yang sesuai dengan spirit yang termaktub di dalam setiap sila Pancasila? Inilah pertanyaan-pertanyaan pokok yang dapat menjelaskan bagaimana pemerintah berideologi tunggal atau dualistik. Jawaban-jawaban itu juga akan menjelaskan asal-usul budaya dari siapa yang sedang memerintah rakyat Indonesia yang berjiwa 250 juta manusia ini. Sejak masa Orde Baru, Pancasila sering dihadapkan dengan komunisme dan Islam. Tragedi Tanjung Priok di Jakarta dan Talangsari di Lampung adalah rentetan dari upaya membenturkan Pancasila dengan symbol-simbol keislaman kelompok muslim tertentu. Sedangkan NKRI-isme dibenturkan dengan gerakan kemerdekaan yang muncul di Timor, Aceh, dan Papua. Lalu, ideologi apa yang dihadapkan oleh pemerintah RI dengan munculnya fenomena terorisme? Hal ini juga belum dijawab, baik oleh kaum politikus maupun serdadu yang merupakan bagian dari masyarakat politik dan alat politik pemerintah yaitu militer. Ternyatalah, kaum politikus, militer, dan pemerintah saat Orde Baru maupun saat setelah era reformasi ini belum berani mensilogiskan antara Komando Jihad, yang banyak muncul di Jawa dan digebuk di masa Orde Baru, dan jaringan terorisme yang juga berpusat di Jawa, yang muncul di era pascareformasi. Kudeta 1965 merupakan peristiwa yang dapat dibaca sebagai arena perbenturan antara komunisme dan Pancasilaisme. Kaum politikus yang memegang komunisme versus kaum serdadu yang merebut Pancasilaisme. Sedangkan kaum muslim--khususnya di Jawa adalah kaum yang terbakar emosinya sehingga menjelma sebagai instrumen politik bagi kaum yang sedang menjadikan kaum komunis sebagai obyek kejahatan kemanusiaannya. Lalu, pertanyaannya, adakah tindakan-tindakan terhadap kaum komunis dan keluarganya merupakan tindakan yang sesuai dengan spirit yang terdapat di dalam sila-sila Pancasila? Apakah tindakan-tindakan penculikan, penyembelihan, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, penghancuran dan perampasan harta benda yang dialami kaum komunis dan keluarganya bahkan umat Islam merasakan hal-hal yang tidak jauh berbeda hanya karena adanya symbol-simbol keislaman, serta penyingkiran sosial dan politik terhadap keturunan dan kerabat mereka, merupakan motif-motif yang disemburkan dari kondisi individu yang menjiwai Pancasila? Jawaban-jawaban yang tersedia cenderung berlandaskan logika yang tidak ideologis, dan lebih berdasarkan pada common sense yang bersifat reaksioner semata. Misalnya, karena mereka hendak menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara, maka kami haramkan ideologinya. Pada era itu negara sedang menjadi teater yang memanggungkan kejahatan kemanusiaan yang paling massal, masif, dan berkelanjutan. Jangankan Pancasila yang didekonstruksi menjadi alat gebuk politik, bahkan Islam pun yang tanpa disadari oleh sebagian besar kaum muslim terdekonstruksi teologinya jika dilihat dari relasi subyek dan obyeknya, ketika muslim yang satu individual ataupun kelompok membunuh muslim yang lain individual ataupun kelompok yang diklaim menganut komunisme maupun yang berlainan symbol dengan tanpa prosesi fardu kifayah. Dalam konteks demikian, rezim yang telah berhasil merebut kekuasaan dan sekaligus Pancasila dari Soekarno dan rezimnya menisbahkan kesakralan pada Pancasila. Di sinilah letak kekhasan alam pikiran Indonesia bahwa ideologi menjadikan instrumen politik yang mistis, hal yang sangat kontradiktif dengan alam pikiran Barat yang menjadikan ideologi sebagai instrumen yang rasional. Jadilah Pancasila sebagai ideologi tunggal. Komunisme menjadi ideologi yang laten, dalam artian akan diungkit-ungkit ketika rezim tak begitu yakin akan kesinambungan ataupun hendak semakin mengukuhkan posisi politiknya. Lalu, Islam dijadikan ideologi yang manifest, dalam artian yang mengancam eksistensi rezim yang diwujudkan dalam bentuk komando-komando jihad, keberadaan symbol-simbol Islam dan kelompok-kelompok muslim radikal. Lalu, apakah akibat dari penghadapan rezim terhadap Islam sebagai bahaya yang manifest itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?. Perbedaan antara rezim dan kaum militer terletak pada rezim yang semakin menua, sementara kaum militer mengalami regenerasi. Ketika rezim tetap memonopoli Pancasila, kaum militer generasi baru dihadapkan dengan dua pilihan: merebut Pancasila dari rezim atau generasi tua atau menemukan ideologi baru. Pilihan yang pertama menjadi sulit karena relasi antara rezim dan kaum serdadu itu berbentuk patron-klien. Di satu sisi, rezim memerlukan dukungan politik dari kaum militer generasi baru sehingga diberlakukan pola ikatan kekerabatan dalam mereproduksi perwira. Di sisi lain, klien membutuhkan percepatan karir dalam militer, yang juga sekaligus penguasaan politik dwifungsi sehingga mereka berebut masuk perangkap kekerabatan politik generasi tua itu. Namun, zaman akhirnya melahirkan spoiler-spoiler dari perwira generasi baru yang justru diikatkan melalui jalinan kekerabatan itu. Pada saat yang sama, generasi baru ini menemukan NKRI sebagai ideologi alternatif dari Pancasila. Sementara Pancasila menjamin ketunggalan alam, maka NKRI menjamin kemanunggalan teritorial sehingga terbentuklah keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara. Sementara Pancasila milik militer generasi tua, NKRI adalah milik militer generasi yang lebih muda. Namun, janganlah tindakan atas dasar motif- motif NKRI-isme diukur menurut etika yang direfleksikan dari Pancasila, karena sama sekali tak memiliki afinitas. Meskipun demikian, soal jalinan antara Pancasila dan NKRI, generasi baru cenderung bekerja untuk memistifikasi NKRI daripada Pancasila. Wilayah Timor, Aceh dengan permasalahan keberatan Orde Baru terhadap symbol-simbol Islam, dan Papua merupakan arena teater mereka karena adanya gerakan kemerdekaan atau dikenal sebagai konflik vertical yang kemudian diperkenalkan oleh kaum serdadu dengan label separatisme. Sementara Pancasila menciptakan komunisme dan Islam sebagai lawan ideologinya, NKRI menemukan lawannya berupa separatisme. Para penganut NKRI-isme juga memiliki musuh ideologi yang sekunder, yakni symbol-simbol, yang sangat erat kaitannya dengan Islam, baik dari sisi teologis, historis, maupun jaringannya. Fenomena ini terdapat di wilayah-wilayah konflik horizontal seperti Aceh, Lampung, Poso dan Ambon yang simpulnya terdapat di Jawa dan keberadaan tokohnya misterius, seperti sebuah jaringan operasi intelijen militer. Sementara itu, komunisme baru tetap merupakan musuh ideologi ketiganya. Hal ini dikampanyekan melalui spanduk-spanduk yang digantungkan di markas-markas kaum militer, juga ini mungkin sebuah keunikan lainnya dikampanyekan oleh komando-komando muslim yang dibiarkan mekar oleh kaum militer di perkotaan di Jawa. Namun, sebagaimana generasi tua, generasi muda kaum militer tetap saja terjebak dalam kekonyolan intelektual sehingga tak bisa membedakan antara Marx, Marxis, Marxisme, dan komunisme. Di Indonesia, ada sebuah keunikan yang bisa menjadi karakteristik alam pikiran keindonesiaan. Bahwa di dalam tubuh setiap rezim dan generasi bersemayam kekuatan yang mentransformasi segala sesuatu yang rasional menjadi sesuatu yang mistis dan mutlak. Hal ini sudah mulai terjadi setelah Soekarno merebut rumusan-rumusan Pancasila dari kaum ideolog yang sezaman dengan dirinya, lalu merumuskannya sebagaimana yang hadir hingga saat ini, maka Soekarno masih terus berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal dan menyingkirkan symbol-simbol Islam. Namun, Soekarno berada dalam kepungan wacana ideologi-ideologi yang sedang menguat, sehingga, dalam perspektif Geertz, Soekarno hanya dapat melakukan mistifikasi ideologis yang membuahkan staatreligion. Di satu pihak, rakyat yang tak kunjung sejahtera tersihir oleh kemampuan Soekarno sering disebut kejeniusan dalam mengintegrasikan konsep-konsep yang rasional ke dalam symbol-simbol keagamaan yang mistis khususnya Islam. Di lain pihak, secara ideologis hal itu merupakan upaya rezim untuk memanipulasi kegagalannya menyejahterakan rakyat yang semakin lapar, karena itu disampaikan secara agitatif untuk menyihir rakyat agar lupa pada kemiskinan yang semakin melilitnya. Soeharto tak memiliki daya sihir, melainkan daya memusnahkan ideologi lain dan memaksa dengan senjata. Karena itu, kesakralan Pancasila dibangun dari aliran darah berjuta manusia dan ritual-ritual kesaktian yang membutuhkan biaya besar. Namun, rakyat tetap saja tak tersertakan ketika kesejahteraan kaum elite lepas landas. Ketakutan yang mistis dari rakyat pun berubah menjadi arus balik yang menjatuhkan rezimnya. Sebenarnya, pensakralan NKRI memiliki tipologi yang sama dengan apa yang dilakukan Soeharto terhadap Pancasila, yakni melalui senjata dan pemutlakan penyingkaran symbol-simbol Islam.

B. Militer dan Peminggiran Islam Politik