Militer dan Peminggiran Islam Politik

secara ideologis hal itu merupakan upaya rezim untuk memanipulasi kegagalannya menyejahterakan rakyat yang semakin lapar, karena itu disampaikan secara agitatif untuk menyihir rakyat agar lupa pada kemiskinan yang semakin melilitnya. Soeharto tak memiliki daya sihir, melainkan daya memusnahkan ideologi lain dan memaksa dengan senjata. Karena itu, kesakralan Pancasila dibangun dari aliran darah berjuta manusia dan ritual-ritual kesaktian yang membutuhkan biaya besar. Namun, rakyat tetap saja tak tersertakan ketika kesejahteraan kaum elite lepas landas. Ketakutan yang mistis dari rakyat pun berubah menjadi arus balik yang menjatuhkan rezimnya. Sebenarnya, pensakralan NKRI memiliki tipologi yang sama dengan apa yang dilakukan Soeharto terhadap Pancasila, yakni melalui senjata dan pemutlakan penyingkaran symbol-simbol Islam.

B. Militer dan Peminggiran Islam Politik

Peminggiran Politik Islam, posisi politik umat Islam setelah ORBA berkuasa tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. seperti halnya dengan rezim ORLA Soekarno, ORBA juga menerapkan strategi politik yang tidak aspiratif terhadap Islam, dengan kata lain menekan potensi politik umat Islam. Hal ini dilakukan bertujuan untuk membonsai kekuatan politik Islam yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan rezim ORBA. Akibatnya, kekuatan politik umat Islam yang direpresentasikan oleh partai politik Islam, seperti PARMUSI, NU, PERTI, dan PSSI di pemilu pertama ORBA berkuasa 1971 tidak memiliki kekuatan politik yang kuat untuk menandingi kekuasaan ORBA karena Soeharto telah memberikan Fusi partai Islam kedalam PPP. Pada masa ORBA, mengharapkan terjadinya peningkatan kekuasaan politik komunitas muslim merupakan kesalahan perkiraan yang serius. Rezim militer yang dipimpin oleh Soeharto lebih khawatir dengan aspirasi-aspirasi Islam dalam bidang politik daripada Soekarno. 5 Itu sebabnya, agenda politik ORBA adalah depolitisasi Islam. Proyek ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Pandangan sesungguhnya mengandung logika politik bahwa, depolitisasi Islam adalah usaha mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan elite kekuasaan Orde Baru. 6 Menurut pengamatan Michael R.J. Vatikiotis, pemerintahan ORBA meniru kebijakan Belanda yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan Islam kultural. Belanda menganggap Islam menjadi simbol kekuatan antikolonialisme. Karena itu, Snouck Hurgronje membuat kebijakan yang mempromosikan Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah masjid dan menjauhkan dari negara. 7 Jika pada awal Orde Baru, militer memilih untuk melakukan pendekatan kompromi dengan berbagai kekuatan dalam masyarakat, itu disebabkan oleh masih kuatnya nuansa politik dalam kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, beberapa partai politik, baik yang mewakili kelompok nasionalis seperti PNI, maupun yang mewakili kelompok Islam yang di wakili NU maupun aktivis 5 M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, h. 120 6 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 63 7 Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, Third Edition, London: Routledge, 1998, h. 120 Masyumi masih memiliki kekuatan masa. Oleh sebab itu, jalan terbaik bagi militer untuk mengambil simpati masa adalah melakukan kompromi dengan kekuatan-kekuatan partai politik. Tetapi Golkar yang dibantu oleh militer dengan berbagai cara, termasuk dengan cara intimidasi, dan berhasil memenangkan pemilu pada tahun 1971. 8 Walaupun kemenangan Golkar mengundang kontroversi, tetapi dengan kemenangan tersebut pemerintah Orde Baru paling tidak merasa telah memiliki legitimasi kuat untuk menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian kompromi-kompromi yang dilakukan untuk mendekati parpol seperti yang dilakukan pada awal pergantian kekuasaan, tidak diperlukan lagi. 9 Beberapa pendekatan yang mengkristal menjadi kebijakan yang memojokan Islam bisa diurut secara kronologis sejak awal Orde Baru. Sejak tahun 1970-an, dalam hal ini Ali Moertopo memiliki peranan penting di dalam lingkungan presiden. Misi dan kepentingan yang dibawa Ali Moertopo ini ternyata seirama dengan kepentingnan kelompok nasionalis dan kelompok non- Muslin Katholik dan Protestan. Kesamaan pandangan, terutama menyangkut 8 Pada pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katholik, Perti, Murba, IPKI, dan Golkar, Golkar berhasil meraih suara terbanyak, yaitu 62,80 suara 34,348 suara atau 65,56 kursi 227 kursi. Semetara urutan kedua dan ketiga ditemapati oleh NU dan Parmusi. R. William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3S, 1992. Baca juga, Seri Penerbitan Studi Politik, Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, Evaluasi Pemilu Orde Baru, Bandung: Mizan, 1997 9 Campur tangan militer dalam memenangkan Golkar pada pemilu 1971 diungkapkan oleh Ernest Utrech: “The Second Indonesia elections, which were held on 3 July 1971, were won by the army sponsored Golongan Karya Golkar. Using intimidation and threats, arresting opponents regarded as dangerous, misususing government facilities, and putting in to practice the fraudulent system of Bebas Parpol. Ernest Utrecht, “ The Military and Elections”, dalam Oey Hong Lee, Indonesia After The 1971 Elections, London: Oxford University Press, 1974, hlm 76, Sebagaimana dikutip oleh M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang-Surut, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993 NKRI dan ideologi Pancasila tersebut telah menyatukan mereka. Hal ini berbeda dengan kelompok Muslim yang terobsesi untuk memunculkan ide-ide yang menurut kelompok Ali Moertopo sebagai ide sempit dan eksklusif, yaitu ideologi Islam. Sementara Ali Moertopo dengan kepentingan terhadap kelompok minoritas, termasuk etnis Cina dan Khatolik, untuk berhadapan dengan umat Islam yang sejak awal di curigai oleh Ali Moertopo sebagai kekuatan yang akan mengancam kekuasaan pasca dibubarkannya PKI. Dalam hal ini konteks konfrontasi terhadap Negara, Islam diposisikan sama dengan PKI, bahkan lebih berbahaya. 10 Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi kekuatan yang selalu dipinggirkan secara politik dan kemesraan yang pernah terjalin dengan militer menjadi retak. Ironisnya, ummat Islam harus menanggung beban yang cukup berat menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu militer kedekatan di antara elit militer dengan ummat Islam, khususnya kalangan ulama pada waktu itu lebih disebabkan oleh dua hal. Pertama, kedekatan cultural, yaitu kedekatan karena adanya kesamaan pemahaman menyangkut Islam. Kedekatan cultural ini bisa dilihat dari beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman yang kuat yang kemudian tercermin dalam langkah dan kebijakan. Pada masa Orde Lama, terdapat Jenderal Soedirman yang berasal dari Muhammadiyah dan aktivis 10 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3S, 1995, h. 33 Hizbulwathan, juga ada A.H. Nasution yang dianggap memiliki pemahaman dan komitmen dalam keislamannya. 11 Pada masa Nasution menjabat sebagai menteri pertahanan, ia mnegusulkan penanaman nilai-nilai keislaman dalam tubuh militer. Walaupun ide tersebut mendapat banyak tanggapan baik yang setuju maupun yang tidak. Pada akhirnya sikap tersebut terealisir dalam bentuk penanaman ajaran keislaman. Kenyataan ini merupakan refleksi dari latar belakang keagamaan Nasution yang dikenal cukup kuat. Kedua, adanya kesamaan kepentingan. Kedekatan ini bersifat sementara dan lebih bersifat taktis politis. Hal ini dapat dilihat dalam kerjasama menumpas anggota PKI. Hal lain yang menunjukan kerjasama yang dilatarbelakangi kepentingan pada waktu itu, pemerintah yang dimotori oleh Ali Moertopo mengajukan UU Perkawinan. UU tersebut mendapat reaksi keras dari pemerintah. sementara itu, Soemitro menawarkan undang-undang tentang hal yang sama yang disampaikan pada kalangan pada kalangan ulama. Realitas ini semakin memperjelas adanya dualisme kapentingan di kalangan militer dalam menanggapi tentang UU yang terkait dengan ummat Islam. 12 Lebih dari itu, militer pada tahun 1970-an sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuh- musuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan. Istilah 11 Pembahasan mengenai sikap dan sosok Soedirman, termasuk tentang aktivitasnya di Muhammadiyah dapat di bacadalam buku; Salim Said, Genensis of Power, Genenral Soedirman and The Indonesia Military in Politics 1945-49, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, h. 55-90 12 Mengenai munculnya persaingan atau perbedaan kepentingan di kalangan Militer, khususnya antara Ali Moertopo dengan Soemitro, secara tersirat diakui oleh Soemitro. Bahkan Soemitro merasa ada adu domba antara dirinya dengan Soeharto. Ramadhan K. H., Soemitro Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, h. 284-287 umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk menunjuk orang-orang yang terkait dengan komunisme, dan ekstrim kanan untuk menuduh kelompok Islam radikal Islam politik. Tidaklah terlalu mengherankan jika pada masa Orde Baru militer sangat menghegemoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui kepiawaian para perwira TNI dalam proses bernegara, nyaris tidak ada ruang kosong yang tidak terdeteksi dan terjamah oleh tangan-tangan militer Indonesia. Atas nama stabilitas dan pembangunan tentara melakukan penetrasi ke masalah-masalah kemasyarakatan, mulai dari persoalan partai politik, penguasaan lahan ekonomi, kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan lain-lain. Tak jarang TNI melakukan tindakan represifitas terhadap para aktifis yang melakukan penolakan atas kebijakan-kebijakan yang digelontorkan pemerintahan Soeharto. Untuk menguatkan posisi kekuasaannya, Soeharto menggunakan tentara untuk mendominasi jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan dua pertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan walikota, 56 adalah tentara, direktur jenderal 70 dan sekretaris menteri 84 diduduki oleh militer. Hampir separuh jabatan duta besar pada 1977 adalah berasal dari golongan tentara. Lebih lanjut tentang campur tangan militer dalam politik, cukup banyak kasus yang telah dilakukan oleh militer, antara lain campur tangan dalam Partai Demokrasi Indonesia PDI pada tahun 1996 yang kemudian melahirkan peristiwa 27 Juli 1996. Pada tahun 1993, Soeharto melakukan infiltrasi terhadap organisasi Nahdhatul ‘Ulama NU. Di mana Soeharto menolak terpilihnya Abdurrahman Wahid menjadi ketua NU pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat. Gus Dur tidak direstui Soeharto, karena Gus Dur adalah salah seorang pendiri Forum Demokrasi yang cukup kritis terhadap perkembangan situasi nasional.

C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut