Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin

dalam analisisnya menyimpulkan bahwa tidak ada alasan kesimpulan yang menyatakan Majelis Konstituante tidak menghasilkan apapun yang bermakna. Menurutnya, seperti dikatakan Ketuanya, Wilopo Sidang sudah menyelesaikan 90 tugasnya. Pembubaran Konstituante lebih banyak disebabkan koalisi ABRI dengan Soekarno yang merasa kepentingan politisnya terancam jika Demokrasi Parlementer terus-menerus dilaksanakan. Demikian pula Adnan Buyung Nasution dalam disertasinya menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung bahwa Konstituante gagal merancang Konstitusi karena adanya perdebatan tentang Dasar Negara. Yang terjadi adalah Konstituante tidak memiliki kesempatan untuk menyimpulkan pertimbangan dalam masalah tersebut, sehingga tentang Dasar Negara dianggap prematur. Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada Demokrasi Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang diktator, hampir semua kekuasaan Negara baik eksekutif, legeslatif dan yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan di dunia. Demokrasi Terpimpin berakhir dengan meletusnya peristiwa G 30 SPKI, dan kekuasaan Orde Lama beralih ke Orde Baru.

C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin

Seminggu setelah Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinetnya yang baru, menggantikan Kabinet Djuanda yang mengembalikan mandat pada 6 Juli. Kabinet Djuanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Dalam Kabinet Soekarno ini, Djuanda tetap diberi posisi penting sebagai Menteri Pertama yang tugasnya tidak banyak berbeda dengan tugas Perdana Menteri. 30 Kabinet baru di bawah payung UUD 1945 ini diberi nama Kabinet Kerja. Kabinet inilah yang bertugas melaksanakan gagasan Soekarno dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan yang memang sudah lama ia dambakan, tapi karena fondasinya tidak kokoh, system itu pulalah akhirnya membawanya kejurang kehancuran politik untuk selamanya. Dia terkubur bersama sistem yang diciptakannya, sekalipun jasanya dalam pergerakan kemerdekaan dan penciptaan kesatuan bangsa tidak akan dilupakan orang. Sekitar enam setengah tahun beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia, secara politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, bahkan berpecah-belah berhadapan dengan sistem yang diciptakan Soekarno. Pilihan untuk turut atau tidak turut dalam suatu sistem kekuasaan telah membelah umat menjadi dua kubu yang saling berhadapan, sedangkan posisi politik mereka secara nasional sudah tidak diperhitungkan lagi. Sebenarnya sejak NU menarik diri dari Masyumi pada 1952 dan muncul sebagai partai politik, dalam menghadapi berbagai kasus, partai Islam baru ini lebih dekat dari PNI atau bahkan PKI ketimbang Masyumi. Sikap Masyumi yang menentang ide Demokrasi Terpimpin sementara NU, PSII dan Perti turut serta didalamnya semakin menempatkan partai kaum modernis itu pada posisi politik yang terpencil, khususnya pada era sesudah jatuh Kabinet Ali Roem Idham Maret 1957. Masyumi yang beraliansi dengan partai-partai kecil, seperti PSII dan Partai 30 Lihat J.D. Legge, Soekarno: A Political Biography, New York, Washington: Praeger Publishers, 1972, h. 311 Katolik jelas tidak bisa menolong posisi politik dalam DPR yang semakin melemah. Memang, bila melihat dari cita-cita demokrasi, pilihan mereka adalah pilihan yang tepat, tapi budaya politik Indonesia yang sedang dikembagkan pada waktu itu adalah budaya politik otoriter yang dimainkan oleh Soekarno, PKI, dan pimpinan tertinggi Angkatan Darat sebagai pemain-pemain utamanya. Dalam situasi seperti itu, cita-cita demokrasi yang hanya didukung oleh suara minoritas dalam parlemen adalah seperti orang berteriak ditengah padang pasir. Tidak ada telinga yang memperdulikannya. Situasi bagi Masyumi semakin memburuk, setelah pada akhir 1957 beberapa tokoh partai ini menyertai pergolakan daerah di Sumatera Tengah, sekalipun mungkin dengan tujuan ingin menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang “diuji coba” oleh beberapa panglima daerah Angkatan Darat dalam usaha menentang pemerintah pusat dibawah pimpinan Soekarno dengan dukungan Jendral A.H Nasution. Bulan madu Soekarno-Nasution sekalipun tidak dapat dipertahankan terus, bagi karir politik Soekarno menjadi sangat menentukan. Tanpa sokongan Nasution plus pimpinan Angkatan Darat yang lain, tidak dapat dibayangkan bahwa Soekarno akan melangkah lebih jauh. Demokrasi terpimpin dalam praktiknya adalah sistem politik dengan baju demokrasi tapi minus demokrasi. Mengapa semua ini terjadi Salah satu penjelasnya dapat ditelusuri pada praktik politik masa demokrasi liberal, ketika partai-partai begitu berkuasa, sehingga kepentingan Negara secara keseluruhan sering terlantar. Barang kali sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia harus melelui proses jatuh bangun dalam uji coba sistem demokrasi. Dari sudut kenyataan ini, kita melihat Masyumi sebagai partai yang kurang sabar, sehingga keputusan-keputusan penting yang diambilnya sering didorong oleh idealisme demokrasinya yang begitu dalam, sementara realitas politik sedang menempuh jalan lain. Tampaknya, idealisme politik yang tinggi inilah yang akhirnya menghadapakan partai ini pada batu karang sejarah yang tak mampu ditembusnya. Kita tidak tahu apakah Masyumi telah memperhitungkan semua ini sebelumnya. Saat itu, NU yang muncul sebagai salah satu dari Empat Besar setelah pemilu 1955 baru “belajar” berpolitik mandiri, tapi kiprahnya dalam menghadapi situasi politik yang sedang tampak lebih lentur, meskipun tampak orang mempertanyakan apakah kelenturan ini disebabkan prinsip yang dianut atau prinsip itu sedang dicari dalam pengalaman bernegara. Saya lebih cendrung mengatakan bahwa NU berada dalam situasi yang terakhir: dia sedang bergumul dalam mencari pengalaman politik yang penuh kemungkinan itu. Penjelasan lain tentang mengapa harus Demokrasi Terpimpin, dapat pula dicari pada kenyataan bahwa Bung Karno tidak mau lagi jadi tukang stempel, dalam arti seorang presiden symbol sebagai mana ditentukan oleh UUDS 1950 yang menjadi dasar konstitusional bagi pelaksana demokrasi parlementer di Indonesia. Soekarno ingin langsung memimpin pemerintahan. Tampaknya Soekarno cukup kecewa ketika St. Sjahrir pada pertengahan November 1945 berhasil “menyisihkan” Soekarno-Hatta dari pimpinan eksekutif dengan membentuk kabinet parlementer pertama, sekalipun masih dibawah UUD 1945, yang menganut sistem kabinet presidensial. Dengan diselingi sebentar oleh Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial 19481949, perpolitikan Indonesia sampai dengan Kabinet Ali-Roem Idham 1956-1957 dikuasai oleh kabinet parlementer yang tidak pernah berumur panjang. Keinginan Soekarno untuk berkuasa, langsung disampaikan pertama kali 28 Oktober 1956. Pada waktu itu, ia mengemukakan konsepsinya, yang antara lain berisi ide tentang pembentukan Dewan Nasional, dan keterlibatannya secara langsung dalam memimpin pemerintahan. Oleh sebagian orang, move politik semacam ini dipandang bertentangan dengan UUDS yang masih berlaku sampai saat itu. Diantara reaksi terhadap move itu diberikan oleh M. Isa Anshary anggota DPR dan salah seorang pemimpin Masyumi sayap radikal Isa Anshary menulis dalam majalah Daulah Islamiah sebagai berikut: Konsepsi Bung Karno adalah pelaksanaan ide beliau yang diucapkan pada 28 Oktober 1956 untuk menguburkan partai-partai dan pidato beliau dirapat Merah Putih di Bandung., di mana beliau menyatakan untuk turut aktif dalam pemerintahan. Jadi, dewan nasional bukanlah semata-mata dewan penasehat tetapi adalah dewan yang memungkinkan presiden ikut aktif dalam pemerintahan. Pemerintahan Soekarno itu berlaianan dari pemerintahan Demokrasi biasa, karena pemerintahannya adalah pemerintahan tanpa oposisi, dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Ketiga-tiganya, baik ikutnya presiden dalam pemerintahan secara aktif, maupun tidak bertanggungjawabnya kepada parlemen sebagai orang yang ikut memerintah atau tidak adanya oposisi dalam Negara, adalah bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang tumbuh di Indonesia. 31 Sistem yang di bawa oleh Soekarno ini bukanlah Demokrasi sebagaimana yang diminta oleh Pancasila dan UUD 1945, yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Dalam Demokrasi Terpimpin, ada perbedaan visi politik partai-partai Islam dalam menghadapi Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. Perbedaan visi ini membawa nasib yang berbeda pula bagi partai-partai Islam pada saat itu, kelompok pertama, Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam sistem politik otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yakni liga Muslimin NU, PSII, dan Perti, berpandangan bahwa turut serta dalam Demokrasi Terpimpin adalah sikap realistis dan pragmatis.

D. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Orde Baru ORBA