Nilai-nilai Islam yang Bangkit dan Negara yang Rapuh

BAB IV KEADAAN BARU HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER

A. Nilai-nilai Islam yang Bangkit dan Negara yang Rapuh

Awal tahun 1990-an muncul beberapa perubahan yang berlangsung dalam kebijakan nasional baik itu tataran konstelasi politik budaya. Negara mulai menerapkan keterbukaan politik yang selama ini represif terhadap umat Islam yang sebelumnya menjadi kelompok yang di marginalkan. Dilain keadaan, para cendikiawan muslim yang sejak awal tahun 1970-an bersamaan dengan pembangunan politik yang dilakukan pemerintahan Orde Baru waktu itu mampu membangkitkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam wacana- wacana keislaman yang lebih terbuka yang dapat melampaui batas-batas hubungan Islam politik. Keadaan baru dalam konstelasi politik Orde Baru ini dengan sendirinya telah memperluas wilayah penyebaran nilai-nilai keislaman yang universal. Umat Islam tidak lagi terjebak pada ideology Islam yang secara politik hanya diwakili oleh Partai Persatuan Pembangunan PPP, tetapi Orde Baru telah meletakan nilai-nilai Islam secara universal yang bisa diwujudkan dalam beragam bentuk wahana maupun lembaga dalam bentuk parpol yang tidak bersifat monolitik maupun lembaga kemasyarakatan lainnya dan organisasi keagamaan. Walaupun dilain pihak Orde baru memperbatas wilayah Islam politik yang lebih berorientasi pada tegaknya syariat Islam secara legal formal. 75 Perubahan yang terjadi ini tidak lepas dari peran serta para cendikiawan muslim yang berhaluan modernis diantara tokoh itu adalah Nurcholis Madjid, M.Amien Rais, M. Syafii Maarif, Abdurahman Wahid, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo dan beberapa tokoh lainnya yang sejak awal telah memperjuangkan tersebarnya wacana Islam yang lebih inklusif yang menekankan pada nilai-nilai substansi ajaran Islam yang lebih universal daripada perjuangan yang bersifat formalistic-legalistik. Bagi mereka tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi ajaran Islam bisa dilakukan melalui semua lembaga dan organisasi. Dalam bentuk konkrit lainnya kebijakan NU untuk kembali ke khittah 1926 yang dicetuskan dalam muktamar di Situbondo tahun 1984 yang memungkinkan tersalurkannya suara dan aspirasi masyarakat NU di semua parpol yang lain yang memungkinkan tersalurkannya aspirasi umat Islam semakin luas. Ini merupakan salah satu konsekuensi logis yang positif dari pengembangan Islam yang lebih inklusif, substantive dan bersifat cultural. 1 Sehingga warga NU tidak lagi terpaku untuk menyalurkan suaranya pada PPP sebagaimana pada tahun 1971-1977 dan awal tahun 1982. Kenyataan ini merupakan rangkaian dari proses alami dalam tumbuhnya kesadaran yang berlangsung dalam diri umat Islam. Kesadaran ini bukan merupakan hasil dari sudut pandang rekayasa Negara untuk memanjakan umat Islam, melainkan proses panjang penyebaran nilai-nilai keislaman yang lebih 1 Keputusan NU untuk tidak menjadi partisan partai tertentu berdampak pada menurunnya perolehan suara PPP yang sebelumnya banyak didukung oleh NU. Pada pemilu 1987, pada perolehan PPP menurun dari 27,78 suara 23,50 kursi pada pemilu 1982 menjadi 15,97 suara 15,25 kursi pada pemilu 1987. Menurut para pengamat penurunan ini sebagai akibat dari penggembosan yang dilakukan oleh NU terhadap PPP. R.William Liddle, Pemilu- pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992 terbuka dan progresif. Sejak awal pertengahan tahun 1980-an fenomena kebangkitan Islam mulai terlihat khususnya di pulau Jawa. Hal ini ditandai dibeberapa wilayah Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pusat Islam Kejawen mulai menunjukan Islamisasi yang sebenarnya. Sebuah kejadian yang tidak pernah terlihat sebelumnya. 2 Kegairahan umat Islam ini mulai menyebar dengan sendirinya dan memperbesar munculnya sumberdaya manusia muslim yang berkualitas. Banyak umat Islam yang mulai memasuki wilayah pemerintahan dilembaga legislative dan eksekutif yang sebelumnya menjadi wilayah asing bagi mereka. Golkar yang merupakan partai pemerintah dan sejak awal didominasi oleh kelompok abangan dan non-muslim mulai banyak diwarnai oleh kelompok Islam. 3 Hal ini menyebabkan Negara tidak bisa lagi memperlakukan umat Islam seperti masa-masa sebelumnya yang selalu diintimidasi dan dicurigai atas alasan stabilitas Negara. Pada tataran kebijakan pemerintah Orde Baru mengeluarkan keputusan maupun peraturan yang mendukung terhadap keinginan umat Islam. Pada tahun 1988 disahkan undang-undang peradilan agama yang memberikan wewenang pada peradilan agama untuk menangani masalah pernikahan dan warisan. Kemudian pada tahun 1989 diumumkan undang-undang pendidikan nasional yang memasukan mata pelajaran agama dalam kurikulum sekolah negeri. Pada tahun 1990 terbentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia ICMI, kebijakan ini dikeluarkan pemerintah menyangkut kebebasan siswa untuk memakai busana 2 Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, 2000, h. 251 3 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, Agustus 1992, h. 158 pakaian muslimah jilbab pada tahun 1991. Lembaga pendidikan umum memasukkan pendidikan agama dan memasukan kurikulum umum di sekolah- sekolah agama. Hal ini terlebih dulu telah di awali oleh K.H. A. Wahid Hasyim pada zaman kabinet Natsir tahun 1950-1951 dikeluarkan melalui peraturan No. 31950. Dalam hal ini, terbentuknya ICMI merupakan hal yang bisa menghapus kesan negative yang ditunjukan pada umat Islam sebagai kelompok ekstrim kanan. Kehadiran ICMI menjadi awal dari kebangkitan nilai-nilai keagamaan di berbagai lapisan masyarakat baik di kalangan elit Orde Baru maupun di kalangan militer. Sikap akomodatif pemerintah terhadap aspirasi umat Islam adalah penghapusan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah SDSB pada tahun 1993. 4 Dalam bidang ekonomi, pemerintah menetapkan badan amil zakat, infak, dan sedekah sebagai lembaga pengumpul dan pendirian Bank Muamalat Indonesia BMI, sebuah lembaga keuangan yang dijalankan sesuai dengan syariat Islam. Perubahan ini menunjukan sebuah respon Negara terhadap perkembangan umat Islam yang telah tumbuh dari proses panjang yang dijalani oleh umat Islam. ini yang menjadi salah satu dari proses yang melahirkan perubahan dalam diri umat Islam Indonesia yang berkenaan dalam pendidikan. John L. Esposito dalam bukunya “Islam dan Politik” mengatakan, lembaga pendidikan yang ditempuh oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi pencerahan pemikiran dalam memahami berbagai persoalan, termasuk masalah Negara dengan agama. Dalam hal ini pemikiran politik Islam yang berkembang kuat sejak awal adalah bahwa persoalan agama dan Negara merupakan realitas tunggal, keduanya 4 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, h. 236 memiliki hubungan yang menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di muka bumi. Tahun 1990 adalah awal tahun terjadinya sejarah baru bagi umat Islam Indonesia yaitu kedekatan umat Islam dengan Negara dan merupakan peristiwa yang luar biasa di tengah keadaan pandangan politik yang cenderung memojokan Islam. kedekatan ini menimbulkan pandangan analisa dari berbagai institusi dan kalangan. Dari beberapa pandangan yang optimis dan pesimis yang menelaah perubahan tersebut. Pertama, mereka yang menilai kedekatan tersebut lebih disebabkan oleh factor proses yang alami yang melahirkan generasi muda muslim yang lebih berwawasan luas dan lebih bersikap terbuka yang pada akhirnya Negara bisa mengakomodir untuk menempatkan posisi strategis di dalam lembaga eksekutif. Pandangan optimis ini tidak lepas dari pandangan yang melihat bahwa kedekatan tersebut merupakan kelanjutan dari proses pembaruan pemikiran Islam yang telah dibangun sejak awal. Pembaruan pemikiran yang dikembangkan oleh para cendikiawan muslim modernis yang lebih menekankan aspek cultural telah menghilangkan kecurigaan pemerintah terhadap umat Islam yang diidentikan dengan gerakan kelompok radikal. Di samping itu, kepiawaian sikap berpolitik umat Islam dalam menyesuaikan diri dengan keadaan politik pemerintah. umat Islam berhasil membaca kesempatan yang ditawarkan oleh pemerintah untuk aktip masuk di lembaga pemerintahan pusat kekuasaan. Kedua, datang dari kalangan pesimis yang menilai kedekatan tersebut sebagai sebuah rekayasa pemerintah untuk kepentingan mempertahankan kekuasaannya. Hal ini didasarkan pada pandangan seperti, kepentingan penguasa pada saat itu untuk melebarkan kekuasaannya, simbol-simbol Islam yang dipakai oleh pemerintah hanya strategi untuk mendapat dukungan politik dari umat Islam sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat hegemoni kekuasaannya. 5 Karena rapuhnya kekuasaan Soeharto, yang disebabkan berkurangnya dukungan militer terhadap kepemimpinannya. Oleh sebab itu, Soeharto memerlukan kekuatan baru untuk memperkuat dan mempertahankan kekuatan system politiknya dan umat Islam yang mayoritas di Indoensia menjadi pilihannya. Dukungan dari umat Islam ini menjadi penting bagi Soeharto, karena ia mulai mengalami krisis dukungan. Dalam sejarahnya, Negara di bawah pimpinan Soeharto pada akhir 1980-an sedang berada dalam kebangkrutan yang disebabkan karena berkurangnya dukungan dari institusi militer yang pada waktu itu menjadi pendukung utama Soeharto. Hal ini karena L.B. Moerdiani yang selama ini menjadi pengaruh besar dan memegang kendali militer melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan Soeharto. Hal ini ditandai pada saat Sidang Umum MPR 1988 dimana dukungan terhadap pencalonan yang mendahului terhadap calon yang akan diajukan dan disetujui Soeharto, menjadi salah satu bukti dari adanya kerenggangan antara Soeharto degan militer. Kedua alasan optimis dan pesimis tersebut merupakan dua hal yang saling terintegrasi dan tidak bisa terpisahkan. Karena kedua factor tersebut merupakan hal yang saling mendukung yang memotivasi bagi munculnya kedekatan antara umat Islam dengan pemerintahan Soeharto. perubahan hubungan dalam perkembangannya yang terjadi di dalam umat Islam disambut dan berjalan 5 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, Agustus 1999, hlm. 194. Baca juga I. Chalmers, “Introduction to this issue”, Prisma, No. 49, 19900, h. 3 seirama dengan kepentingan pemerintahan Soeharto untuk mendapatkan dukungan dari kalangan Islam. hal ini dikarenakan umat Islam telah tumbuh pemikiran yang lebih terbuka dan pemerintah meresponnya.

B. Bergesernya Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an