Profil Pulau Madura PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA

37 Utara : Laut Jawa • Sebelah Selatan : Selat Madura • Sebelah Barat : Kabupaten Bangkalan. • Sebelah Timur : Kabupaten Pamekasan. 4 Untuk menyesuaikan penelitian ini maka peneliti mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Pengarengan Kabupaten Sampang Madura. Masyarakat Pengarengan merupakan sekelompok masyarakat yang memegang teguh prinsip hukum-hukum Islam dan norma hukum adat-istiadat a. Kondisi Penduduk dan Jenis Pekerjaan Atau Mata Pencaharian Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang luas wilayah Kecamatan Pengarengan adalah dengan luas hanya 42,7 Km2 atau 3,46 dari luas Sampang yang berbatasan dengan Kecamatan Torjun disebelah Utara, sebelah Timur Kecamatan Sampang, sebelah Selatan Selat Madura dan sebelah Barat Kecamatan Jrengik. Sedangkan jumlah penduduk menurut badan pusat statistik Sampang 2010 bisa dilihat pada tabel dibawah ini sebagai berikut. Tabel. 1 Jumlah Penduduk Kecamatan Pangarengan Kabupaten Sampang No kecamatan Jumlah penduduk menurut jenis kelamin Laki-laki Perempuan 1 Pangarengan 10.350 10.752 Jumlah Penduduk 21102 4 Wikipidea Ensiklopedia Bebas, “Kabupaten Sampang” artikel diakses 19 juni 2011 dari http:id.wikipedia.orgwikiKabupaten Sampang 38 Dari tabel di atas dapat di simpulkan Sex ratio Kecamatan Pangarengan adalah jumlah penduduk perempuan lebih besar daripada jumlah penduduk laki-laki sebesar 402 orang lebih banyak perempuan. 5 Sedangkan jenis pekerjaan atau mata pencaharian Kecamatan Pangarengan terdiri dari pertanian, perternakan, perikanann, perdagangan, angkutan, industry, penggalian, pertukangan dan jasa. melihat dari kondisi masyarakat Pengarengan secara agraris mereka mengandalkan sawah dan tambak sebagai mata pencahariannya meskipun tanahnya tandus dan sulit untuk ditanami. Adapun masyarakat yang bertani itu masih mengandalkan air hujan sebagai salah satu faktor yang membuat tanamannya hidup. Sedangkan tambak digunakan sebagai produksi garam di musim kemarau dan memasang ikan pada waktu musim penghujan. Suasana kemarau sinar matahari di desa Pengarengan sangat panas karena pohon-pohon sulit untuk tumbuh besar dan bertahan lama.. b. Kondisi Sosial Keagamaan Desa Pangarengan dengan jumlah penduduk sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat dikategorikan sebagai desa yang agamis. Hal ini terlihat dari data yang telah diperoleh, bahwa sekitar 41,44 dan tidak ditemukan agama lain selain agama Islam. 5 Djukdjuk widhilaksana, “hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang ” Artikel diakses pada 19 juni 2011 dari web http:docs.google.com 39 sosial masyarakat Desa Pangarengan, seperti yang terlihat dalam cara mereka berpakaian dan berinteraksi. Agama dianggap hal yang suci atau sakral yang harus dibela dan merupakan pedoman hidup bagi manusia. Mereka menganggap, kiyai merupakan sosok seseorang yang harus dihormati setelah orangtua. Di Desa Pangarengan, fanatisme terhadap kiyai sebagai orang lebih memahami agama daripada orang biasa, sehingga hal itu menjadi simbol- simbol yang digunakan untuk menaikkan status sosial seseorang. Seorang kiai keyae biasanya dianggap memiliki kelebihan magis spiritual dan sangat dekat dengan Tuhan karena ketakwaan dan ketaatannya dalam menjalankan ibadah. Peranan dan fungsi kiai keyae, selain sebagai pembina umat atau disebut juga sebagai penerus para nabi, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada para santri dalam suatu lembaga pondok pesantren. Peran Kiai keyae adalah pemimpin informal di desa ini, semua masalah keluarga dan masyarakat yang sulit dipecahkan diserahkan padanya untuk diselesaikan. 6 c. Kondisi Pendidikan Kesadaran masyarakat Pengarengan tentang pentingnya arti sebuah pendidikan semakin bertambah dari waktu ke waktu. pendidikan orang- orangtua dahulu tidak sekomplit sekarang, sebab itu pentingnya pendidikan untuk masa depan anak mereka agar mengenyam pendidikan lebih tinggi. 6 Abdur Rozaki, “Peran Kiyai”, artikel diakses pada 19 juni 2011 pada web http:rukib.wordpress.com 40 Bertambahnya sektor pendidikan di desa masyarakat dewasa ini, menandakan tingkat pendidikan formal yang ada dan ditempuh oleh masyarakat Desa Pangarengan semakin berkembang, mulai dari tingkat pendidikan TamanKanak-kanak TKTaman Pendidikan al- Qur’an, Sekolah Dasar SDMadrasah diniyahIbtidaiyah MI, Madrasah Tsanawiyah MTS, dan Madrasah Aliyah MA. Bagi keluarga yang menginkan anaknya mengerti tentang agama Islam maka mereka mewakilkan pada lembaga pendidikan non formal seperti memondokkan di pesantren, yang berada diluar Desa Pengarengan. Sedangkan bagi mereka yang hanya menempuh pendidikan seperti ngaji dimushalla secara non formal dengan cara nyolok 7 menganggap lebih bisa mengawasi keberadaan anaknya dan juga bisa membentu orangtuanya sewaktuwaktu.

B. Sistem perkawinan dan Adat istiadat

1. Sistem kekerabatan

Dalam antropologi istilah “kekerabatan” sering dipergunakan dalam arti kerabat dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan. Kerabat merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah 7 Nyolok adalah istilah yang digunakan untuk santri yang belajar dan mengikuti kegiatan di pondok pesantren atau dimushalla namun tidak menetap mukim di asrama pondok pesantren tersebut pulang-pergi 41 affinity. Dengan demikian, orang tua dengan anak adalah kerabat sedangkan suami dan istri adalah affines. 8 Sistem kekerabatan suku Madura adalah parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ayah dan perempuan ibu. Sekalipun orang-orang madura menganut prinsip kekerabatan. bilateralparental tiap individu dalam masyarakat termasuk kerabat kedua orang-tuanya, tetapi pada umumnya di Madura sepasang suami isteri setelah kawin hidup berkumpul di lingkungan kerabat isteri uxorilokal. Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat, yaitu taretan dalem kerabat inti atau batih, taretan semma’ kerabat dekat, dan taretan jauh kerabat jauh. Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar orang luar atau bukan saudara. 9 Keluarga batih atau keluarga inti orang-orang Madura adalah terdiri dari sepasang suami-isteri beserta dengan anak-anaknya, yang belum kawin. Dalam keluarga batih orang Madura, suami adalah pemimpin dan penanggung jawabnya. Sedangkan isteri adalah yang mengendalikan, memelihara merawat rumah tangga serta anak-anaknya. Taretan semma kerabat dekat orang-orang Madura terdiri dari ayah dan putra, saudara laki-laki dan saudara perempuan, kakek dan nenek, paman dan bibi keponakan laki-laki dan keponakan 8 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1983, cet- 2, h.42. 9 Latif wiyata, “modal rekonsiliasi orang madura”artikel diakses pada 18 april 2011 dari http:kabarmadura07.blogspot.com200807modal-rekonsiliasi-orang-madura.html 42 perempuan. Dan yang dimaksud taretan jauh kerabat jauh adalah terdiri dari sepupu laki-laki dan sepupu perempuan, termasuk kerabat dari hubungan perkawinan seperti ipar dan lain-lain. 10

2. Sistem Perkawinan

Menurut paham ilmu bangsa-bangsa ethnologi dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon isteri bagi setiap pria, maka perkawinan dapat berlaku dengan sistim endogamy harus kawin satu suku dan sistim exogamy harus kawin dengan kerabat luar atau beda suku yang kebanyakan dianut oleh masyarakat adat bertali darah, dan dengan sistim eleutherogami terserah mau nikah dengan dalam atau luar suku sebagaimana yang berlaku pada kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum islam. 11 Sehingga sistem perkawinan yang dianut adat madura adalah eleutherogami karena masyarakat madura yang mayoritas beragama islam. Dan dalam melakukan sesuatu harus berlandaskan ajaran islam, walaupun dalam kebiasaannya masih endogamy, yaitu harus sesama orang madura. Agar mudah dalam berkomunikasi dan tahu adat.

3. Sopan Santun Pergaulan

Di samping agama Islam, orang Madura sangat mengutamakan adat. Lebih-lebih dalam adat pergaulan, bahwa yang muda wajib hormat dengan 10 Helene Bouvier, Seni Musik Dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2002, Perpustakaan Nasional h. 364 11 Hilman hadikusuma, hukum perkawinan adat, Bandung, PT Citra Aditiya Bakti,1990, cet 4, h. 68