maupun aksi untuk membebaskan kaum pribumi dari tekanan sistem kolonial yang tidak adil, sekaligus mendorong terciptanya emansipasi politik bagi bangsa
Indonesia.
B. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Parlementer
Di masa Demokrasi Parlementer, perjuangan umat Islam diwujudkan dalam bentuk perjuangan partai-partai, partai-partai tersebut berjumlah empat
partai Islam yang diwakili oleh Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia PSII, Partai Nahdlatul Ulama NU dan Partai Tarbiyah Indonesia PERTI.
Pemilihan keempat partai ini didasarkan pada keikutsertaan mereka dalam beberapa cabinet masa Demokrasi Parlementer, baik sebagai anggota menteri
yang mewakili partai duduk dalam kabinet, maupun sebagai pemimpin kabinet itu sendiri.
Lewat mosi integral Mohammad Natsir dan kawan-kawan dalam parlemen, pada 1950 dibentuk Negara kesatuan Republik Indonesia di bawah
payung UUDS 1950. Kedudukan presiden menurut UUDS adalah sebagai Kepala Negara symbol yang tidak memimpin pemerintahan secara langsung. Kepala
pemerintahan adalah Perdana Menteri. Untuk Negara kesatuan RI, sebagai Perdana Menteri dipilih Mohammad Natsir, berdasarkan prestasi politiknya
berupa pengajuan mosi integral yang terkenal itu. Meskpiun tidak berjalan lama, kelompok Islam pernah memimpin kabinet.
B.1. Kabinet Natsir 1950-1951
Kabinet yang dipimpin Partai Masyumi ini pertama kali terbentuk pada tahun 1950 di bawah pimpinan M. Natsir 1950-1951, kabinet Natsir jatuh pada
April 1951, kejatuhan kabinet ini, karena mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar “Peraturan Pemerintah No. 39
tahun 1950 tentang pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut”.
28
Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para Menteri dari PIR, akhirnya M. Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Dalam masa
pemerintahannya, M. Natsir merangkul berbagai partai antara lain berasal dari: Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parindra, Katolik, Parkindo dan Partai Syarikat
Islam Indonesia PSII.
B.2. Kabinet Soekiman Wirdjosendjojo
Setelah M. Natsir mengundurkan diri, maka kabinet Soekiman Wirdjosendjojo diangkat menjadi Perdana Menteri kedua dalam Negara kesatuan
tahun 1951-1952. Diantara kedua Perdana Menteri itu, jabatan Menteri Agama tetap dipegang oleh KH Wahid Hasjim unsur NU dalam Masyumi. Hal ini
terlihat Partai Masyumi masih memainkan peranannya sebagai orang nomor satu. Nasib Soekiman serupa dengan M. Natsir, karena kabinetnya tidak bertahan lama.
Kejatuhan kabinet Soekiman disebabkan perjanjian “san francisco”
29
yang dianggap cenderung berpihak kepada ke luar negeri Amerika. Hal ini berarti
“meninggalkan politik luar negeri bebas aktif” yang telah menjadi komitmen sejak tahun 1945.
Kabinet Soekiman menggandeng partai-partai lain untuk duduk di dalam kabinetnya. Partai-partai tersebut berasal dari Partai Masyumi sendiri, Partai
hal. 210
28
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980,
29
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia… h. 219
Nasional Indonesia PNI, PIR, Katholik, Buruh, Parkindo, Demokrat dan Parindra.
B.3. Kabinet Wilopo-Prawoto 1952-1953
Setelah Kabinet Soekiman berahir, maka mandat diberikan kepada PNI dengan Wilopo-Prawoto sebagai pengganti Kabinet Soekiman mulai April 1952-
1953. Dalam Kabinet Wilopo, posisi Menteri Agama diserahkan kepada KH Fakih Usman unsur Muhammadiyah dalam Masyumi. Ini yang menjadi sebab
berpisahnya NU dari Masyumi karena tidak mendapatkan posisi Menteri Agama, meskipun sebab utamanya jauh lebih kompleks. Dalam cabinet Wilopo, unsur NU
tidak terwakili sementara Masyumi mendapat empat kursi, dan PSII satu. Pada pertengahan 1953, Kabinet Wilopo jatuh, setelah Wilopo dijatuhkan, mandat tetap
masih berada di tangan PNI.
B.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II
Kejatuhan Kabinet Wilopo kemudian digantikan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang masih berasal dari kalangan PNI. Dalam kabinet ini, NU
setelah jadi partai mula-mula mendapat tiga kursi. Setelah terjadi perubahan kabinet, kursi NU menjadi empat, meliputi kursi Wakil Perdana Menteri I,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Agraria. Sejak saat itu Masyumi menjadi partai oposisi terhadap Kabinet Ali. Pada saat itu, NU dan
Masyumi sudah mulai saling berhadapan. Akibat perselisihan dengan Angkatan Darat Kabinet Ali I jatuh pada Juli 1955.
Setelah pemilu tahun 1955, muncul kabinet koalisi yang dibentuk sesuai dengan hasil pemilu. Kabinet tersebut dinamakan Kabinet Ali Sastrosmidjojo II
dengan komposisi Ali-Roem-Idham. PNI-Masyumi-NU. Di sini Nahdlatul Ulama NU mampu menunjukkan kemandiriannya dan kekuatan dukungan yang
luas, sehingga mampu suara yang banyak dengan menduduki posisi ketiga. Karena semula Nahdlatul Ulama NU yang tergabung dengan Partai Masyumi.
Pada periode inilah Partai Masyumi yang semula wakil umat Islam terakhir kali memainkan peran politiknya dan tidak dapat lagi mengatakan satu-satunya wakil
umat Islam. Pada selanjutnya Umat Islam diwakili oleh Partai Masyumi, Partai NU, PSII, dan Perti dalam cabinet.
B.5. Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo I dari Partai Nasional Indonesia PNI, kini Partai Masyumi tampil kembali menggantikan posisi Partai Nasional
Indonesia PNI yang berturut-turut memegang posisi utama dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959, kabinet ini adalah kabinet terakhir
Masyumi sampai partai itu bubar pada 1960. Prestasi kabinet ini terutama terletak pada keberhasilannya dalam menyelenggarakan Pemilihan umum pertama dalam
sejarah Republik Indonesia. Prestasi kedua ialah dibubarkannya Uni Indonesia- Belanda secara unilateral, suatu keberanian politik yang patut dicatat. Prestasi
lainnya adalah mengembalikan wibawa pemerintah terhadap Angkatan Darat yang pada saat kabinet Ali I merosotnya citra pemerintahan di mata Angkatan Darat,
prestasi internasionalnya adalah diselenggrakannya Konferensi Asia-Afrika April 1955. Yang melahirkan Dasaila Bandung yang terkenal.
Kabinet-kabinet dalam Demokrasi Parlementer mengalami jatuh bangun karena persaingan kelompok yang sangat tajam. Selain itu, Soekarno sendiri tidak
menyetujui dan mencela pemerintahan banyak partai. Penyebab lainnya adalah ditariknya dukungan Masyumi dan Perti atas kebijaksanaan kabinet dalam
mengatasi krisis di daerah-daerah, sehingga muncul berbagai dewan yang membangkang dari pemerintahan pusat.
B.6. Nasib Majelis Konstituante
Perselisihan tajam muncul kembali dan bertumpu pada persoalan dasar negara pada sidang Dewan Konstituante. Setelah Pemilu tahun 1955 muncullah
empat kekuatan besar, yaitu: PNI memperoleh 22,3, Masyumi memperoleh 20,9, NU 18,4 dan PKI 16,4. Mereka beradu argumentasi kembali mengenai
dasar negara. Ada tiga ideologi yang ditawarkan, yaitu Islam, Pancasila dan Sosial–Ekonomi. Perdebatan itu berlarut-larut dan pada akhirnya dibentuklah
panitia perumus Dasar Negara yang terdiri dari 18 orang yang mewakili semua kelompok. Perdebatan akhir bertumpu pada pilihan antara Pancasila atau Islam
sebagai dasar negara. Namun, sebelum panitia menyimpulkan hasil perdebatan yang dianggap berlarut-larut tersebut, Dewan Konstituante dibubarkan oleh
Presiden Soekarno karena sampai rapat berakhir tanggal 2 Juni 1959 belum menghasilkan satu keputusanpun. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 Konstituante dinyatakan bubar dan Demokrasi Parlementer diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
Terdapat beberapa penilaian terhadap lembaga Konstituante. Harun Nasution dalam tesisnya yang dipertahankan di McGill University Canada, tahun
1965 menyimpulkan bahwa sidang Konstituante tidak menghasilkan apa-apa, baru merupakan forum perdebatan politik. Sementara Endang Syaefuddin Anshari
dalam analisisnya menyimpulkan bahwa tidak ada alasan kesimpulan yang menyatakan Majelis Konstituante tidak menghasilkan apapun yang bermakna.
Menurutnya, seperti dikatakan Ketuanya, Wilopo Sidang sudah menyelesaikan 90 tugasnya. Pembubaran Konstituante lebih banyak disebabkan koalisi ABRI
dengan Soekarno yang merasa kepentingan politisnya terancam jika Demokrasi Parlementer terus-menerus dilaksanakan. Demikian pula Adnan Buyung
Nasution dalam disertasinya menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung bahwa Konstituante gagal merancang Konstitusi karena adanya perdebatan
tentang Dasar Negara. Yang terjadi adalah Konstituante tidak memiliki kesempatan untuk menyimpulkan pertimbangan dalam masalah tersebut, sehingga
tentang Dasar Negara dianggap prematur. Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada
Demokrasi Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang diktator, hampir semua kekuasaan Negara baik eksekutif, legeslatif dan
yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi Tuhan
atau wakil Tuhan di dunia. Demokrasi Terpimpin berakhir dengan meletusnya peristiwa G 30 SPKI, dan kekuasaan Orde Lama beralih ke Orde Baru.
C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin