BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Gambaran umum
Dari data umum karakteristik sampel terlihat bahwa umur, jenis kelamin, pendidikan, suku, jenis operasi, lama anastesi,lama operasi,
tabel 4.1, 4.2, 4.3, antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik yang berarti sampel yang diambil relatif
homogen dan layak untuk dibandingkan. Karena itu data WBPRS Wong Baker Pain Rating Scale dan
FLACC Faces,Legs,Activity,Cry,Consolability yang didapat dari kedua kelompok dapat dipakai sebagai alat ukur untuk membandingkan efek
kedua obat dalam menghilangkan rasa sakit.
5.2 Perubahan nilai WBPRS dan FLACC
Nilai WBPRS dan FLACC sebelum pembedahan ditentukan hanya 0 karena untuk menghilangkan kemungkinan bias yang disebakan nyeri
sebelum pembedahan. Sebab yang akan dinilai adalah nyeri akibat pembedahan, bukan nyeri akibat penyakit yang diderita sebelum
pembedahan.Nilai WBPRS 0-6 dan FLACC 0-5 merupakan nyeri ringan yang tidak menggannggu sedangkan nilai WBPRS 6 dan FLACC 5
merupakan nyeri yang mengganggu yang membutuhkan rescue pain
analgesia .
Nilai WBPRS sesudah pemberian analgetik yang pertama ada perbedaan yang bermakna pada 6 jam I p=0,035, 6 jam II p=0,002, 6
jam III p=0,004,kecuali pada 6 jam IV p=0,245,dimana Parasetamol lebih baik menghilangkan nyeri dibandingkan dengan Metamizol tabel
4.4.1. Sedangkan Nilai FLACC sesudah pemberian analgetik yang
pertama tidak ada perbedaan yang bermakna pada 6 jam I p=0,169, 6 jam II p=0,089, 6 jam III p=0,151,dan pada 6 jam IV p=0,182,dimana
Universitas Sumatera Utara
Parasetamol dan Metamizol sama baiknya dalam menghilangkan nyeri tabel 4.4.2.
Menurut Maciej Zukowski dkk dari Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,Pomerian Medical University di Polandia 2009, Metamizol
dan parasetamol keduanya memiliki efek anti-inflamasi yang lemah, adalah COX-1 yang lemah dan COX-2 inhibitor, maka tidak dapat
digolongkan sebagai NSAID, sayangnya masih dapat ditemukan kesalahan faktual dalam beberapa laporan atau bahkan buku teks
farmakologi.Metamizol merupakan turunan pirazolone aksi analgesik dan antipiretik, namun tanpa komponen anti-inflamasi. Walaupun obat tersebut
telah tersedia sejak tahun 1922, mekanisme kerjanya tidak sepenuhnya diketahui. Penghambatan aktivitas COX dalam SSP, yang mengurangi
sintesis prostaglandin telah diketahui. Laporan beberapa hipotesis yang menjelaskan khasiat analgesik metamizol, termasuk penghambatan COX
isoenzyme-3 dan penurunan sintesis prostaglandin di dorsal horn
. Demikian juga, parasetamol memiliki aksi analgesik dan antipiretik tanpa
efek anti-inflamasi. Mekanisme kerjanya tidak sepenuhnya diketahui, efek antipiretik parasetamol mungkin disebabkan oleh penghambatan sintesis
prostaglandin dalam hipotalamus. Upaya untuk menjelaskan tindakan analgesik yang didasarkan pada beberapa hipotesis, yang melibatkan
penghambatan COX-2 atau efek pada COX-3 dalam SSP, namun keberadaan isoenzyme terakhir mengundang banyak kontroversi.
Mekanisme potensial lain aksi parasetamol adalah efeknya pada sistem antinosiseptive oleh stimulasi aktivitas jalur serotoninergik. Selain itu, juga
dianggap mempunyai efek pada reseptor opioid perifer. Hal ini sesuai dengan penelitian tentang perbandingan efek
analgesia Parasetamol dengan Metamizol yang dilakukan pada populasi dewasa oleh Henning O, dkk,Departemen Anestesiologi dan Perawatan
intensif Universitas Schleswig-Holstein,Jerman 2009 pada pasien setelah dilakukan operasi payudara menunjukkan bahwa baik pemberian
Universitas Sumatera Utara
Parasetamol 1g intravena IV maupun Metamizol 1g intravena IV secara signifikan menghasilkan pengurangan dalam konsumsi morfin total
pasca bedah terutama lagi pada pemberian parasetamol 1g IV. Sedangkan menurut Penelitian lain yang juga dilakukan di Jerman oleh
Susanne L,dkk,departemen Anestesiologi Universitas Cologne,Jerman 2005 pada pasien setelah operasi retina menunjukkan Parasetamol 1g
IV mempunyai efek analgetik yang sama dengan Metamizol 1g IV sebagai analgetik pasca bedah.
5.3 Hubungan antara nilai WBPRS dan FLACC