Peran Modal Sosial dalam Mendorong Sektor Pendidikan dan Pengembangan Wilayah di Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara

(1)

PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR

PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

DI KECAMATAN GAR0GA KABUPATEN

TAPANULI UTARA

TESIS

Oleh

RUDYANTO SINAGA

097003046/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K

O L A H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR

PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

DI KECAMATAN GAR0GA KABUPATEN

TAPANULI UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUDYANTO SINAGA

097003046/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KECAMATAN GAROGA KABUPATEN TAPANULI UTARA

Nama Mahasiswa : Rudyanto Sinaga

Nomor Pokok : 097003046

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Badaruddin, MS) Ketua

(Dr. Murni Daulay, SE. M.Si) (Kasyful Mahalli, SE. M.Si) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof.Dr.Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, MS

Anggota : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si

2. Kasyful Mahalli, SE, M.Si 3. Drs. Rujiman, MA


(5)

PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KECAMATAN GAROGA

KABUPATEN TAPANULI UTARA

ABSTRAK

Dalam meningkatkan sumber daya manusia di Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat di Kecamatan Garoga Desa Saribu Gonting Garoga dan Desa Parinsoran masing-masing telah memberikan hibah lokasi tanah seluas 2 ha secara cuma-cuma kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, dimana telah didirikan 1 (satu) unit Sekolah Baru SMA tahun 2007 di Desa Saribu Gonting Garoga dan tahun 2008 1 (satu) unit Sekolah Baru SMP di Desa Parinsoran, yang dananya berasal dari APBN dengan pekerjaan sistem swakelola dengan melibatkan masyarakat setempat.

Pembangunan gedung sekolah dilakukan oleh masyarakat setempat dengan upah relatif lebih sedikit dari upah biasa seorang pekerja bangunan. Kerjasama dan partisipasi masyarakat Kecamatan Garoga dalam memberikan lokasi tanah dan bergotong royong dalam pembangunan gedung sekolah menunjukkan adanya suatu bentuk peran modal sosial. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis peran modal sosial terhadap pendidikan dan pengembangan wilayah. Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif dan uji regresi sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran modal sosial yang ditemukan dalam sektor pendidikan adalah : 1) saling percaya (kejujuran dan kemurahan hati). 2) jaringan sosial (partisipasi, solidaritas dan kerjasama) dan 3) pranata sosial. Disamping itu, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Batak merupakan sarana yang efektif untuk menumbuh kembangkan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan sekolah dan pendidikan yang berkualitas, sehingga ketergantungan akan peran pemerintah dalam pembangunan akan semakin berkurang dan akan mampu menciptakan kemandirian masyarakat. Peran modal sosial secara nyata memberi pengaruh positif signifikan terhadap pengembangan wilayah,


(6)

THE ROLE OF SOCIAL CAPITAL IN PROMOTING EDUCATION SECTOR AND REGIONAL DEVELOPMENT AT GAROGA SUB REGENCY IN NORTH

TAPANULI REGENCY ABSTRACT

In improving human resources in North Tapanuli, people at Garoga sub regency, at Saribu Gonting Garoga Village and Parinsoran Village each has given grants of land area of 2 ha site free of charge to the Government of North Tapanuli, which has been established one unit New High School in 2007 at Saribu Gonting Garoga village and one unit Junior High School in Parinsoran Village in 2008 which funds come from the state budget to work with self-management system involving the local community.

Construction of school buildings carried out by local people with relatively fewer wages than the wages of an ordinary construction worker. Cooperation and community participation in providing location Garoga sub regency land and worked together in the construction of school buildings suggests a role of social capital. The purpose of this study is to analyze the role of social capital to education and regional development. The research method using descriptive analysis and simple regression test.

The results showed that the role of social capital found in the education sector are: 1) mutual trust (honesty and generosity). 2) social networks (participation, solidarity and cooperation) and 3) social institutions. In addition, cultural values and local wisdom Batak society is an effective means to cultivate self-supporting community in school development and quality education, so that dependence on the government's role in development will be minor and will be able to create a community self-reliance. The role of social capital is significantly positive influence significantly to the development of the region,


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan hidayah-Nya tesis ini dapat terselesaikan. Tesis yang berjudul “Peran Modal Sosial dalam Mendorong Sektor Pendidikan dan Pengembangan Wilayah di Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara” merupakan syarat dalam memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Wilayah dan Pedesaan (PWD) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini merupakan sebuah karya yang mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu tidak lupa penyusun sampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Murni Daulay, SE.M.Si., dan Bapak Kasyful Mahalli,

S.E. M.Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberi saran,

dukungan, pengetahuan dan bimbingan kepada penyusun hingga tesis ini selesai. Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza, selaku mantan Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak/Ibu Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.


(8)

5. Seluruh Dosen Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala keikhlasannya dalam memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya.

6. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam hal Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui program Beasiswa bagi Staf Perencana Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara

7. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, dalam hal ini Bupati Tapanuli Utara Bapak Torang Lumbantobing, Sekdakab Tapanuli Utara Bapak Drs. Sanggam Hutagalung, MM, Kepala Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara, Drs. Parsaoran Hutagalung dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara Drs. Joskar, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan pascasarjana dengan memberikan izin belajar serta kelonggaran waktu kepada penulis dalam pekerjaan guna mengikuti perkuliahan

8. Seluruh mahasiswa PWD Kelas Khusus Bappeda Angkatan 2009 yang sudah seperti satu komunitas keluarga serta staf administrasi atas keramah tamahan, bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.

9. Isteriku tercinta Herta Ulima Manurung dan anak-anak tersayang yang selama ini dengan penuh kesabaran telah memberi dukungan dan semangat kepada penyusun.

10. Ibunda tersayang Rumata Hutauruk yang juga telah banyak membantu dalam memberikan semangat moril dan material serta doa

11. Saudara-saudaraku, Muller Tambunan/kel, Apet Sipahutar/kel dan Tagor Sirait/kel yang juga telah banyak memberikan bantuan moril dan material sehingga penulis lebih semangat dalam menyelesaikan pendidikan

12. Keluargaku dari pihak Istri, Mertua serta abang ipar dan kakak ipar yang juga turut berperan dalam penyelesaian perkuliahan ini.


(9)

Penyusun menyadari bahwa tesis yang dikerjakan sebatas kemampuan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan sehat, saran dan masukan dari semua pihak. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

Medan, Agustus 2011 Penulis

Rudyanto Sinaga NIM. 097003046


(10)

RIWAYAT HIDUP

Rudyanto Sinaga lahir di Tarutung pada tanggal 5 Mei 1970, dari Ayah Herry Sinaga (alm) dan Ibunda Rumata Hutauruk, anak ke-3 dari 5 bersaudara dengan saudara Parlindungan Sinaga, Margaretha Sinaga, Taruli Megawaty Sinaga dan Robertha Sinaga.

Menyelesaikan pendidikan pada SD Nomor 174530 Siambolas Kecamatan Siborongborong tahun 1983, SMP Negeri 3 Siborongborong pada tahun 1986 dan SMA Negeri Siborongborong tahun 1989. Meraih gelar Sarjana Ekonomi (Manajemen) di Universitas Sisingamangaraja Tapanuli pada tahun 1999.

Menikah pada bulan September 2001 dengan istri tercinta Herta Ulima Manurung, A.Md.Keb., dan telah dikarunia 3 orang anak yang cantik dan ganteng yaitu Celindita Yemima Sinaga, Jens Jeremias Sinaga dan Lidya Juliana Sinaga.

Pada tahun 1991 menerima SK sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dan ditempatkan pada Kantor Departemen Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara.

Pada tahun 2009 mendapat beasiswa dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di Sekolah Pascasarjana Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara Medan. Sampai saat ini masih aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Modal Sosial ... 9

2.1.1. Dimensi Modal Sosial... 15

2.1.2. Tipologi Modal Sosial... 19

2.2. Kepercayaan... 19

2.3. Jaringan Sosial... 22

2.4. Pranata Sosial... 24

2.5. Pemberdayaan Masyarakat ... 28

2.6. Kearifan Lokal ... 29

2.7. Peran Pendidikan dalam Pembangunan ... 31

2.8. Modal Sosial dalam Pengembangan Wilayah ... 32

2.9. Penelitian Sebelumnya ... 36


(12)

2.11. Hipotesis ... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

3.1. Lokasi Penelitian ... 40

3.2. Populasi dan Sampel ... 43

3.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 43

3.4. Jenis dan Sumber Data ... 44

3.5. Teknik Analisis Data ... 44

3.6. Definisi Operasional ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Utara ... 46

4.2. Gambaran Umum Kecamatan Garoga ... 52

4.3. Peran Modal Sosial terhadap Pendidikan ... 57

4.4. Peran Modal Sosial terhadap Pengembangan Wilayah ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1. Kesimpulan ... 77

5.2. Saran ... 78


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. 4.9. 4.10. 4.11.

Populasi dan Sampel Responden ………... Luas Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Berdasarkan Tingkat Ketinggian di Atas Permukaan Laut ………. Luas Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Berdasarkan Tingkat Kemiringan/Lereng Tanah ……… Banyaknya Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Tapanuli Utara ……….. Angka Indeks Kemiskinan per Kecamatan di Kabupaten

Tapanuli Utara ………... Banyaknya Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Garoga Tahun 2009 ….. Jumlah Sekolah Menurut Desa dan Jenjang Sekolah di

Kecamatan Garoga Tahun 2010 ……… Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang dan Putus Sekolah Siswa SD, SMP dan SMA Tahun Pelajaran 2006/2007 ……….. Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang dan Putus Sekolah Siswa SD, SMP dan SMA Tahun Pelajaran 2009/2010 ……….. Tanggapan Masyarakat tentang Saling Percaya Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ………... Tanggapan Masyarakat tentang Kejujuran Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ………... Tanggapan Masyarakat tentang Kemurahan Hati Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah

Kecamatan Garoga ………

43 48 49 50 51 55 55 56 57 59 59 60


(14)

4.12. 4.13. 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 4.19 4.20 4.21 4.22 4.23

Tanggapan Masyarakat tentang Partisipasi Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ……….... Tanggapan Masyarakat tentang Solidaritas Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ……….... Tanggapan Masyarakat tentang Kerjasama Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga………. Tanggapan Masyarakat tentang Nilai-nilai Agama Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah

Kecamatan Garoga ………. Tanggapan Masyarakat tentang Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah

Kecamatan Garoga ………. Tanggapan Masyarakat tentang Norma-norma Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ……… Tanggapan Masyarakat tentang Kearifan Lokal Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah

Kecamatan Garoga ………. Tanggapan Masyarakat tentang Peran Masyarakat Desa Bila Ada Sekolah yang Rusak di Daerah Kecamatan Garoga ………. Tanggapan Masyarakat tentang Keinginan Masyarakat Desa dalam Memajukan Wilayahnya di Sektor Pendidikan ………….. Tanggapan Masyarakat tentang Peran Masyarakat Desa dapat Meningkatkan Pendidikan di Kecamatan Garoga ……… Tanggapan Responden tentang Modal Sosial pada Pembangunan Pendidikan ………. Hasil Analisis Regresi Sederhana ………..

60 61 61 62 62 63 63 64 64 65 66 73


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. 3.1. 4.1. 4.2. 4.3.

Kerangka Pemikiran ………..……… Peta Lokasi Penelitian ……….. Peta Administrasi Kabupaten Tapanuli Utara ……….. Peta Administrasi Kecamatan Garoga ……….. Rangkuman Hasil Wawancara dengan Responden ………..

39 42 47 53 66


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. 2. 3. 4 5

Kuesiner Penelitian ………... Tabulasi Data ……… Tabulasi Data Interval ……….. Hasil Analisis Regresi Linier ……… Dokumentasi Penelitian ………

82 87 89 92 93


(17)

PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KECAMATAN GAROGA

KABUPATEN TAPANULI UTARA

ABSTRAK

Dalam meningkatkan sumber daya manusia di Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat di Kecamatan Garoga Desa Saribu Gonting Garoga dan Desa Parinsoran masing-masing telah memberikan hibah lokasi tanah seluas 2 ha secara cuma-cuma kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, dimana telah didirikan 1 (satu) unit Sekolah Baru SMA tahun 2007 di Desa Saribu Gonting Garoga dan tahun 2008 1 (satu) unit Sekolah Baru SMP di Desa Parinsoran, yang dananya berasal dari APBN dengan pekerjaan sistem swakelola dengan melibatkan masyarakat setempat.

Pembangunan gedung sekolah dilakukan oleh masyarakat setempat dengan upah relatif lebih sedikit dari upah biasa seorang pekerja bangunan. Kerjasama dan partisipasi masyarakat Kecamatan Garoga dalam memberikan lokasi tanah dan bergotong royong dalam pembangunan gedung sekolah menunjukkan adanya suatu bentuk peran modal sosial. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis peran modal sosial terhadap pendidikan dan pengembangan wilayah. Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif dan uji regresi sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran modal sosial yang ditemukan dalam sektor pendidikan adalah : 1) saling percaya (kejujuran dan kemurahan hati). 2) jaringan sosial (partisipasi, solidaritas dan kerjasama) dan 3) pranata sosial. Disamping itu, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Batak merupakan sarana yang efektif untuk menumbuh kembangkan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan sekolah dan pendidikan yang berkualitas, sehingga ketergantungan akan peran pemerintah dalam pembangunan akan semakin berkurang dan akan mampu menciptakan kemandirian masyarakat. Peran modal sosial secara nyata memberi pengaruh positif signifikan terhadap pengembangan wilayah,


(18)

THE ROLE OF SOCIAL CAPITAL IN PROMOTING EDUCATION SECTOR AND REGIONAL DEVELOPMENT AT GAROGA SUB REGENCY IN NORTH

TAPANULI REGENCY ABSTRACT

In improving human resources in North Tapanuli, people at Garoga sub regency, at Saribu Gonting Garoga Village and Parinsoran Village each has given grants of land area of 2 ha site free of charge to the Government of North Tapanuli, which has been established one unit New High School in 2007 at Saribu Gonting Garoga village and one unit Junior High School in Parinsoran Village in 2008 which funds come from the state budget to work with self-management system involving the local community.

Construction of school buildings carried out by local people with relatively fewer wages than the wages of an ordinary construction worker. Cooperation and community participation in providing location Garoga sub regency land and worked together in the construction of school buildings suggests a role of social capital. The purpose of this study is to analyze the role of social capital to education and regional development. The research method using descriptive analysis and simple regression test.

The results showed that the role of social capital found in the education sector are: 1) mutual trust (honesty and generosity). 2) social networks (participation, solidarity and cooperation) and 3) social institutions. In addition, cultural values and local wisdom Batak society is an effective means to cultivate self-supporting community in school development and quality education, so that dependence on the government's role in development will be minor and will be able to create a community self-reliance. The role of social capital is significantly positive influence significantly to the development of the region,


(19)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses terencana dilakukan oleh golongan tertentu dengan tujuan tertentu seperti meningkatkan kesejahteraan, menciptakan perdamaian. Ciri yang paling mendasar dalam pembangunan yakni direncanakan dan adanya campur tangan dari pihak tertentu. Kalau dalam negara pihak yang merancang konsep, melaksanakan, intervensi terhadap pembangunan yakni Pemerintah dengan objek pembangunan masyarakat.

Pembangunan selama ini, modal ekonomi sudah banyak yang diinvestasikan bangsa ini baik, natural resources maupun capital resources. Namun hasilnya tidak optimal. Bahkan, return on invesment-nya tidak memadai melihat kondisi ini, ada sebuah keyakinan bahwa bangsa ini masih memerlukan modal lain yaitu modal manusia dan modal sosial. Dalam konteks modal manusia adalah mengoptimalkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam hal ini pendidikan merupakan proiritas, di mana pendidikan masih diyakini salah satu media dalam mencerdaskan sebuah bangsa. Melalui pendidikan yang holistik, Indonesia sebagai suatu bangsa akan mampu dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas bangsa ini tidak akan mampu bersaing dan berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain di dunia.


(20)

Selain itu pendidikan juga mampu membangun kesadaran akan hakekat pembangunan modal sosial. Negara-negara yang yang memiki modal sosial yang kuat terbukti sangat mementingkan pendidikan bagi rakyatnya. Selanjutnya, modal sosial yang baik akan mendukung pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pembanguan sosial yang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan partisipasi masyarakat sehingga bersifat demokratis dan sesuai dengan issu politik global dalam pembangunan. Badaruddin (2008) menyebutkan bahwa sebagai makhluk sosial, setiap masyarakat atau komunitas seharusnya memiliki modal sosial, tentu dengan derajat modal sosial yang berbeda antara satu masyarakat (komunitas) dengan satu masyarakat (komunitas) yang lainnya.

Membangun pendidikan berkualitas sangat berperan besar dalam membentuk kualitas individu ataupun masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Dalam ruang ini pendidikan perlu didudukkan sebagai sebuah nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Jika nilai pengetahuan menjadi dominan dalam setiap gerak masyarakat, dengan sendirinya masyarakat akan termotivasi dalam menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Bila keinginan untuk mendapatkan pengetahuan demikian tinggi di masyarakat, akan berakibat pada motivasi anak untuk memasuki lembaga pendidikan dengan bekal, keinginan untuk mengetahui yang mengakar. Disisi lain, membangun motivasi guru sebagai pendidik untuk terpanggil sebagai media dalam proses pendidikan.

Dahulu proses pendidikan sangat melibatkan peran dari masyarakat mulai dari proses pendirian gedung, penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung, pemberian remunerasi kepada guru-guru, termasuk pengawasan proses belajar-mengajar. Bahkan


(21)

masyarakat secara bergantian mengolah kebun atau ladang yang hasilnya secara rutin digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan. Apabila terjadi kerusakan pada bangunan sekolah atau terjadi sarana pendukung yang belum tersedia, maka masyarakat sekitar lokasi sekolah bergotong-royong memberikan bantuan yang diperlukan untuk memastikan bahwa sekolah tersebut bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Namun demikian, proses pembangunan selama ini tampaknya telah menyebabkan pemisahan peran serta masyarakat atas tanggung jawab dalam penyelenggaraan proses pendidikan dan kemudian diambil alih oleh pemerintah. Akibatnya ketika sekolah mengalami masalah, masyarakat sekitar mengabaikan masalah tersebut karena merasa bukan tanggung jawab mereka lagi. Kondisi semacam ini harus diubah total. Masyarakat setempat harus ikut bertanggung jawab atas proses pendidikan dan penyelenggaraan sekolah yang berlangsung di sekitar mereka.

Strategi kebijakan pembangunan pemerintah harus diarahkan bagaimana modal sosial masyarakat harus ditingkatkan, karena mengingat kekayaan alam yang terus dieskploitasi akan habis pada suatu saat, maka penyiapan secara dini untuk membangun karakter masyarakatnya harus dilakukan segera. Kualitas sumber daya manusia yang berkarakter, mempunyai spirit kerja tinggi, mandiri, adalah bekal yang membawa kejayaan bangsa di masa depan. Spirit budaya bangsa seperti ini tidak akan pernah habis, bahkan akan menjadi rahmat besar di masa depan.


(22)

Pendidikan yang berkualitas di Indonesia hanya dapat diwujudkan, jika semua elemen bangsa, khususnya pemerintah, masyarakat, swasta secara sadar menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama, hal ini beralasan dengan sektor pendidikan memperoleh anggaran 20% dari anggaran pendapatan belanja Negara (APBN).

Dalam hal ini yang paling penting adalah bagaimana menyusun prioritas penggunaan anggaran tersebut sedemikian rupa sehingga tidak hanya sekedar bangunan fisik yang kurang berguna, atau bahkan menjadi terbuang percuma karena tidak didasarkan pada kebutuhan yang nyata bagi rakyat. Hal terpenting yang harus disadari adalah bagaimana pembangunan modal sosial (sosial capital), sebagai kunci utama bagi pembangunan berkelanjutan, dapat sepenuhnya dilaksanakan, sehingga tercapai masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Banyak bukti menunjukkan bahwa masyarakat yang makmur adalah masyarakat yang modal sosialnya tinggi, yaitu tercermin dari kehidupan sosialnya yang harmonis, saling memberi, ada kebersamaan dan saling percaya serta terdapat tingkat toleransi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal yang mirip dilontarkan oleh Francis Fukuyama, yang memfokuskan kepada ciri budaya sebuah masyarakat yang mempunyai keunggulan dalam persaingan global. Dalam bukunya Fukuyama percaya bahwa keunggulan suatu masyarakat dan negara yang dapat survive dalam abad ke-21, adalah ditentukan oleh faktor sosial capital (modal sosial) yang tinggi, yaitu high trust society. Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah masyarakat yang mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik vertikal maupun horizontal), serta


(23)

saling memberi. Selanjutnya dikatakan bahwa hal ini bisa terwujud kalau masing-masing individu dan golongan masyarakat menjunjung tinggi rasa saling hormat, kebersamaan, toleransi, kejujuran dan menjalankan kewajibannya.

Dalam suatu pembangunan sosial, modal sosial (sosial capital) adalah salah satu faktor penting yang menentukan pembangunan pendidikan masyarakat. Daryanto (2004) menyatakan bahwa pembentukan modal sosial dapat menyumbang pada pembangunan pendidikan karena adanya jaringan (networks), norma (norms), dan kepercayaan (trust) didalamnya yang menjadi kolaborasi (koordinasi dan kooperasi) sosial untuk kepentingan bersama.

Kabupaten Tapanuli Utara secara geografis didiami suku batak (homogen) yang sarat dengan kearifan-kearifan lokal. Dengan kearifan lokal ini diharapkan bagaimana Pemerintah Kabupaten dapat menuangkannya dalam strategi kebijakannya dalam bidang pendidikan dan pembangunan masyarakat lainnya, yang terfokus dalam meningkatkan modal sosial masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara.

Pendidikan merupakan sektor yang sangat menentukan dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Dengan SDM yang ada baik dari segi kualitas dan kuantitas yang tinggi diharapkan menjadi motor penggerak dan pelaksana pembangunan di Kabupaten Tapanuli Utara. Dalam mewujudkannya indikator dari keberhasilan sektor pendidikan salah satunya dapat dilihat dari peningkatan angka partisipasi sekolah dari tahun ke tahun. Peningkatan ini harus didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana yang baik dan memadai.


(24)

Untuk menjawab peningkatan kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Tapanuli Utara, khususnya di Kecamatan Garoga, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara telah mendirikan SD/MI sebanyak 29 unit, SMP/MTs sebanyak 6 unit dan SMA sebanyak 2 unit.

Hal ini sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara merupakan indikasi yang sangat nyata sebagai upaya Pemerintah Indonesia dalam peningkatan mutu sumberdaya manusia agar mampu bersaing dalam era keterbukaan dan globalisasi. Dalam meningkatkan sumber daya manusia di Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat di Kecamatan Garoga Desa Saribu Gonting Garoga dan Desa Parinsoran masing-masing telah memberikan hibah lokasi tanah seluas 2 ha secara cuma-cuma kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, untuk mendirikan 1 (satu) Unit Sekolah Baru SMA tahun 2007 di Desa Saribu Gonting Garoga dan tahun 2008 1 (satu) unit Sekolah Baru SMP di Desa Parinsoran, yang dananya berasal dari APBN dengan pekerjaan sistem swakelola dengan melibatkan masyarakat setempat.

Pembangunan gedung sekolah dilakukan oleh masyarakat setempat dengan upah relatif lebih sedikit dari upah biasa seorang pekerja bangunan. Kerjasama dan partisipasi masyarakat Kecamatan Garoga dalam memberikan lokasi tanah dan


(25)

bergotong royong dalam pembangunan gedung sekolah menunjukkan adanya suatu bentuk peran modal sosial.

I.2. Perumusan Masalah

Untuk mendudukkan modal sosial sebagai pilar dalam mendorong sektor pendidikan dalam konteks pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Utara, maka disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana peran modal sosial dalam mendorong sektor pendidikan di Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.

2. Bagaimana peran modal sosial dalam pengembangan wilayah di Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.

I.3. Tujuan Penelitian.

1. Untuk menganalisis peran modal sosial dalam mendorong sektor pendidikan di Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.

2. Untuk menganalisis peran modal sosial dalam pengembangan wilayah di Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.

I.4. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis penelitian ini berkaitan dengan studi tentang modal sosial yang dimiliki oleh perkumpulan adat/budaya lokal di Kabupaten Tapanuli Utara. Diharapkan penelitian ini bermanfaat dalam memberikan kontribusi terhadap ruang penelitian sosial dan budaya, khususnya dalam kajian-kajian modal sosial.


(26)

2. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atau sumbangan dalam bentuk data-data yang dapat digunakan bagi kajian-kajian atau penelitian yang berkaitan.

3. Bagi peneliti hasil penelitian diharapkan dapat memperdalam dan memperkaya wawasan dan pengetahuan khususnya tentang modal sosial dalam mendorong sektor pendidikan dan pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Utara.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Modal Sosial

Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan (Berutu, 2002). Potensi ini terkadang terlupakan begitu saja oleh kelompok masyarakat sehingga tidak dapat difungsionalisasikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok masyarakat yang menyadari akan potensi-potensi sosial budaya yang dimilikinya, sehingga potensi-potensi-potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan kelompok masyarakat itu sendiri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka.

Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.

Sebenarnya dalam kehidupan manusia dikenal beberapa jenis modal, yaitu

natural capital, human capital, physical capital dan financial capital. Modal sosial akan dapat mendorong keempat modal di atas dapat digunakan lebih optimal lagi. Konsep modal sosial yang dijadikan fokus kajian, pertama kali dikemukakan oleh Coleman (Portes, 2000) yang mendefinisikannya sebagai aspek-aspek dari


(28)

struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Putnam dalam (Lubis, 2001) menyebutkan bahwa modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat.

Portes (2000) menyebutkan bahwa modal sosial ini sebenarnya memiliki dua arti berbeda, yakni modal sosial dalam arti individual dan modal sosial dalam arti kolektif. Menurutnya seorang individu bisa juga memiliki suatu modal sosial yang berguna bagi aktualisasi dirinya, begitu juga dengan kelompok masyarakat, juga memiliki modal sosial yang dapat dipakai dalam mengoptimalkan potensi terbaiknya.

Putnam dalam Lubis (2001) mendefinisikan modal sosial mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan.

Putnam dalam Lubis (2001) menemukan bahwa modal sosial berkorelasi positif dengan kehidupan demokrasi di negara Amerika Serikat. Norma-norma dan jaringan sosial yang disepakati bersama telah mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas kinerja lembaga-lembaga sosial. Hubungan sosial yang telah tercipta tersebut menghasilkan baiknya mutu sekolah, pembangunan ekonomi yang pesat, penurunan tingkat kejahatan dan bahkan berpengaruh terhadap kinerja pemerintahnya sendiri sebagai representasi dari komunitas masyarakat setempat.


(29)

Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan. Modal itu sendiri dapat dibedakan atas (1) modal yang berbentuk material seperti uang, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaring kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.


(30)

Sebagaimana dikatakan Jamaluddin Ancok, bahwa tanpa adanya kerukunan dan kerja sama yang sinergistik akan semakin sulit bagi berkembangnya ekonomi suatu masyarakat. Modal sosial secara umum dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama, yang menekankan pada jaringan hubungan sosial (network) yang diikat antara lain oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai serta saling mendukung. Kedua, lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam interaksi sosial sebagai kemampuan orang untuk bekerja bersama untuk satu tujuan bersama di dalam grup dan organisasi.

Keberadaan kedua jenis modal sosial tersebut telah ada dalam masyarakat Indonesia dalam bentuk gotong royong dan solidaritas kolektif. Bila analisis dilanjutkan pada dimensi yang lebih dalam, modal sosial tersebut sesungguhnya juga dapat menciptakan ketahanan pangan yaitu berupa usaha mandiri dan solidaritas kolektif dalam menghadapi problem kemiskinan dan lemahnya ketahanan pangan yang dihadapi masyarakat tersebut. Inilah konsep yang selama ini kurang dipahami oleh berbagai introduksi kebijakan pembangunan yang selama ini ada.

Di era globalisasi (globalisation) dan perekonomian dunia yang pro pasar bebas (freemarket) dewasa ini, mulai tampak semakin jelas bahwa peranan non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang oleh Coleman (Portes, 2000). Para stakeholder yang bekerja di dalam sistem perekonomian semakin yakin bahwa modal tidak hanya berwujud alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, alat-alat, dan mesin-mesin, akan tetapi juga berupa human


(31)

capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia.

Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan ketrampilan adalah ‘kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain’. Kemampuan ini akan menjadi modal penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal sosial’ (social capital), yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan organisasi oleh Coleman (Portes, 2000). Oleh karena itu tidak salah apabila Bourdieu mengemukakan kritiknya terhadap terminologi modal (capital) di dalam ilmu ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar alat-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yang lebih luas dan dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu: (a) modal ekonomi (economic capital), (b) modal kultural (cultural capital), dan (c) modal sosial (social capital). Modal ekonomi, dikaitkan dengan kepemilikan alat-alat produksi. Modal kultural, terinstitusionalisasi dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri dari kewajiban - kewajiban sosial.

Sejumlah kejanggalan dan kegagalan tersebut muncul di permukaan karena para ekonom penganut mazab neo-klasik menganggap bahwa faktor-faktor kultural dari perilaku (behavior) manusia sebagai makluk rasional dan memiliki kepentingan diri (self interested)menjadi sesuatu yang given/dikesampingkan (Fukuyama, 2002).


(32)

Tingkat kehidupan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, dimana kebudayaan membentuk seluruh aspek manusia, termasuk perilaku ekonomi dengan sejumlah cara yang kritis.

Ditegaskan oleh Smith bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yang sangat kompleks tertancap dalam kebiasaan - kebiasaan serta aturan - aturan yang lebih luas. Oleh karenanya aktivitas ekonomi merepresentasikan bagian yang krusial dari kehidupan sosial dan diikat bersama oleh varietas yang luas dari norma-norma, aturan-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang bersama-sama membentuk masyarakat (Muller, 2002). dan organisasi (Coleman, 2009). Secara lebih komperehensif Burt (2002) mendefinsikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.

Fukuyama (2005) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox (2005) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.

Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (2009) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan


(33)

norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (2009) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.

Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti

trust (rasa saling mempercayai), ketimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.

2.1.1. Dimensi Modal Sosial

Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan

human capital (Fukuyama, 2005). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia. Investasi human capital kovensional adalah dalam bentuk seperti halnya pendidikan universitas, pelatihan menjadi seorang mekanik atau


(34)

programmer komputer, atau menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya. Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya negara (bangsa).

Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan. Menurut Burt (2002), kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada suatu kondisi dimana komunitas itu mau saling berbagi untuk mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai bersama. Apabila titik temu etis-normatif ini diketemukan, maka pada gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk pada kepentingan-kepentingan komunitas kelompok.

Bank Dunia (2005) meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama.


(35)

Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan ke seharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena itu Adler dan Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999).

Demensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sanksi-sanksi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut


(36)

bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.

Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku, serta berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain.

Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan roh modal sosial antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.

Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telah dari modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola inter relasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai


(37)

sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya.

2.1.2. Tipologi Modal Sosial

Mereka yang memiliki perhatian terhadap modal sosial pada umumnya tertarik untuk mengkaji kerekatan hubungan sosial dimana masyarakat terlibat didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola interaksi sosial atau hubungan sosial antar anggota masyarakat atau kelompok dalam suatu kegiatan sosial. Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan hal yang selalu menarik untuk dikaji.

Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging

atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat.

2.2. Kepercayaan

Unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan (trust) yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama dalam kelompok masyarakat.


(38)

Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerja sama secara lebih efektif (Fukuyama, 2002). Menurut Pretty dan Ward (Lubis, 2001) sikap saling percaya merupakan unsur pelumas yang sangat penting untuk kerjasama, yang oleh Putnam dipercaya sebagai melicinkan kehidupan sosial.

Fukuyama (2002) membahas tentang modal sosial di negara-negara yang kehidupan sosial dan ekonominya sudah modern dan kompleks. Elemen modal sosial yang menjadi pusat kajian Fukuyama adalah kepercayaan (trust) karena menurutnya sangat erat kaitannya antara modal sosial dengan kepercayaan. Fukuyama mengurai secara mendalam tentang bagaimana kondisi kepercayaan dalam komunitas di beberapa negara dan mencoba mencari korelasinya dengan tingkat kehidupan ekonomi negara bersangkutan.

Sukses ekonomi masyarakat negara yang menjadi sampelnya tersebut disebabkan oleh etika kerja yang mendorong perilaku ekonomi kooperatif. Apa yang hendak ditegaskan oleh Fukuyama adalah bahwa kita tidak bisa lagi memisahkan antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya. Fukuyama berpendapat bahwa sekarang ini faktor modal sosial sudah sama pentingnya dengan modal fisik, hanya masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial yang tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi-organisasi bisnis fleksibel berskala besar yang mampu bersaing dalam ekonomi global.

Solidaritas adalah salah satu faktor perekat dalam gerakan modal sosial. Karena rasa solidaritas masyarakat bisa menyatukan persepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan.


(39)

Berdasarkan teori Durkheim (Ritzer, 2003) jenis solidaritas pada gerakan modal sosial bisa saja pada keduanya. Pada solidaritas organis kondisi masyarakat cenderung sudah sangat kompleks dan heterogen, modal sosial muncul bukan karena kesamaan pekerjaan, tetapi lebih pada tujuan lain misalnya perjuangan memperoleh pendidikan yang layak. Fukuyama (2002) juga berpendapat bahwa jenis solidaritas yang umum didapati dalam modal sosial dewasa ini adalah solidaritas organis, karena karakteristik masyarakat sekarang ini cenderung sudah kompleks.

Fukuyama (2002) berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif.

Perilaku normal yaitu perilaku yang sesuai asas dan norma-norma yang dianut bersama. Jika dalam komunitas terdapat perilaku deviant (menyimpang) dari beberapa anggotanya, maka akan sulit mendapat adanya kejujuran dan sifat kooperatif. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat memperkuat rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.

Fukuyama (2002) yang mengkaji modal sosial dan trust dalam masyarakat ekonomi kompleks menyebutkan bahwa kepercayaan bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi unggul, karena bisa diandalkan untuk mengurangi biaya. Karena, jika orang-orang bekerja dalam sebuah perusahaan yang saling mempercayai dan


(40)

bekerja menurut serangkaian norma-norma etis bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya.

Kepercayaan sosial, termasuk kejujuran, keteladanan kerjasama dan rasa tanggung jawab terhadap orang lain sangat penting untuk menumbuhkan kebajikan-kebajikan individual (Fukuyama, 2002). Hal itulah yang menjadi argumen sentral dari Weber (2000) tentang etika protestan yang menunjukkan bahwa kaum puritan memperoleh kekayaan material sebagai hasil dari kepercayaan religiusnya dan telah mengembangkan kebajikan-kebajikan tertentu seperti kejujuran dan sikap hemat yang sangat membantu bagi akumulasi modal.

2.3. Jaringan Sosial

Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan (connectedness) antara individu dan komunitas. Keterkaitan mewujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun di tingkat lebih tinggi. Jaringan sosial yang kuat antara sesama anggota dalam kelompok mutlak diperlukan dalam menjaga sinergi dan kekompakan. Apalagi jika kelompok sosial kapital itu bentuknya kelompok formal. Adanya jaringan-jaringan hubungan sosial antara individu dalam modal sosial memberikan manfaat dalam konteks pengelolaan sumberdaya milik bersama, karena ia mempermudah koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan yang bersifat timbal balik, itulah yang dikatakan Putnam dalam Lubis (2001) tentang jaringan sosial sebagai salah satu elemen dari modal sosial.


(41)

Badaruddin (2005), menyatakan dengan pelibatan warga dalam jaringan sosial yang akan menjadi satuan sosial/organisasi lokal, maka terciptalah apa yang disebut dengan kemampuan warga kolektif mengalihkan kepentingan ‘saya’ menjadi ‘kita’ terbangunlah kekompakan dan solidaritas antar warga. Jaringan sosial terdiri dari lima unsur yang meliputi: adanya partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan (Lubis, 2001).

Konsep partisipasi menurut Mikkelsen (Susiana, 2002) dapat diartikan sebagai alat untuk mengembangkan diri sekaligus tujuan akhir. Keduanya merupakan satu kesatuan dan dalam kenyataan sering hadir pada saat yang sama meskipun status, strategi serta pendekatan metodologinya berbeda. Partisipasi akan menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat banyak. Partisipasi juga menghasilkan pemberdayaan, di mana setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Dalam jaringan sosial, partisipasi memegang peranan yang cukup penting, karena kerjasama yang ada dalam komunitas dapat terjadi karena adanya partisipasi individu-individu.

Solidaritas adalah faktor utama dalam merekatkan hubungan sosial dalam sebuah komunitas. Karena rasa solidaritaslah masyarakat bisa menyatukan persepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan, Merujuk pada teori Emile Durkheim (Ritzer, 2003), solidaritas itu terdiri dari dua jenis, yaitu mechanical solidarity dan organic solidarity. Apa yang membedakan kedua jenis solidaritas ini


(42)

adalah sumber dari solidaritas mereka, atau hal apa yang telah menyatukan mereka. Kuncinya adalah pembagian kerja.

Pada solidaritas organis kondisi masyarakat cenderung sudah sangat kompleks, masing-masing orang memiliki spesialisasi pekerjaan yang banyak jumlahnya, modal sosial muncul bukan karena kesamaan pekerjaan/penghidupan, tetapi lebih pada tujuan lain misalnya perjuangan memperoleh pendidikan yang layak. Pada solidaritas mekanis, pekerjaan masyarakat cenderung sama dan modal sosial muncul karena tujuan-tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, misalnya pada masyarakat petani atau nelayan. Collective Conscience adalah argumen yang dipakai Durkhein dalam mempertegas perbedaan antara solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Collective Conscience adalah kesadaran kolektif dari anggota masyarakat bahwa mereka adalah bagian dari kelompok, suku atau bangsa. Apa yang menyatukan mereka adalah perasaan bahwa pengetahuan dan ide orang perorang tidak akan menghasilkan manfaat yang signifikan, berangkat dari hal tersebut mereka menyatukan diri bersama, dengan asumsi bahwa kekuatan pikiran dan ide-ide bersama akan lebih bermanfaat dan mempunyai presure yang lebih efektif daripada secara individual.

Unsur lainnya dalam jaringan sosial adalah kerjasama. Kerjasama adalah jaringan sesuatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Hampir pada semua kelompok manusia dapat ditemui adanya pola-pola kerjasama. Kerjasama timbul karena individu memiliki orientasi terhadap kelompoknya atau terhadap kelompok lain.


(43)

Cooley (Soekanto, 2003) menggambarkan kerjasama sebagai berikut: Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.

2.4. Pranata Sosial

Pranata sosial merupakan salah satu elemen penting dan modal sosial selain dari kepercayaan dan jaringan sosial. Pranata (institution) terdiri dari nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared values), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions) dan aturan-aturan (rules) (Lubis, 2001).

Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi (Soekanto, 2003). Di dalam pranata warga masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain, tetapi sudah diikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama.

Pranata sosial ini sangat bermacam ragam bentuknya, mulai dari yang tradisional seperti masyarakat adat, sampai pada pranata yang modern seperti partai politik, koperasi, perusahaan, perguruan tinggi dan lain-lain. Menurut Koentjaraningrat (2005) ada 8 (delapan) tipe dari pranata sosial, yaitu:


(44)

1. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan yang sering disebut domestic institution.

2. Pranata-pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia untuk mata pencaharian hidupnya.

3. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan pendidikan.

4. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia, atau sering disebut

scientific institution.

5. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa keindahan.

6. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti kepada Tuhan.

7. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mengatur

keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.

8. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup manusia.

Summer (Soekanto, 2003) mengartikan pranata ini sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sosiolog tersebut menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) fungsi pranata ini, yaitu:

1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka harus

bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan.


(45)

2. Menjaga keutuhan masyarakat.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem

pengendalian sosial.

Suatu pranata supaya dapat tercipta kerjasama, maka harus ada norma-norma yang mengatur. Norma-norma yang ada pada sebuah pranata dapat terbentuk secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada pula yang kuat ikatannya (Soekanto, 2003).

Norma-norma tersebut di atas akan mengalami suatu proses seiring dengan perjalanan waktu dan pada akhirnya norma-norma itu akan menjadi bagian tertentu dan pranata sosial. Soekanto (2003) mengatakan proses itu disebut dengan istilah

institutionalization atau proses pelembagaan, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu pranata sosial. Pranata sosial dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur perilaku orang-orang di dalam lingkungan pranata itu berada (Soekanto, 2003). Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi dapat berlanjut lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya melembaga saja dalam kehidupan masyarakat, namun telah menginternalisasi di dalam kehidupannya. Norma hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dan ketentraman.


(46)

Hubungan antara manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut dikenal ada empat pengertiannya, yaitu: Cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat (Soekanto, 2003). Masing-masing pengertian tersebut mempunyai dasar yang lama, yakni merupakan norma-norma kemasyarakatan yang memberikan petunjuk bagi tingkah laku seseorang di dalam kehidupannya dengan masyarakat.

Dalam masyarakat Batak, onan merupakan pranata yang sudah mapan. Selain sebagai fungsi perdagangan (tempat transaksi jual beli), juga berfungsi sebagai wadah pergaulan sosial di antara anggota kelompok suku dan di antara wilayah yang saling bermusuhan dan bahkan yang secara formal berperang, ditegakkan dan dipertahankan melalui “kedamaian pasar (onan)”.

2.5. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan dari asal kata “daya”. Daya artinya “kekuatan”. Jadi pemberdayaan adalah “penguatan”, yaitu penguatan yang lemah. Pemberdayaan masyarakat menurut versi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa adalah: a) penguatan masyarakat yang lemah, dan b) pengembangan aspek pengetahuan, sikap mental dan ketrampilan masyarakat melalui pemberdayaan, bagaimana masyarakat secara bertahap dapat bergerak dari kondisi tidak tahu, tidak mau dan tidak mampu menjadi tahu, mau dan mampu.

Menurut Kartasasmita (2000) yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan


(47)

masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 2001).

Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu.

Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (Kartasasmita, 2001)) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”.

Menurut Pranarka (2006) mengemukakan pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengubah keadaan seseorang atau kelompok agar yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional.


(48)

2.6. Kearifan Lokal

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius

Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal.

Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.

Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan


(49)

Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

Jadi untuk melaksanakan pembangunan di suatu daerah, hendaknya pemerintah mengenal lebih dulu seperti apakah pola pikir dan apa saja yang ada pada daerah yang menjadi sasaran pembangunan tersebut. Adalah sangat membuang tenaga dan biaya jika membuat tempat wisata tanpa memberi pembinaan kepada masyarakat setempat bahwa tempat wisata tersebut adalah "ikon" atau sumber pendapatan yang mampu mensejahterakan rakyat di daerah itu. Atau lebih sederhananya, sebuah pembangunan akan menjadi sia-sia jika pemerintah tidak mengenal kebiasaan masyarakat atau potensi yang tepat untuk pembangunan didaerah tersebut.

2.7. Peran Pendidikan dalam Pembangunan

Salah satu tujuan berdirinya negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat). Untuk mencapai tujuan ini diperlukan pembangunan dunia pendidikan yang berkualitas di Indonesia. Dalam arti sederhana, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya pendidikan atau paedagogi berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi


(50)

dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman, 2004).

Tujuan utama yang akan dicapai dalam pendidikan adalah membentuk manusia secara utuh (holistic) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual secara optimal serta lifelong learners (pembelajar sejati). Dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas terdapat Sembilan (9) pilar karakter yang terkandung dalam nilai-nilai universal, antara lain:

1. Cinta Tuhan dan Alam Semesta beserta isinya 2. Tanggung jawab Kedisiplinan dan Kemandirian 3. Kejujuran

4. Hormat dan Santun

5. Kasih Sayang, Kepedulian dan Kerjasama

6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras dan Pantang Menyerah 7. Keadilan dan Kepemimpinan

8. Baik dan Rendah Hati

9. Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan (Megawangi, 2004)

Pendidikan yang berkualitas sangat berperan besar dalam menentukan kualitas individu ataupun masyarakat bangsa secara keseluruhan. Di sini perlu mendudukkan pendidikan sebagai sebuah nilai yang tumbuh di masyarakat. Jika nilai pengetahuan begitu dominan dalam setiap gerak masyarakat, dengan sendirinya masyarakat akan


(51)

berjuang untuk menuntut ilmu tanpa mengenal kata berhenti. Hal tersebut merupakan cikal bakal terbangunnya semangat toleransi, keinginan untuk saling berbagi (reciprosity) dan semangat kemanusiaan (altruism) untuk membangun keselamatan, muncul perasaan berharga (sense of efficacy), merangsang keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain (networking) dan saling mempercayai (trust).

2.8. Modal Sosial dalam Pengembangan Wilayah

Kualitas masyarakat perlu untuk mewujudkan kemampuan dan prestasi bersama. Hal ini mencakup ciri-ciri yang berhubungan dengan kelangsungan masyarakat itu sendiri. Dahlan, (2003) kualitas masyarakat ditelaah atas beberapa kelompok dengan detail sebagai berikut:

1. Perihal kehidupan bermasyarakat yang dilihat dari keserasian sosial, kesetiakawanan sosial, disiplin sosial dan kualitas komunikasi sosial.

2. Kehidupan sosial politik melalui level demokrasi, keterbukaan akses untuk partisipasi politik, kepemimpinan yang terbuka, ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi politik, serta keberadaan media massa.

3. Kehidupan kelompok

4. Kualitas lembaga dan pranata kemasyarakatan dengan mempelajari kemutakhiran institusi dan kualitas, kemampuan institusi menumbuhkan kemandirian masyarakat dan menjalankan fungsi yang baik, kualitas pemahaman terhadap hak dan kewajiban tiap orang, struktur institusi yang terbuka dan mekanisme


(52)

sumber-sumber yang potensial dalam membangkitkan daya kemasyarakatan secara berkelanjutan.

Satu konsep yang dekat dengan modal sosial yang sejak dulu menjadi salah satu perhatian ilmuwan khususnya untuk masyarakat pertanian adalah konsep ‘hubungan patron-klien’ (patron-client relationship). Ini merupakan hubungan dua pihak, antara dua orang secara individual yang bersifat asimetris. Pihak patron (tuan atau majikan) menyediakan perlindungan dan jaminan sosial, sedangkan klien memberikan tenaganya baik di pertanian maupun di rumah.

Pembangunan atau pengembangan dalam arti development, bukan suatu kondisi atau keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusia, dalam hal ini masyarakat lokal. Sebaliknya, pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki, guna meningkatkan kualitas hidupnya dan juga masyarakat sekitarnya. Jadi pembangunan harus diartikan sebagai keinginan untuk memperoleh perbaikan serta kemampuan untuk merealisasikannya. Artinya, pengembangan lebih kepada motivasi dan pengetahuan.

Dalam pengembangan wilayah, hal yang sebenarnya dibicarakan adalah pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan dengan means yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi.”Empower” adalah proses di mana orang memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan keinginan (willingness) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang mereka hadapi dan mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Disini terjadi proses di mana


(53)

orang-orang didorong dan dibesarkan hatinya (encouraged) untuk memperoleh penuh ketrampilan, kemampuan dan kreativitas.

Dari banyak batasan, ada yang memfokuskan kepada pemberdayaan individu, yaitu suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu. Seseorang dikatakan telah empowered ketika misalnya ia telah dapat memimpin dirinya sendiri. Pemberdayaan juga dapat dilakukan terhadap komunitas. Pada langkah awal, perlu dibangun visi personal komunitas terhadap greatness (kejayaan dan kebesaran). Namun, perhatikan keseimbangan antara authonomy dengan dependence. Dengan memahami dependency, orang menjadi paham struktur, membantu untuk merasa terkoneksi dengan orang lain, serta membantu kita belajar dari orang lain.

Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan empowerment memfokuskan kepada upaya untuk memobilitasi kemampuan sendiri dalam masyarakat, dibandingkan dengan menyediakan program kesejahteraan untuk mereka.

Empowerment adalah proses untuk meningkatkan asset dan kemampuan secara individual maupun kelompok. Masyarakat yang telah berdaya (empowered) memiliki kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri.

Modal sosial dipahami sebagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk memfasilitasi bagi pencapaian tujuan-tujuan masyarakat, yang ditunjukkan oleh kualitas dari tingkat kepercayaan dan kerjasama. Inkeles (2001) mencoba mengukur modal sosial dalam skala yang lebih besar, yaitu dalam populasi nasional atau negara. Bukti-bukti yang ia temukan dari sebanyak 40 negara sebagai sampelnya menunjukkan bahwa negara dengan tingkat individualisme yang tinggi,


(54)

pendapatannya yang rendah dan kebebasan yang tertekan, sedangkan negara-negara dengan nilai-nilai sosial yang positif memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pemerintahan demokratis yang stabil. Nilai-nilai sosial yang positif dalam sebuah negara yang ia maksudkan dapat dilihat dari besarnya tingkat kepercayaan dalam masyarakat dan organisasi-organisasi sosial yang eksis.

Dari apa yang dikemukakan oleh Inkeles (2001) terlihat bahwa negara dengan tingkat modal sosial yang tinggi mampu mendorong ke arah tingginya tingkat pertumbuhan ekonominya dan kestabilan demokrasinya. Modal sosial tersebut banyak ditemukan dalam komunitas yang antar masyarakatnya terjalin komunikasi dan interaksi, baik melalui organisasi maupun asosiasi-asosiasi. Sedangkan di dalam masyarakat individualistis, dengan interaksi sosial yang jarang, modal sosial tidak optimal, kecuali melalui institusi-institusi formal yang memang secara resmi sudah diikat oleh aturan-atuaran baku.

Tanda bahwa modal sosial ini menarik adalah bukti empiris yang menunjukkan modal sosial ini memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Torsvik (Simarmata, 2009) mengatakan, siapapun yang menulis tentang modal sosial pasti setuju bahwa modal sosial harus dibedakan dari pengukuran ekonomi yang standar, seperti modal fisik dan modal manusia. Modal sosial sebagai missing link

dalam pembangunan ekonomi, karena antara modal sosial dan produktivitas, terdapat jaringan. Modal sosial memberikan sebuah potensi besar bagi produktivitas, karena modal sosial memiliki kegunaan efisiensi dalam setiap tindakan, yang terjalin oleh adanya kepercayaan, niat baik dan kerjasama dalam masyarakat. Kepercayaan


(55)

merupakan sebuah variable ekonomi yang penting. Alasannya adalah kepercayaan memainkan peranan penting dalam produksi, karena hal itu dapat mengurangi biaya transaksi dalam aktivitas ekonomi.

Sedangkan Fukuyama (2002) mendefinisikan modal sosial sebagai

serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Nilai dan norma informal tertentu yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut memberikan dorongan bagi mereka untuk membuat sebuah kerjasama yang akan menguntungkan mereka dalam bidang-bidang kehidupan tertentu, bisa saja bidang kehidupan sosial, budaya bahkan ekonomi. Modal sosial memberikan sebuah kekuatan baru yang dapat mendukung modal fisik dan modal ekonomi yang telah ada sebelumnya, yang mutlak diperlukan dalam pembangunan kelompok masyarakat bersangkutan dalam arti luas.

2.9. Penelitian Sebelumnya

Nasution (2006) dalam penelitiannya “Pendayagunaan Modal Sosial dalam Pengelolaan Sekolah Dasar Swasta Muhammadiyah Sorik”, menyimpulkan bahwa eksistensi suatu institusi dipengaruhi oleh adanya pemanfaatan elemen modal sosial. Elemen tersebut antara lain: 1) Saling percaya (kejujuran, sikap egaliter, kemurahan hati; 2) Jaringan sosial (partisipasi, solidaritas, kerjasama) dan 3) Pranata Sosial (nilai-nilai bersama, aturan dan adat istiadat).


(56)

Partisipasi dalam kehidupan masyarakat ditunjukkan oleh nilai-nilai budaya lokal. Aktivitas yang dilakukan terjadi karena adanya partisipasi dari kerabat, tetangga untuk saling membantu, artinya tanpa adanya partisipasi tentunya nilai-nilai kerjasama tersebut akan tumpul dan bahkan hilang.

Tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam aktivitas sosial ditentukan oleh akar budaya yang terisolasi dan bonding, yaitu saling memberi dan peka terhadap kerabat. Kedua sikap tersebut merupakan nilai yang paling berjasa dalam membentuk karakter masyarakat yang partisipatif, solider dan memiliki banyak nilai budaya kerjasama dalam kehidupan sosial masyarakat.

Sukardi (2002) dalam penelitiannya “Modal sosial dan reorientasi kebijakan publik (studi utilisasi modal sosial dalam proses reorientasi kebijakan agrarian lokal pada kasus sengketa property tanah petani melawan PTPN XII di kawasan Malang Selatan)” menyimpulkan bahwa, genesis modal sosial sebenarnya bermula dari sebuah interaksi dalam sebuah komunitas yang ada dalam satuan-satuan geografis. Bangunan interaksional sekenanya dan tidak sengaja, saling menyapa sekedar ingin mengucapkan dan bertanya karena merasa perlu memperhatikan tatkala saling jumpa. Tingginya intensitas interaksi ini akhirnya antar mereka menjadi saling mendekat dan tidak enggan berkomunikasi.


(57)

2.10. Kerangka Penelitian

Masyarakat dalam dirinya memiliki potensi untuk saling kerjasama, solidaritas, dan partisipasi dalam keterkaitan sesama individu masyarakat, maupun dengan lingkungan dimana mereka hidup.

Potensi masyarakat tersebut merupakan bentuk modal sosial, yang diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun demikian, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala individu maupun institusional. Secara individu, interaksi terjadi manakala relasi intim antar individu terbentuk satu sama lain yang kemudian melahirkan ikatan emosional. Secara institusional dalam bidang pendidikan, interaksi dapat lahir pada saat visi dan tujuan suatu masyarakat untuk dapat berkembang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan adanya kesempatan kerja.

Modal sosial masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang padu dan konsisten. Modal sosial menunjuk jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat sebagai bagian integral dalam membangun kualitas hidup (kesejahteraan masyarakat), hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.


(58)

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran 2.11. Hipotesis

1. Peran modal sosial mendorong sektor pendidikan di Kecamatan Garoga

Kabupaten Tapanuli Utara.

2. Peran modal sosial berpengaruh positif dalam pengembangan wilayah di Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.

Potensi Masyarakat

Modal Sosial

Sektor Pendidikan

Pembangunan Gedung Sekolah

Tingkat Pendidikan

Pendapatan Masyarakat

Kesempatan Kerja Pengembangan


(59)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara Kecamatan Garoga pada Desa Saribu Gonting Garoga dan Desa Parinsoran. Kecamatan Garoga adalah merupakan Kecamatan terluas di Kabupaten Tapanuli Utara yang menurut letak geografis masih dalam kategori tertinggal, terpencil dan memiliki wilayah yang terpencar-pencar, dengan rentang jarak dari Ibukota Kabupaten Tapanuli Utara (Tarutung) sekitar 84 km. Hal inilah yang mengakibatkan Kecamatan Garoga cenderung masih tertinggal dari beberapa Kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara dimana indeks kemiskinan juga tergolong tinggi, termasuk angka putus sekolah. Dengan wilayah yang terpencar-pencar, akses pelayanan pada sektor pendidikan cukup rendah, dimana pada tahun 1990-an angka lulusan SD melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA relatif rendah karena jarak sekolah yang tergolong jauh serta pelayanan pendidikan menengah yang belum ada.

Akibat hal tersebut sebagian lulusan SD lebih memilih membantu orangtua ke lading. Jika ekonomi orangtua memungkinkan, anak se-usia SLTP dan SLTA akan memilih sekolah di Ibukota Kabupaten Tapanuli Utara dengan menyewa kamar (indekost). Hal ini tentu akan merupakan beban biaya tambahan bagi masyarakat, yang mayoritas mata pencaharian adalah dari sektor pertanian yang masih tradisionil.


(60)

Mengingat hal tersebut diatas, masyarakat pada 2 desa diatas dengan rela hati telah memberikan tanah secara cuma-cuma masing-masing seluas 2 ha untuk lokasi pembangunan gedung sekolah yaitu SMP Negeri pada Desa Parinsoran dan SMA Negeri pada Desa Saribu Gonting Garoga, dimana sebelumnya SMP terdekat pada Desa Parinsoran masih berjarak 12 km, sementara Kecamatan Garoga hingga tahun 2008 belum memiliki SMA Negeri (Gambar 3.1.). Sebagai awal berdirinya SMA Negeri di Kecamatan Garoga, disamping memberikan lahan secara cuma-cuma, masyarakat secara gotong royong telah mendirikan 3 (tiga) ruang kelas darurat (bahan kayu, lantai tanah) dengan membuat suatu pengumpulan dana berupa uang dan beras termasuk dari perantau. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat dalam sektor pendidikan cukup tinggi guna menciptakan sumber daya manusia guna mewujudkan filosofi pada masyarakat Batak yakni “anakkonhi do hamoraon di au”.

Selanjutnya dengan jarak pelayanan administrasi kependudukan yang relatif jauh dengan Kantor Camat dari Desa Parinsoran, juga menambah motivasi masyarakat guna mewujudkan pemekaran Kecamatan. Mereka beranggapan bahwa dengan berdirinya 1 (satu) unit SMP Negeri pada desa tersebut, pemekaran kecamatan seperti yang mereka dambakan terwujud, sehingga lahan yang diberikan oleh masyarakat setempat tidak hanya pada sektor pendidikan, tetapi juga lahan pada persiapan lokasi Kantor Pemerintahan Kecamatan dan pelayanan kesehatan (Puskesmas). Dengan adanya pemekaran wilayah kecamatan (pada wilayah Parinsoran), serta merta percepatan pembangunan infrastruktur lainnya juga akan semakin baik sebagai bagian pengembangan wilayah.


(61)

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian

Lokasi Pembangunan SMP Negeri

Lokasi Pembangunan SMA Negeri


(62)

3.2. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bermukim di Kecamatan Garoga Desa Saribu Gonting Garoga dan Desa Parinsoran. Desa Saribu Gonting Garoga memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.304 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 263 rumah tangga (RT). Desa Parinsoran memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.548 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 350 rumah tangga (RT), sehingga populasi dalam penelitian ini adalah 2.852 jiwa dengan 613 RT.

Besarnya sampel ditetapkan dengan mengacu pada catatan yang dikemukakan oleh Mantra dan Kasio (Singarimbun dan Effendi, 2002), disebutkan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10%, sehingga dalam penelitian ini jumlah sampel adalah sebesar 62 RT (10% dari 613 RT). Distribusi sampel responden diambil secara porprosional random sampling, yang dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Populasi dan Sampel Responden

No Desa Populasi (RT) Sampel (RT)

1 2

Saribu Gonting Parinsoran

263 350

263/613 x 62 = 27 350/613 x 62 = 35

Jumlah 613 62

3.3. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel cara sengaja (purposive sampling), hal


(63)

ini disebabkan oleh kondisi masyarakat di daerah penelitian yang homogen, dilihat dari etnis dan wilayah administratif. Distribusi sampel responden berdasarkan desa ditetapkan secara proporsional yaitu 27 orang di Desa Saribu Gonting dan 35 orang di Desa Parinsoran (Tabel 3.1).

3.4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer bersumber dari masyarakat responden, yakni melalui penyebaran kuisioner (skala Likert, yang menyediakan pilihan jawaban berkisar sangat baik (SB); Baik (B); Cukup Baik (C); kurang baik (KB) dan tidak baik (TB). Dalam hal ini masyarakat responden penelitian dapat memilih jawaban sesuai dengan kondisi objektif apa adanya dari pengamatan mereka terhadap objek yang diteliti. Nilai jawaban masyarakat responden ini diukur dengan memberikan nilai jawaban (skala likert) terhadap lima alternatif jawaban yang bergerak dari poin 5,4,3,2, dan 1) dan wawancara. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumentasi lembaga/instansi yang berhubungan dengan penelitian.

3.5. Teknik Analisis Data

1. Untuk menguji hipotesis pertama menggunakan analisis deskriptif yaitu mendeskriptikan peran modal sosial dalam mendorong sektor pendidikan.

2. Untuk menguji hipotesis kedua menggunakan analisis regresi linier, yaitu (Sugiyono, 2003) :


(64)

di mana :

Y = Pengembangan wilayah (sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, tidak baik)

Xi

a = konstanta

= Peran Modal Sosial (sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, tidak baik)

b = koefisien regresi µ = Efek error

3.6. Definisi Operasional

1. Peran modal sosial merupakan keinginan masyarakat untuk bersama-sama dalam mendorong sektor pendidikan. Dalam penelitian ini peran modal sosial adalah saling percaya, jaringan sosial dan pranata sosial.

2. Pendidikan berkualitas adalah media yang membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual secara optimal.

3. Pengembangan wilayah adalah usaha untuk pengembangan atau pembangunan wilayah menuju perubahan ke arah yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja masyarakat.


(65)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Utara

Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu daerah Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara terletak di wilayah pengembangan dataran tinggi Sumatera Utara berada pada ketinggian antara 300-1500 meter di atas permukaan laut.

Topografi dan kontur tanah Kabupaten Tapanuli Utara beraneka ragam yaitu

tergolong datar (3,16 persen), landai (26,86 persen), miring (25,63 persen) dan terjal (44,35 persen).

Luas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara sekitar 3.800,31 Km2 terdiri dari luas dataran 3.793,71 Km2 dan luas perairan Danau Toba 6,60 Km2. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Utara terletak di antara 1o20’ – 2o41’ Lintang Utara dan 98o05’ – 99o

Secara administratif, batas-batas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara sebagai berikut:

16’ Bujur Timur. Ibukota Kabupaten Tapanuli Utara adalah Tarutung.

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan dan


(66)

Gambar 4.1. Peta Administrasi Kabupaten Tapanuli Utara

Kabupaten Tapanuli Utara beriklim tropis dan memiliki suhu udara berkisar 12,7o C sampai dengan 25o C, dengan kelembaban udara rata-rata 88 persen. Seperti daerah lainnya, di Kabupaten Tapanuli Utara terdapat dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim hujan pertama mulai bulan Agustus sampai dengan bulan Januari, sedangkan musim hujan kedua mulai bulan Maret sampai dengan bulan Mei.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)