Metodologi Penelitian Sistematika Penulisan

militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia. 5. Skripsi berikutnya yang di susun oleh Yusup Fadli adalah MILITER DAN POLITIK Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI Dan Implikasinya Terhadap Transisi Demokrasi Di Indonesia 1999-2004. Di dalam pembahasan skripsi ini membahas keterlibatan institusi militer dalam belantara politik Indonesia membawa dampak yang begitu luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah-tengah pusaran politik tersebut, kalangan militer kemudian menyalurkan syahwat politiknya dan menentukan arah bandul politik untuk melindungi kepentingan-kepentingan tentara. Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai hubungan ABRITNI dan Islam, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup UIN perihal perubahan hubungan ABRI TNI terhadap Islam di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian skripsi yang dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. 22 Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah konklusi. 23 Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Rencana sistematika penulisan skripsi ini terbagi dari lima 5 bab. Dari masing-masing bab merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam melihat persoalan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu tentang perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia, dalam hal ini diupayakan pemetaan secara teoritis untuk lebih memfokuskan penelitian. Dengan didukung oleh sebuah metode, penulisan skripsi ini berusaha menempuh langkah-langkah yang lebih efektif dan objektif dalam menelaah permasalahan skripsi ini.. Pertama, bab ini terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Kedua , pembahasan dalam bab ini adalah pola hubungan militer dan Islam, yang terdiri dari, konsep hubungan militer dengan umat Islam Indonesia, serta militer di era transisi status quo. Bab kedua ini mengupas masalah Islam dalam pergumulan politik Orde Baru. Pada bab ini akan dikupas pergulatan politik umat Islam di Indonesia sejak awal Orde baru dan perkembangannya sampai pada akhir tahun 1980-an. Hal ini dikarenakan sebagaimana kita ketahui sepanjang masa tersebut 22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 206 23 Arikunto, Prosedur Penelitian…h. 213 politik Islam di Indonesia mengalami masa-masa kesuramannya dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Karena pergulatan umat Islam tersebut merupakan kelanjutan dari hiruk-pikuk dari politik Orde Lama, maka akan sedikit dikupas pula bagaimana posisi umat Islam pada masa Orde Lama, khususnya menyangkut peran partai politik Islam di Indonesia. Ketiga, pada bab ini akan dibahas tentang perihal keterlibatan TNI dalam politik Indonesia, yang berisi tentang historiografi berdirinya TNI, dan sejarah masuknya TNI ke dalam wilayah politik yang mengungkap tentang sepak terjang militer sejak awal pemerintahan Orde Baru, termasuk dilegalkannya konsep dwifungsi ABRITNI oleh DPR. Konsep ini yang kemudian melegalkan semua kegiatan militer baik dalam bidang social maupun politik, bahkan berlanjut dalam masalah bisnis. Perkembangan ini sebenarnya tidak sepenuhnya tumbuh pada masa Orde Baru. Fenomena yang mengarah pada peran ganda militer telah diperhatikan pada masa Orde lama juga. Oleh sebab itu, mengupas peran militer pada masa Soekarno menjadi sangat penting untuk melacak akar keadaan sejarah keterlibatan militer dalam kehidupan social politik bangsa indonesia. Keempat , sebagai bab inti, bab ini secara khusus akan mengupas pola perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia pada awal Orde Baru. Pada bab ini akan diungkap pasang surut hubungan di antara kedua kelompok tersebut. Hubungan yang terjadi secara pasang surut ini tidak hanya terjadi pada masa Orde Baru, tetapi juga terjadi pada masa Orde Lama. Dari pengungkapan sejarah ini maka akan ditemukan titik temu hubungan di antara kedua kelompok tersebut dilihat dalam lintasan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, baik pada awal kemerdekaan maupun dalam perkembangan selanjutnya. Sekaligus analisa tentang militer dan umat Islam menjelang masa- masa berahirnya pemerintahan Orde Baru sampai awal Reformasi. Pada bab ini sekaligus diungkap berlangsungnya peristiwa yang menunjukan bagaimana pola hubungan antara militer dengan kelompok Islam di Indonesia sebagai indikator tingkat hubungan di antara mereka. Walaupun tidak semua bukti menunjukan kenyataan pola hubungan yang terlihat “harmonis” tetapi paling tidak, akan terlihat adanya pola hubungan baru antara militer dengan kelompok Islam. Kelima , bab ini adalah penutup sebagai konklusi dari keseluruhan analisa skripsi ini, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran. Pada bab ini mengupas inti kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian skripsi ini yang menyangkut perubahan hubungan antara militer dengan umat Islam di Indonesia periode 1990- 1998. Di samping itu akan disinggung secara kritis dampak langsung dari hubungan tersebut bagi kehidupan politik bangsa Indonesia yang “plural dan heterogen”, serta rencana agenda ke depannya yang harus direalisasikan oleh militer dan umat Islam di Indonesia dalam rangka mambangun system yang profesional di dalam organisasi militer dan membangun kehidupan yang madani bagi umat Islam Indonesia. KETEGANGAN: Awal mula persinggungan umat Islam dengan militer adalah adanya “kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan strategi dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRITNI pemerintah dengan beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian berakibat pemberian cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam yang dikesankan sangat tipis wawasan kebangsaannya. dan berujung pada tindakan pemberontakan disebagian kelompok umat Islam yang mendapat label separatis oleh militer…karena pada saat Orla, Soekarno masih terus berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideology tunggal dan menyingkirkan symbol-simbol Islam. Soeharto menganggap perlu penjinakan terhadap kekuatan politik Islam, yaitu dengan cara peminggiran politik Islam yang menimbulkan sikap sinis dan akahirnya Negara berhasil menundukan Islam secara politik, ideology dan intelektual. Hal itu dikarenakan pemerintahan rezim militer ORBA belajar dari pengalaman ORLA, bahwa kekuatan politik Islam mampu membuat ketidakstabilan politik dan pemerintahan, ex: Demonstrasi, perombakan cabinet, stabilitas hankam dan ekonomiyang menghambat laju pembangunan. Akibatnya selama puluhan tahun sejak kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi dan ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi. Bukan soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi juga soal penindasan kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum pernah hilang dari kesadaran politik kolonial. Keibijakan Orba pada umat Islam hanya pada ranah ibadah ritual karena sejak masa rezim militer Orba, Pancasila sering dihadapkan dengan komunisme dan Islam. Bagi agenda politik Orba adalah depolitisasi pembatasan ruang gerak Islam, proyek ini didasarkan pada asumsi Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi dan pembangunan. Hal ini yang menjadikan Orba bersikap memingggirkan politik Islam ketika Islam memasuki ranah doktrin ideology politik yang tercermin dalam “militansi Gerakan, islam dijadikan ideology manifest nyatawujud dalam artian yang mengancam eksistensi rezim yang diwujudkan dalam bentuk komando Jihad, keberadaan symbol-simbol Islam dan kelompok Islam radikal. Hal ini sama dengan kebijakan Belanda yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan Islam Kultural. Belanda menganggap Islam sebagai kekuatan antikolonialisme. Karena itu Orba dengan rezim militernya membuat kebijakan yang mempromosikan Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah saja dan menjauhkan dari Negara. Dan dalam hal ini Islam diposisikan sama dengan PKI, bahkan lebih berbahaya. Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi menjadi kekuatan yang selalu dipinggirkan secara politik dan kemesraan yang pernah terjalin dengan militer menjadi retak yang dalam sejarahnya dengan bantuan umat Islam ABRImiliter mampu menumpas PKI. Militer pada tahun 1970 sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuh- musuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan. Istilah umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk menunjuk orang-orang yang terkait dengan Komunisme, dan ekstrim kanan untuk menuduh kelompok Islam radikal Islam Politik. Tidaklah mengherankan jika pada masa Orba militer sangat menghegemoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas nama stabilitas dan pembangunan militer melakukan penetrasi ke masalah-masalah kemasyarakatan, persolan politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, organisasi, dll. Tak jarang militer melakukan tindakan refresifitas terhadap para aktivis yang melakukan penolakan atas nama kebijakan Orba. Rezim militer yang tercermin dalam Orba Soeharto lebih dekat pada kekuatan politik dan militer Abangan dan non-muslim yang mengakibatkan kekuatan politik Islam terpinggirkan, dominasi elit militer yang dipimpin dari kalangan abangan dan non-muslim yang diwakili oleh Ali Moertopo, Soedomo, L.B. Moerdani mereka adalah orang-orang terdekat Soeharto dan memiliki peran yang sangat dominan dan strategis dalam pemerintahan Orba dan secara langsung mempengaruhi sikap militer terhadap umat Islam. hal ini yang menjadikan umat Islam menjadi radikal seperti tragedy Tanjung Priok, Lampung, Aceh dll…hal ini karena tingkat sikap represif militer terhadap umat Islam yang dirasakan sudah melewati ambang batas. HARMONIS: 1970-an awal dari Tampilnya pembaharuan pemikiran politik Islam, perubahan yang terjadi tidak lepas dari peran serta para cendikiawan muslim yang berhaluan modernis. Yang sejak awal yang sejak awal telah memperjuangkan tersebarnya wacana Islam yang lebih inklusif yang menekankan pada nilai-nilai substansi ajaran Islam yang lebih universal daripada perjuangan yang bersifat formalistic-legalistik. Bagi mereka tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi ajaran Islam bisa dilakukan melalui semua lembaga dan organisasi. lembaga pendidikan yang ditempuh oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi pencerahan pemikiran dalam memahami berbagai persoalan, termasuk masalah Negara dengan agama. Dalam hal ini pemikiran politik Islam yang berkembang kuat sejak awal adalah bahwa persoalan agama dan Negara merupakan realitas tunggal, keduanya memiliki hubungan yang menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di muka bumi. Hubungan yang sempat terjadi tidak harmonisnya antara militer dengan umat Islam lebih disebabkan sebagai akibat dari keadaan struktur dan system asas tunggal, fusi partai politik pada saat itu yang menghendaki umat Islam sebagai kelompok yang marginal dan terbuang. Kedekatan hubungan yang dilakukan militer ditanggapi dengan proposional oleh kelompok muslim sebagai upaya untuk ishlah melupakan masa lalu yang penuh dengan konflik dan bersama-sama antara militer dan umat Islam membangun cita-cita bangsa. 26 Sejak naiknya beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman, muncul istilah militer hijau. Sulit dihindari bahwa sejak pertengahan tahun 1990-an semarak keagamaan di lembaga militer sangat terlihat. Hal ini merupakan bagian dari semarak gairah keagamaan yang muncul di berbagai tempat maupun lembaga. Kemesraan antara umat Islam dengan pemerintah, telah banyak berdampak dalam institusi militer. Militer tidak lagi memahami Islam sebagai agama radikal dan mengancam integrasi, tetapi sebagai suatu ajaran yang bisa menunjang terhadap laju pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru. Feisal Tanjung menyebutkan bahwa kesatuan militer dengan umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas negeri ini telah berurat akar dalam sejarah bangsa. Oleh sebab itu, militer dan umat Islam lah yang paling menderita bila terjadi malapetaka.

BAB II KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK

A. Pergerakan Politik umat Islam pada masa penjajahan

Gerakan sosial politik pertama kali dipelopori oleh Syarikat Dagang Islam SDI tahun 1905 yang kemudian melahirkan Sarikat Islam SI sebagai gerakan partai politik Islam pertama kali di Indonesia kemudian berubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia PSII. Peran politik umat Islam melalui partai-partai Islam dapat lihat, sejak masa Kolonial Belanda sampai kemerdekaan. Selain Sarekat Islam SI sebagai partai politik Islam pertama pada masa Kolonial Belanda, muncul juga Partai Persatuan Muslimin Indonesia PERMI dan Partai Islam Indonesia PII. Bersama dengan kedua partai Islam tersebut, Sarekat Islam SI mengisi kehidupan politik umat Islam di Indonesia. Di antara ketiga partai itu, Sarekat Islam SI yang paling berperan dan dianggap sebagai partai umat Islam pada waktu itu. Setelah Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, datanglah Jepang dengan membawa janji-janji. Kehadiran Jepang, tak beda dengan pendahulunya sebagai penjajah bangsa Indonesia dengan mengeksploitasi umat Islam dan rakyat secara keseluruhan. Perbedaan diantara keduanya terletak pada akses yang diberikan. Pihak Jepang lebih terbuka menerima umat Islam dan memberikan akses secara terbuka bagi umat Islam untuk bergabung dalam kantor-kantor Departemen Agama bentukan Jepang seperti shumuka dan shumubu. Sedangkan