Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan

15 ا ع ع قع ا 7 Artinya: “Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia ”. d. Menurut ulama Hanabilah nikah adalah: ع سإا عف ع إ ظف قع ا 8 Artinya: “Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang ”. Dari beberapa pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan yang semula dilarang yakni bersenggama. Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat pemikiran manusia, pengertian nikah perkawinan telah memasukkan unsur lain yang berhubungan dengan nikah maupun yang timbul akibat dari adanya perkawinan tersebut. Definisi-definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagai mana terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut diatas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya yang disebutkan Ahmad Ghandur dalam bukunya 7 Ibid., h. 3 8 Ibid., h. 4 16 Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fi Al- Tasyri’ Al-Islamiy: س إا ع ّ ا ض ق قق ا ا ع ا ف قع ع ا ع ا ص ق ق ق Artinya: “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban ”. 9 Sedangkan menurut Sajuti Thalib perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia. 10 Adapun pengertian yang dikemukakan dalam Undang-undang Perkawinan UU no. 1 tahun 1974, adalah: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. ” 11 Bunyi pasal 1 UU Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan Undang-undang 9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2007, cet ke-2, h. 39. 10 Muhammad Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam,Jakarta: IND-HILL-CO, 1990, h. 1. 11 Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 1. 17 tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, di mana pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

3. Dasar Hukum Perkawinan

Pernikahan atau perkawinan itu pada dasarnya adalah suci dan mulia, ia mengandung manfaat yang banyak dalam kehidupan ini baik untuk dunia maupun untuk hari akherat kelak. 12 Dasar hukum perkawinan banyak disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah rasulullah, diantaranya adalah firman allah dalam surat ar-rum ayat 21 yang berbunyi: ف إ ع إ ا س ا سف ق خ اء ك ا ف ق Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ”. Dan dari hadits Rasulullah yang menyebutkan : ق عس ا ع ع : ا س ق ع ّ سا ا ع إف ف ء ا إف ص عف عّ س ف ص ص ّغ 12 Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993 h. 26 18 ء ع قف 13 Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw kepada kami: Hai para pemuda, siapa diantara kamu yang mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa sebab puasa itu menjadi penjaga baginya. Muttafaq Alaih ”. hukum asal nikah itu sendiri adalah : ا قف ا ف : إ 14 Artinya: “adapun hukum nikah itu adalah, para ahli ulama berkata: hukum nikah itu adalah sunnah hukumnya. Perkawinan merupakan kebutuhan alami manusia. Tingkat kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu untuk menegakkan kehidupan berkeluarga berbeda-beda, baik dalam hal kebutuhan biologis gairah seks maupun biaya dan bekal yang berupa materi. Dari tingkat kebutuhan yang bermacam-macam ini, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan dengan beberapa kategori. Yaitu yang biasa disebut dengan ahkamul khamsah, hukum yang lima macam: wajib sunnah, jaiz, makruh, dan haram bisa diterapkan kepada seseorang tertentu secara kondisional dalam kaitan melaksanakan nikahnya. 15 13 Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,Terjemah A. HassanBandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2002, h. 431 14 Imam Qadhi Al Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Fi Nihayatul Muqtasid, Semarang: Kuryata Futara, juz 2 h. 2 15 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1995, h. 27 19 jadi hukum perkawinan dengan melihat keadaan orang-orang tertentu sebagai berikut: Wajib : menikah wajib hukumnya bagi orang-orang yang sanggup memberi nafkah lahir dan batin dan khawatir akan melakukan perzinahan. a. Mandub : menikah mandub sunnah hukumnya bagi orang-orang yang menginginkan keturunan tapi tidak pernah khawatir akan berbuat zina jika tidak menikah, baik orang yang bersangkutan menginginkan atau tidak menginginkannya, walaupun pernikahan dapat membuatnya meninggalkan ibadah-ibadah yang tidak wajib. b. Makruh : menikah makruh hukumnya bagi orang-orang yang tidak ingin menikah serta tidak menginginkan keturunan, dan jika orang yang bersangkutan menikah, ternyata pernikahan membuatnya meninggalkan ibadah-ibadah yang tidak wajib. c. Mubah : menikah mubah hukumnya bagi orang-orang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau tidak khawatir akan berbuat zina dan jika orang yang bersangkutan menikah, tidak membuatnya berhenti melakukan ibadah yang tidak wajib. d. Haram : menikah haram hukumnya bagi orang-orang yang mendatangkan bahaya bagi isterinya, atau jika menikah ia justru akan memberikan nafkah lewat jalan haram. 16 16 Syekh Imam Abu Muhammad, Qurratul „Uyun Kitab Seks Islam, Penerjemah Fuad Syaifuddin Nur, Jakarta: Bismika, 2009, h. 12 20

B. SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN

Perkawinan dalam islam memiliki lima unsur yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun itu dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum ini dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban. 17 Dalam upacara pernikahan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi dan sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakikat pernikahan, misalnya syarat saksi harus laki-laki, dewasa, baligh, dan sebagainya. 18 Dengan demikian rukun perkawinan supaya perkawinan tersebut dapat dilangsungkan harus ada lima unsur dan setiap rukun harus disertai oleh syaratnya yang meliputi:

1. Akad Nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah 17 Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, Tanggerang: Cv Pamulang, 2005, h. 4 18 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, Yogyakarta, Darussalam, 2004, h. 50. 21 penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. 19 syarat-syarat sahnya akad adalah sebagai berikut: a. Kedua belah pihak yang mengadakan akad harus mumayyiz. b. Ijab dan kabul dilaksanakan di satu tempat dan waktu. 20 c. Akad biasanya harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki. 21 d. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang di sebutkan e. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. f. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk selamanya g. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang UU perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan, namun KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 27, 28, dan 29. 19 Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang- Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 20007, cet ke-2, h.61. 20 Mahmud ash-shabbagh, Keluarga Bahagia Dalam Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Zaenal Muhtadin, Yogyakarta: cv. Pustaka mantiq, 1993, cet 5, h.75-76 21 Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang- Undang Perkawinan, h. 62 22

2. Laki-Laki Dan Perempuan Yang Kawin

Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang tersebut dalam Al-Quran. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut: 22 a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya. b. Keduanya sama-sama beragama Islam. c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan. Seperti larangan karena hubungan nasab, musaharah dan persusuan. d. Kedua belah pihak setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya. e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.

3. Wali

Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu pernikahan. Menurut Maliki dan Syafii, bahwa keberadaan wali termasuk salah satu rukun nikah. Maka jika perikahan tanpa dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah batal atau tidak sah. 22 Ibid., h. 64.