Peran Modal Sosial Dalam Memdorong Sektor Pendidikan Dan Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Samosir (Studi Pada SMK HKBP Pangururan)

(1)

PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG

SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN

WILAYAH DI KABUPATEN SAMOSIR

(STUDI PADA SMK HKBP PANGURURAN)

TESIS

Oleh

RAJOKI SIMARMATA

077003048/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9

S E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG

SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN

WILAYAH DI KABUPATEN SAMOSIR

(STUDI PADA SMK HKBP PANGURURAN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

(PWD) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RAJOKI SIMARMATA

077003048/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(3)

Judul Tesis : PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN SAMOSIR (STUDI PADA SMK HKBP PANGURURAN)

Nama Mahasiswa : Rajoki Simarmata

Nomor Pokok : 077003048

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza) Ketua

(Agus Suriadi, S.Sos. M.Si) (Kasyful Mahalli, SE. M.Si)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza

Anggota : 1. Agus Suriadi, S.Sos. M.Si

2. Kasyful Mahalli, SE. M.Si

3. Prof. Dr. Badaruddin


(5)

ABSTRAK

Rajoki Simarmata NIM. 077003048 “Peran Modal Sosial dalam Mendorong Sektor Pendidikan dan Pengembangan Wilayah Kabupaten

Samosir (Studi pada SMK HKBP Pangururan)”, di bawah bimbingan Prof.

Bachtiar Hassan Miraza, Agus Suriadi, S.Sos, M.Si dan Kasyful Mahalli, SE, M.Si. SMK HKBP Pangururan merupakan usaha sosial milik HKBP Resot Pangururan yang didirikan secara swadaya. Gedung sekolah, gaji guru dan biaya operasional sekolah semuanya ditanggung oleh Yayasan HKBP Panguruan tanpa bantuan dari Pimpinan Pusat HKBP Pearaja Tarutung dan pemerintah. Dengan kemandiriannya, SMK tersebut masih eksis sampai sekarang sejak dari tahun 1992. Kehadiran sekolah ini telah memberikan akses bagi rakyat miskin untuk bersekolah, karena biaya sekolahnya murah bahkan anak yatim tidak dikenakan biaya, gratis. Beranjak dari fenomena di atas tersebut maka penulis ingin mencari tahu bagaimanakah modal sosial yang terdapat dalam pengelolaan SMK HKBP Pangururan dalam membangun sumberdaya manusia.

Penelitian ini dilakukan pada SMK HKBP Pangururan yang berlokasi di Kelurahan Pasar Pangururan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Tipe penelitian adalah deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif, yang artinya penulis tidak melakukan pengujian hipotesis tetapi hanya mendeskripsikan data-data yang diperoleh di lapangan, kemudian dilakukan interpretasi terhadap data, dan akhirnya analisis dan pembahasan terhadap data.

Pengelolaan SMK HKBP Pangururan secara swadaya ternyata dipengaruhi oleh adanya peran modal sosial. Elemen modal sosial yang ditemukan adalah: (1) Saling Percaya (kejujuran, sikap egaliter, kemurahan hati), (2) Jaringan Sosial (partisipasi, solidaritas, kerjasama), dan (3) Pranata Sosial (nilai-nilai bersama, aturan-aturan). Modal sosial dalam pengelolaan sekolah tersebut berasal dari dua sumber, yaitu: modal sosial Kegerejanian, dan modal sosial yang berasal dari sistem nilai budaya masyarakat lokal (Batak Toba). Sinergi kedua sistem nilai tersebut ternyata memberi kekuatan dan sebagai sumberdaya dalam pengelolaan sekolah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Dalam tubuh HKBP sebenarnya terkandung kekuatan modal sosial yang besar, nilai nilai ajaran Kegerajanian, kemandiriannya dan semangat protestanis adalah sebuah potensi modal sosial.


(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ijin-Nyalah penelitian yang berjudul “Peran Modal Sosial dalam Mendorong Sektor Pendidikan dan Pengembangan Wilayah di Kabupaten Samosir (Studi pada SMK HKBP Pangururan)”, dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Atas rampungnya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut memberikan bantuan dan dukungan, baik sewaktu penulis mengikuti proses perkuliahan maupun pada saat penulis melakukan penelitian. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza selaku Ketua Komisi Pembimbing dalam penulisan tesis ini.

2. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan serta arahan dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan serta arahan dalam penulisan tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE, dan Drs. Rujiman, MA, yang bersedia menjadi Dosen Penguji serta telah memberikan masukan dan arahan yang bermanfaat dalam penulisan tesis ini.

5. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza, selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

7. Seluruh civitas akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi maupun


(8)

kelancaran kegiatan akademik, termasuk juga seluruh teman-teman di jurusan PWD USU Medan.

8. Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui Program Beasiswa Unggulan hingga penyelesaian tesis ini berdasarkan DIPA Sekretariat Jenderal DEPDIKNAS Tahun Anggaran 2007 sampai dengan 2009.

9. Khusus kepada istriku ‘Lola Siregar’ dan putriku ‘Swarnadwipa Rouly Simarmata’ yang telah memberikan perhatian dan motivasi, sehingga peneliti dapat merampungkan penulisan tesis ini.

Akhirnya dengan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, tesis ini dipersembahkan bagi semua pihak yang membacanya dengan harapan dapat memberi koreksi konstruktif apabila terdapat kesalahan.

Medan, Juli 2009 Penulis,

Rajoki Simarmata NIM. 077003048


(9)

RIWAYAT HIDUP

Rajoki Simarmata dilahirkan di Peanamalum pada tanggal 15 Maret 1977. Anak kelima dari Poltak Simarmata dan Kesi Naibaho. Menyelesaikan pendidikan: SD Negeri 173805 Simarmata tahun 1989, SMP Katolik Budi Mulia Pangururan tahun 1992, SMA Katolik Serdang Murni Lubuk Pakam tahun 1995. Memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Katolik St. Thomas Medan, Sumatera Utara tahun 1999.

Pada tahun 2007 mendapatkan beasiswa untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara Medan. Saat ini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Bagian Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Samosir.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR BAGAN... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

I.1. Latar Belakang Masalah... 1

I.2. Perumusan Masalah... 8

I.3. Tujuan Penelitian... 9

I.4. Manfaat Penelitian... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 11

II.1. Kepercayaan Sebagai Modal Sosial... 13

II.2. Jaringan Sosial dan Modal Sosial... 17

II.3. Pranata Sosial dalam Modal Sosial... 20

II.4. Modal Sosial dan Pembangunan Pendidikan Berkualitas... 25

II.5. Modal Sosial dalam Pengembangan Wilayah... 26

II.6. Penghambat Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Pengembangan Wilayah...33

II.7. Penelitian Sebelumnya... 35

II.8. Kerangka Penelitian... 37

BAB III METODE PENELITIAN... 39

III.1. Tipe Penelitian... 39

III.2. Lokasi Penelitian... 39

III.3. Jenis dan Sumber Data... 40

III.4. Teknik Pengumpulan Data... 41

III.5. Teknik Analisis Data... 43


(11)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 46

IV.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 46

IV.1.1. Lokasi Kelurahan Pasar Pangururan... 46

IV.1.2. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat... 47

IV.2. Tentang SMK HKBP Pangururan... 49

IV.2.1. Awal Berdirinya Sekolah... 49

IV.2.2. Pembangunan Sarana Fisik Sekolah... 50

IV.2.3. Kegiatan Belajar Mengajar pada SMK HKBP Panguruan... 52

IV.2.4. Operasional SMK HKBP Pangururan... 54

IV.2.5. Guru-guru Pendidik SMK HKBP Pangururan... 58

IV.3. Semangat dan Prinsip Kemajuan (Hamajuon) dalam Pendidikan... 61

IV.4. Kebersamaan dan Kekeluargaan dalam HKBP Pangururan... . 65

IV.5. Nilai-nilai Kerjasama dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan... 66

IV.5.1. Marsialap Ari... 67

IV.5.2. Manumpaki... 69

IV.6. Nilai-nilai Budaya Lokal Lainnya dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan... 72

IV.6.1. Holong... 73

IV.6.2. Tangi... 75

IV.7. Identifikasi Modal Sosial dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia... 77

IV.7.1. Saling Percaya... 78

IV.7.2. Jaringan Sosial... . 82

IV.7.3. Pranata... 88

IV. 8. Pembangunan Sumber Daya Manusia (Siap Kerja dan Membuka Lapangan Kerja) Berbasis Modal Sosial... 91

IV.8.1. Modal Sosial dari Segi Kepercayaan (Trust)... ... 91

IV.8.2. Modal Sosial dari Segi Jaringan (Networking)... 95

IV.9. Penghambat Modal Sosial dalam Membangun Pendidikan yang Berkualitas untuk Pengembangan Wilayah ... 99

IV.9.1. Meredusir Pengetahuan Lokal... . 99

IV.9.2. Perbedaan Paradigma Pendidikan Para Pihak... 100

IV.9.3. Kebijakan dan Program Pendidikan Tidak Berpihak Kepada Orang Miskin... 101

IV.9.4. Sistem Pengelolaan Kurikulum Sekolah tidak konsisten... 103

IV.9.5. Kelayakan Sekolah dan Database Pendidikan (Tidak Adanya Standart Minimal)... 102


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... . 109

V.1. Kesimpulan... . 109

V.2. Saran... 110


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

III.1: Daftar Informan Penelitian... 41 IV.1: Keadaan Penduduk Menurut Agama... 47 IV.2: Inventarisasi Sarana SMK HKBP Pangururan

Bulan Januari 2009... 56 IV.3: Jumlah Siswa SMK HKBP Pangururan Tahun Ajaran

2008/2009... 58 IV.4: Klasifikasi Siswa SMK HKBP Pangururan Berdasarkan Umur

Tahun Ajaran 2008/2009... 58 IV.5: Kolekte dan Sumbangan Jemaat HKBP Pangururan Tahun 2008 71


(14)

DAFTAR BAGAN

Nomor Judul Halaman

II.1 : Alur Kerangka Penelitian... 38 IV.1 : Struktur Pemerintahan Kelurahan Pasar Pangururan... 47 IV.2 : Struktur Organisasi SMK HKBP Pangururan... 59


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

I : Daftar Nama-Nama Informan dalam Penelitian pada SMK HKBP

Pangururan... 115 II : Identifikasi Modal Sosial pada SMK HKBP Pangururan... 116 III : Dokumentasi Penelitian... 120


(16)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Budaya suatu bangsa sangat menentukan keberhasilan pembangunan manusianya. Demikian penting budaya dalam pembangunan, Ir. Sukarno pernah mengungkapkan summen bundeling van alle krachten van de natie, artinya pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa, termasuk budaya. Ini berarti, pembangunan tidak akan berjalan lancar atau stagnan tanpa adanya kebersamaan, kerekatan, rasa saling percaya, dan keinginan untuk belajar dan berubah kearah yang lebih baik. Tampaknya budaya ini dari hari ke hari makina tergerogoti. Tak heran bila kondisi ini menjadi faktor yang menyebabkan seluruh elemen bangsa kecewa melihat hasil pembangunan yang jauh dari harapan.

Pembangunan selama ini, modal ekonomi sudah banyak yang diinvestasikan bangsa ini baik, natural resources maupun capital resources. Namun hasilnya tidak optimal. Bahkan, return on invesment-nya tidak memadai melihat kondisi ini, ada sebuah keyakinan bahwa bangsa ini masih memerlukan modal lain yaitu modal manusia dan modal sosial. Dalam konteks modal manusia adalah mengoptimalkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam hal ini pendidikan merupakan proiritas, di mana pendidikan masih diyakini salah satu media dalam mencerdaskan sebuah bangsa. Melalui pendidikan yang holistik, Indonesia sebagai suatu bangsa akan mampu dalam meningkatkan kualitas sumber daya


(17)

manusianya. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas bangsa ini tidak akan mampu bersaing dan berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Selain itu pendidikan juga mampu membangun kesadaran akan hakekat pembangunan modal sosial. Negara-negara yang yang memiki modal sosial yang kuat terbukti sangat mementingkan pendidikan bagi rakyatnya. Selanjutnya, modal sosial yang baik akan mendukung pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Di Indonesia perhatian pemerintah terhadap pengembangan sumber daya manusia, khususnya pendidikan telah banyak dilakukan. Pemberantasan buta aksara terus digencarkan, terutama setelah keluarnya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Pengentasan Wajib Belajar 9 (sembilan) Tahun dan pemberantasan buta aksara sebagai tindak lanjut dari instruksi ini dilakukan berbagai upaya melalui peningkatan daya serap pendidikan dasar maupun paket-paket pendidikan keaksaraan seperti, program keaksaraan fungsional dan program kesetaraan tingkat dasar.

Membangun pendidikan berkualitas sangat berperan besar dalam membentuk kualitas individu ataupun masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Dalam ruang ini pendidikan perlu didudukkan sebagai sebuah nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Jika nilai pengetahuan menjadi dominan dalam setiap gerak masyarakat, dengan sendirinya masyarakat akan termotivasi dalam menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Bila keinginan untuk mendapatkan pengetahuan demikian tinggi di masyarakat, akan berakibat pada motivasi anak untuk memasuki lembaga pendidikan dengan bekal, keinginan untuk mengetahui yang mengakar.


(18)

Disisi lain, membangun motivasi guru sebagai pendidik untuk terpanggil sebagai media dalam proses pendidikan.

Dahulu proses pendidikan sangat melibatkan peran dari masyarakat mulai dari proses pendirian gedung, penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung, pemberian remunerasi kepada guru-guru, termasuk pengawasan proses belajar-mengajar. Bahkan masyarakat secara bergantian mengolah kebun atau ladang yang hasilnya secara rutin digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan. Apabila terjadi kerusakan pada bangunan sekolah atau terjadi sarana pendukung yang belum tersedia, maka masyarakat sekitar lokasi sekolah bergotong-royong memberikan bantuan yang diperlukan untuk memastikan bahwa sekolah tersebut bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Namun demikian, proses pembangunan selama ini tampaknya telah menyebabkan pemisahan peran serta masyarakat atas tanggung jawab dalam penyelenggaraan proses pendidikan dan kemudian diambil alih oleh pemerintah. Akibatnya ketika sekolah mengalami masalah, masyarakat sekitar mengabaikan masalah tersebut karena merasa bukan tanggung jawab mereka lagi. Kondisi semacam ini harus diubah total. Masyarakat setempat harus ikut bertanggung jawab atas proses pendidikan dan penyelenggaraan sekolah yang berlangsung di sekitar mereka.

Karenanya, strategi kebijakan pembangunan pemerintah harus diarahkan bagaimana modal sosial masyarakat harus ditingkatkan, karena mengingat kekayaan alam yang terus dieskploitasi akan habis pada suatu saat, maka penyiapan secara dini


(19)

untuk membangun karakter masyarakatnya harus dilakukan segera. Kualitas sumber daya manusia yang berkarakter, mempunyai spirit kerja tinggi, mandiri, adalah bekal yang membawa kejayaan bangsa di masa depan. Spirit budaya bangsa seperti ini tidak akan pernah habis, bahkan akan menjadi rahmat besar di masa depan.

Pendidikan yang berkualitas di Indonesia hanya dapat diwujudkan, jika semua elemen bangas, khususnya pemerintah, masyarakat, swasta secara sadar menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Sejauh ini, pendidikan belum menjadi prioritas utama pemerintah. Kurangnya keseriusan pemerintah dalam membangun pendidikan dapat dilihat dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara yang sangat rendah.

Dalam hal ini yang paling penting adalah bagaimana menyusun prioritas penggunaan anggaran tersebut sedemikian rupa sehingga tidak hanya sekedar bangunan fisik yang kurang berguna, atau bahkan menjadi terbuang percuma karena tidak didasarkan pada kebutuhan yang nyata bagi rakyat. Hal terpenting yang harus disadari adalah bagaimana pembangunan modal sosial (social capital), sebagai kunci utama bagi pembangunan berkelanjutan, dapat sepenuhnya dilaksanakan, sehingga tercapai masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Banyak bukti menunjukkan bahwa masyarakat yang makmur adalah masyarakat yang modal sosialnya tinggi, yaitu tercermin dari kehidupan sosialnya yang harmonis, saling memberi, ada kebersamaan dan saling percaya serta terdapat tingkat toleransi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal yang mirip dilontarkan oleh Francis Fukuyama, yang memfokuskan kepada ciri budaya sebuah masyarakat yang mempunyai keunggulan


(20)

dalam persaingan global. Dalam bukunya Fukuyama percaya bahwa keunggulan suatu masyarakat dan negara yang dapat survive dalam abad ke-21, adalah ditentukan oleh faktor social capital (modal sosial) yang tinggi, yaitu high trust society. Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah masyarakat yang mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik vertikal maupun horizontal), serta saling memberi. Selanjutnya dikatakan bahwa hal ini bisa terwujud kalau masing-masing individu dan golongan masyarakat menjunjung tinggi rasa saling hormat, kebersamaan, toleransi, kejujuran dan menjalankan kewajibannya.

Pendidikan merupakan sektor yang sangat menentukan dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Dengan SDM yang ada baik dari segi kualitas dan kuantitas yang tinggi diharapkan menjadi motor penggerak dan pelaksana pembangunan di Kabupaten Samosir. Dalam mewujudkannya indikator dari keberhasilan sektor pendidikan salah satunya dapat dilihat dari peningkatan angka partisipasi sekolah dari tahun ke tahun. Peningkatan ini harus didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana yang baik dan memadai.

Kabupaten Samosir Secara geografis merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan dataran tinggi bukit barisan dan didiami suku batak toba (homogen) yang sarat dengan kearifan-kearifan lokal. Dengan kearifan lokal ini diharapkan bagaimana Pemerintah Kabupaten dapat menuangkannya dalam strategi kebijakannya dalam bidang pendidikan dan pembangunan masyarakat lainnya, yang terfokus dalam meningkatkan modal sosial masyarakat Kabupaten Samosir.


(21)

Khusus untuk kondisi di Kabupaten Samosir, banyaknya infrastruktur pendidikan yang mengalami kerusakan sehingga tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya, memang bisa dijadikan salah satu alasan. Namun, yang lebih penting lagi, adalah kualitas “software” pendidikan yang mencakup visi dan tujuan pendidikan yang akan dicapai, strategi, kurikulum, kualitas tenaga pengajar yang memahami metode pedagogi yang benar, dan bagaimana sekolah dapat membentuk karakter sumber daya manusia yang tangguh, yang semuanya ini luput dari perhatian pemerintah dan ini terjadi secara nasional, bukan hanya di Kabupaten Samosir saja.

Untuk menjawab peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Samosir, baik pemerintah, swasta ataupun masyarakat banyak mendirikan sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan. Untuk jejang pendidikan sekolah-sekolah kejuruan yang tersebar di Kabupaten Samosir telah berdiri 6 (enam) unit SMK, 2 (dua) diantaranya milik pemerintah dan 4 (empat) milik swasta. Menurut data BPS tahun 2008, jumlah sekolah, guru dan murid masing-masing 6 sekolah, 163 guru dan 2.345. murid. Rasio murid SMK terhadap guru dan sekolah masing-masing 14 dan 390.

Dalam meningkatkan sumber daya manusia di Kabupaten Samosir, HKBP sebagai sebuah organisasi keagamaan dan sosial bersama-sama dengan jemaatnya ikut berperan aktif, yaitu dengan mendirikan sebuah sekolah kejuruan yang bernaung dalam lembaga Yayasan HKBP Pangururan. Pada tahun 1992 secara resmi Yayasan HKBP Pangururan mendirikan sebuah SMK yaitu, SMK HKBP Pangururan dengan membuka dua jurusan yaitu, jurusan otomotif dan jurusan elektro, di mana kegiatan belajar mengajar di SMK HKBP Pangururan sudah dimulai walaupun dengan fasilitas


(22)

yang masih minim. Kegiatan belajar mengajar masih menggunakan gedung bekas RSU HKBP Pangururan. Situasi ini disebabkan karena masih terbatasnya dana yang dan juga bahan material bangunan yang dikumpulkan oleh warga HKBP Resort Pangururan.

Pembangunan gedung sekolah dilakukan secara bertahap melalui sumbangan dan bantuan warga, di mana pembangunannya dilakukan secara gotong royong yang dilakukan bersama-sama oleh warga HKBP Pangururan. Setiap warga HKBP memberikan sumbangan materil sesuai dengan kemampuan masing-masing sebagai wujud partisipasi mereka dalam membesarkan organisasi.

Sumber dana utama Yayasan HKBP Pangururan dalam membangun sekolah berasal dari sumbangan warga HKBP Pangururan. Pada tahap awal gedung SMK dibuat empat ruangan saja. Warga HKBP hanya perlu menjalin kerjasama untuk melakukan gotong royong dan memberdayakan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.

Kerjasama dan partisipasi warga HKBP Pangururan dalam bergotong royong mengumpulkan dana dan membangun gedung sekolah menunjukkan adanya suatu bentuk akan peran modal sosial. HKBP sebagai organisasi keagamaan yang ada di Pangururan merupakan wadah bagi individu untuk mengaktualisasikan diri dalam kehidupan spiritual dan kehidupan sosial. Orang-orang yang tergabung dalam pranata organisasi HKBP telah merajut sebuah jaringan sosial diantara mereka sesama warga dan dengan warga lainnya yang ada di luar resort mereka. Di dalam pranata


(23)

(organisasi HKBP) mereka terikat oleh seperangkat nilai-nilai bersama, aturan-aturan dan norma-norma yang menjadi acuan dalam segala aspek kehidupan.

Keikhlasan dan kerelaan masing-masing pihak mengambil bagian dalam partisipasi dan gotong royong membangun sekolah didorong oleh rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap organisasi. Warga HKBP telah memahami bentuk doktrin tentang semua pekerjaan dalam segala sendi kehidupan adalah wujud cinta kasih (hamajuon).

Hal di atas pernah terjadi pada masyarakat kita, sewaktu belum ada sekolah-sekolah Inpres, sekolah-sekolah harus diselenggarakan atas dasar community-based, yaitu dimiliki oleh masyarakat dan dilakukan oleh masyarakat. Guru pun diambil dari masyarakat setempat dan dibayar oleh masyarakat. Kita juga bisa belajar dari sejarah bagaimana kemajuan dan kemakmuran bangsa-bangsa yang maju di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kejayaan tersebut sangat ditentukan oleh sistem pendidikan pada saat meletakkan pondasinya dan adanya independensi masyarakat yang tinggi dan segala kreativitas yang mereka miliki.

I.2. Perumusan Masalah

Beranjak dari kondisi tersebut di atas, maka permasalahan yang muncul adalah bahwa telah terjadi proses pengikisan modal sosial yang berdampak pada seluruh penurunan kualitas kehidupan masyarakat Kabupaten Samosir khususnya pendidikan. Untuk mendudukkan modal sosial sebagai pilar dalam membangun


(24)

pendidikan yang berkualitas dalam konteks pengembangan wilayah di Kabupaten Samosir, maka disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana peran modal sosial meningkatkan kualitas pendidikan pada SMK HKBP Pangururan.

2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat modal sosial dalam membangun pendidikan yang berkualitas untuk pengembangan wilayah di Kabupaten Samosir.

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

1. Untuk menganalisis peran modal sosial membangun pendidikan yang berkualitas pada SMK HKBP Pangururan.

2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penghambat modal sosial dalam membangun pendidikan yang berkualitas dan kaitannya dengan pengembangan wilayah di Kabupaten Samosir.

I.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini, diharapkan bermanfaat untuk:

1. Secara akademis penelitian ini berkaitan dengan studi tentang modal sosial yang dimiliki oleh perkumpulan adat/budaya lokal, organisasi keagamaan di Kabupaten Samosir. Diharapkan penelitian ini bermanfaat dalam


(25)

memberikan kontribusi terhadap ruang penelitian sosial dan budaya, khususnya dalam kajian-kajian modal sosial.

2. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atau sumbangan dalam bentuk data-data yang dapat digunakan bagi kajian-kajian atau penelitian yang berkaitan.

3. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atau sumbangan bagi para pengambil keputusan maupun stakeholders dalam konteks membangun dan mengembangkan Kabupaten Samosir dalam ruang yang berkarakter.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan (Berutu, 2002: 9). Potensi ini terkadang terlupakan begitu saja oleh kelompok masyarakat sehingga tidak dapat difungsionalisasikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok masyarakat yang menyadari akan potensi-potensi sosial budaya yang dimilikinya, sehingga potensi-potensi-potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan kelompok masyarakat itu sendri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka.

Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.

Sebenarnya dalam kehidupan manusia dikenal beberapa jenis modal, yaitu

natural capital, human capital, physical capital dan financial capital. Modal sosial

akan dapat mendorong keempat modal di atas dapat digunakan lebih optimal lagi. Konsep modal sosial yang dijadikan fokus kajian, pertama kali dikemukakan oleh Coleman (Portes, 2000: 2) yang mendefinisikannya sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan


(27)

nilai-nilai baru. Putnam menyebutkan bahwa modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat (Lubis, 2001).

Portes (2000) menyebutkan bahwa modal sosial ini sebenarnya memiliki dua arti berbeda, yakni modal sosial dalam arti individual dan modal sosial dalam arti kolektif. Menurutnya seorang individu bisa juga memiliki suatu modal sosial yang berguna bagi aktualisasi dirinya, begitu juga dengan kelompok masyarakat juga memiliki modal sosial yang dapat dipakai dalam mengoptimalkan potensi terbaiknya.

Dari pernyataan Portes di atas dapat kita ketahui bahwa popularitas dari konsep modal sosial telah disertai oleh bertambahnya makna dan pengaruhnya secara aktual. Portes mempertimbangkan alternatif pemakaian dan konsep modal sosial sebagai sebuah sifat dari seorang individu, dan juga sifat dari sebuah kelompok.

Putnam (1995: 2) mendefinisikan modal sosial sebagai: By analogy with

notions of physical capital and human capital-tools and training that enhance individual productivity- social capital refers to features oj'social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit.

Sama seperti pengertian darl modal fisik dan modal manusia, modal sosial mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan (Putnam, 1995: 2).


(28)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putnam (1995) di Amerika Serikat menemukan bahwa modal sosial berkorelasi positif dengan kehidupan demokrasi di negara tersebut. Norma-norma dan jaringan sosial yang disepakati bersama telah mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas kinerja lembaga-lembaga sosial. Hubungan sosial yang telah tercipta tersebut menghasilkan baiknya mutu sekolah, pembangunan ekonomi yang pesat, penurunan tingkat kejahatan dan bahkan berpengaruh terhadap kinerja pemerintahnya sendiri sebagai representasi dari komunitas masyarakat setempat.

II.1. Kepercayaan Sebagai Modal Sosial

Fukuyama (2002) berpendapat bahwa unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan (trust) yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerjasama secara lebih efektif. Sebagaimana menurut Pretty dan Ward (Lubis, 2001) sikap saling percaya merupakan unsur pelumas yang sangat penting untuk kerjasama, yang oleh Putnam dipercaya sebagai melicinkan kehidupan sosial.

Dalam bukunya Trust, Fukuyama (2002) membahas tentang modal sosial di negara-negara yang kehidupan sosial dan ekonominya sudah modern dan kompleks. Elemen modal sosial yang menjadi pusat kajian Fukuyama adalah kepercayaan (trust) karena menurutnya sangat erat kaitannya antara modal sosial dengan kepercayaan. Fukuyama mengurai secara mendalam tentang bagaimana kondisi kepercayaan dalam komunitas di beberapa negara, dan mencoba mencari


(29)

korelasinya dengan tingkat kehidupan ekonomi negara bersangkutan. Fukuyama (2002) mengatakan bahwa sukses ekonomi masyarakat negara yang menjadi sampelnya tersebut disebabkan oleh etika kerja yang mendorong perilaku ekonomi kooperatif. Apa yang hendak ditegaskan oleh Fukuyama adalah bahwa kita tidak bisa lagi memisahkan antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya. Fukuyama berpendapat bahwa sekarang ini faktor modal sosial sudah sama pentingnya dengan modal fisik, hanya masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial yang tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi-organisasi bisnis fleksibel berskala besar yang, mampu bersaing dalam ekonomi global.

Faktor kebudayaan yang sering dianggap sebagai irrasional menurut Fukuyama tidak sepenuhnya benar. Kebudayaan menurutnya sudah dapat memunculkan berbagai akibat rasional yang bahkan berimplikasi pada kegiatan ekonomi.

Untuk membahas serangkaian kebudayaan dan modal sosial negara-negara, Fukuyama (2002) membagi negara-negara itu sebagai high trust dan trust society. Negara yang dimasukkan Fukuyama ke dalam high trust adalah Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat. Ekonomi masyarakat dalam high trust society mempunyai keunggulan fleksibilitas yang tinggi, karena rakyatnya mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap sistem sosial mereka. Sementara dalam masyarakat

low trust society diangapnva lebih inferior dalam perilaku ekonomi kolektifnya,


(30)

Solidaritas adalah salah satu faktor perekat dalam gerakan modal sosial. Karena rasa solidaritaslah masyarakat bisa menyatukan persepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan.

Merujuk pada Ritzer (2003), solidaritas itu terdiri dari dua jenis, yaitu:

mechanical solidarity dan organic solidarity. Apa yang membedakan kedua jenis

solidaritas ini adalah sumber dari solidaritas mereka, atau hal apa yang telah menyatukan mereka. Kuncinya adalah pembagian kerja. Tentang mechanical

solidarity, Durkheim menyebutkan: “In mechanical solidarity, society is held

together by the fact that virtually everyone does essentially the same things (gathering fruit and vegetables, hunting animals). In other words, there is little

division of labor in primitive society and this fact holds society together”.

Sedangkan organic solidarity adalah

"In Organic Solidarity a substantial division of labor has occurred and people come to perform increasingly speciallized tasks. Thus, some may make shoes, other may make bread, and still others may raise children. Solidarity here comes from differences: that is, people needs the contributions of an increasing number of people in order to fungtion and even to survive ".

Berdasarkan teori Durkheim (Ritzer, 2003) jenis solidaritas pada gerakan modal sosial bisa saja pada keduanya. Pada solidaritas organis kondisi masyarakat cenderung sudah sangat kompleks dan heterogen, modal sosial muncul bukan karena kesamaan pekerjaan tetapi lebih pada tujuan lain misalnya perjuangan memperoleh pendidikan yang layak. Pada solidaritas mekanis, masyarakatnya masih homogen dan


(31)

modal sosial muncul karena tujuan-tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, misalnya pada masyarakat petani atau nelayan. Fukuyama (2002) juga berpendapat bahwa jenis solidaritas yang umum didapati dalam modal sosial dewasa ini adalah solidaritas organis, karena karakteristik masyarakat sekarang ini cenderung sudah kompleks.

Fukuyama (2002) berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif.

Perilaku normal yaitu perilaku yang sesuai asas dan norma-norma yang dianut bersama, Jika dalam komunitas terdapat perilaku deviant (menyimpang) dari beberapa anggotannya, maka akan sulit mendapat adanya kejujuran dan sifat kooperatif. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat memperkuat rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.

Fukuyama (2002) yang mengkaji modal sosial dan trust dalam masyarakat ekonomi kompleks menyebutkan bahwa kepercayaan bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi unggul, karena bisa diandalkan untuk mengurangi biaya. Karena, jika orang-orang bekerja dalam sebuah perusahaan yang saling mempercayai dan bekerja menurut serangkaian norma-norma etis bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya.


(32)

Kepercayaan sosial, termasuk kejujuran, keteladanan kerjasama dan rasa tanggung jawab terhadap orang lain sangat penting untuk menumbuhkan kebajikan-kebajikan individual (Fukuyama, 2002). Hal itulah yang menjadi argumen sentral dari Max Weber (2000) tentang etika protestan yang menunjukan bahwa kaum puritan memperoleh kekayaan material sebagai hasil dari kepercayaan religiusnya dan telah mengembangkan kebajikan-kebajikan tertentu seperti kejujuran dan sikap hemat yang sangat membantu bagi akumulasi modal.

II.2. Jaringan Sosial dan Modal Sosial

Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan (connectedness) antara individu dan komunitas. Keterkaitan mewujud didalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun di tingkat lebih tinggi. Jaringan sosial yang kuat antara sesama anggota dalam kelompok mutlak diperlukan dalam menjaga sinergi dan kekompakan. Apalagi jika kelompok sosial kapital itu bentuknya kelompok formal. Adanya jaringan-jaringan hubungan sosial antar individu dalam modal sosial memberikan manfaat dalam konteks pengelolaan sumberdaya milik bersama, karena ia mempermudah koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan yang bersifat timbal balik, itulah yang dikatakan Putnam (1995) tentang jaringan sosial sebagai salah satu elemen dari modal sosial.

Sebagaimana dikutip dari Badaruddin dalam buku Nasution (2005), dengan pelibatan warga dalam jaringan sosial yang akan menjadi satuan sosial/organisasi lokal, maka terciptalah apa yang disebut Putnam (1995) dengan kemampuan warga


(33)

kolektif mengalihkan kepentingan 'saya' menjadi 'kita' terbangunlah kekompakan dan solidaritas antar warga. Jaringan sosial terdiri dari lima unsur yang meliputi: adanya partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaitas, kerjasama, dan keadilan (Lubis, 2001).

Konsep partisipasi menurut Mikkelsen (Susiana, 2002) dapat diartikan sebagai alat untuk mengembangkan diri sekaligus tujuan akhir. Keduanya merupakan satu kesatuan dan dalam kenyataan sering hadir pada saat yang sama meskipun status, strategi serta pendekatan metodologinya berbeda. Partisipasi akan menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat banyak. Partisipasi juga menghasilkan pemberdayaan, di mana setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Dalam jaringan sosial, partisipasi memegang peranan yang cukup penting, karena kerjasama yang ada dalam komunitas dapat terjadi karena adanya partisipasi individu-individu.

Solidaritas adalah faktor utama dalam merekatkan hubungan sosial dalam sebuah komunitas. Karena rasa solidaritaslah masyarakat bisa menyatukan persepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan. Merujuk pada teori Emile Durkheim (Ritzer, 2003), solidaritas itu terdiri dari dua jenis, yaitu mechanical

solidarity dan organic solidarity. Apa yang membedakan kedua jenis solidaritas ini

adalah sumber dari solidaritas mereka, atau hal apa yang telah menyatukan mereka. Kuncinya adalah pembagian kerja.

Pada solidaritas organis kondisi masyarakat cenderung sudah sangat kompleks, masing-masing orang memiliki spesialisasi pekerjaan yang banyak


(34)

jumlahnya, modal sosial muncul bukan karena kesamaan pekerjaan/penghidupan, tetapi lebih pada tujuan lain misalnya perjuangan memperoleh pendidikan yang layak. Pada solidaritas mekanis, pekerjaan masyarakat cenderung sama dan modal sosial muncul karena tujuan-tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, misalnya pada masyarakat petani atau nelayan. Collective Conscience adalah argumen yang dipakai Durkheim dalam mempertegas perbedaan antara solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Collective conscience adalah kesadaran kolektif dari anggota masyarakat bahwa mereka adalah bagian dari kelompok, suku atau bangsa. Apa yang menyatukan mereka adalah perasaan bahwa pengetahuan dan ide orang perorang tidak akan menghasilkan manfaat yang signifikan, berangkat dari hal tersebut mereka menyatukan diri bersama, dengan asumsi bahwa kekuatan pikiran dan ide-ide bersama akan lebih bermanfaat dan mempunyai presure yang lebih efektif daripada secara individual.

Unsur lainnya dalam jaringan sosial adalah kerjasama. Kerjasama adalah jaringan sesuatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Hampir pada semua kelompok manusia dapat ditemui adanya pola-pola kerjasama. Kerjasama timbul karena individu memiliki orientasi terhadap kelompoknya atau terhadap kelompok lain. Charles H. Cooley (Soekanto, 1997) menggambarkan kerjasama sebagai:

Kerjasama timbal apabila orang menyadan bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan penggendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi


(35)

kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.

II.3. Pranata Sosial dalam Modal Sosial

Pranata sosial merupakan salah satu elemen penting dan modal sosial selain dari kepercayaan dan jaringan sosial. Pranata (institution) terdiri dari nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared values), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and

sanctions), dan aturan-aturan (rules) (Lubis, 2001).

Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi (Soekanto, 1997: 7). Di dalam pranata warga masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain tetapi sudah diikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama.

Pranata sosial ini sangat bermacam ragam bentuknya, mulai dari yang tradisional seperti masyarakat adat, sampai pada pranata yang modern seperti partai politik, koperasi, perusahaan, perguruan tinggi dan lain-lain. Menurut Koentjaraningrat (1990) ada delapan tipe dari pranata sosial, yaitu:

1. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan yang sering disebut domestic institution.

2. Pranata-pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia untuk mata pencaharian hidupnya.


(36)

4. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia, atau sering disebut

scientific institution.

5. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa keindahan.

6. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti kepada Tuhan.

7. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mengatur keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.

8. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup manusia.

Pranata muncul disebabkan adanya keperluan dan kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenuhi sendiri, maka muncullah lembaga-lembaga masyarakat untuk memenuhi hal tersebut, dan lembaga ini muncul dengan norma-norma masing-masing. Tentang pranata ini Soekanto (1997) menyebutnya sebagai lembaga kemasyarakatan, yang didefinisikan sebagai: "lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat".

Sosiolog bernama Sumner (Soekanto, 1997) mengartikan pranata ini sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sosiolog tersebut menyebutkan bahwa ada tiga fungsi dari pranata ini, yaitu:


(37)

1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam mnghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

2. Menjaga keutuhan masyarakat.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial.

Di dalam suatu pranata supaya dapat tercipta kerjasama, maka harus ada norma-norma yang mengatur. Norma-norma yang ada pada sebuah pranata dapat terbentuk secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada pula yang kuat ikatannya (Soekanto, 1997).

Norma-norma tersebut di atas akan mengalami suatu proses seiring dengan pedajanan waktu. Dan pada akhirnya norma-norma itu akan menjadi bagian tertentu dan pranata sosial. Soekanto (1997) mengatakan proses itu disebut dengan istilah

institutionalization atau proses pelembagaan, yaitu suatu proses yang dilewati oleh

suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah saitu pranata sosial. Pranata sosial dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur perilaku orang-orang di dalam lingkungan pranata itu berada (Soekanto, 1997). Proses pelembagaan sebenamya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi dapat berlanjut lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya melembaga saja dalam kehidupan masyarakat, namun telah menginternalisasi di dalam kehidupannya. Norma hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai


(38)

kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban den ketenteraman.

Gillin dan Gillin (Soekanto, 1997) menguraikan beberapa ciri umum pranata sosial, yaitu:

1. Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola pemikiran dan pola-pola prilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari adat istiadatnya, tata kelakuan, kebiasaan serta unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.

2. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif lama. Misalnya, suatu sistem pendidikan tertentu baru akan dapat diterapkan seluruhnya setelah mengalami suatu masa percobaan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan biasanya juga berumur lama, karena pada umumnya orang menganggapnya sebagai himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok masyarakat yang sudah sewajarnya harus dipelihara.

3. Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Mungkin tujuan-tujuan tersebut tidak sesuai atau sejalan dengan fungsi lembaga yang bersangkutan, apabila dipandang dari sudut kebudayaan secara keseluruhan. Pembedaan antara tujuan dengan fungsi sangat penting oleh karena tujuan suatu lembaga adalah tujuan pula bagi golongan masyarakat tertentu dan golongan


(39)

masyarakat bersangkutan pasti akan berpegang teguh padanya.

4. Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti bangunan, peralatan, mesin dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.

5. Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri khas dari lembaga kemasyarakatan. Lambang-lambaing tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.

6. Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis ataupun yang tidak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku dan lain-lain. Tradisi tersebut merupakan dasar bagi lembaga itu dalam pekerjaannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, di mana lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi bagiannya.

Supaya hubungan antara manusia di dalam sesuatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, dikenal ada empat pengertiannya yaitu: Cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat (Soekanto, 1997). Masing-masing pengertian tersebut mempunyai dasar yang lama, yakni merupakan norma-norma, kemasyarakatan yang memberikan petunjuk bagi tingkah laku seseorang di dalam kehidupannya dengan masyarakat.

Dalam masyarakat Batak, onan merupakan pranata yang sudah mapan. Selain sebagai fungsi perdagangan (tempat transaksi jual-beli), juga berfungsi sebagai


(40)

wadah pergaulan sosial di antara anggota kelompok suku dan di antara wilayah yang saling bermusuhan dan bahkan yang secara formal berperang, ditegakkan dan dipertahankan melalui “kedamaian pasar (onan).

II.4. Modal Sosial dan Pembangunan Pendidikan Berkualitas

Salah satu tujuan berdirinya negara ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 alinea keempat), untuk mencapai tujuan ini diperlukan pembangunan dunia pendidikan yang berkualitas di Indonesia. Dalam arti sederhana pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya pendidikan atau padagogi berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman N., dkk, 1994).

Tujuan utama yang akan dicapai dalam pendidikan adalah membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual secara optimal serta lifelong

learners (pembelajar sejati). Dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas

terdapat sembilan (9) pilar karakter yang terkandung dalam nilai-nilai universal, antara lain (1) Cinta Tuhan dan Alam Semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab,


(41)

Kedisiplinan dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat dan Santun; (5) Kasih Sayang, Kepedulian dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah Hati; (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan (Megawangi, 2004).

Pendidikan yang berkualitas sangat berperan besar dalam menentukan kualitas individu ataupun masyarakat bangsa secara keseluruhan. Di sini perlu mendudukan pendidikan sebagai sebuah nilai yang tumbuh di masyarakat. Jika nilai pengetahuan begitu dominan dalam setiap gerak masyarakat, dengan sendirinya masyarakat akan berjuang untuk menuntut ilmu tanpa mengenal kata berhenti. Hal tersebut merupakan cikal bakal terbangunnya semangat toleransi, keinginan untuk saling berbagi (reciprosity) dan semangat kemanusiaan (altruism) untuk membangun keselamatan, muncul preasaan berharga (sense of efficacy), merangsang keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain (networking) dan saling mempercayai (trust).

II.5. Modal Sosial dalam Pemgembangan Wilayah

Satu konsep lain yang dekat dengan modal sosial adalah konsep “Kualitas Masyarakat”. Menurut Dahlan (1993) kualitas masyarakat perlu untuk mewujudkan kemampuan dan prestasi bersama. Hal ini mencakup ciri-ciri yang berhubungan dengan kelangsungan masyarakat itu sendiri. Kualitas masyarakat ditelaah atas beberapa kelompok dengan detail sebagai berikut:

(1) Perihal kehidupan bermasyarakat yang dilihat dari keserasian sosial, kesetiakawanan sosial, disiplin sosial, dan kualitas komunikasi sosial.


(42)

(2) Kehidupan sosial politik melalui level demokrasi, keterbukaan akses untuk partisipasi politik, kepemimpinan yang terbuka, ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi politik, serta keberadaan media massa.

(3) Kehidupan kelompok.

(4) Kualitas lembaga dan pranata kemasyarakatan dengan mempelajari kemutakhiran institusi dan kualitas, kemampuan institusi menumbuhkan kemandirian masyarakat dan menjalankan fungsi yang baik, kualitas pemahaman terhadap hak dan kewajiban tiap orang, struktur institusi yang terbuka, dan mekanisme sumber-sumber yang potensial dalam membangkitkan daya kemasyarakatan secara berkelanjutan.

Satu konsep yang dekat dengan modal sosial yang sejak dulu menjadi salah satu perhatian ilmuwan khususnya untuk masyarakat pertanian adalah konsep

“hubungan patron-klien” (patron-client relationship) (Scott, 1993). Ini merupakan hubungan dua pihak (diadik), antara dua orang secara individual yang bersifat asimetris. Pihak patron (tuan atau majikan) menyediakan perlindungan dan jaminan sosial, sedangkan klien memberikan tenaganya baik di pertanian maupun di rumah

Pembangunan atau pengembangan dalam arti development, bukan suatu kondisi atau keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusia, dalam hal ini masyarakat lokal. Sebaliknya, pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki, guna meningkatkan kualitas hidupnya, dan juga masyarakat sekitarnya. Jadi pembangunan harus diartikan sebagai keinginan untuk memperoleh perbaikan serta kemampuan


(43)

untuk merealisasikannya. Artinya, pengembangan lebih kepada motivasi dan pengetahuan (M.T. Zen, 2001).

Dalam pengembangan wilayah, hal yang sebenarnya dibicarakan adalah pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan dengan means yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi. Empower” adalah proses di mana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan keinginan (willingness) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang mereka hadapi dan mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Disini terjadi proses di mana orang-orang didorong dan dibesarkan hatinya (encouraged) untuk memperoleh penuh keterampilan, kemampuan, dan kreativitas.

Dari banyak batasan, ada yang memfokuskan kepada pemberdayaan individu, yaitu suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu. Seseorang dikatakan telah empowered ketika misalnya ia telah dapat memimpin dirinya sendiri. Pemberdayaan juga dapat dilakukan terhadap komunitas. Pada langkah awal, perlu dibangun visi personal komunitas terhadap greatness (kejayaan dan kebesaran). Namun, perhatikan keseimbangan antara authonomy dengan dependence. Dengan memahami dependency, orang menjadi paham tentang struktur, membantu untuk merasa terkoneksi dengan orang lain, serta membantu kita belajar dari orang lain.

“Kontrol” merupakan inti dalam pemberdayaan. Ada tiga tahap untuk membangkitkan pemberdayaan dari sisi ini, yaitu: (1) kontrol dan pengaruh yang dibatasi dari pihak luar, dengan aktivitasnya berupa pembuatan keputusan-keputusan minor, pemecahan masalah, dan konsultasi terhadap berbagai keputusan yang akan


(44)

dibuat; (2) kontrol yang signifikan; serta (3) peningkatan pemberian otoritas kepada komunitas, dengan semakin sedikitnya kontrol dan adanya dukungan untuk membuat keputusan sendiri. Pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Intinya tentu saja

“kemandirian”.

Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan empowerment memfokuskan kepada upaya untuk memobilisasi kemampuan sendiri dalam masyarakat, dibandingkan dengan menyediakan program kesejahteraan untuk mereka.

Empowerment adalah proses untuk meningkatkan asset dan kemampuan secara

individual maupun kelompok. Masyarakat yang telah berdaya (empowered) memiliki kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri.

Bank Dunia selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social capital, and

community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini menekankan kepada

inklusifitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai alat operasional (Worl bank, 2005).

Konsep modal sosial dapat diaplikasikan dalam bermacam-macam tipikal masalah. Teori asli tentang modal sosial ini pada awalnya dikembangkan oleh seorang sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, dan oleh seorang sosiolog Amerika Serikat, James Coleman (Portes, 2000). Bordieu menyatakan ada tiga macam modal,


(45)

yaitu modal uang, modal sosial, dan modal budaya dan akan efektif digunakan jika diantara ketiganya ada interaksi. Modal sosial dapat digunakan untuk segala kepentingan, namun tanpa ada sumberdaya fisik dan pengetahuan budaya yang dimiliki, maka akan sulit bagi individu-individu untuk membangun sebuah hubungan sosial (Portes, 2000: 2).

Portes (2000) membagi modal sosial menjadi tiga bagian, yaitu:

(1) sebagai sumber dari kontrol sosial, (2) sebagai sumberdaya keluarga, (3) sebagai sumberdaya jaringan sosial non-keluarga. Dalam sebuah keluarga kecil/inti saja ada potensi modal sosial yang dimiliki, begitu juga dalam sebuah keluarga besar (extended family), seperti Cina pada masa sekarang dan Jepang pada masa feodal biasanya membangun jaringan bisnisnya terbatas pada klannya saja, mereka akan sangat protektif terhadap anggota keluarga mereka (Fukuyama, 2002). Modal sosial juga berkembang pada non-keluarga, seperti asosiasi-asosiasi sosial yang sering dijumpai, misalnya sekolah perkumpulan olahraga, perkumpulan hobi dan lain-lain (Putnam, 1995). Dalam kelompok-kelompok seperti inti potensi modal sosialnya juga besar. Dengan syarat bahwa dalam perkumpulan itu sudah dipenuhi dua hal, yaitu: rasa saling percaya dan jaringan sosial.

Bagi Coleman (Portes, 2000) modal sosial adalah sebuah tali pengikat masyarakat. Disebutnya sebagai pengikat masyarakat karena pemanfaatan modal sosial sangat menguntungkan bagi semua individu di dalam masyarakat. Masyarakat dengan modal sosial yang tinggi tentu juga memiliki kepercayaan yang tinggi dan juga tingkat kepercayaan yang tinggi akan memberi rasa aman bagi masyarakat.


(46)

Modal sosial dipahami sebagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk memfasilitasi bagi pencapaian tujuan-tujuan masyarakat, yang ditunjukkan oleh kualitas dari tingkat kepercayaan dan kerjasama (Inkeles, 2001: 1). Alex Inkeles (2001) mencoba mengukur modal sosial dalam skala yang lebih besar, yaitu dalam populasi nasional atau negara. Bukti-bukli yang ia temukan dari sebanyak 40 negara sebagai sampelnya menunjukkan bahwa negara dengan tingkat individualisme yang tinggi pendapatannya yang rendah dan kebebasan yang tertekan, sedangkan negara-negara dengan nilai-nilai sosial yang positif memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pemerintahan demokratis yang stabil. Nilai-nilai sosial yang positif dalam sebuah negara yang ia maksudkan dapat dilihat dari besarnya tingkat kepercayaan dalam masyarakat dan organisasi-organisasi sosial yang eksis.

Dari apa yang dikemukakan oleh Alex Inkeles (2001) terlihat bahwa negara dengan tingkat modal sosial yang tinggi mampu mendorong ke arah tingginya tingkat pertumbuhan ekonominya dan kestabilan demokrasinya. Modal sosial tersebut banyak ditemukan dalam komunitas yang antar masyarakatnya terjalin komunikasi dan interaksi, baik melalui organisasi maupun asosiasi-asosiasi. Sedangkan di dalam masyarakat individualistis, dengan interaksi sosial yang jarang, modal sosial tidak optimal, kecuali melalui institusi-institusi formal yang memang secara resmi sudah diikat oleh aturan-aturan baku.

Bank Dunia pernah mengeluarkan kertas kerja yang membahas tentang pembangunan ekonomi. Disebutkan bahwa modal sosial merupakan jaringan yang hilang (missing link) di dalam teori pembangunan ekonomi (Torsvik, 2001: 1).


(47)

Beberapa analis menaruh harapan besar terhadap konsep modal sosial ini. Mereka mengklaim bahwa modal sosial penting bagi pembangunan ekonomi dan kemajuan ekonomi. Modal sosial menjadi sebuah bahan penting dalam pembangunan ekonomi dunia akhir-akhir ini. Sejumlah studi tentang pembangunan menunjukkan bahwa jaringan kerja dan asosiasi pada masyarakat bawah (grass roots) dapat menjadi penting dalam pertumbuhan dan investasi fisik (Torsvik, 2001: 1).

Tanda bahwa modal sosial ini menarik adalah bukti empiris yang menunjukkan modal sosial ini memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Torsvik (2001) mengatakan, siapapun yang menulis tentang modal sosial pasti setuju bahwa modal sosial harus dibedakan dari pengukuran ekonomi yang standar, seperti modal fisik dan modal manusia. Torsvik (2001) mengatakan modal sosial sebagai

missing link dalam pembangunan ekonomi, karena antara modal sosial dan

produktivitas terdapat jaringan. Modal sosial memberikan sebuah potensi besar bagi produktivitas, karena modal sosial memiliki kegunaan efisiensi dalam setiap tindakan, yang terjalin oleh adanya kepercayaan, niat baik, dan kerjasama dalarn masyarakat. Kepercayaan merupakan sebuah variabel ekonomi yang penting. Alasannya adalah, kepercayaan memainkan peranan penting dalarn produksi, karena hal itu dapat mengurangi biaya transaksi dalam aktivitas ekonomi (Torsvik, 2001: 2).

Sedangkan Francis Fukuyama (2002) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Nilai dan norma informal tertentu yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut


(48)

memberikan dorongan bagi mereka untuk membuat sebuah kerjasama yang akan menguntungkan mereka dalam bidang-bidang kehidupan tertentu, bisa saja bidang kehidupan sosial, budaya bahkan ekonomi. Modal sosial memberikan sebuah kekuatan baru yang dapat mendukung modal fisik dan modal ekonomi yang telah ads sebelumnya, yang mutlak diperlukan dalam pembangunan kelompok masyarakat bersangkutan dalam arti luas.

Dari hasil-hasil penelitian para ahli tersebut menunjukkan bahwa modal sosial dapat didayagunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Tetapi belum tentu modal sosial dapat bekerja pada semua kelompok masyarakat. Pendayagunaan modal sosial dalam pengelolaan sumber daya milik bersama bisa persisten atau resisten, tergantung pada faktor lingkungan alam, konsensus komunitas, pranata dan hubungan saling percaya (Lubis, 2001: i).

Modal sosial dapat diberdayakan dalam pengelolaan sumber daya milik bersama asalkan unsur-unsur lokalitas mendukung kearah pencapaian tujuan. Keberhasilan suatu modal sosial didukung oleh karakteristik dari masyarakat yang menggunakannya dan bagaimana mereka memelihara aspek-aspek dari modal sosial ini.

II.6. Penghambat Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Pengembangan Wilayah

Saat ini dinamika kehidupan sosial di Indonesia menguat ke arah tipologi


(49)

dalam menunjukkan kecenderungan yang semakin kuat, tetapi memiliki eksternalitas yang lemah (Djohan, 2007: 94). Hal ini tidak lepas dari pengaruh dan sentimen elit lokal yang menggerakkan emosi massa guna merebut kekuasaan dengan cara-cara pemaksaan.

Bersamaan dengan reformasi, melahirkan kecenderungan budaya lokal yang feodal, hierarkies, penuh dominasi kelompok dalam suatu entitas, membelenggu kebebasan, menghindari kerja keras dan prestasi. Di beberapa daerah di Nusantara, kehidupan sosial didominasi oleh kelompok bangsawan (nobelity) yang relatif makmur, sementara rakyat biasa hidup dalam kemiskinan. Dalam konteks tertentu, mereka hidup dalam situasi ketidakmerdekaan yang menyedihkan. Hubungan sosial yang tercipta didasarkan atas hirarki dari masing-masing kelompok sosial garis keturunan (Witrianto, 2007).

Beberapa dimensi budaya yang mendesak untuk dikaji ulang tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh semua komponen bangsa, terutama yang berkaitan dengan dominasi kelompok sosial tertentu atas kelompok sosial yang lain, nilai-nilai dan norma yang mengentalkan orientasi budaya inward looking, hilangnya semangat resiprositas, kohesifitas yang dibatasi tembok-tembok keluarga, suku, kelompok kecil, dan sejenisnya. Nilai dan norma tradisionallah yang telah membentuk pandangan hidup yang cenderung menghindari produktivitas, memupuk kohesitivitas sosial ke dalam kelompok yang tinggi tetapi menghindari eksternalitas.

Lembaga pendidikan secara mendasar bukan hanya tempat memberi dan menerima ilmu tetapi melalui lembaga-lembaga tersebut juga merupakan wadah


(50)

proses terjadinya sosialisasi nilai-nilai baru seperti profesionalisme, kejujuran, integritas, kesamaan, kebebasan, dan keadaban sebagai penopang utama budaya unggul, sangat besar. Lembaga pendidikan dengan demikian tidak hanya berhubungan dengan dimensi cultural capital, human capital, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah social capital. Akan tetapi, di Indonesia yang sering terjadi lembaga pendidikan cenderung dipandang oleh masyarakat yang justru meredusir nilai-nilai kepercayaan. Semangat kejujuran yang terkandung sebagai unsur vital Modal Sosial justru terdegredasi sedemikian rupa.

Lembaga pendidikan yang diidealkan menjadi contoh kejujuran justru disorot masyarakat sebagai salah satu lembaga yang diragukan kejujurannya. Proyek-proyek pembangunan sekolah selalu dipertanyakan. Dalam beberapa hal, buku pelajaran, seragam sekolah, dan perlengkapan sekolah lainnya telah menjadi komoditas dan instrumen perdagangan. Berbagai pungutan yang dibungkus kesepakatan antra wakil orangtua dan wakil pengelola sekolah telah menyulitkan sebagian bear orang tua dan terutama orang miskin. Ini juga sekaligus menghilangkan rasa percaya terhadap lembaga pendidikan sebagai lembaga yang memiliki bobot moral yang tinggi.

II.7. Penelitian Sebelumnya

Dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya “Pendayagunaan Modal Sosial dalam Pengelolaan Sekolah Dasar Swasta Muhammadiyah Sorik” (Nasution, 2006), dikatakan bahwa eksistensi suatu institusi dipengaruhi oleh adanya pemanfaatan elemen modal sosial. Elemen tersebut antara lain: (1) Saling percaya (kejujuran, sikap


(51)

egaliter, kemurahan hati), (2) Jaringan sosial (partisipasi, solidaritas, kerjasama), (3) Pranata sosial (nilai-nilai bersama, aturan dan adat-istiadat).

Partisipasi dalam kehidupan masyarakat ditunjukkan oleh nilai-nilai budaya lokal. Aktivitas yang dilakukan terjadi karena adaya partisipasi dari kerabat, tetangga untuk saling membantu, artinya tanpa adanya partisipasi tentunya nilai-nilai kerjasama tersebut akan tumpul dan bahkan hilang.

Tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam aktivitas sosial ditentukan oleh akar budaya yang terisolasi dan bonding, yaitu saling memberi dan peka terhadap kerabat. Kedua sikap tersebut merupakan nilai yang paling berjasa dalam membentuk karakter masyarakat yang partisipatif, solider, dan memiliki banyak nilai budaya kerjasama dalam kehidupan sosial masyarakat.

Menurut Sukardi (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “Modal sosial dan reorientasi kebijakan publik (studi utilisasi modal sosial dalam proses reorientasi kebijakan agraria lokal pada kasus sengketa properti tanah petani melawan PTPN XII di kawasan Malang Selatan)” mengatakan bahwa, genesis modal sosial sebenarnya bermula dari sebuah interaksi dalam sebuah komunitas yang ada dalam satuan-satuan geografis. Bangunan interaksional sekenanya dan tidak sengaja, saling menyapa sekedar ingin mengucapkan dan bertanya karena merasa perlu memperhatikan tatkala saling jumpa. Tingginya intensitas interaksi ini akhirnya antar mereka menjadi saling mendekat dan tidak enggan berkomunikasi.

Asosiasi dipergunakan untuk basis interaksi dapat bervariasi, mulai asosiasi religi, resiprositas tenaga kerja, aneka kelembagaan untuk mobilisasi kerja komunal,


(52)

hingga kelembagaan hubungan produksi yang ada. Semua kelembagaan ini menjadi nampan besar untuk melangsungkan interaksi dan resiprositas. Satu aspek yang memungkinkan perjumpaan pandangan diantara para petani adalah adanya berbagi pengalaman (share experience) utamanya menyangkut pengalaman bergaul dengan dengan dunia luar. Ingatan kolektif ini ternyata menjadi perekat yang amat kuat sehingga modal sosial kekuatan dan daya lecutnya mengalami pelipatan.

II.7. Kerangka Penelitian

Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat, masyarakat sipil yang kokoh, maupun identitas negara-bangsa. Modal sosial, termasuk elemen-elemen seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat (lingkungan), meluasnya partisipasi dalam proses membangun karakter, menguatnya keserasian dan harmonisasi dan menurunya tingkat kejahatan dan kekerasan (Blakeley dan Suggate, 1997; Suharto 2005a; Suharto 2005b).

Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun demikian, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya


(53)

kepercayaan antar warga masyarakat. Sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala individu maupun institusional. Secara individu, interaksi terjadi manakala relasi intim antar individu terbentuk satu sama lain yang kemudian melahirkan ikatan emosional. Secara institusional dalam bidang pendidikan, interaksi dapat lahir pada saat visi dan tujuan satu organisasi memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya.

Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang padu dan konsisten. Modal sosial menunjuk jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat sebagai bagian integral dalam membangun kualitas hidup (kesejahteraan masyarakat).

Bagan II.1. Alur Kerangka Penelitian

Modal Sosial

Pendidikan Berkualitas

SDM Siap Kerja Lapangan Kerja SDM Membuka

Pengembangan Wilayah (SDM) Potensi Sosial


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif, yang oleh Ali (1997: 152) diartikan sebagai analisis terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, data dan informasi hingga lahirnya suatu model atau suatu teori.

Dengan demikian penulis tidak melakukan pengujian hipotesis dalam penelitian ini, tetapi penulis hanya mendeskripsikan data dan fakta yang diperoleh di lapangan, kemudian dilakukan interpretasi data dan analisis data.

III.2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada SMK HKBP Pangururan di Kelurahan Pasar Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian mengingat Pangururan sebagai konsentrasi berdirinya sekolah-sekolah dan pranata-pranata sosial di Kabupaten Samosir. Di samping itu Kabupaten Samosir merupakan kabupaten yang masih muda dan terbelakang khususnya dalam bidang pendidikan, pengembangan wilayah tetapi sarat dengan kearifan-kearifan lokal.


(55)

III.3. Jenis dan Sumber Data

Sesuai dengan sumber data yang dipilih, maka jenis-jenis data dalam penelitian kualitatif dibagi kedalam kata-kata dan tindakan, tulisan, foto dan statistik. Keterangan berupa kata-kata atau cerita dari informasi penelitian dijadikan sebagai data utama (data primer), sedangkan tulisan dan statistik dari berbagai dokumen yang relevan, serta aktivitas warga dalam proses penentuan program pembangunan dijadikan sebagai data pelengkap (data sekunder).

Informan awal dipilih secara purposif (porposive sampling) yang didasarkan atas subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data. Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Pemerintah Daerah, Dewan Pendidikan, DPRD, dan Penyelengara Pendidikan. Kemudian informan berikutnya adalah berdasarkan tehnik snow ball

sampling sampai terdapat suatu kejenuhan informasi data, sehingga bergulirnya

tehnik snow ball ini baru akan selesai atau terhenti setelah menemui titik kejenuhan data. Setelah dilakukan penelitian, maka jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 8 orang. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(56)

Tabel III.1. Daftar Informan Penelitian

No Informan Jumlah

(orang)

Keterangan

1 Pemerintah Daerah 1 Yang menjadi informan dari Pemerintah Daerah

adalah Kepala Dinas Pendidikan

2 DPRD 1 Perwakilan dari DPRD Kabupaten Samosir yang

membidangi komisi Pendidikan yang juga merupakan bekas kepala sekolah SMK HKBP Pangururan

3 Tokoh Masyarakat 1 Perwakilan dari FKTM yang juga ketua Zending

HKBP Distrik VII Samosir

4 Dewan Pendidikan 1 Terdiri dari satu orang yang menjadi informan dari

Dewan Pendidikan adalah Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Samosir

5 Tokoh Agama 1 Terdiri dari satu orang, yaitu guru huria yang

membidangi pembinaan umat

6 Penyelenggara

Pendidikan

3 Terdiri dari tiga orang informan yaitu ketua

yayasan dan kepala sekolah dan mantan kepala sekolah

Jumlah 8 Informan yang diwawancarai

III.4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) karena adanya upaya untuk mengamati secara langsung gejala sosial yang diteliti, berusaha untuk memahami fenomena sosial yang muncul. Dalam pengumpulan data yang diperlukan peneliti dengan teknik pengumpulan data kualitatif adalah dengan teknik wawancara mendalam (depth interview) terhadap informan diperoleh data, yang dapat dilakukan melalui tanya jawab langsung dengan informan.

III.4.1. Catatan Lapangan dan Pengumpulan Data

Bagian ini secara khusus menceritakan keseluruhan proses dan kesulitan yang penulis alami dalam melakukan pengumpulan data selama melakukan penelitian


(57)

lapangan. Pengumpulan data dalam penelitian ini berlangsung ±1,5 bulan yang dimulai dari pertengahan Maret 2009 sampai dengan akhir April 2009. Penulis masih ingat ketika akan memulai pengumpulan data lapangan, bertepatan dengan masa kampanye untuk pemilu legislatif. Berdasarkan pra-survey yang telah diperoleh sebelumnya, kegiatan pertama peneliti adalah mendatangi ketua Yayasan SMK HKBP Pangururan. Tujuan pertemuan ini selain untuk permisi juga untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai sekolah objek penelitian.

Pada minggu pertama mengunjungi sekolah dan melihat langsung proses belajar mengajar di SMK HKBP Pangururan, dan sore atau malam harinya mengikuti acara muda-mudi Gereja (NHKBP) dan perkumpulan doa lingkungan untuk kalangan orang tua jemaat HKBP Resort Pangururan, juga perkumpulan marga dan Parsahutaon (satu kampung).

Minggu kedua pengumpulan data sekunder dengan mengunjungi kantor lurah, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Namun peneliti mengalami kesulitan untuk memperoleh data sekunder akibat tidak adanya sistem data base pada instansi terkait. Akhirnya peneliti hanya mengambil data yang dikeluarkan oleh BPS yang terkait dengan penelitian ini, dan pada sore dan malam harinya peneliti tetap mengikuti acara baik yang sifatnya sosial, keagamaan maupun politik.

Minggu ketiga sampai minggu kelima adalah waktu yang digunakan untuk wawancara mendalam dengan informan untuk memperoleh data yang lebih valid. Dalam melakukan setiap wawancara berkisar antara 1,5 jam sampai dengan 2,5 jam, tergantung waktu yang tersedia oleh informan. Selama pengumpulan data ini, peneliti


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Setiap perkembangan Yayasan HKBP selalu diiringi oleh perkembangan akan perilaku dan karakter masyarakat dalam setiap tindakannya. Pendayagunaan modal sosial yang mereka miliki adalah kunci berhasilnya yayasan HKBP menambah kuantitas dan nilai cinta kasih akan usaha mereka, termasuk bidang pendidikan dan mampu bertahan hingga sekarang. Di Samosir sendiri khususnya di Pangururan semangat membangun pendidikan serta kebersamaan dalam kekeluargaan HKBP adalah sumber kekuatan warga dalam mempertahankan eksistensi SMK HKBP Pangururan.

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap fokus masalah yang ada dalam penelitian ini, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembangunan hanya akan dapat berjalan dalam suatu komunitas, jikalau

masyarakat dalam komunitas itu dilibatkan dalam pembangunan itu sendiri. Keterlibatan masyarakat tidak saja pada keikutsertaan dalam pekerjaan atau pembangunan fisik tetapi lebih dari itu yaitu keterlibatan atau partisipasi secara totalitas. Dalam hal ini eksistensi sebuah institusi, seperti pada SMK HKBP Pangururan dipengaruhi oleh adanya pemanfaatan elemen-elemen modal sosial di dalam pengelolaannya antar pihak yang berkepentingan dalam membangun kualitas pendidikan itu sendiri. Modal sosial yang ditemukan berperan di


(2)

dalamnya adalah: (1) Saling Percaya (kejujuran, sikap egaliter dan kemurahan hati), (2) Jaringan sosial (partisipasi, solidaritas dan kerjasama) dan (3) pranata sosial). Di samping itu, nilai-nilai budaya lokal (Batak Toba) seperti marsialap

ari, manumpaki, holong dan tangi adalah sarana yang paling efektif untuk

menumbuh kembangkan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan pendidikan, sehingga ketergantungan masyarakat akan peran pemerintah dalam pembangunan akan semakin berkurang dan akan mampu menciptakan kemandirian masyarakat.

2. Kurangnya peran pemerintah, legislatif dalam dalam menterjemahkan dan memfungsionalisasikan nilai-nilai budaya lokal dalam setiap pengambilan kebijakan publik, utamanya dalam pendidikan. Hal tersebut dipengaruhi oleh paradigma berpikir positivisme dan pragmatis artinya mereka yang lebih tahu dan rakyat hanya objek. Hal ini berdampak pada stagnasi peningkatan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia dan menguatnya tipologi bonding, tipologi ini ditandai kuatnya kohesivitas, di mana tingkat kerekatan ke dalam menunjukkan kecenderungan yang semakin kuat, tetapi memiliki eksternalitas yang lemah (chauvenisme).

V.2. Saran

Pemanfaatan modal sosial dapat dijadikan sebagai sumberdaya yang mampu memaksimalkan usaha-usaha yang dilakukan suatu komunitas bagi pencapaian tujuan bersama. Pada dasarnya semua suku maupun etnis memiliki potensi modal sosial,


(3)

walaupun ada kalanya modal sosial tersebut sudah dilupakan ataupun terlupakan begitu saja oleh masyarakat itu sendiri, sehingga tidak dapat difungsionalisasikan dan mengakibatkan keteralienasian dari akar budayanya itu sendiri.

Dari beberapa permasalahan dan hasil yang diperoleh, maka peneliti dapat menyarankan beberapa hal yang dianggap perlu dalam upaya mewujudkan peran modal sosial di Pangururan khusunya dan Kabupaten Samosir Umumnya yaitu: 1. Modal sosial adalah kekuatan kolektif yang sangat signifikan jika diberdayakan

dan difungsionalisasikan untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Setiap elemen dalam komunitas perlu memahami akan peran dan manfaat mendasar dari modal sosial dalam seluruh sendi kehidupannya. 2. Untuk berdirinya sebuah sekolah ataupun lembaga sosial dan pemberdayaan serta

untuk mempertahankan ekssitensinya dan meningkatkan kualitasnya tidak semata-mata hanya bergantung kepada pemerintah atau pemilik modal (capital) yang besar, tetapi masyarakat juga akan mampu secara kolektif dengan dengan menggali, memberdayakan dan memfungsionalisasikan nilai-nilai budaya lokal yakni holong, tangi, marsialap ari dan manumpaki sebagai modal sosialnya. 3. Sumberdaya manusia sebagai salah satu pilar penting dalam pengembangan

wilayah, Pemerintah Kabupaten Samosir hendaknya dapat menjadi mediator dan sekaligus katalisator dalam peningkatan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, melalui produk kebijakan serta alokasi anggaran yang lebih berpihak bagi dunia pendidikan dan menggali serta memfungsionalisasikan kembali nilai-nilai budaya lokal sebagai modal sosial melalui produk hukum.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Faried, 1997, Metodologi Penelitian Sosial dalam Bidang Ilmu Administrasi dan

Pemerintahan, Jakarta: Rajawali Pers.

Alkadri, dkk, 2001, Tiga Pilar Pengembangan Wilayah; Sumberdaya Alam,

Sumberdaya Manusia, Teknologi, Jakarta: Direktorat Kebijaksanaan

Teknologi untuk Pengembangan Wilayah BPPT.

Berutu, Lister (Ed), 2002, Aspek-aspek Kultural Etnis Pakpak; Suatu Eksplorasi

tentang Potensi Lokal, Medan: Penerbit Monora.

Castles, Lance, 2001, Tapanuli Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Dahlan, M. Alwi, 1993, Menjabarkan Kulaitas dan Martabat Manusia dan

Masyarakat, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Djohan, Robby, 2007, Lead to Togetherness, Fund Asia Education.

Faisal, Sanapiah, 1995, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Pres. Fukuyama, Francis, 2001, Sosial Capital; Civil Society and Development, Third

World Quarterly, Vol 22.

Fukuyama, Francis, 2002, Trust; Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Hagul, Peter, 1992, Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat, Jakarta: Rajawali Pres.

Harahap, Basiral, Hamidi (Ed), 1993, Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak

Boruna, Horja; Adat Istiadat Dalihan Natolu, Bandung: PT Grafiti.

Inkeles, Alex, 2001, Measuring Social Capital and Its Consequences, Policy Science Journal, Netherlands, Kluwer Academic Publisher.


(5)

Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antopologi, Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat, 2002, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lubis, Zulkifli, B., dan Fikarwin Zuska, 2001, Resistensi, Persistensi dan Model

Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumber Daya Milik Bersama,

Laporan Penelitian, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.

Lubis, Zulkifli, B., 2006, Membangun Kebersamaan untuk Memelihara Mata Air

Kehidupan, Online, 15 Nopember 2008, http://mandailing.org.

Megawangi, Ratna, 2004, Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun

Bangsa, Indonesia Heritage Foundation.

Moleong, Lexy J., 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Nasution, M. Arif (Ed), 2005, Isu-isu Kelautan dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Portes, Alejandro, 2000, The Two Meanings of Social Capital, Sociological Forum, Vol. 15, No. 1.

Scott, James C., 1993, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Simanjuntak, Bungaran Antonius, 2006, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak

Toba, Yayasan Obor Indonesia.

Soekanto, Soerjono, 1997, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press. Sudirman, N., dkk., 1992, Ilmu Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Susiana Sali (Ed), 2000, Pembangunan Sosial, Teori dan Implikasi Kebijakan, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR-RI.


(6)

Uffoard, Philips QuarlesVan dan Ananta Kumar Giri (Ed), 2004, Kritik Moral

Pembangunan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Vergoumen, J.C., 1986, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet.

Weber, Max, 2000, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya: Pustaka Pramethea.

Witrianto, S.S., 2007, Modal Sosial dan Pembangunan Manusia Melayu; Kasus

Indonesia dan Malaysia, Diakses, 12 November 2008,

http://ccm.um.edu.my/umweb/fsss/images/persidangan/Kertas%20Kerja/Pak %20Witrianto.doc

World bank, 2005, Social Capital, Empowerment, and Community Driven

Development, Diakses, 10 Desember 2008,

http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EID =482.