Perkawinan tarjha pada masyarakat kecamatan Pangarengan Kabupaten Sampang Madura ditinjau dari hukum islam

(1)

MADURA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

Skripsi

diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana syariah (SSY)

Oleh : Siti Rochmah NIM : 108044100060

PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PERKAWINAN SALEP TARJHA PADA MASYARAKAT MADURA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh SITI ROCHMAH

108044100060

Dibawah Bimbingan

(n-NIP. 19500306197603 1001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL AL.SYAKHSIYAII

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SAYARIF HIDAYATULLAH

JAKART

A


(3)

KECAMATAN

PANGARENGAN

KABUPATEN

SAMPANG

MADURA DITINJAU

DARI

HUKUM

ISLAM

telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidauatulah Jakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi

ini

telah diterima sebagai rututt satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada Program Studi peradilan Agama.

Jakarta, 17 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Panitia Ujian

1.

Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil. S.H. M.A

NIP. 1 95003061 97603 1001

Hj. Rosdiana. M.A

NrP. 1 9690 6102003122001

Drs. H. A. Basiq Djalil. S.H. M.A

NIP. 1 95003061 97603 1001

2.

Sekretaris

3.

Pembimbing

4.

Penguji

I

5.

Penguji II

DR. Moh. Ali Wafa. S.Ag. M.

Ag

(... NIP. 150321584

NIP. I 9550505 198203 1 012


(4)

i

Segala puji, dan syukur diucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang telah menuntut umatnya kejalan yang benar. Begitu juga salam sejahtera semoga senantiasa Allah curahkan kepada keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya hingga akhir zaman

Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang merupakan perjalanan kecil dari balik kehidupan, telah penulis telusuri dengan segala suka dan duka, bahagia bercampur haru mengiringi rasa syukur atas karunia ini tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati yang paling dalam.

Akhirnya penulis tersadarkan bahwa perjalanan skripsi ini telah memberikan perjalanan hidup yang akan melekat dalam sanubari, sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan, apabila kita hadapidengan penuh penghayatan dan keikhlasan, maka tidak akan menghasilkan kesia-siaan, dan seberat apapun pekerjaan bila kita nikmati sebagai tahapan pelajaran hidup yang harus kita lalu, maka tidak akan terasa sulit.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai


(5)

ii

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku ketua Program Study dan Pembimbing Skripsi. Kemudian Hj. Rosdiana, MA, selaku sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan yang banyak membantu penulis memfasiltasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Teristimewa kepada Ayahanda H. Yusuf Muzahdi dan ibunda Hj. Aisyah, serta seluruh skeluarga yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan kalian yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu sehingga penulis menyelesaikan belajar disini dengan selamat dan sempurna.


(6)

iii

penyelesaian skripsi ini. Dan teman-teman angkatan 2007/2008 jurusan Akhwalu Syakhsiyyah, terima kasih atas kebersamaan kalian dalam menemani penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada para pembaca. Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis akan mendapat imbalan dari Allah SWT. Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka perbaikan, dan kesempurnaan tulisan ini.

Kepada Allah SWT penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik yang telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin

Jakarta, 17 Juni 2011 Penulis


(7)

iv

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasl karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Srata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Juni 2011 Penulis


(8)

v

LEMBAR PERNYATAAN……….…...iv

DAFTAR ISI………..…..vi

BAB 1 PENDAHULUAN……….…1

A. Latar belakang masalah...1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...7

D. Metode Penelitian...7

E. Review Studi Terdahulu……….…9

F. Sistematika Penulisan...11

BAB ll PERKAWINAN DALAM ISLAM………13

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan………..13

B. Rukun dan Syarat Perkawinan...20

C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan...25

D. Wanita Yang Haram Dinikahi Dalam Islam...28

BAB lll PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA……… 35

A. Profil Pulau Madura...35

B. Sistem Perkawinan Dan Adat Istiadat...41


(9)

vi

A. Aturan Adat Tentang Perkawinan Salep Tarjha...54

B. Praktik Perkawinan Salep Tarjha...60

C. Analisa Penulis...62

BAB V PENUTUP………66

A. Kesimpulan...66

B. Saran...67

DAFTAR PUSTAKA………68 LAMPIRAN-LAMPIRAN………....72

1. Wawancara Dengan Sesepuh………..72

2. Wawancara Dengan Ulama……….73

3. Wawancara Dengan Pelaku Salep Tarjha………...……74

4. Surat Permohonan Wawancara……….………..75

5. Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi………….….76


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan manusia hanya dua jenis yaitu perempuan dan lelaki untuk dijadikan pasangan, seperti manusia pertama yang diciptakan Allah yaitu Adam dan Hawa. Sehingga dari cikal bakal inilah terbentuk istilah perkawinan yang mana diceritakan bahwa adam menikahkan secara silang antara anak-anaknya yaitu sesama saudara kembar tidak boleh menikah.1 Allah SWT menerapkan aturan-aturan tertentu dan melarang hal-hal tertentu pula, karena justru dengan aturan-aturan dan batasan-batasan tertentu inilah manusia menjadi makhluk yang mulia dari makhluk yang lain.

Dalam masalah perkawinan misalnya untuk memilih pasangan hidupnya manusia haruslah melalui suatu ikatan (aqad). Perjanjian atau akad ini merupakan cerminan kerelaan antara kedua pasangan serta pihak keluarga sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat. Hal ini sangat penting bagi manusia itu sendiri agar dapat menjaga kemuliaan dan kefitrahannya.2

Mengingat betapa besar dan pentingnya arti sebuah perkawinan tidaklah mengherankan jika berbagai macam aturan muncul demi menjaga tujuan dan

1

Sufiz, “Kumpulan Kisah Teladan Para Sufi”, artikel diakses pada 20 desember 2010 dari web www.sufiz.com.

2


(11)

eksitensi perkawinan tersebut, baik aturan agama, perundang-undangan Negara, bahkan aturan adat juga mengatur masalah perkawinan ini sedemikin rupa. Terlepas dari permasalahan apakah perundang-undangan atau aturan adat itu bersumber dari hukum agama atau tidak, namun yang jelas ketiga hukum ini sangat berperan penting dalam mengatur masyarakat.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, heterogenitas suku, budaya, agama, dan adat istiadat sangat mempengaruhi dalam pelaksanaan hukum masyarakat itu sendiri. Keanekaragaman hukum ini akan sangat lebih terasa jika hukum tersebut berkaitan langsung dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip keluarga (hukum keluarga), terutama dalam masalah perkawinan.

Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.3

Dalam aturan adat ataupun aturan agama dijelaskan bahwa dalam masalah perkawinan, seseorang itu dilarang menikah dengan orang-orang tertentu dan

3

Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Pt Gunung Agung, 1982), cet-4, h.13.


(12)

anjuran menikah dengan orang tertentu pula. Larangan ini disebabkan karena adanya hubungan tertentu antara seseorang dengan yang lainnya. Walaupun antara kedua hukum ini memiliki dasar pertimbangan yang berbeda, namun baik dalam agama ataupun istiadat, memperoleh keturunan serta menjaga hubungan kekerabatan merupakan salah satu tujuan penting dari suatu perkawinan.4

Hidup dalam masyarakat juga memiliki berbagai aturan yang berkaitan dengan masalah perkawinan, ada aturan adat yang lebih mengutamakan perkawinan dengan kerabat ada juga yang yang tidak boleh kawin kecuali dengan seseorang di luar klan atau sukunya. keunikan-keunikan aturan ini tidak lain adalah demi untuk menjaga prinsip-prinsip adat yang lainnya.

Kendati berbagai macam aturan tentang masalah perkawinan ini telah ditetapkan adat, namun dalam masyarakat tetap saja ditemukan berbagai bentuk pelanggaran terhadap aturan tersebut. Permasalahan ini dapat terjadi bukan hanya karena kurangnya kesadaran masyarakat mengenai fungsi dari larangan adat ini, akan tetapi juga karena keterkaitan mengenai relevansi aturan adat itu sendiri dengan pemahaman serta pola fikir masyarakat yang semakin maju. Perubahan serta perkembangan pola pikir ini akan dapat menyebabkan adanya interpretasi baru mengenai relevansi aturan adat tersebut dengan perubahan yang sedang terjadi didalam masyarakat.

4

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Jakarta: Pt Pradya Paramitha 1987), cet-2, h. 22.


(13)

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu bentuk aturan perkawinan dalam adat adalah bahwa seseorang itu dilarang melangsungkan perkawinan dengan kerabat. Contoh larangan adat seperti ini terdapat pada masyarakat Madura yang mana melarang pernikahan Salep Tarjha yakni pernikahan silang antara 2 (dua) orang bersaudara (sataretanan) putra-putri.5

Contoh : Ali dan Arin adalah dua orang bersaudara (kakak-adik) yang dinikahkan secara silang dengan Rina dan Rizal yang juga dua orang bersaudara (kakak-adik). Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa suatu perkawinan itu akan disebut sebagai perkawinan Salep Tarjha, apabila orang yang menikah tersebut adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara kandung yang kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 (dua) orang saudara kandung juga. Jadi, apabila modelnya tidak seperti ini, maka tidak disebut dengan perkawinan Salep Tarjha.

Pada dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salep Tarjha berkaitan erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Tentunya mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari ajaran dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun kepada keturunannya. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya.

5Myhidayah Weblog, “Perkawinan Salep Tarjha”, artikel diakses pada 24 desember 2010 dari


(14)

Perkawinan Salep Tarjha dalam Islam dibolehkan hal ini dapat dilihat dari surat An-Nisa ayat 23 tentang wanita yang haram dinikahi karena hubungan kerabat. Yang mana dijelaskan bahwa Diharamkan menikah karena ada hubungan darah, hubungan perkawinan dan hubungan persusuan6

Para ulama di Madura menggunakan ayat tersebut sebagai landasan bahwa pernikahan Salep Tarjha boleh dilakukan karna pernikahan antara saudara ipar tidak ada dalam surat An-Nisa ayat 23. menurut ulama Madura Perkawinan saleptarjha, secara normatif boleh-boleh saja dilakukan, karena di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik (kitab kuning) tidak didapatkan satupun adanya larangan terhadap model perkawinan Salep Tarjha

tersebut. Oleh karenanya, siapapun yang melakukan perkawinan model tersebut dibenarkan dan tidak dilarang

Dari ayat dan pendapat ulama di atas jelas bahwa hukum perkawinan

Salep Tarjha dalam Islam adalah boleh, oleh karena itu sehubungan dengan status hukum perkawinan ini terlihat ada pertentangan antara hukum Islam dengan ketentuan adat masyarakat Madura yang melarang perkawinan.

Untuk mengetahui permasalahan lebih dalam dan detail maka penulis berkeinginan untuk meneliti permasalahan ini dengan judul: Perkawinan Salep Tarjha Pada Masyarakat Madura Ditinjau Dari Hukum Islam.

6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,2007), h. 110-111.


(15)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini agar dapat dipahami secara mudah dan diharapkan nantinya dapat memberikan pemahaman yang mendalam penulis lebih menitik beratkan analisa masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan adat Madura, yaitu larangan melangsungkan perkawinan bagi mereka yang melakukan Salep Tarjha. Karena larangan dan segala permasalahan yang berhubungan dengan perkawinan menurut hukum Islam itu luas, maka penulis memberi batasan penyusunan skripsi ini adalah pada hal-hal yang hanya berkaitan dengan larangan perkawinan salep tarjha ditinjau dari segi hukum Islam.

2. Rumusan Masalah

Masalah dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara teori (das sollen) dengan praktek (das sein). Menurut Al-Quran, hadist, Fiqh, dan Peraturan Perundang-undangan tidak dilarang model perkawinan Salep Tarjha. Kenyataannya di lapangan pada masyarakat Madura itu di larang.

Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana aturan adat Madura Kecamatan Pangarengan terhadap

perkawinan salep tarjha?

b. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap perkawinan Salep Tarjha? c. Bagaimana implikasi perkawinan salep tarjha terhadap masyarakat


(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui aturan adat Madura Kecamatan Pangarengan tentang perkawinan Salep Tarjha.

b. Untuk mengetahui aturan hukum Islam mengenai perkawinan Salep Tarjha.

c. Untuk mengetahui implikasi perkawinan Salep Tarjha pada masyarakat Kecamatan Pangarengan Madura.

1. Manfaat Penelitian a. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan solusi dalam memecahkan permasalahan jika ada pertentangan antara adat dan hukum Islam. Sekaligus dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi masyarakat yang masih belum paham tentang kedua konsep hukum tersebut.

b. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai rujukan yang memiliki alasan ilmiah berkaitan dengan status hukum perkawinan tersebut dalam konteks perpaduan antara hukum Islam dan hukum adat. Sekaligus dapat menambah ilmu pengetahuan tentang adat yang beraneka ragam di Indonesia.


(17)

D. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian empiris atau sering juga disebut penelitian hukum non doctrinal merupakan penelitian yang bertolak pada data primer.7 Yakni data yang diperoleh langsung dari objek penelitian, seperti masyarakat sebagai sumber pertama dalam suatu penelitian. penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografis. Agus Salim dalam bukunya yang berjudul teori dan pradigma penelitian sosial mengatakan bahwa etnografis secara sederhana dapat diartikan sebagai gambaran sebuah kebudayaan yaitu sebuah gambaran kebudayaan dari sebuah masyarakat yang merupakan hasil konstruksi peneliti dari berbagai informasi yang diperolehnya selama melakukan penelitian di lapangan degan fokus permasalahan tertentu.8 2. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu dalam penelitian dimulai pada bulan desember 2010 sampai dengan selesai. Sedangkan lokasi penelitian ini adalah masyarakat Madura yang bertempat tinggal di Jakarta.

3. sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah sumber penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan

7

Yayan Sopyan, Metode Penelitian (Jakarta: 2009), h. 27.

8

Agus Salim, Teori Dan Pradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), cet-1, h. 152.


(18)

melalui keterangan dari sesepuh, tokoh agama, pelaku perkawinan salep tarjha itu sendiri dan orang-orang yang dianggap berkompeten dalam masalah perkawinan tersebut.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti jadi berasal dari data kedua, ketiga dan seterusnya. Berkaitan dengan hal ini maka data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa literatur-literatur ilmiah, dokumen-dokumen, maupun buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah melalui wawancara mendalam.Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penulis atau pewawancara dengan informan dengan menggunakan instrument pengumpulan data yang dinamakan interview guide (panduan wawancara)9

5. Teknik Penulisan

Adapun pedoman yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah buku pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum yang diterbitkan tahun 2007.

9


(19)

E. Review Studi Terdahulu

Dalam rangka perbandingan kajian skripsi yang penulis bahas dengan beberapa skripsi yang telah dibahas sebelumnya, maka penulis mengambil skripsi-skripsi yang memiliki kesamaan jenis masalah yang diteliti dari skripsi yang ada di perpustakaan fakultas Syariah dan perpustakaan umum. Dari kedua perpustakaan ini, penulis menemukan 3 skripsi yang dapat penulis dijadikan sebagai Review Studi Terdahulu. Skripsi-skripsi tersebut adalah sebagai berikut:

Skripsi yang berjudul Larangan Perkawinan Satu Suku Dalam Masyarakat Kampar Timur-Riau Dilihat Dari Hukum Islam, yang ditulis oleh Muhammad Nur. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa menurut adat Kampar perkawinan satu suku bagi orang yang masih dalam satu kenegrian atau satu adat tidak dibenarkan karena mereka ini saudara yang mempunyai ketunggalan leluhur. Perkawinan satu suku ini sangat tabu bagi masyarakat kampar bahkan dianggap dapat mendatangkan malapetaka bagi yang melakukannya. Larangan perkawinan tersebut juga dinilai masyarakat kampar sebagai perluasan dari larangan perkawinan dalam Islam.

Skripsi ini tidak jauh beda dengan yang ditulis oleh Muhammad Nur adalah skripsi Rahmat Hidayat yang berjudul Perkawinan Satu Suku Dalam Masyarakat Minangkabau Menurut Pandangan Hukum Islam (Studi Kasus Di Daerah Bamu Hampu). Disini dibahas tentang pelanggaran perkawinan satu suku didasarkan karena hubungan kekeluargaan, juga akan menimbulkan cacat


(20)

atau lemah keturunan, dan demi menjaga keharmonisan hubungan sosial, baik hubungan antar keluarga maupun dengan masyrakat yang ada di kampong Bamu Hampu. Perkawinan satu suku pada dasarnya boleh akan tetapi untuk menghindari kemudharatan yang muncul dari perkawinan satu suku yaitu menyebabkan lemahnya keturunan maka ada baiknya hal itu ditinggalkan.

Skripsi selanjutnya adalah Kajian Hukum Islam Tentang Perkawinan Endogamy Pada Masyarakat Kelurahan Kebon Dalem Cilegon Banten yang ditulis oleh Amarullah. Skripsi ini membahas tentang perkawinan dengan kerabat (endogamy) ala masyarakat Kelurahan Kebon Dalem.

Setelah melakukan tinjauan terhadap skripsi-skripsi diatas, maka penulis dapat menemukan perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan dengan skripsi yang penulis bahas sekarang. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Nur dan Rahmat Hidayat secara umum membahas larangan perkawinan satu suku sedangkan skripsi yang ditulis oleh Amarullah membahas tentang kebolehan perkawinan endogamy yang lebih cenderung dilihat dari konteks kafaah dalam tinjauan hukum Islam. Skripsi yang penulis bawa sekarang berbeda dengan yang ditulis oleh skripsi terdahulu. Penulis membawa istilah pernikahan kerabat dengan istilah Salep Tarjha yaitu perkawinan antara dua orang bersaudara dengan dua orang bersaudara lainnya yang dinikahkan secara silang sehingga hanya ada satu mertua. Yang mana diatur dalam adat Madura dilarang sedangkan dalam hukum Islam dibolehkan pernikahan tersebut. Sehingga adanya pertentangan antara hukum Islam dan adat.


(21)

f. Sistematika Penulisan

Pertama membahas tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan

Kedua membahas tentang konsep perkawinan dalam Islam. Yang meliputi arti perkawinan, dasar hukum ,tujuan perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, wanita-wanita yang haram dinikahi dalam hukum Islam.

Ketiga membahas perkawinan dalam adat Madura yang menjelaskan sekilas profil pulau Madura, sosial budaya dan adat istiadat, serta perkawinan dalam adat Madura.

Keempat membahas tentang implikasi perkawinan Salep Tarjha, yang meliputi aturan adat masyarakat madura tentang perkawinan salep tarjha, praktek dalam perkawinan salep tarjha pada masyarakat Madura, serta analisis penulis.


(22)

13

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan

1. Perkawinan Menurut Bahasa

Kata (nikah) berasal dari bahasa arab

-

ط

ط

yang secara etimologi berarti:

ا

(menikah),

ا خإا

(bercampur), dalam bahasa arab, lafadz nikah bermakna

قع ا

(berakad),

ء ا

(bersetubuh) dan

ع سإا

(bersenang-senang).1

Sedangkan Al-Azhari mengatakan akar kata nikah dalam ungkapan bahasa arab berarti hubungan badan. Sementara itu Al-Farisi mengatakan: “ jika mereka mengatakan bahwa si fulan menikah maka yang dimaksud adalah mengadakan akad, akan tetapi, jika dikatakan bahwa ia menikahi isterinya,

maka yang dimaksud adalah berhubungan badan.”2

Definisi yang hampir sama dengan diatas juga dikemukakan oleh rahmat

hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun” yang merupakan

mashdar dari “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan

dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.3

1

Munawwir, Fi Al- Lughoti Wa Al-A’lam, (Beirut: Dar El-Machreq Sarl, 2002), h. 836

2

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, Alih Bahasa, Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1996), cet ke-1, h. 375

3

Tihami Dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 7.


(23)

Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan

perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”4

2. Perkawinan Menurut istilah

Ada beberapa definisi nikah menurut istilah yang dikemukakan para ahli Fiqh, namun pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada redaksinya (phraseologie) saja. Dalam pengertian lain, secara etimologi pengertian nikah adalah:

a. Menurut ulama Hanafiyah nikah adalah:

ا صق ع ا ك ف قع

ا

5

Artinya: “Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan”

b. Menurut ulama asy-Syafi„iyahnikah adalah:

ع

إ ظف ء ك

قع

ا

6

Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki

kesenangan (wathi’) disertai lafadz nikah, kawin atau yang

semakna”.

c. Menurut ulamaMalikiyahnikah adalah:

4

Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1994), h. 456.

5

Wahbah zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu JUZ 7, (Damaskus: Darul Fikr, 1409M/1989H), h. 29

6

Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-’Arba‘ah, cet. ke-1 (Mesir: Daar


(24)

ا ع

ع قع

ا

7

Artinya: “Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia”.

d. Menurut ulama Hanabilah nikah adalah:

ع سإا عف ع

إ ظف قع

ا

8

Artinya: “Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang”.

Dari beberapa pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan yang semula dilarang (yakni bersenggama). Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat pemikiran manusia, pengertian nikah (perkawinan) telah memasukkan unsur lain yang berhubungan dengan nikah maupun yang timbul akibat dari adanya perkawinan tersebut.

Definisi-definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagai mana terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut diatas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu.

Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya yang disebutkan Ahmad Ghandur dalam bukunya

7

Ibid., h. 3

8


(25)

Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fi Al-Tasyri’ Al-Islamiy:

س إا ع ّ ا ض ق قق

ا

ا ع ا ف قع

ع

ا

ع

ا

ص ق ق ق

Artinya: “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban”.9

Sedangkan menurut Sajuti Thalib perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.10

Adapun pengertian yang dikemukakan dalam Undang-undang Perkawinan (UU no. 1 tahun 1974), adalah:

“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”11

Bunyi pasal 1 UU Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan Undang-undang

9

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), cet ke-2, h. 39.

10

Muhammad Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta: IND-HILL-CO, 1990), h. 1.

11


(26)

tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, di mana pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

3. Dasar Hukum Perkawinan

Pernikahan atau perkawinan itu pada dasarnya adalah suci dan mulia, ia mengandung manfaat yang banyak dalam kehidupan ini baik untuk dunia maupun untuk hari akherat kelak.12

Dasar hukum perkawinan banyak disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah rasulullah, diantaranya adalah firman allah dalam surat ar-rum ayat 21 yang berbunyi:

ف إ

ع إ ا س ا سف ق خ اء

ك ا

ف ق

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Dan dari hadits Rasulullah yang menyebutkan :

ق عس ا ع ع

:

ا س ق

(

ع ّ سا

ا ع

إف

ف ء ا

إف ص عف عّ س

ف ص ص ّغ

12

Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993) h. 26


(27)

ء

)

ع قف

13

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw kepada kami: Hai para pemuda, siapa diantara kamu yang mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa sebab puasa itu menjadi penjaga baginya. Muttafaq Alaih”.

hukum asal nikah itu sendiri adalah :

ا قف

ا ف

:

إ

14

Artinya: “adapun hukum nikah itu adalah, para ahli ulama berkata: hukum nikah itu adalah sunnah hukumnya.

Perkawinan merupakan kebutuhan alami manusia. Tingkat kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu untuk menegakkan kehidupan berkeluarga berbeda-beda, baik dalam hal kebutuhan biologis (gairah seks) maupun biaya dan bekal yang berupa materi. Dari tingkat kebutuhan yang bermacam-macam ini, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan dengan beberapa kategori.

Yaitu yang biasa disebut dengan ahkamul khamsah, hukum yang lima macam: wajib sunnah, jaiz, makruh, dan haram bisa diterapkan kepada seseorang tertentu secara kondisional dalam kaitan melaksanakan nikahnya.15

13

Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,Terjemah A. Hassan(Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2002), h. 431

14

Imam Qadhi Al Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Fi Nihayatul Muqtasid, (Semarang: Kuryata Futara, juz 2) h. 2

15


(28)

jadi hukum perkawinan dengan melihat keadaan orang-orang tertentu sebagai berikut:

Wajib : menikah wajib hukumnya bagi orang-orang yang sanggup memberi nafkah lahir dan batin dan khawatir akan melakukan perzinahan. a. Mandub : menikah mandub (sunnah) hukumnya bagi orang-orang yang

menginginkan keturunan tapi tidak pernah khawatir akan berbuat zina jika tidak menikah, baik orang yang bersangkutan menginginkan atau tidak menginginkannya, walaupun pernikahan dapat membuatnya meninggalkan ibadah-ibadah yang tidak wajib.

b. Makruh : menikah makruh hukumnya bagi orang-orang yang tidak ingin menikah serta tidak menginginkan keturunan, dan jika orang yang bersangkutan menikah, ternyata pernikahan membuatnya meninggalkan ibadah-ibadah yang tidak wajib.

c. Mubah : menikah mubah hukumnya bagi orang-orang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau tidak khawatir akan berbuat zina dan jika orang yang bersangkutan menikah, tidak membuatnya berhenti melakukan ibadah yang tidak wajib.

d. Haram : menikah haram hukumnya bagi orang-orang yang mendatangkan bahaya bagi isterinya, atau jika menikah ia justru akan memberikan nafkah lewat jalan haram.16

16 Syekh Imam Abu Muhammad, Qurratul „

Uyun Kitab Seks Islam, Penerjemah Fuad Syaifuddin Nur, (Jakarta: Bismika, 2009), h. 12


(29)

B. SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN

Perkawinan dalam islam memiliki lima unsur yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun itu dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum ini dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban.17

Dalam upacara pernikahan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi dan sebagainya.

Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakikat pernikahan, misalnya syarat saksi harus laki-laki, dewasa, baligh, dan sebagainya.18Dengan demikian rukun perkawinan supaya perkawinan tersebut dapat dilangsungkan harus ada lima unsur dan setiap rukun harus disertai oleh syaratnya yang meliputi:

1. Akad Nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah

17

Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Tanggerang: Cv Pamulang, 2005), h. 4

18

Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta, Darussalam, 2004), h. 50.


(30)

penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.19

syarat-syarat sahnya akad adalah sebagai berikut:

a. Kedua belah pihak yang mengadakan akad harus mumayyiz. b. Ijab dan kabul dilaksanakan di satu tempat dan waktu.20

c. Akad biasanya harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki.21

d. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang di sebutkan

e. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.

f. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk selamanya

g. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang UU perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan, namun KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 27, 28, dan 29.

19

Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 20007), cet ke-2, h.61.

20

Mahmud ash-shabbagh, Keluarga Bahagia Dalam Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Zaenal Muhtadin, (Yogyakarta: cv. Pustaka mantiq, 1993), cet 5, h.75-76

21

Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 62


(31)

2. Laki-Laki Dan Perempuan Yang Kawin

Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang tersebut dalam Al-Quran. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut:22

a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.

b. Keduanya sama-sama beragama Islam.

c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan. Seperti larangan karena hubungan nasab, musaharah dan persusuan.

d. Kedua belah pihak setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.

e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.

3. Wali

Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu pernikahan. Menurut Maliki dan Syafii, bahwa keberadaan wali termasuk salah satu rukun nikah. Maka jika perikahan tanpa dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah batal atau tidak sah.

22


(32)

Sedangkan menurut Hanafi dan Hanbali bahwa wali merupakan syarat nikah. Maka wali hanya dikhususkan untuk perempuan yang masih kecil dan belum baligh. Sedangkan perempuan dewasa yang sudah bisa mencari nafkah sendiri boleh menikahkan dirinya sendiri dan tanpa wali.23

syarat-syarat wali

a. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.

b. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.

c. Muslim tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim.

d. Orang merdeka.

e. Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. f. Berpikiran baik

g. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar. h. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.

4. saksi

Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.

Dasar hukum kesaksian saksi dalam akad pernikahan ada yang dalam bentuk ayat Al- Quran dan hadis.

23


(33)

Adapun ayat Al-Quran adalah surat At-Thalaq ayat 2:

ع

ا ش ف ع

ق ف ف ع

س ف

غ ا إف

ا ا ق

Artinya : "Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah

mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah".

Adapun hadis nabi adalah dari Muslim Ibnu Khalid dan Sa’id telah menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Abdullah Ibnu Usman Ibnu Khaitsam, dari Said Ibnu Jubair dan mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan:24

ش

ع

اإ

ا

Artinya : "tiada nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan seorang wali yang mursyid."

Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.

b. Kedua saksi itu adalah beragama Islam. c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka. d. Kedua saksi itu adalah laki-laki.

e. Kedua saksi itu bersifat adil dan tidak pernah melakukan dosa besar. f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

24

Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafii, Penerjemah Bahrun Abu Baker, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2006, cet 3, juz 2, h. 980


(34)

C. HIKMAH DAN TUJUAN PERNIKAHAN 1. Tujuan Perkawinan

Sebagai lembaga hukum, perkawinan sudah tentu memiliki tujuan yang diatur oleh pranata hukum. Karena hakikat perkawinan pada dasarnya bukan hanya sebagai media pemenuhan kebutuhan biologis semata, tetapi lebih dari pada itu yakni pemenuhan hak dan kewajiban antar kedua belah pihak (suami-isteri).25Adapun tujuan perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan, hidup seseorang akan seperti makanan tanpa garam terasa hambar dan tidak nyaman jika selama hidupnya tidak mempunyai keturunan.

b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan yang ada di muka bumi ini.

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

e. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.

25


(35)

f. Membangun rumah tangga untuk membangun masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. 26

g. Menciptakan ketenangan jiwa bagi suami dan isteri karena telah ada seseorang yang diharapkan dapat menjadi teman dalam suka maupun duka dalam mengarungi kehidupan di dunia sampai akhirat.

h. Pendewasaan diri bagi pasangan suami isteri sehingga melalui pernikahan diharapkan suami dan isteri makin mandiri dan makin berprestasi karena keduanya saling mendukung bagi kemajuan masing-masing.

i. Melahirkan generasi yang jauh berkualitas daripada pasangan suami-isteri itu sendiri. Suami dan isteri dapat sama-sama belajar hal-hal positif dari orang tua masing-masing.27

2. Hikmah Perkawinan

Sesungguhnya pernikahan tidak sekedar memadukan dua orang manusia berbeda jenis kelamin. Ada banyak hikmah yang terkandung dalam pernikahan. Hikmah seperti tertera dibawah ini terkait dengan kemaslahatan suatu umat atau masyarakat.

a. Melestarikan spesies manusia melalui proses reproduksi yang elegan, yaitu dengan jalan yang halal dan diridhoi Allah.

26

Zakiah Darajat Dkk, Ilmu Fikih (Jakarta: Depag RI, 1985) jilid 3 h. 64.

27

Sururin, Masfufah, Najib, Nur Rofiah, Muzainah Zaen, Panduan Fasilitator & Pelatih Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Calon Pengantin, (Jakarta: Pucuk Pimpinan Fatayat Nadhlatul Ulama, 2006), h. 45.


(36)

b. Menyalurkan hasrat libido kepada lawan jenis secara halal sehingga kehormatan manusia terpelihara dengan baik.

c. Mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sehingga terjalin kerja sama yang produktif dalam sebuah paying bernama keluarga.

d. Bahu-membahu mendidik anak-anak sehingga terbentuklah generasi pelanjut yang lebih baik.

Selain itu masih ada lagi hikmah pernikahan yang lain. Hikmah pernikahan ini akan dirasakan langsung oleh yang bersangkutan (suami-istri). Adams, seorang pakar psikologi, mengungkapkan beberapa hikmah pernikahan bagi suami dan istri sebagai berikut.28

a. Usia orang menikah lebih panjang daripada orang yang tidak menikah. Disebabkan semua hormon yang ada di tubuh manusia berfungsi dengan baik, karena kalau tidak nikah hormon testoron tidak berfungsi.

b. Kemungkinan orang yang menikah menjadi gila jauh lebih kecil daripada orang yang membujang.

c. LP (lembaga pemasyarakatan) lebih banyak dihuni oleh orang yang membujang daripada orang yang menikah.

d. Kasus bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh orang yang membujang daripada orang yang menikah.

28

Mohammad zaka al-Farisi, when I love you Menuju Sukses Hubungan Suami Istri, (Jakarta, Gema Insani, 2008), h. 15.


(37)

D. WANITA YANG HARAM DINIKAHI DALAM ISLAM

Dalam Islam ditetapkan bahwa laki-laki tidak bebas memilih perempuan untuk dijadikan isteri. Ada ketentuan yang baku tentang perempuan yang boleh dinikahi dan yang tidak. Perempuan yang boleh dinikahi adalah perempuan yang bukan muhrim bagi laki-laki yang bersangkutan seperti saudara perempuan, anak tiri, anak sendiri, dan sebagainya.29

Perempuan-perempuan yang haram dinikahi dikatagorikan ke dalam dua bagian. yaitu mahram muabbad (larangan perkawinan untuk selamanya) dan mahram muaqqat (larangan perkawinan untuk sementara).

1. Bagian Pertama Adalah Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Selama-lamanya:

a. Hubungan Nasab

keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 23 yang berbunyi:

خ ا

ا

خ

ع آ خا

ا ع ـ

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”.

Berdasarkan ayat diatas, dapat diuraikan perempuan yang haram dikawini karena hubungan nasab adalah:

29


(38)

1) Ibu: yaitu perempuan yang ada hubungan darah dalam garis lurus ke atas, yakni, ibu, nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas. 2) Anak perempuan: yaitu perempuan yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya kebawah.

3) Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja. 4) Bibi: yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik sekandung seayah atau

seibu dan seterusnya ke atas.

5) Kemenakan perempuan: yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya kebawah.30

b. Hubungan Susuan

Hubungandidasarkan pada lanjutan surat An-Nisa ayat 23 di atas:

ع ض ا آ خا عض ا

ا

ا

Artinya: “Ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan”. Hadis Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:

ا ع ها ض ع إ ع

.

.

قف

إ ع ا

:

ا

خا إ

ع ض ا

,

س ا

ع ض ا

(

ع قف

)

Artinya: “dari Ibnu Abbas r.a, bahwa sesungguhnya nabi di ingini oleh anak perempuan (pamannya Hamzah). Maka nabi mengatakan (kepada

30

Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tiggi Agama Iain Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Cv Yulina, 1984), h. 84-92


(39)

Ibnu Abbas) bahwa sesungguhnya dia tidak halal bagiku karena dia adalah saudara perempuanku sepersusuan, dan diharamkan karena saudara sepersusuan hal-hal yang diharamkan karena saudara kelahiran (seketurunan)”. (HR. Muttafaqun Alaihi).31

Oleh karena itu, pada hakikatnya, wanita wanita yang diharamkan karena sebab satu susuan ini sama dengan wanita-wanita yang diharamkan karena faktor keturunan. Hanya saja, dalam sebab satu susu ini ditambahkan bahwa wanita yang menyusui posisinya sama dengan ibu kandung.32

Dengan demikian, wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi lantaran satu susu ini adalah sebagai berikut:

1) Ibu susuan termasuk dalam ibu susuan ini adalah : ibu yang menyusukan, yang melahirkan ibu susuan, dan seterusnya garis lurus keatas.

2) Anak susuan ialah: anak yang disusukan isteri, anak yang disusukan anak perempuan, anak yang disusukan isteri anak laki-laki, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.

3) Saudara susuan ialah : yang dilahirkan ibu susuan, yang disusukan ibu susuan, yang dilahirkan isteri ayah susuan, anak yang disusukan isteri ayah susuan, yang disusukan ibu, yang disusukan isteri dari ayah.

4) Paman susuan ialah : saudara dari ayah susuan, saudara dari ayahnya ayah susuan.

31

Sayid Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Mesir: Darussalam) juz 3, h. 217.

32

Asep Saepullah, Serial Fiqh Munakahat, Diakses Pada Minggu 24-04-2011, Dari Www.Indonesianschool.org


(40)

5) Bibi susuan ialah : saudara dari ibu susuan, saudara dari ibu dari ibu susuan.

6) Anak saudara laki-laki atau perempuan ialah: anak dari saudara susuan, cucu dari saudara susuan, dan seterusnya ke bawah. Orang-orang yang disusukan oleh saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara sesusuan, yang disususkan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh isteri saudara laki-laki, dan seterusnya garis lurus kebawah dalam hubungan nasab dan susuan.33

c. Hubungan Mushaharah.

Keharaman itu disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat An-Nisa:

ا

إف خ

ا ئ س ك

ف اا ئ

ئ س

ص

ا ئ ئ

ع

اف خ

Artinya: “Ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”

Adapun perempuan yang diharamkan menurut Al-Qur’an sebab ada hubungan mushaharah34 ada empat orang, ialah:

1) Isteri ayah, terus keatas.

33

Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 120-121

34

Hubungan mushaharah adalah bila seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang perempuan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan kerabat si perempuan.


(41)

2) Ibu isteri terus keatas, baik sebab hubungan nasab atau satu susuan, baik si suami sudah menjimak isterinya atau belum.

3) Anak tiri, yakni anak perempuan sang isteri, jika memang sudah menjimak ibunya.

4) Isteri anak laki-laki atau perempuan, terus kebawah.35

2. Mereka Yang Haram Dikawini Dalam Waktu Tertentu, Tidak Untuk

Selama-Lamanya.

a. Dua perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang lelaki dalam waktu yang bersamaan. Maksudnya mereka haram dimadu. Apabila perempuan itu meninggal dunia atau dicerai maka boleh suami menikahi saudara isterinya.36

Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu disebutkan dalam lanjutkan ayat 23 surat An-Nisa:

خ ا ا ع

Artinya: “dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara sekaligus”.

Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu ikatan perkawinan, juga diperlakukan sama terhadap dua wanita yang mempunyai hubungan keluarga bibi dan kemenakan. Larangan ini

35

Syekh Muhammad Bin Qasim Al-Ghazy, Terjemah Fathul Qarib Jilid 2, Penerjemah Achmad Sunarto, (Surabaya: Alhidayah, 1992), h. 41

36


(42)

dinyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:

ق س ع ها ص ا

ا ع

:

ا ع

ا ع ا

خ

ا

Artinya: “dari Abu Huraira, sesungguhnya rasulullah saw. Berkata : janganlah mengumpulkan seorang perempuan (sebagai istri) dengan pamannya dan bibinya.” (HR. muttafaqun alaihi)37 b. Perempuan yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain. Haram

dinikahi oleh seorang laki-laki. Keharaman ini disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 24:

ء س ا ص ا

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang

bersuami”

c. Perempuan yang sedang berada dalam masa iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati berdasarkan firman allah surat al-baqarah ayat 228 dan ayat 234.

d. Perempuan yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suami, kecuali mantan isteri tersebut sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa iddahnya berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229-230.

37

Sayyid Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Mesir: Darussalam), Juz 3, h. 124.


(43)

e. Perempuan yang sedang melakukan ihram, baik umrah maupun haji, tidak boleh kawin atau dikawini.

Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslaim dari Usman bin Affan:

ق ع ها ض فع إ ع ع

:

ها س ق

.

.

ا

ا

ّ ا

ا

(

س ا

)

Artinya: “orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak pula boleh meminang”.38

f. Perempuan musyrik. Maksudnya ialah wanita yang menyembah selain allah. Ketentuan ini kita dapati pada surat Al-Baqarah ayat 24. adapun berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, wanita ahli kitab yakni nashrani dan yahudi yang boleh dikawini.

g. Perempuan haram dinikahi oleh seseorang yang telah mempunayi isteri empat orang. Dalam surat An-Nisa ayat 3, seorang laki-laki boleh mempunyai istri maksimal empat orang saja. Haram kawin lagi dengan wanita yang kelima dan seterusnya kecuali salah satu dari mereka itu diceraikan dan telah habis masa iddahnya.

38


(44)

(45)

35

A. Profil Pulau Madura 1. Identifikasi

Pulau Madura terletak pada parallel 6’ 45’ LS – 7’ 15’ LS dan pada meridian 112’ 15’ BT – 114’ 05’ BT, membujur dari arah barat ke timur

ditambah dengan 77 buah pulau-pulau. Pulau itu dipisahkan dari jawa oleh selat madura, yang menghubungkan laut jawa dengan laut bali.1

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa.2

Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur Jawa biasa disebut wilayah Tapal kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta sebagian Malang.

1

Hub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan, Ekonomi Dan Islam, Seri Terjemahan KITLV-LIPI, Jakarta: PT Gramedia, 1989, h.3.

2

M. Subhan Zamzami, “Profil Madura”, artikel diakses pada 17 april 2011 dari http://madurastudies.wordpress.com/


(46)

Disamping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta,Tanggerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang, terutama besi tua dan barang-barang bekas lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan dan buruh, serta beberapa ada yang berhasil menjadi, Tekonokrat, Biokrat, Mentri atau Pangkat tinggi di dunia militer.3

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat.

2. Gambaran umum Kecamatan Pengarengan Kabupaten Sampang

Kabupaten Sampang secara administrasi terletak dalam wilayah Propinsi

Jawa Timur yang secara geografis terletak di antara 113o08’ - 113o39’ Bujur

Timur dan 6o 05’ - 7o13’ Lintang Selatan. Kabupaten Sampang terletak ± 100 Km dari Surabaya. Batas-batas wilayah Kabupaten Sampang adalah : • Sebelah

3 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Pulau Madura”, artikel diakses 17 april 2011 dari


(47)

Utara : Laut Jawa • Sebelah Selatan : Selat Madura • Sebelah Barat : Kabupaten Bangkalan. • Sebelah Timur : Kabupaten Pamekasan.4

Untuk menyesuaikan penelitian ini maka peneliti mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Pengarengan Kabupaten Sampang Madura. Masyarakat Pengarengan merupakan sekelompok masyarakat yang memegang teguh prinsip hukum-hukum Islam dan norma hukum adat-istiadat

a. Kondisi Penduduk dan Jenis Pekerjaan Atau Mata Pencaharian

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang luas wilayah Kecamatan Pengarengan adalah dengan luas hanya 42,7 Km2 atau (3,46 %) dari luas Sampang yang berbatasan dengan Kecamatan Torjun disebelah Utara, sebelah Timur Kecamatan Sampang, sebelah Selatan Selat Madura dan sebelah Barat Kecamatan Jrengik.

Sedangkan jumlah penduduk menurut badan pusat statistik Sampang 2010 bisa dilihat pada tabel dibawah ini sebagai berikut.

Tabel. 1

Jumlah Penduduk Kecamatan Pangarengan Kabupaten Sampang

No kecamatan

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

1 Pangarengan 10.350 10.752

Jumlah Penduduk 21102

4

Wikipidea Ensiklopedia Bebas, “Kabupaten Sampang” artikel diakses 19 juni 2011 dari


(48)

Dari tabel di atas dapat di simpulkan Sex ratio Kecamatan Pangarengan adalah jumlah penduduk perempuan lebih besar daripada jumlah penduduk laki-laki sebesar 402 orang lebih banyak perempuan.5

Sedangkan jenis pekerjaan atau mata pencaharian Kecamatan Pangarengan terdiri dari pertanian, perternakan, perikanann, perdagangan, angkutan, industry, penggalian, pertukangan dan jasa. melihat dari kondisi masyarakat Pengarengan secara agraris mereka mengandalkan sawah dan tambak sebagai mata pencahariannya meskipun tanahnya tandus dan sulit untuk ditanami. Adapun masyarakat yang bertani itu masih mengandalkan air hujan sebagai salah satu faktor yang membuat tanamannya hidup.

Sedangkan tambak digunakan sebagai produksi garam di musim kemarau dan memasang ikan pada waktu musim penghujan. Suasana kemarau sinar matahari di desa Pengarengan sangat panas karena pohon-pohon sulit untuk tumbuh besar dan bertahan lama..

b. Kondisi Sosial Keagamaan

Desa Pangarengan dengan jumlah penduduk sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat dikategorikan sebagai desa yang agamis. Hal ini terlihat dari data yang telah diperoleh, bahwa sekitar 41,44 % dan tidak ditemukan agama lain selain agama Islam.

5

Djukdjuk widhilaksana, “hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang” Artikel diakses pada 19 juni 2011 dari web http://docs.google.com


(49)

sosial masyarakat Desa Pangarengan, seperti yang terlihat dalam cara mereka berpakaian dan berinteraksi. Agama dianggap hal yang suci atau sakral yang harus dibela dan merupakan pedoman hidup bagi manusia. Mereka menganggap, kiyai merupakan sosok seseorang yang harus dihormati setelah orangtua.

Di Desa Pangarengan, fanatisme terhadap kiyai sebagai orang lebih memahami agama daripada orang biasa, sehingga hal itu menjadi simbol-simbol yang digunakan untuk menaikkan status sosial seseorang. Seorang kiai (keyae) biasanya dianggap memiliki kelebihan magis spiritual dan sangat dekat dengan Tuhan karena ketakwaan dan ketaatannya dalam menjalankan ibadah.

Peranan dan fungsi kiai (keyae), selain sebagai pembina umat atau disebut juga sebagai penerus para nabi, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada para santri dalam suatu lembaga pondok pesantren. Peran Kiai (keyae) adalah pemimpin informal di desa ini, semua masalah keluarga dan masyarakat yang sulit dipecahkan diserahkan padanya untuk diselesaikan.6

c. Kondisi Pendidikan

Kesadaran masyarakat Pengarengan tentang pentingnya arti sebuah pendidikan semakin bertambah dari waktu ke waktu. pendidikan orang-orangtua dahulu tidak sekomplit sekarang, sebab itu pentingnya pendidikan untuk masa depan anak mereka agar mengenyam pendidikan lebih tinggi.

6 Abdur Rozaki, “Peran Kiyai”, artikel diakses pada 19 juni 2011 pada web


(50)

Bertambahnya sektor pendidikan di desa masyarakat dewasa ini, menandakan tingkat pendidikan formal yang ada dan ditempuh oleh masyarakat Desa Pangarengan semakin berkembang, mulai dari tingkat pendidikan TamanKanak-kanak (TK)/Taman Pendidikan al-Qur’an, Sekolah Dasar (SD)/Madrasah diniyah/Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), dan Madrasah Aliyah (MA).

Bagi keluarga yang menginkan anaknya mengerti tentang agama Islam maka mereka mewakilkan pada lembaga pendidikan non formal seperti memondokkan di pesantren, yang berada diluar Desa Pengarengan.

Sedangkan bagi mereka yang hanya menempuh pendidikan seperti ngaji dimushalla secara non formal dengan cara nyolok7 menganggap lebih bisa mengawasi keberadaan anaknya dan juga bisa membentu orangtuanya sewaktuwaktu.

B. Sistem perkawinan dan Adat istiadat 1. Sistem kekerabatan

Dalam antropologi istilah “kekerabatan” sering dipergunakan dalam arti kerabat dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan. Kerabat merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah

7

Nyolok adalah istilah yang digunakan untuk santri yang belajar dan mengikuti kegiatan di pondok pesantren atau dimushalla namun tidak menetap (mukim) di asrama pondok pesantren tersebut (pulang-pergi)


(51)

affinity. Dengan demikian, orang tua dengan anak adalah kerabat sedangkan suami dan istri adalah affines.8

Sistem kekerabatan suku Madura adalah parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu). Sekalipun orang-orang madura menganut prinsip kekerabatan. bilateral/parental (tiap individu dalam masyarakat termasuk kerabat kedua orang-tuanya), tetapi pada umumnya di Madura sepasang suami isteri setelah kawin hidup berkumpul di lingkungan kerabat isteri (uxorilokal).

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti atau batih), taretan

semma’ (kerabat dekat), dan taretan jauh (kerabat jauh). Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara".9

Keluarga batih atau keluarga inti orang-orang Madura adalah terdiri dari sepasang suami-isteri beserta dengan anak-anaknya, yang belum kawin. Dalam keluarga batih orang Madura, suami adalah pemimpin dan penanggung jawabnya. Sedangkan isteri adalah yang mengendalikan, memelihara merawat rumah tangga serta anak-anaknya. Taretan semma (kerabat dekat) orang-orang Madura terdiri dari ayah dan putra, saudara laki-laki dan saudara perempuan, kakek dan nenek, paman dan bibi keponakan laki-laki dan keponakan

8

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1983), cet-2, h.42.

9 Latif wiyata, “modal rekonsiliasi orang madura”artikel diakses pada 18 april 2011 dari


(52)

perempuan. Dan yang dimaksud taretan jauh (kerabat jauh) adalah terdiri dari sepupu laki-laki dan sepupu perempuan, termasuk kerabat dari hubungan perkawinan seperti ipar dan lain-lain.10

2. Sistem Perkawinan

Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon isteri bagi setiap pria, maka perkawinan dapat berlaku dengan sistim endogamy (harus kawin satu suku) dan sistim exogamy (harus kawin dengan kerabat luar atau beda suku) yang kebanyakan dianut oleh masyarakat adat bertali darah, dan dengan sistim eleutherogami (terserah mau nikah dengan dalam atau luar suku) sebagaimana yang berlaku pada kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum islam.11 Sehingga sistem perkawinan yang dianut adat madura adalah eleutherogami karena masyarakat madura yang mayoritas beragama islam. Dan dalam melakukan sesuatu harus berlandaskan ajaran islam, walaupun dalam kebiasaannya masih endogamy, yaitu harus sesama orang madura. Agar mudah dalam berkomunikasi dan tahu adat.

3. Sopan Santun Pergaulan

Di samping agama Islam, orang Madura sangat mengutamakan adat. Lebih-lebih dalam adat pergaulan, bahwa yang muda wajib hormat dengan

10

Helene Bouvier, Seni Musik Dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2002, Perpustakaan Nasional h. 364

11

Hilman hadikusuma, hukum perkawinan adat, Bandung, PT Citra Aditiya Bakti,1990, cet 4, h. 68


(53)

bersopan santun dengan yang lebih tua, telah diadatkan dikalangan orang Madura. Didalam pergaulan di lingkungan kerabat, derajat tingkat yang lebih rendah wajib hormat kepada yang lebih tua seperti (orangtuanya, paman bibi dari pihak ibu atau bapaknya, nenek-kakeknya dan pada juju’nya).12

Sikap hormat ini di wujudkan dalam bentuk pakaian yang dipakainya, sikap waktu menghadap termasuk mimic dan tutur bahasa. Dilengkapi dengan sembah tata krama khusuz dan dulu kerabat yang lebih rendah harus duduk di bawah lantai melepas alas kaki menyungguhkan makanan dan minuman tidak boleh berdiri tegak tapi harus barsimpuh di lantai. Lebih-lebih kepada Ulama, di kalangan masyarakat Madura di anggap sebagai pemimpin non Formil sebab para Ulama tersebut dianggap menyelamatkan mereka di akhirat, Perasaan lebih hormat kepada yang lebih tua lebih tinggi pangkatnya, sering disertai perasaan sungkan. Makin ke bagian barat Madura keketatan dalam adat Sopan santun pargaulan makin mengendor.

4. Bahasa

Bahasa Madura sekalipun satu, tapi terbagi dalam 3 dialek bahasa Madura dialèk Sumenep, dialek Pamekasan/Sampang dan dialek bangkalan misalnya orang Sumenep menyebut celana dengan “salebbar” Orang

pamekasan/Sampang mengatakan “Slebbar”dan orang Bangkalan mengatakan “lebbar”. Untuk bahasa Madura didaerah Sumenep dalam pengucapannya

12


(54)

berirama, karenanya ke dengarannya halus. Bahasa Madura mengenal tingkat-tingkat bahasa yaitu:13

1. tingkat bahasa tertinggi, yaitu bahasa Madura”Keraton’atau istana sekarang masih banyak dipakai dan divariasi oleh kalangan bangsawan. bahasa ini adalah bahasa yang terhalus.

2. tingkat bahasa enggi-bunten”yaitu bahasa halus. 3. tingkat bahasa enggi-enten yaitu bahasa setengah halus 4. tingkat bahasa iyyah-enje yaitu bahasa tingkat bawah

Penggunaan bahasa Madura yang terhalus (bahasa Madura Kraton). umunmya diergunakan oleh para keluarga bangsawan, digunakan untuk orang yang lebih tua dan lebih tinggi derajatnya. Bahasa Madura halus “enggi

-bunten” digunakan dikalangan priyayi,orang biasa yang sederajat atau. kepada

orang yang lebih tua dan lebih tinggi derajat dalam kerabatnya. Bahasa

enggi-enten’ biasanya dipakai debagai bahasa sopan oleh orang yang lebih Tua lebih

tinggi derajatnya kepada yang lebib muda/lebih rendah derajatnya atau kawan-kawan yang akrab.

Sedangkan penggunaan bahasa tingkat “iyyah- enja’” diantara penduduk kebanyakan, digunakan oleh orang tua/lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih muda dan lebih rendah derajatnya. Atau digunakan antara sahabat karib. Dengan orang yang baru dikenalnya, dipergunakan bahasa “enggi-bunten”.

13Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Bahasa Madura”, artikel diakses pada 19 april 2011 dari


(55)

C. PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA

1. Adat Sebelum Perkawinan

a. Pemilihan Jodoh

Sebelum menikah harus memilih pasangannya yang benar-benar cocok dan dapat membimbingnya di dunia dan di akherat agar terciptanya perkawinan yang ideal. Sehingga dalam adat Madura tidak sembarangan dalam menentukan pasangannya. Cara memilih jodoh untuk Perkawinan yang ideal menurut adat Madura apabila:

1) Seagama (Islam) dan taqwa

2) Satu suku agar dipermudah dalam berkomunikasi dan beradat. 3) Menurut pertimbangan bibit, bebet-bobot sudah tepat. Dan harus

anak syah, bukan hasil zina, serta tahu adat.

4) Dalam lingkungan kerabat sendiri, mencegah incest, menghindari umur wanitanyalebih tua.

5) Usia yang pantas bagi anak perempuan kawin ialah setelah akil baliq (sebab bila agak tua sedikit belum mendapatkan jodoh sudah dipergunjingkan orang sebagai “peraben towa ta’paju

alake”(perawan tua gak laku).

6) Menurut orang Madura si laki-laki harus “lanceng kepanceng”

(Jejaka) dan si perempuan harus “peraben” (perawan).14

14adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur”, buku diambil dari rumah anjungan jawa


(56)

b. Prosesi Pertunangan Ngangene

Kalau sudah ada kecocokan mengenai calonnya maka mulailah ada seorang dua orang kerabat keluarga pemuda “ngangene”(mencari berita) atau

“nyalabar” atau “re-sarean” mencari-cari ) apa si gadis tersebut sudah punya tunangan apa belum. Tapi informasi ini tidak langsung dari orang tua si gadis, tapi tetangga si gadis atau kerabat si gadis.15

a. Prosesi Pertunangan Nerabas Pagar

Bila ternyata si gadis belum ada yang punya, maka tahap kedua yaitu

“Nerabas Pagar” (Menerobos Pagar) dilaksanakan oleh utusan keluarga si pemuda datang menanyakan sendiri kepada orang tua si gadis, apa anak gadisnya sudah ada yang punya artinya apa sudah “abakalan”(tunangan). Dan apabila orang tua si gadis berkenan pada si pemuda anak gadisnya, maka

hubungan itu dikonkritkan dengan “Nale’e Pagar” (mengikat pagar).

d. Prosesi Pertunangan Nale’e Pagar

Acara “nale’e pagar” ini di tandai dengan dikirimkan utusan resmi pihak

keluarga pemuda dengan membawa surat. Sedangkan isi surat adalah menginginkan anak gadisnya untuk dijodohkan dengan anaknya. Bilamana

dalam acara “nale„a pagar” pihak keluarga pemuda tidak berpesan minta balasan, maka pihak keluarga si gadis akan datang ke pihak keluarga pemuda

15


(57)

untuk mengantarkan hantaran balasan berupa seperangkat pakaian bagi pemuda serta kue-kue Hal ini disebut “tongkebban” (artinya ditengkurapkan).16

e. Prosesi Pertunangan Lamaran

Setelah acara nale’e pagar dilanjutkan dengan meresmikan pertunangan yang disebut oleh orang madura dengan lamaran. Pertunangan ini menjadi resmi Kalau orang tua si pemuda mengirimkan “penyengset” (bahasa tinggi Madura yang berarti ikat pinggang).17 Biasanya dalam penyengset berupa pisang susu maka pihak pemuda minta agar segera (kesusu) disusul dengan perkawinan. Jumlah dari pisang tersebut menandakan jumlah bulan (bila 3 sisir berarti 3 bulan) Sedangkan kue-kue tak boleh lupa disertai kue “ tettel”18 Hal di atas dijalankan oleh keluarga-keluarga madura yang masih berpegang pada adat dan terutama di desa-desa. Kalau di kota-kota sering disertai dengan resepsi pertunangan yang mempertemukan kedua muda-mudi tersebut, lengkap dengan saling mempertukarkan cincin.

f. Nyeddek Temo

Setelah resmi bertunangan jika beberapa bulan kemudian pihak laki-laki ingin ingin melangsungkan perkawinan maka pihak pemuda mengirimkan

16

Tongkebban adalah Upacara balasan berupa kunjungan dari pihak wanita kepada pihak keluarga pria.

17

Penyengset adalah pengikat dalam ikatan tunangan berupa hantaran atau seserahan pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang terdiri dari seperangkat pakaian dan beraneka ragam kue dan buah.

18

tettel” makanan dari beras ketan yang sifatnya rekat yang melambangkan agar hubungan


(58)

utusan yang terdiri dari kaum laki-laki saja guna mengadakan “nyeddek’ temo” (mendesak pertemuan) untuk membicarakan hari perkawinan kedua muda-mudi itu. Para utusan keluarga pemuda dan pihak si gadis haruslah orang yang ahli dalam perhitungan hari perkawinan yang baik. Masih umum dalam hal ini kedua keluanga tersebut minta pertimbangan Ulama.

Setelah hari dan tanggal pernikahan telah ditentukan, sang calon pengantin perempuan akan melakukan persiapan kecantikan di rumahnya. Persiapan kecantikan tubuh dalam adat Madura dilakukan 40 hari sebelum waktu pesta pernikahan. Selama 40 hari, sang calon pengantin perempuan dipingit dirumah. Dipingit berarti tidak boleh keluar rumah selama waktu yang ditentukan untuk perawatan kecantikan kulit sang perempuan.

2. Upacara-upacara pelaksanaan perkawinan

Penyelenggaraan perkawinan dulu di Madura berlangsung selama 3 hari 3 malam sekarang hanya cukup sehari semalam saja, sekalipun ada beberapa daerah dan adat yang harus berlangsung selama 3 hari. 19

Pada hari pertama biasanya dilangsungkan aqad nikah, dan terdapat 3 bentuk akad nikah yaitu:

 Ada upacara aqad nikah yang diselenggarakan beberapa hari sebelum resepsi perkawinan,

19Lilik rosida irmawati, “media budaya madura dalam adat pernikahan”, artikel diakses pada


(59)

 ada juga yang melangsungkan “kabin moso” yaitu sébelum bersanding dipelaminan, calon mempelai yang baru masuk ruang resepsi melaksanakan aqad nikah dulu,

 dan ada juga Apabila pagi harinya melaksanakan aqad nikah maka malam hari nya diselenggarakan resepsinya.

Di rumah keluarga calon mempelai laki-laki sebelum melangsungkan upacara aqad nikah, maka diadakan rasol kabin (tumpeng untuk selamatan kawin) yang berbentuk pembacaan do’a dan makan barsama. Peserta upacara tersebut hanya kaum pria, terutama mereka yang akan mengantar calon mempelai laki-laki untuk aqad nikah. Setelah makan bersama rombongan pengantar calon mempelai laki-laki teresebut, dilepas menuju keluarga calon mempelai perempuan.

Waktu penyelenggaraan aqad nikah di rumah keluarga calon mempelai perempuaan umumnya pagi hari. sekitar jam O90.O-1O.OO atau setelah sembahyang Dhuhur. Penghulu umumnya diundang ke rumah keluarga mempelai perempuan untuk menikahkan. Penghulu menikahkan si anak gadis dengan calon suaminya sesuai dengan ketentuan agama dan perundang-undangan. Akhir dari akad nikah selalu disertai dengan doa dan khotbah nikah.20

20


(60)

Menjelang resepsi malam yang pertama mempelai perempuan di paras oleh penghias. Dulu “pangennyas” (juru rias pengantin) sebelum merias pengantin berpuasa dan bersembahyang hajad untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha kuasa agar mampu memberikan “pangabar” (kemantin yang diriasnya menjadi cantik bercahaya).21

Hiasan di “tarop” selalu ada hiasan lambang-lambang seperti. Janur kuning lambang keperawanan (peraban sonte), dan pohon pisang yang sedang

“nongkol” (jantung pisang ) sebagai lambang “lanceng kapaceng” ( jejaka ). Juga hiasan daun beringin sebagai lambang “ rampa„naong baringen korong “ (kehendak mengayomi dan membantu keluarga yang tak punya).

Pada resepsi malam yang kedua kesibukan perayaan berpindah ke rumah keluarga pengantin laki-laki Malam kedua tersebut adalah malam “mantan

amaen” artinya berkunjung ke rumah keluarga pihak kemantin laki-laki. Kerabat dari kedua pihak hadir ikut meramaikan. Kedua pengantin bersanding di pelaminan dengan berpakaian kraton Pada malam kedua tersebut keduanya masih tidur terpisah dengan pengawasan orang tua. 22

Pada resepsi malam ketiga kedua pengantin bersanding dipelaminan dengan berpakaian bangsawan. Pada malam itu “nangga mamaca”.23Pada

21

Wawancara pribadi dengan perias manten, afiah, Jakarta 16 mei 2011

22

Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, h. 130

23

(nangga mamaca) mengundang hiburan panggung dangan cerita-cerita percintaaan, hal ini memang dibuat begitu agar kedua pengantin makin dimabuk asmara


(61)

malam itu untuk kedua pengantin tidak diadakan lagi kamar yang terpisah atau tempat tidur yang terpisah, tapi cukup satu kamar dan satu tempat tidur beralaskan seprai putih bersih, harum oleh bau dupa dan bunga melati. Malam itu harus sudah jadi hubungan seks antara kedua pengantin tersebut.

Pagi harinya diadakan selamatan “nase ponar “ (nasi kuning dan beras ketan), “asambel Nye’or” (sambal kelapa) ada kue-kue berbentuk kelamin laki-laki dan perempuan diantaranya diantar-antarkan kepada kerabat dan tetangga, seakan-akan suatu pemberitahuan dengan lambang, bahwa kedua pengantin tersebut sudah melaksanakan hubungan seks sebagai suami isteri dengan Sempurna.

Sekarang acara tiga malam tersebut dijadikan satu malam saja, tapi berganti pakaian tiga kali, dan “ngonjong mantu”24 yang terpisah beberapa hari dari acara resepsi perkawinan dipihak keluarga pengantin perempuan.

3. Upacara-Upacara Sesudah Perkawinan.

Setelah selesai upacara-upacara perkawinan kedua pengantin baru itu yang hidup dilingkungan keluarga isterinya melaksanakan tugas sehari-hari. Dulu pengantin baru itu kira-kira 2 sampai 3 bulan tidak boleh bekerja dan belanja sendiri. Semuannya di tanggung orang tua isterinya. Baru setelah orang tua isterinya menganggap kedua pengantin itu sudah bisa berdiri sendiri mulai dilepas untuk bertanggung jawab sendiri.

24

Ngonjong manto adalah kegiatan silaturrahmi yang wajib dilakukan beberapa hari setelah resepsi oleh pengantin baru untuk mengunjungi semua kerabatnya baik pihak suami atau istri.


(1)

KEMENTERIAN

AGAMA

UNIVERSITAS

ISLAM

NE,GEITT

(UIN)

S

YARJF'

HIDAYATULLAH

JAKARTA

FAKULTAS

SYARIAH

DAN

IIUKUM

Jrn. rr. H. Juanda No. e5 ciputat Jakarta 154i2,

rndonesia

il?lt;.1P"t;,,i),ll1rtlf3l:,Jr3],"1:i

iil,ffrfrJl"t6?lf;Al

"."

Lampiran

:

-Perihal

: Mohon Kesediaan Meniadi Pqmbimbinq

SIripsi

Kepada Yang Terhormat,

Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA

(Dosen Fakultas syariah dan Hukum urN syarif Hidayatullah, Jakarta)

Di-JAKARTA

Assalamu' alaikum Wr. Wb.

Pimpinan Fakultas Syariah

dan

Hukum

UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa :

Nama

: Siti Rochmah

NIM

Prodi/Konsentrasi

Judul Skripsi

Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut :

'1.

Topik

bahasan

dan

outline

bila

dianggap

perlu dapat

dilakukan perubahan dan penyempurnaan.

2.

Tehnik penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Karya llmiah

di

UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta"

Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih

Wassalamu'alaikum W. W.

:108044100060

: Ahwal al Syakhshiyah/peradilan Agama

', Perkawinan Sa/ep Tarjha pada

Masyarakat Madura ditinjau d ari Hukum I siam

'An. Dekan Ketua Prodi

(

r..

Fakultas Syariah dan

Hukum

Ahw.4l Syakhshiyah

NIP=195003 0 6

i97

603 7001

. '.

'

:.. ,:./

: ''" ..1 ,..,.-r, ;..: '. .

.:t-';:]..;.- .'1:-i;1/

Tembusa n :

1.

Kasubag Akademik

2.

Sekretaris Program

3.

Arsip

&kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum

Studi Ahwal al Syakhshiyah


(2)

FAKIJLTAS

SYARIAII DAN

ITf]KU1VI

Jln- lr. H. Juanda No. 95 Ciprrtat Jakarta 15412 lndonesia Tetp. (62-21 ) 7 47 1 1 537 . 7 4O1 925 F ax t6z-21 ) 7 4g1 A21

WebsrLe : www. uin jkt.ac.id b.- mail : syalhukuin@yahoo.com

Norrror

Larnpiran

FIal

Un.O1

/

Fa

/

KM.00.02l

36

9F-t

/

2011

Perrnohon

an

D at a

/

Wawancara

Kepada

Yth

Bpk.

KH. Zainal

Abidin

Di-Ternpat

A s s slnrru' nlailonn IN r.VW.

rrrenerarrgkan

bahr,rra :

Narna

Norrror

Pokok

Tempat/Tanggal Lahir

Serrrester'

Ju

rusan/

Korrserr I r.rsi Alair-rat

Telp

/I{p

Ternbusan:

1.Ytir.

L)ekan

Fakultas

syariah

clar-r

Hukurrr

uIN

Jaktrrtrr.

2.Arsip.

Jakarta,

Jurri

2071

Pimpinan Fakultas Svariah cian Hukurn

UIN

Syarif

Hiclayatullal-r

Jakarta

Siti

Rochmah

108044100060

|akarta,

28

Februart

7989

VIII

(Delapan)

SAS

/

PA

Jl.Kayu Tinggi

Cempaka

Ir-Ldah

Rt.03/09

No.og

Cakur-rg fak.rrra

Tirnur

081807215005

adalai-r

benar

neahasiswa

Fakultas Svariah

clarr

Hukurr-r

UIN

Syarif Hidayatullah

Jakarta

yang

sedang

rnenvelesaikan

skripsi

dengan

Topik/

Judul

:

"

Perlcawinan

Salep'farjhcr

Pada

Masqarakat Madura

Ditinjau

Dari

Hulcum

Islcrm,,

untuk rnelengkapi bahan/data yangberkaitan

clengarn

penulisan/perrrbahasan topik

/

iudul

di

atas,

dirnohon kiranya Bapak/

Ibu/

Saucl

ara/'i clapat

rnerrbantu/

,r-,er-re.ir-n.-1

yang bersangkutan

untuk

berwawancara.

Atas

kesecliaan

Bapak/ Ibu

/

Sauclara

/

i,

karni

ucapkan banyak

terima

kasih.

WnssnLant tt' nhiku rrL Wr.Wb.

A.n DEKAN,

Pernban

id.

Akaclernik

"1: ,. "' r:,.1 :. l,r

r


(3)

77

Dokumentasi Penelitian

01

Wawancara Dengan saudara Hasan

02


(4)

03

04

Musik tradisional Daoll Combo

Karapan Sapi Madura di Kecamatan

Pangarengan

05

Memasuki Kabupaten Sampang


(5)

79

Tugu Monumen Sampang

Tempat Bersejarah Sampang

08

Batik Madura

09

Gladak’ (tambak garam) di Pangarengan, Sampang Madur

a


(6)