PRAKTIK PERKAWINAN SALEP TARJHA

62 berkembang di masyarakat Madura karena dampak negatif Salep Tarjha tidak terbukti benar. Dari ketiga kasus diatas terdapat penerimaan dan penolakan dalam adat dan tradisi lama. Penerimaan tradisi lama dilakukan dengan mempercayai dampak negatif dari perkawinan salep tarjha. Sedangkan penolakan tradisi lama ditandai dengan tidak percaya akan dampak negatif salep tarjha. Penerimaan tradisi lama disebabkan kurangnya pengetahuan agama maupun umum serta kuatnya adat Madura dalam mematuhi sesepuhnya. Sedangkan penolakan akan tardisi lama disebabkan mengikuti berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan.

C. Analisis Penulis

Skripsi yang diteliti oleh penulis yaitu perkawinan Salep Tarjha pada adat Madura ditinjau dari hukum Islam. Penulis menekankan pada deskripsi dan interpretasi perilaku budaya. Dalam mengumpulkan data menggunakan pendekatan partisipasi terlibat, hidup bersama dengan kelompok yang diteliti dalam waktu yang relatif lama. Masyarakat Madura di satu sisi merupakan masyarakat yang agamis dengan menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin dalam ungkapan “Abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah” 12 , yang menggambarkan bahwa orang Madura itu berjiwa Agama Islam. 12 Abhantal syahadat, asapo iman, apajung Allah adalah ungkapan dalam bahasa Madura yang memiliki arti berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. Ungkapan ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sudah mendarah daging dalam masyarakat 63 Akan tetapi di sisi lain mereka juga masih mempertahankan adat dan tradisi yang terkadang bertentangan dengan ke tentuan syari’at Islam, karena adat dan tradisi yang dipertahankan tersebut hanya berlandaskan pada mitos- mitos 13 yang tidak dapat dirasionalisasikan dan cenderung bertentangan dengan aqidah Islamiyah, seperti larangan untuk melakukan perkawinan dengan model Salep Tarjha ini salah satunya. Istilah Salep Tarjha merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh sesepuhnenek moyang masyarakat Madura bagi perkawinan silang antara 2 dua orang bersaudara sataretanan putra-putri. Contoh : Andi dan Andini adalah dua orang bersaudara kakak-adik yang dinikahkan secara silang dengan Rizka dan Rifki yang juga dua orang bersaudara kakak-adik. Dalam perkawinan Salep Tarjha ini, adanya mitos-mitos yang diyakini oleh masyarakat terkait dengan perkawinan tersebut, pada dasarnya telah memberikan pedoman dan petunjuk kepada masyarakat Madura untuk melarang keluarganya melakukan perkawinan Salep Tarjha karena kekhawatiran atau ketakutan mereka akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap mitos-mitos yang telah diyakini secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Oleh karena itu penulis mengambil kesimpulan penyebab sebagian masyarakat Madura melarang terhadap perkawinan salep tarjha dilatar 13 Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang 64 belakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1. Perkawinan Salep Tarjha ini diyakini dapat membawa bencana atau musibah bagi pelaku maupun keluarganya, yakni berupa sulitmelarat rezekinya, sakit-sakitan ke’sakean, anakketurunan pelaku perkawinan tersebut lahir dengan kondisi tidak normal cacat dan lain sebagainya. 2. Perkawinan Salep Tarjha merupakan istilah yang diberikan oleh sesepuh kakeknenek yang mana dalam adat pergaulan Madura sangat diwajibkan menghormati yang lebih tua dan sesepuhnya. Jika membantah dikhawatirkan mendapat bala’. 3. Karena faktor kultur adat istiadat yang di warisi turun temurun oleh leluhur nenek moyang mereka dari zaman dahulu sampai sekarang. Dan penulis juga mengambil kesimpulan dari hasil penelitian dari tokoh agama dan kitab-kitab mengenai perkawinan Salep Tarjha dalam pandangan hukum Islam sebagai berikut: 1. Larangan perkawinan salep tajha penulis artikan dengan larangan menikahi saudara ipar. Yang mana jika diqiyaskan kedalam hukum Islam menjadi larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan. 2. Sebagaimana dalam Al- Qur’an diatur mengenai larangan karena hubungan kerabat terdapat dalam surat an-Nisa ayat 23. Dalam surat tersebut tidak terdapat akan larangan menikahi saudara ipar.