menjalankan ajaran agama begitupun tampilnya militer muslim yang sering diistilahkan militer hijau, merupakan refleksi dari usaha militer untuk
menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Agama bagi militer bukan berarti sesuatu sepintas
lalu. Namun
demikian bukan berati militer ingin
mencampuradukan persoalan tentara dengan agama. Agama merupakan penuntun bagi setiap pribadi, sementara sapta marga adalah panduan kelembagaan militer
yang secara keseluruhan yang melintasi batas keagamaan, baik itu Islam, Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya. Hal ini berarti ada titik kesamaan antara satu
agama dengan agama lainnya dalam mendekati masyarakat.
17
C. Hubungan Islam dengan Militer
Terjadinya perubahan hubungan antara Islam dengan militer pada masa Soeharto tahun 1990-an yang dimulai dengan pertentangan di jajaran elit militer
mendorong Soeharto untuk melakukan rekonsiliasi dengan kelompok Islam dan mengalihkan control militer dari tangan Moerdiani ke bawah kendali Soeharto.
Pergeseran Moerdiani ini lebih disebabkan oleh langkah-langkah yang dioperasikan Moerdiani bertentangan dengan apa yang diketahui Soeharto.
Langkah Moerdiani tersebut akan menjadi ancaman bagi kekuasaan Soeharto karena Moerdiani memegang kendali militer pada saat itu. Oleh sebab itu, kendali
tersebut harus diambil alih untuk mengarahkan loyalitas militer pada penguasa.
18
Ada pergeseran posisi umat Islam dibandingkan dengan massa sebelumnya dari
17
Jenderal TNI Purn. R. Hartono, “Apa Saya Terlalu Mengerikan,” Tajuk, No. 23, Tahun I, 6 Januari 1999, h. 29
18
Marcus Mietzner, “From Soeharto to Habibie: the Indonesia Armed Forces and Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrester Editor, Post-Soeharto Indonesia,
Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999
posisi pinggiran ke tengah kekuasaan, begitu juga pada jajaran militer. Dengan sendirinya kelompok abangan sedikit demi sedikit tersingkir dari arena kekuasaan,
setelah sekian lama menguasai. Pergeseran pejabat Negara yang abangan atau non-muslim ke aparat muslim tidak hanya terjadi dalam militer. Beberapa jabatan
penting lainnya yang juga mengalami pergeseran posisi di kabinet. Diantara mereka yang tergeser adalah menteri keuangan yang dijabat oleh Radius Prawiro,
J.B. Sumarlin, dan gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy yang kemudian dikenal dengan sebutan RMS, juga Soedomo. Sejak awal tahun 1990-an posisi
strategis militer ditempati oleh personel yang memiliki latar belakang keislaman yang cukup kuat dan peduli khususnya terhadap umat Islam.
19
Pergeseran di institusi militer pada awal tahun 1990-an merupakan naiknya militer santri dan berkurangnya dominasi militer abangan atau Kristen.
Pada masa sebelumnya perwira yang berlatar belakang muslim ini tidak mendapatkan posisi jabatan strategis karena adanya kecurigaan Soeharto dan
kalangan militer terhadap kelompok Islam. Seiring dengan adanya perubahan sikap Soeharto terhadap umat Islam, militer santeri mulai menempati posisi
strategis. Namun demikian, penggunaan istilah militer hijau yang diidentikan dengan Islam sering dinilai secara sempit yang kemudian dihadapkan dengan
istilah militer merah putih yang seakan menunjukan nasionalisme. Dilihat dari sisi sumpah prajurit yang berlaku bagi militer hijau dan merah putih maka hal ini
sangat sulit untuk menerima adanya pengelompokan kedua faksi dalam militer. Militer merupakan kedua kekuatan sosial politik yang sarat dengan muatan politik
19
Indria Samego et all, “Bila ABRI Menghendaki”, h. 159
dan kepentingan, baik bagi faksi hijau atau merah putih sama-sama berdiri di atas kepentingan politiknya. Hanya saja pada tahun 1990-an, militer yang memiliki
latar belakang keluarga muslim menempati posisi-posisi strategis. Faksi hanyalah bagian dari kenyataan faksi kepentingan, antara mereka yang punya posisi dan
yang tersingkirkan. Di tengah naiknya posisi militer santeri, beberapa peristiwa pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan dan tindak kekerasan masih berlangsung.
Beberapa peristiwa yang menunjukan catatan pelanggaran HAM adalah penyerbuan gedung PDI pada tanggal 27 Juli 1996. Penyerbuan ini melibatkan
militer yang waktu itu dipegang dari militer santeri. Peristiwa lainnya yang mengundang dunia internasional adalah penculikan terhadap aktivis-aktivis pro
demokrasi. Penculikan yang dilakukan menjelang pemilu 1997 ini merupakan rangkaian dari operasi militer untuk mengamankan kekuasaan Soeharto dengan
memenangkan Golkar sebagai kekuatan mayoritas dalam pemerintahan. Terjadinya kerusuhan Liquisa, Timor-Timur pada tanggal 12 Januari 1995 dan
kerusuhan di daerah lainnya. Naiknya militer santeri tidak menjadikan jaminan bagi keberlangsungan
proses kehidupan yang lebih aman dan demokratis. Militer tetap menjadi alat kekuasaan dan mendukung penguasa dengan segala cara. Dalam konteks ini, yaitu
dalam konteks politik, maka persoalan agama tidak lagi menjadi memberi makna.
20
Menurut catatan mantan Aster KSAD, Mayjen Saurip Kadi, dalam rentang waktu delapan tahun dari tahun 1990 sampai Mei 1998 terjadi kurang
lebih 20 aksi kekerasan yang melibatkan elit militer TNI-AD baik secara
20
Saurip Kadi, TNI-AD, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Grafiti, Juli 2000, h. 47
langsung maupun tidak langsung terhadap massa, baik mahasiswa, buruh, maupun masyarakat sipil lainnya. Dua puluh kasus ini hanya yang terekspos secara
nasional, sementara kasus-kasus lain yang tidak terekspos bisa melebihi jumlah tersebut. Yang menjadi persoalan bukan pada jumlah, tetapi lebih pada dampak
dari aksi kekerasan yang melahirkan luka dan menempatkan manusia secara diskriminatif. Oleh sebab itu, muncul pandangan bahwa segala langkah yang
diambil oleh militer adalah bagian dari operasi penguasa untuk kepentingan penguasa.
Keislaman militer sulit dijadikan indikator sebagai pengamalan dari system nilai-nilai Islam yang melekat pada dirinya di tengah system kekuasaan
yang sentralistik. Salah satu cara untuk memahami secara objektif dan eksplisit kesadaran kultural yang tumbuh di dalam diri militer menyangkut pelaksanaan
ajaran Islam, bisa dilihat pasca lengsernya Soeharto. Semangat keislaman yang terus berlangsung di lingkungan militer sampai saat ini bisa dipahami bahwa
pelaksanaan ajaran Islam yang merupakan sebuah kesadaran yang tumbuh secara kultural di dalam diri militer, demikian juga hubungan militer dengan umat Islam.
Semakin terlihat tipisnya jarak diantara militer dengan umat Islam saat ini menunjukkan tidak adanya kendala yang berat antara keduanya. Kenyataan ini
tidak lepas dari semakin banyak militer yang berstatus muslim dan menempati posisi-posisi komando yang terus berlangsung dalam proses seleksi di dalam
institusi militer sampai era reformasi sekarang ini. Ini membuktikan bahwa keislaman yang tumbuh di dalam diri militer bukan merupakan sebuah rekayasa
untuk kepentingan politik status quo maupun saat ini.
D. Keadaan Baru Hubungan Islam dan Militer