ATURAN ADAT TENTANG PERKAWINAN SALEP TARJHA

56 adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara kandung yang kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 dua orang saudara kandung juga. Kisah perkawinan Salep Tarjha ini mengingatkan penulis tentang cerita kisah anak nabi adam yaitu Qabil dan Habil. Menurut aturan hukum perkawinan yang berlaku kala itu, Qabil boleh mengawini Labuda, dan Habil harus kawin dengan Iqlima. Dan perkawinan itu harus disilang, antara yang lahir kembar terdahulu dengan yang lahir kembar sesudahnya, asal jangan dengan yang sama-sama lahir atau kembarannya. Namun karena di mata Qabil, wajah Labuda tidak secantik Iqlima, ia menolak aturan itu. Sehingga terjadilah peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi di muka bumi.

2. Pendapat Yang Melarang Salep Tarjha

Pada dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salep Tarjha berkaitan erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos 4 yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya, berupa: rezekinya akan sulit, sakit-sakitan ke’sakean atau bahkan meninggal dunia. Kenyataan ini kami pahami dari hasil wawancara yang dilakukan dengan sejumlah sesepuh Madura, dimana para sesepuh ini membenarkan hal tersebut, disamping juga menjelaskan bahwa adanya 4 Mitos adalah semacam tahayyul sebagai akibat ketidaktahuan manusia, tetapi bawah sadarnya memberitahukan tentang adanya sesuatu kekuatan yang menguasai dirinya. 57 keyakinan masyarakat tentang mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari ajaran dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka terima secara turun temurun. 5 Salah seorang sesepuh Madura yang bernama Halimatussya’diyeh mengatakan Sesungguhnya Salep Tarjha itu dilarang karena biasanya orang yang melakukan perkawinan Salep Tarjha itu ada yang kalah salah satu dari kedua pasangan tersebut, bisa salah satunya meninggal atau rezekinya melaratsulit, dan Halimatussya’diyeh tidak tahu kepastiannya karena ini cuma kata orang-orang dulu nenek moyang. Tapi, menurutnya apa yang dikatakan orang-orang dulu itu benar. 6 Dari pemaparan dan penjelasan tentang mitos-mitos Salep Tarjha di atas, dapat dipahami bahwa mitos itu adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Dalam perkawinan Salep Tarjha ini, adanya mitos-mitos yang diyakini oleh masyarakat terkait dengan perkawinan tersebut, pada dasarnya telah memberikan pedoman dan petunjuk kepada masyarakat untuk melarang keluarganya melakukan perkawinan Salep Tarjha karena kekhawatiran atau ketakutan mereka akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap mitos-mitos yang telah diyakini secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Dan diantara fungsi mitos itu adalah 5 Nurima, Rohimah, Ummi Kultsum, maulana, embah endu, Rifa’I, Halimatussya’diyeh, wawancara terpisah, Jakarta, 12-15 mei 2011 6 Halimatussya’diyeh, wawancara pribadi, Jakarta 12 mei 2011 58 menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib yang mempengaruhi dan menguasai manusia. Adanya kekhawatiran dan ketakutan masyarakat akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap mitos-mitos Salep Tarjha tersebut, merupakan bentuk kesadaran masyarakat akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib yang mempengaruhi dan menguasai mereka. 7

3. Pendapat Yang Membolehkan Salep Tarjha

Kebudayaan sebagai suatu hasil kegiatan dan penciptaan batin akal budi manusia, selalu menarik untuk dikaji dan dipelajari. Dalam hal ini, dilarangnya perkawinan Salep Tarjha berdasarkan ketentuan adat istiadat masyarakat Madura, sangat menarik untuk dikaji dan ditelusuri berdasarkan pandangan dan pemahaman para tokoh agama menjadi penting untuk diwawancarai kerena mereka merupakan representasi masyarakat yang selalu menjadi panutan dan rujukan masyarakat Madura. Setelah dilakukan penelusuran melalui wawancara dengan para tokoh agama setempat, dapatlah dipahami bahwa pada dasarnya model perkawinan Salep Tarjha menurut mereka boleh-boleh saja karena di dalam al- Qur’an dan al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik tidak didapatkan satupun adanya larangan terhadap model perkawinan Salep Tarjha tersebut. 7 C.A. van Peursen, “Cultuur in Stroomversnelling - een geheel bewerkte uitgave van Strategie Van De Cultuur”, diterjemahkan Dick Hartoko, Strategi Kebudayaan Cet. IV; Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993, hal. 37. 59 Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh salah seorang tokoh agama Pangarengan Sampang Madura, yaitu KH. Zainal Abidin. Pada waktu peneliti mewawancarainya di sela-sela kesibukan aktifitas beliau yang sedang melakukan perjalanan wali songo di Jakarta yang mengatakan Istilah Salep Tarjha itu hanyalah ucapan para sesepuh yang tidak perlu dipercayai karena tidak ada sama sekali pembahasannya di dalam kitab-kitab fiqh, dalam Islam larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan telah diatur dalam surah annisa ayat 23. dan model perkawinan seperti salep tarjha ini di bolehkan. Oleh karena itu, para ulama, para alim, para kiai keyae di Madura banyak yang melakukan perkawinan Salep Tarjha ini dalam rangka memberikan contoh dan membuktikan kepada masyarakat bahwa mitos itu tidak boleh dipercayai, sebab apabila percaya terhadap mitos-mitos seperti mitos Salep Tarjha tersebut, rezekinya melaratsulit, cepat meninggal dunia dan lain sebagainya, maka hal ini bisa merusak terhadap aqidah. 8 Demikianlah pandangan dan penjelasan para tokoh agama yang berkaitan dengan perkawinan Salep Tarjha, dimana keseluruhan dari tokoh agama yang menjadi informan dalam penelitian ini sepakat bahwa pada dasarnya istilah Salep Tarjha itu secara normatif boleh-boleh saja karena tidak ada satupun ketentuan hukum baik dari al- Qur’an, al-Hadits, kitab-kitab fiqh maupun pendapat para ulama yang melarang seseorang untuk melakukan perkawinan 8 KH. Zainal Abidin, wawancara pribadi, jakarta 15 mei 2011. 60 dengan model Salep Tarjha. Oleh karena itu, kepercayaan terhadap mitos- mitos yang berkenaan dengan hal tersebut tidak dibenarkan menurut ketentuan agama Islam dan dapat merusak aqidah.

B. PRAKTIK PERKAWINAN SALEP TARJHA

Penjelasan mengenai Salep Tarjha telah diterangkan dengan jelas di atas. Bahwa perkawinan Salep Tarjha, itu perkawinan yang dibenarkan menurut hukum Islam dan dilarang oleh adat madura. Walaupun sudah dibenarkan oleh hukum Islam akan tetapi masih banyak yang menghindari dan percaya akan musibah yang ditimbulkan oleh perkawinan Salep Tarjha. Berdasarkan pengetahuan penulis dari beberapa kasus yang ada, serta ditambah dengan keterangan dari para informan, praktik perkawinan Salep Tarjha dapat dikisahkan sebagai berikut Kasus pertama ialah perkawinan Mad dei dengan Salma dan adiknya Ma de’i menikah dengan kakaknya Salma. Keterangan ini penulis dapatkan dari sepupu M ad’dei yang menjelaskan bahwa perkawinan mereka sempat dilarang oleh orang tua dan embahnya dikarenakan adiknya telah menikah dengan kakaknya Salma sehingga perkawinan tersebut Salep Tarjha. Walaupun tidak direstui oleh orang tua dikarenakan sudah saling mencintai mereka tetap melangsungkan perkawinan. Beberapa bulan kemudian tersiar kabar kehidupan Mad de’i dan Salma melarat dan isterinya sakit-sakitan. 9 9 Muhammad kholid, wawancara pribadi, Jakarta, 5 mei 2011. 61 Kasus kedua penulis mendapatkan informasi dari pak Sarip salah seorang orang tua pelaku pelanggar perkawinan Salep Tarjha, beliau menjelaskan keadaan anaknya yang mendapatkan rizki yang cukup, dan waktu pertama kali menikah anaknya sempat sakit-sakitan agak lama, kalau menurut orang Madura sakit anaknya itu disebabkan Salep Tarjha, akan tetapi pak Sarip tidak percaya sama sekali akan adanya salep tarjha, ia hanya memasrahkan diri pada yang maha kuasa Allah SWT dan selalu berdoa agar anaknya diberi kesembuhan. Sebab pak Sarip mempunyai keyakinan bahwa kalau memang sudah waktunya sakit, ya tetap sakit, kalau sudah waktunya mati, ya tetap mati, siapapun itu, sebab yang menentukan hal tersebut adalah tuhan. Sekarang anaknya sudah sehat dan bisa pergi naek haji. 10 Kasus ketiga penulis langsung mendapatkan informasi dari pelaku Salep Tarjha itu sendiri yaitu oleh Hasan, salah seorang pelaku perkawinan Salep Tarjha . Hasan tidak percaya sama sekali dengan perkawinan Salep Tarjha, walupun Hasan menikahi saudara ipar adiknya yang kata orang-orang disebut salep tarjha, keadaan Hasan hingga saat ini tidak apa-apa dan tidak ada masalah dalam kesehatan maupun rizkinya, karena menurutnya semua hal di dunia ini sudah diatur oleh yang maha kuasa Allah SWT. 11 Menurut hemat penulis praktik perkawinan Salep Tarjha dari tiga kasus yang telah dijelaskan diatas dapat menghapus mitos Salep Tarjha yang 10 Sarip, wawancara pribadi, Jakarta 5 mei 2011 11 Hasan, wawancara pribadi, Jakarta, 6 mei 2011 62 berkembang di masyarakat Madura karena dampak negatif Salep Tarjha tidak terbukti benar. Dari ketiga kasus diatas terdapat penerimaan dan penolakan dalam adat dan tradisi lama. Penerimaan tradisi lama dilakukan dengan mempercayai dampak negatif dari perkawinan salep tarjha. Sedangkan penolakan tradisi lama ditandai dengan tidak percaya akan dampak negatif salep tarjha. Penerimaan tradisi lama disebabkan kurangnya pengetahuan agama maupun umum serta kuatnya adat Madura dalam mematuhi sesepuhnya. Sedangkan penolakan akan tardisi lama disebabkan mengikuti berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan.

C. Analisis Penulis

Skripsi yang diteliti oleh penulis yaitu perkawinan Salep Tarjha pada adat Madura ditinjau dari hukum Islam. Penulis menekankan pada deskripsi dan interpretasi perilaku budaya. Dalam mengumpulkan data menggunakan pendekatan partisipasi terlibat, hidup bersama dengan kelompok yang diteliti dalam waktu yang relatif lama. Masyarakat Madura di satu sisi merupakan masyarakat yang agamis dengan menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin dalam ungkapan “Abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah” 12 , yang menggambarkan bahwa orang Madura itu berjiwa Agama Islam. 12 Abhantal syahadat, asapo iman, apajung Allah adalah ungkapan dalam bahasa Madura yang memiliki arti berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. Ungkapan ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sudah mendarah daging dalam masyarakat