Undang-undang Dasar dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang tumbuh di Indonesia.
31
Sistem yang di bawa oleh Soekarno ini bukanlah Demokrasi sebagaimana yang diminta oleh Pancasila dan UUD 1945, yang berdasarkan prinsip kedaulatan
rakyat. Dalam Demokrasi Terpimpin, ada perbedaan visi politik partai-partai Islam dalam menghadapi Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. Perbedaan
visi ini membawa nasib yang berbeda pula bagi partai-partai Islam pada saat itu, kelompok pertama, Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam sistem politik
otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yakni liga Muslimin NU, PSII, dan Perti, berpandangan bahwa turut serta dalam
Demokrasi Terpimpin adalah sikap realistis dan pragmatis.
D. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Orde Baru ORBA
Makna politik Orde Baru yang di tujukan kepada Islam, dalam rentang waktu sejarah sejak 1966-1998 adalah waktu yang cukup panjang bagi sebuah
rezim yang berkuasa. Karena itu, perilaku politiknya pun sangat diwarnai oleh corak dinamika sejarah. Itu sebabnya, hubungan Islam dengan pemerintahan Orde
Baru menunjukan grafik yang tidak lurus. Orde Baru memulai pemerintahannya setelah berhasil menumbangkan PKI pada tahun 1965 yang dibantu oleh seluruh
lapisan masyarakat, tidak terkecuali peranan umat Islam dalam menumpas PKI. Namun dalam perjalanannya rezim Orde Baru meninggalkan umat Islam yang di
motori oleh militer yang dibantu dengan birokrasi dan Golkar. Periode pembentukannya diwarnai dengan corak yang sangat memusuhi Islam dalam
31
M.Isa Anshary, “Musyawarah Nasional”, Daulah Islamiyah, No. 9
Th
.1 September 1957, h. 5. Isa Anshary pernah mengikuti kursus politik dari Bung Karno
bentuk peminggiran politik Islam, sedangkan di tengah kekuasaannya dicorakan sangat akomodatif terhadap Islam.
Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Dalam rentang sejarahnya semenjak
1996-1998 telah menunjukan realitasnya. Rezim ORBA telah menunjukan dan memerankan panggung politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan
akomodasi politik Islam. Kedua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam menghadapi rezim Orde Baru.
Awal-awal kepemimpinan Orde Baru berkuasa, pemerintah mengeluarkan dan menunjukan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam,
sehingga memunculkan sikap antagonistik dari umat Islam. Depoilitisasi dan deideologisasi
32
untuk mencapai kestabilan politik dalam rangka pembangunan ekonomi yang diterapkan oleh ORBA adalah suatu rekayasa politik politic
enginering dengan tujuan untuk memperlemah posisi umat Islam, yang
berpotensi sangat membahayakan pemerintahan yang masih baru. Naiknya rezim ORBA di panggung kekuasaan pasca- Soekarno sebenarnya telah memberikan
harapan besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah
kekuasaan ORBA. Harapan ini ternyata tidak terwujud setelah rezim Soehartoisme menunjukan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam.
32
Orde Baru bercita-cita mengoreksi kekurangan dan kelemahan OrdeLama. Orde Baru memperbaiki kondisi sosio-ekonomi yang payah warisan dari Orde Lama, dimana inflasi mencapai
600 lebih pada dekade 1960-an, telah mendorong eksponennya untuk memprioritaskan pembangunan ekonominya. Ekonomisme menjadi keharusan, sedangkan politik sebagai panglima
didekonstruksi menjadi depolitisasi dan deparpolisisasi. Lihat Herdi SRS, ”Islam Politik Dalam Kancah Demokrasi”, dalam Prisma 8 Agustus 1995, h. 89
D.1. Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia PDII
Salah satu keinginan untuk membangkitkan romantisme kebangkitan politik Islam adalah pembentukan PDII yang dikemukakan oleh Muhammad
Hatta mantan Wakil Presiden RI. Sebenarnya keinginan membentuk partai tersebut sudah sejak tahun 1959 dan didorong pula oleh ketidakpuasan pemuda
Islam HMI dan PII terhadap sistem yang ada, karena sering diintimidasi PKI, sehingga sering meminta nasehat kepada Mohammad Hatta.
Pada akhir tahun 1965, keinginan itu baru dimunculkan dengan maksud membentuk PDII. Kemudian pada tanggal 11 Januari 1967, Mohammad Hatta
mengirim surat kepada Soeharto tentang niatnya tersebut, ternyata pemerintah tidak mengabulkan dengan alasan PDII belum mampu menjadi partai Islam yang
diharapkan pemerintah. Dengan ditolaknya permohonan pembentukan PDII, menandakan bahwa pemerintah Orde Baru sengaja menutup jalan bagi partai
politik Islam untuk tampil ke kompetisi politik, tanpa pengawasannya.
D.2. Gagalnya Rehabilitasi Partai Masyumi dan Berdirinya Parmusi
Hubungan politik yang tidak harmonis itu berdampak luas. Puncaknya,
akses para aktivis politikus Islam ke koridor kekuasaan menyusut drastis dari posisi politik awal mereka merosot terutama sepanjang selama
25 tahun pemerintahan ORBA. Beberapa ilustrasi yang sangat jelas adalah memperlihatkan
kekalahan Islam politik itu adalah pembubaran partai Masyumi dan ditolaknya rehabilitasi partai itu 1960; Soeharto sebagai ketua presidium Kabinet Ampera
menyurati Prawoto Mangkusasmito pada tanggal 6 Januari 1967 yang menyatakan bahwa pihak ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Partai
Masyumi, u paya rehabilitasi Masyumi terhalang oleh Ali Moertopo yang ketika
itu sangat berkuasa yang sekaligus sebagai pemegang Supersemar.
33
. Tanggal 7 Mei 1967 melalui sidang
Badan Koordinasi Amal Muslimin BKAM
yang terdiri atas 16 organisasi Islam
34
mengambil keputusan membentuk wadah politik baru bagi umat Islam yang dinamakan ”Parmusi”
35
Partai Muslimin Indonesia, tetapi diakhir perjalanan dimana tidak diperkenankannya tokoh-tokoh penting mantan
Masyumi untuk memimpin PARMUSI dan tidak boleh dicalonkan dalam pemilu
yang akan segera dilangsungkan, tanggal 7 April 1967 , partai yang baru dibentuk
untuk menggantikan Masyumi 1968; pemerintah ternyata memandang Masyumi
masih berlumur dosa-dosa masa lalu.
36
Keputusan pemerintah itu berlaku pada saat pemilihan Mohammad Roem sebagai ketua Parmusi pada Kongres di Malang
tanggal 407 Nopember 1968. Akhirnya tanggal 5 Februari 1968 keluar keputusan pemerintah yang
menyatakan berdirinya Parmusi dan SK Presiden No. 70 1968 yang menetapkan Djarnawi Kusumo dan Lukman harus sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal.
Duet ini tidak berlangsung lama, karena muncul H.J. Naro dan Imran Kadir yang menginginkan kepemimpinan di Parmusi yang mengakibatkan konflik.
Memanfaatkan konflik yang direkayasa pemerintah, akhirnya pemerintah menerbitkan SK No. 77 tahun 1970 dengan menempatkan Mintareja sebagai ketua
33
Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, Jakarta. Gema Insani Perss,1996, h. 32
34
Di antaranya adalah Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Persatuan Ummad Islam PUI, Al-Ittihadiyah, Gasbiindo, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia. Lihat Hartono
Marjdono, h. 31
35
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1966, h. 247
36
. Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, ... h. 246
partai sekaligus membatalkan SK No. 70 tahun 1968. Mintareja adalah pegawai tinggi pemerintah dan juga anggota PP Muhammadiyah. Menghadapai situasi dan
keadaan yang runyam tersebut, Muhammadiyah pada tahun 1969 menyatakan keluar dari Parmusi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan partai
manapun. Untuk yang kedua kalinya umat Islam melalui partai Islam gagal meyakinkan pemerintah Orde baru untuk tampil ke gelanggang politik, tanpa
pengawasan pemerintah. Kemudian ORBA memainkan strategi baru yaitu FUSI partai pada tanggal 5 Januari 1973 dengan dibatasinya jumlah partai politik Islam
dari empat parpol yaitu NU, MI, PSSI, dan PERTI dan menjadi satu, dalam wadah PPP 1973; hal ini untuk semakin menjinakan potensi politik umat Islam,
tidak cukup sampai disitu ORBA juga mengurangi jumlah wakil-wakil Islam yang duduk dalam parlemen dan kabinet. Imbas dari penghapusan politik Islam adalah
gagalnya rehabilitasi Masyumi. Rehabilitasi ini diajukan untuk sebagai syarat pemberian dukungan terhadap pemerintahan ORBA dengan pertimbangan bahwa
mereka telah memberikan andil dalam perjuangan menegakan demokrasi serta melawan Komunisme pada masa ORBA.
D.3. Peran Partai Persatuan Pembangunan PPP
PPP sebagai partai Islam adalah pemain tunggal single fighter dalam gelanggang politik Orde Baru, meskipun di dalamnya ada empat unsur parpol
NU, MI, PSSI, dan PERTI. Dengan demikian, tidaklah mudah memainkan peranannya, mengingat PPP tidak lagi berasaskan Islam hal ini lewat
”pengasastunggalan” Pancasila dimana tidak diperbolehkannya Islam sebagai asas organisasi sosial dan politik 1985.. apalagi banyak dari kalangan orang Islam
sendiri yang tidak mengakui dan mendukung PPP sebagai partai umat Islam, sehingga aspirasi mereka disalurkan ke Golkar atau Partai Demokrasi Indonesia
PDI. Meskipun demikian, basis PPP tetap terletak pada mayoritas umat Islam, sehingga selayaknya partai ini tetap memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Peranan PPP dalam lembaga legislatif yaitu melakukan aksi walkout terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Aliran Kepercayaan.
Selain itu, masalah-masalah yang diungkap oleh Abduk Azis Thaba dalam hubungan yang bersifat akomodatif, menurut penulis adalah hasil secara tidak
langsung dari peran Partai Persatuan Pembangunan PPP melalui Fraksi Persatuan Pembangunan FPP, misalnya tentang Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama. Dalam hal ini PPP tetap menginginkan sebagai partai Islam yang survive yang tetap
memperjuangkan kepentingan masyarakat muslim. Kemudian
lewat ”pengasastunggalan”
Pancasila dimana
tidak diperbolehkannya Islam sebagai asas organisasi sosial dan politik 1985. Sejalan
dengan terus menerusnya untuk melestarikan Pancasila mulai tahun 1982. Motif utama pemerintah adalah untuk melindungi Pancasila sebagai ideologi nasional
negara, dan untuk mensosialisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu pemerintah merasa bahwa harus tidak ada ideologi lain yang
menandingi Pancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan ORBA ini bukan tanpa reaksi. Sejauh menyangkut umat Islam, paling tidak sejak 1982, mereka telah
menunjukan reaksi terhadap usulan pemerintah karena ummat Islam takut dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti Pancasila akan menggantikan
Islam, atau bahwa Pancasila akan disamakan dengan agama.
37
Reaksi umat Islam terhadap asas tunggal Pancasila ini menimbulkan perdebatan serius. Bahkan,
ummat Islam telah mengalami konflik yang paling serius dan rumit yang menghabiskan masa yang paling lama dalam memperdebatkan pergantian asas ini.
Perdebatan ini terjadi dari pertengahan 1982-1985, disertai konflik internal dan konflik dengan pemerintah. Konflik ini harus dibayar mahal dengan pecahnya
HMI menjadi HMI Dipunegoro dan HMI MPO, sedangkan PII terpaksa membubarkan diri karena menolak kebijakan tersebut.
38
Pada mulanya hampir semua partai dan organisasi Islam menolak kebijakan ini. Namun akhirnya setelah
mendapat tekanan dari pemerintah banyak ormas Islam yang mulai menerima asas tunggal. NU melalui Munas Situbondo 1983 dan Muktamar Surabaya 1984
menyatakan menerima asas tunggal sebagai asas organisasi sosial dan politik, kemudian disusul oleh Muhammadiyah melalui Muktamar ke-41 di Surakarta
1985 mengambil langkah yang serupa. Terkecuali PII yang menolak asas tunggal yang kemudian terpaksa dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1988.
39
Keberhasilan menghapuskan
ideologi primordialistik
Islam merupakan
pencapaian yang paling berharga buat rezim ORBA. Semua kekuatan dan ideologi telah berhasil ditundukannya. Yang lebih tragis dan menyedihkan lagi adalah,
Islam politik telah menjadi sasaran kecurigaan ideologis. Oleh negara, para aktivis Islam politik sering dicurigai sebagai anti terhadap ideologi negara Pancasila. Hal
37
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru..... h.207
38
M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, Agustus 1999, h. 184
39
Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965- 1987 dalam Perspektif Sosiologis,
Jakarta: Rajawali Press., 1989, h 127
ini merupakan salah satu kesalahan strategi umat Islam, mestinya mereka berkompromi untuk kemudian bersama-sama memberi isi Pancasila.
Sementara itu setelah stabilitas politik dikendalikan dan orientasi politik umat Islam berubah, ORBA merubah
kebijakan politiknya dengan lebih
akomodatif dan aspiratif terhadap Islam. Sikap akomodasi rezim ORBA terlihat
dengan disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional UUPN tahun 1989; diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi
Hukum Islam tahun 1991; diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991; dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan badan amil
zakat, infak dan shadaqoh Bazis tahun 1991; didirakannya bank Muamalat dan ICMI tahun 1991, dan dihapusnya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah
SDSB tahun 1993.
40
Dalam perkembangannya, umat Islam pada tahun 1980-an memasuki fase satu kebangkitan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Pada akhir 1980-an, kebangkitan tersebut memunculkan tekanan politik baru ketika kelas menengah Muslim, pendidikan massa dan perkembangan kelas
menengah Muslim memungkinkan munculnya tipe-tipe pemimpin Muslim baru. Para ”cendikiawan Muslim” yang baru ini merupakan figur-figur publik yang
pandangan-pandangannya tentang politik Islam banyak dipengaruhi oleh pendidikan umum, media cetak yang baru, dan persentuhannya dengan teori-teori
Barat, selain tentunya dengan pendidikan pesantren dan legalisme klasik. Ini
40
. Lihat Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Jakarta: Paramadina, 1998, h. 273
62
mendesakkan repsentasi yang lebih besar lagi bagi ummat Islam dalam pemerintahan dan masyarakat.
Pada akhirnya, kebangkitan tersebut memaksa Soeharto memikirkan kembali kebijakannya mengenai Islam. Beberapa penasihat dan orang dekat Soeharto
masih tetap berbicara seolah-olah tidak ada sesuatu yang berubah dan mendesak pemerintah untuk tetap mempromosikan Islam ”kultural” sambil dengan tegas
menekan Islam politik. Akan tetapi, kebangkitan ummat Islam itu sedemikian kuat, dan tidak mungkin ditarik kedalam bentuknya yang semula. Menghadapi
tantangan baru ini, Soeharto akhirnya berupaya untuk merangkul kalangan Islam konservatif ke dalam kekuasaannya. Walau demikian ia harus belajar bahwa
kekuatan Islam yang dirangkulnya tersebut mempunyai integritas moral dan politiknya sendiri.
41
41
Lihat Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia
..... h. 273
BAB III PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER