Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut

Nahdhatul ‘Ulama NU. Di mana Soeharto menolak terpilihnya Abdurrahman Wahid menjadi ketua NU pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat. Gus Dur tidak direstui Soeharto, karena Gus Dur adalah salah seorang pendiri Forum Demokrasi yang cukup kritis terhadap perkembangan situasi nasional.

C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut

Secara global, dalam sejarah umat Islam persoalan militer selalu bermuara pada pembagian kekuasaan antara kedudukan khilafah pemimpin yang berpungsi hanya sebatas symbol, sementara pelaksanaannya adalah milter. Kenyataan ini di satu sisi, sering diterima oleh kalangan Islam sebagai realitas yang tidak terelakan, tetapi disisi lain sering mendapat perlawanan dari kelompok yang tidak puas dengan perlakuan yang militeristik. Ketidakpuasan itu kemudian mengkristal menjadi sebuah perlawanan cultural, yaitu bagaimana nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat bawah bisa diterima dan diserap oleh kelompok elit militer. Perlawanan ini biasanya dilakukan oleh kalangan aktivis tarekat yang membuat kelompok tandingan bagi kekuasaan yang militeristik. 13 Dalam konteks Indonesia, sejarah militer sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konteks sosiologis bangsa. Pada masa perjuangan kemerdekaan, beberapa lascar yang dibentuk oleh ummat Islam mentrasformasikan diri ke dalam Badan Keamanan Nasional BKN yang kemudian terwujud dalam bentuk Tentara Nasional Indonesia TNI. Tidak heran jika sosok Soedirman yag aktivis Muhamadiyah menjadi tokoh cukup penting dalam sejarah militer Indonesia. 13 Adurahman Wahid, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, Prisma, No. 12, Desember 1980, h. 65-71 Dalam perkembangannya, sebagaimana dalam sejarah militer pada umumnya, terjadi tarik menarik antara militer dan ummat Islam. Dalam tubuh militer sendiri terjadi perpecahan. Ada kelompok yang dekat dengan kaum nasionalis, ada pula sebagian militer yang mendukung dan terlibat dalam pemberontakan dengan mengatasnamakan Islam. Pada awal Orde Baru, kalangan elit militer selalu bersikap hati-hati bahkan mencurigai terhadap langkah politik ummat Islam, tetapi ada juga militer yang berusaha memahami langkah ummat Islam. Kenyataan ini memperkuat sejarah perjalanan militer di Indonesia yang selalu memiliki keterkaitan dengan Islam walau dalam batas-batas tertentu. Dalam sejarahnya, muncul militer-militer yang secara personal memiliki perhatian dan kedekatan terhadap kelompok Islam karena pemahamannya terhadap Islam itu sendiri. Kedekatan yang bersifat personal itu sering mengalami subordinasi ke dalam system komando yang menempatkan Islam sebagai kekuatan yang mengancam. Sehingga kedekatan personal ini tidak banyak memiliki arti dan pengaruh bagi perubahan interaksi antara militer dengan ummat Islam yang renggang. Di dalam perkembangannya politik praktis, perkembangan Islam sebenarnya mulai terlihat, hal ini bisa terlihat dari pembangunan atau penyediaan tempat ibadah seperti mushalla dan mesjid di beberapa instansi pemerintah. secara umum mulai ada perkembangan secara kuantitatif dalam aktivitas keagamaan jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam hal ini secara cultural Islam masih menunjukan pengaruhnya. Realitas tersebut tidak serta merta mencerminkan adanya pendekatan akomodatif, khususnya dari pihak militer terhadap ummat Islam. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran agama dan nilai- nilainya yang bersifat non-politik, militer tidak banyak ikut campur. Lain hal dalam persolan yang bersifat politik militer tidak pernah memberikan ruang dan tempat. Pembangunan tempat ibadah pun di instansi pemerintah tidak lepas dari tuduhan Islam radikal. Hal ini sengaja diciptakan militer untuk memperlihatkan kesan bahwa Islam memang merupakan sebuah ancaman bagi integrasi bangsa. Pembicaraan tentang eksistensi ekstrim kanan komando jihad dan kegiatan terorisme di Padang dan Medan semakin menghangat. Soedomo sebagai Kaskopkamtib menuduh adanya Islam politik yang mendapat bantuan dana dari Lybia. Sebuah tuduhan yang mengindikasikan adanya kesungguhan sekelompok ummat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Tuduhan-tuduhan ini diiringi dengan pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai aktivitas ummat Islam. Setiap penceramah atau da’i terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pihak keamanan sebelum menyampaikan isi ceramah pidatonya. Perlakuan yang refresif semacam ini telah memancing kemarahan dan menimbulkan tindakan radikal dikalangan ummat Islam. Jika dilihat dari sejarah kronologisnya, hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang melibatkan radikalisme di kalangan ummat Islam. Gerakan jama’ah Imran di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1980 yang kemudian berlanjut dengan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla pada tanggal 28 Maret 1981 merupakan gerakan yang bercita-cita mendirikan Negara Islam. Gerakan ini dapat ditanggulangi dan para pemimpin organisasi ini mendapat hukuman mati. Hal serupa terjadi pada kasus Tanjung Priok, peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 September 1984, hal ini dipicu oleh ketidaksopanan tingkah sikap aparat keamanan, Hermanu terhadap sebuah tempat ibadah mushalla di Jakarta Utara. Perilaku tidak etis ini memancing amarah masyarakat muslim dan kekerasanpun terjadi yang pada saat itu keadaan memuncak seiring dengan rencana pemerintah untuk menerapkan asas tunggal. Kekerasan pun semakin berlanjut pada tanggal 24 Desember 1984 terjadi peledakan gereja Katholik di Malang yang berlanjut pengeboman candi Borobudur pada tanggal 21 Januari. Di Aceh pada tanggal 18 Mei 1987 muncul pasukan berjubah serba putih yang menyebabkan terjadinya kontak senjata dengan militer. Tindakan refresif lainnya diperlihatkan oleh militer pada tahun 1980, yaitu peristiwa Lampung yang dikenal dengan nama Jama’ah Mujahidin fi Sabilillah di bawah pimpinan Warsidi. Tragedi ini pun kembali menimbulkan korban jiwa. Berbagai tindakan dan gerakan radikal yang diperlihatkan ummat Islam ini menjadi alat pembenaran bagi kalangan militer yang pada waktu itu didominasi dari kalangan non-muslim dan abangan bersikap menekan represif terhadap ummat Islam dan semakin terjadinya peminggiran dan semakin renggangnya antara Orde Baru, militer dengan ummat Islam. Ummat Islam dianggap sebagai kelompok mayoritas yang menjadi ancaman besar bagi pemerintah dan militer apabila berkembang secara politik, hal ini yang menjadikan persitiwa di atas terjadi. Sikap militer yang represif terhadap ummat Islam tidak lepas karena dominasi elit militer yang dipimpin dari kalangan non- muslim dan abangan seperti Ali Moertopo, Soedomo, dan L.B. Moerdiani mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Soeharto dan memiliki peran yang sangat dominan dan strategis dalam pemerintahan Orde Baru dan secara langsung mempengaruhi sikap militer terhadap ummat Islam. Di samping itu kepentingan pemerintah yang menginginkan stabilitas Negara untuk program pembangunannya dan ingin menjadi kekuatan single mayority. Keadaan radikal yang dilakukan ummat Islam terjadi karena tingkat sikap represif militer terhadap ummat Islam yang dirasakan sudah melewati batas. Kekuasaan Negara yang semakin dominan ini telah memungkinkan militer yang menjadi penyangga utamanya bisa bertindak keras terhadap setiap kelompok khususnya ummat Islam yang dianggap mengancam kekuasaan dan keutuhan NKRI. Atas tindakan represif militer inilah terjadi radikalisme yang dilakukan sebagian ummat Islam yang berlangsung sampai 1990-an. Pada awal tahun 1990-an terjadi pergeseran di dalam tubuh organisasi TNI yang mulai memperlihatkan semakin terdesaknya Moerdiani. Dan perwira militer muslim mulai menempati posisi strategis. Tahun 1993 ketika posisi Pangab dipercayakan kepada Jenderal TNI Feisal Tanjung setelah ia dinilai cukup berhasil melakukan penyelidikan sebagai Dewan Kehormatan Militer DKM terhadap peristiwa kerusuhan Santa Cruz yang terjadi di Dili tanggal 12 November 1991 dan yang terlibat dan bertanggung jawab adalah orang binaan Moerdani. Kemudian disusul posisi KSAD diserahkan pada Jenderal TNI R. Hartono, munculnya Feisal Tanjung dan R.Hartono di dalam posisi strategis militer dianggap sebagai kehadiran dua Jenderal santri. Dari kedua jenderal ini hubungan Islam dan militer mulai berlangsung secara baik. Hal ini karena kedua 77 jenderal ini sangat dekat dengan berbagai kelompok Islam, baik NU dan Muhammadiyah, maupun dengan kelompok Islam lainnya yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman kedaulatan Negara.

BAB IV KEADAAN BARU HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER