Bergesernya Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an

seirama dengan kepentingan pemerintahan Soeharto untuk mendapatkan dukungan dari kalangan Islam. hal ini dikarenakan umat Islam telah tumbuh pemikiran yang lebih terbuka dan pemerintah meresponnya.

B. Bergesernya Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an

Dalam tataran pandangan demokrasi, kekuasaan yang dikendalikan oleh militer akan terpuruk ke dalam system otoriter. Oleh sebab itu, militer dengan system komandonya merupakan dunia yang berdiri secara diametral dengan demokrasi. Selama ada kekuasaan militer maka selama itu pula demokrasi akan lumpuh. Di Indonesia, sejak bergulirnya tuntutan demokrasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang dihembuskan oleh Negara maju bergulir seiring dengan berakhirnya perang dingin. Tuntutan demokrasi yang begitu kuat telah memaksa berbagai Negara untuk menata diri dan menyesuaikan dengan arus perubahan besar itu termasuk Indonesia, yaitu adanya perubahan yang lebih baik di dalam institusi militer. Perubahan yang terjadi adalah berkurangnya keterlibatan militer dalam persoalan politik serta wilayah intervensi militer terhadap wilayah sipil mulai menyempit. 6 Di Institusi militer semakin banyak generasi-generasi baru yang lahir dari lembaga pendidikan formal seperti Akabri, Akmil. Kemunculan generasi baru ini membawa perubahan dinamika politik militer, hal ini dikarenakan dalam dunia pendidikan militer terdapat factor kognitif dan afektif sama seperti institusi pendidikan universitas yang bisa mempengaruhi pola tingkah laku dan sikap setiap individu. Banyak nilai-nilai kepemimpinan yang diajarkan dalam pendidikan AkabriAkmil baik itu nilai-nilai budaya lokal Jawa 6 www.asiaweek.com edisi 20 Januari 1995. “No More Coups? Across Asia, the Rise of Democracy Is Changing the Military” maupun tentang kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam Islam dan para Nabi- nabi pada umumnya termasuk para panglima perang Islam setelah Muhammad saw. Pola pendidikan yang dikembangkan AkabriAkmil tidak lepas dari budaya lokal Indonesia dan penekanan pendidikan spiritual bagi kalangan militer, kegiatan tersebut dilakukan sebagai ekstrakurikuler yang dilakukan setiap habis melaksanakan shallat 5 lima waktu yang dilakukan oleh para senior militer dan pengajian berkala yang mendatangkan pengajarpenceramah dari luar kalangan militer. Hal ini untuk menumbuhkan militer yang mengerti nilai-nilai keislaman yang tumbuh bersama nilai-nilai kultural dalam setiap individu prajurit, walau demikian terjadi penekanan pada kepentingan Negara yang dimotori Orde Baru tertanam sangat dalam pada diri militer, sehingga terjadi paradoksalitas di dalam institusi militer yang berakibat sikap militer dikendalikan oleh Soeharto selaku pemegang kekuasaan yang terlihat dari keterlibatan militer santri dalam operasi militer yang sangat bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai keislaman yang menekankan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Generasi baru militer yang menempati posisi strategis baik sebagai perwira menengah dan tinggi pada tahun 1990-an lebih professional dalam memposisikan diri dan jabatannya. Hal ini berbeda dengan militer angkatan 45 yang tercermin dari sikap penyelesaian masalah angkatan 1945 lebih berpikir instan tanpa mempertimbangkan dampak akibat yang akan muncul di lain waktu dan hal ini dikarenakan dari keadaan pragmatis dan fleksibelnya angkatan militer 1945 yang berlainan visi, misi dan pandangan dengan generasi militer 1990-an. Hal ini didasarkan pada sebuah proses alamiah di dalam masyarakat langsung. Militer angkatan 1945 tidak lahir dari tempaan sekolah formal tetapi hasil dari sebuah bagian langsung bersama masyarakat melawan penjajah. Generasi militer tahun 1990-an yang memiliki posisi strategis adalah militer yang berasal dari keluarga muslim. Hal ini tidak lepas dari perubahan sikap dari sebagain umat Islam di seluruh Indonesia yang memasukan anak mereka ke lembaga institusi pendidikan militer. NU pada tahun 1968 mengeluarkan himbauan bagi kalangan muda NU untuk masuk dunia militer. Karena fasilitas yang disediakan lembaga pendidikan militer dijamin oleh Negara, di samping itu juga peran strategis militer dalam konstelasi politik nasional. 7 Hal ini karena sejak awal dilaksanakannya pendidikan militer secara formal terjadi minat yang tinggi dari masyarakat untuk masuk pendidikan militer. Banyaknya taruna-taruna militer yang lahir berkepribadian religius tidak lepas dari latar belakang keluarga dan di topang ketika menjalani pendidikan keagamaan di lembaga militer yang intensif baik sebagai materi intra dan ekstra kurikuler. Diantara taruna Akmil yang memiliki ketertarikan dan komitmen terhadap masalah keislaman adalah Jenderal TNI R. Hartono, Jenderal TNI Feisal Tanjung,Letjen TNI Syarwan Hamid, dan Letjen TNI Hendropriyono. Mayjen TNI Syamsul Ma’arif, 8 Mayjen Kivlan Zen, 9 Mayjen TNI Muchdi PR, 10 Mayjen 7 Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, h. 152 8 Syamsul Ma’arif menjabat Staf Pengamanan SPAM TNI AD di Jakarta 1993, Koordinator Staf Pribadi PangabSekretaris Pangab 1994, Danrem Surabaya termuda diseluruh Indonesia 1995, Kasdam VBrawijaya 1997, dan Gubernur Akmil 1998, www.tni.mil.id 9 Jabatan yang pernah dijabat adalah Kasdam VIIWirabuana 1996, Kepala Staf Kostrad 1997, dan Koordinator Staf Ahli KSAD 1998. www.tni.mil.id 10 Alumni Akabri 1970 pernah menjabat Kasdam VBrawijaya 1996, Pangdam VITanjungpura 1997, Komandan Jenderal Kopassus 1998. www.tni.mil.id TNI A Rahman Gaffar, 11 Letjen TNI Suadi Marasabessy, 12 Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin, 13 Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim. Para jenderal ini menempati posisi-posisi yang sangat strategis menggantikan posisi yang dulu dipegang oleh kelompok L.B. Moerdiani. Selain dari para Jenderal tersebut lahir dari latar belakang keluarga dengan dasar keagamaan yang cukup agamis, ada juga sebagian prajurit militer yang meminati semangat keagamaan yang tumbuh pada saat mengikuti pendidikan di Akmil, Akabri seperti Letjen Prabowo Subianto. 14 Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama menjadikan umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas, hal ini memberikan kesempatan yang sangat luas untuk aktif di berbagai lembaga Negara termasuk institusi militer. Umat Islam Indonesia memiliki kesempatan terbesar untuk masuk institusi militer. Sedangkan untuk suku yang memiliki porsi terbanyak masuk institusi militer adalah suku Jawa. Militer sangat terikat dengan sumpah Sapta Marga dan sumpah prajurit. Tampilnya militer yang memiliki latar belakang agama Islam yang kuat tidak sendirinya memperlakukan umat Islam secara istimewa. Keberadaan umat Islam dijadikan sebatas mitra dalam ikut serta menjaga stabilitas Negara. Gerakan- gerakan yang berbau separatis dan pendirian lembaga organisasi di luar ideology Pancasila tidak akan mendapat jalan. Kondisi politik Orde Baru dan kebijakan Negara yang sentralistik telah meletakan militer santri sekalipun dalam lingkaran 11 Menjabat Kasdam VIIITrikora 1996, dan Pangdam IBukit Barisan 1997 12 Alumni Akabri 1971 pernah menjabat Asisten Operasi Kasdam IV?Diponegoro, Wakil Asisten Operasi Kasum ABRI, Asisten Operasi KSAD 1997, Pangdam VIIWirabuana 1998. www.tni.mil.id 13 Sebagai Pangdam Jaya 1997. Sebelumnya komandan Paspampres. www.tni.mil.id 14 www.jawapos.com edisi Maret, 1998 yang sama. Militer menjadi kunci yang sangat menentukan bagi keberadaan sebuah parpol dan ormas, LSM yang ada di masyarakat dan menjadi kekuatan penekan kedaulatan rakyat. 15 Keberadaan militer santeri memang akan memiliki pengaruh terutama terhadap keberadaan umat Islam, tetapi sebagai militer mereka akan tetap berpegang teguh pada saptamarga dan sumpah prajurit. Oleh sebab itu, kebijakan mereka bertindak sebagai militer, bukan sebagai santeri. Bahwa dalam melaksanakan tugasnya latar belakang keagamaan tidak memiliki keterkaitan yang ketat dalam diri militer. Tentara tetap tentara yang akan menjalankan tugas dan ajaran agamanya. Oleh sebab itu bukanlah sesuatu yang aneh apabila tentara yang muslim rajin shallat. 16 Pandangan tersebut memperjelas posisi militer sebagai sebuah lembaga dengan agama Islam sebagai keyakinan yang bersifat personal dan perorangan. Tugas kemiliteran adalah tugas kelembagaan, sementara agama adalah panduan yang bersifat personal yang memungkinkan setiap indivu, tanpa mengenal kelas dan status sosial, memahami dan merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari mereka merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang ada dan system politik yang dibangun oleh pemerintahan. Hanya saja secara kebetulan budaya mereka sama-sama berasal dari muslim. Hal ini yang menyebabkan kedekatan militer lebih bersifat persuasif agar umat Islam tidak menjadi radikal yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Ada penekanan keagamaan dalam penanaman saptamarga dan sumpah prajurit. Setiap militer dituntut untuk menjadi penganut agama yang fanatik, yaitu 15 Benedict Anderson, Takashi S, dan Jams T. Siegel, “The Indonesia Military in the Mid- 1990s: Political Maneuvering or Structural Change?”, Indonesia, No. 63, April 1997. h. 104 16 William Liddle dan Sayidiman Soerjohadiprodjo, Gatra, 18 Februari 1995, h. 23 menjalankan ajaran agama begitupun tampilnya militer muslim yang sering diistilahkan militer hijau, merupakan refleksi dari usaha militer untuk menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Agama bagi militer bukan berarti sesuatu sepintas lalu. Namun demikian bukan berati militer ingin mencampuradukan persoalan tentara dengan agama. Agama merupakan penuntun bagi setiap pribadi, sementara sapta marga adalah panduan kelembagaan militer yang secara keseluruhan yang melintasi batas keagamaan, baik itu Islam, Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya. Hal ini berarti ada titik kesamaan antara satu agama dengan agama lainnya dalam mendekati masyarakat. 17

C. Hubungan Islam dengan Militer