Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berawal dari usaha pemerintah untuk merevisi UU No. 51974 di bawah kepemimpinan Presiden B.J Habibie, maka tercetuslah ide dengan menerbitkan UU No. 221999 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah. UU ini tercipta dilatarbelakangi oleh ketidakadilan dan ketimpangan hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan terciptanya UU No. 221999 diharapkan dapat mengakomodasi perubahan paradigma pemerintahan dan dapat mengedepankan prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. 1 1 Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007, Hal. 161 Adapun tujuan lain dari lahirnya undang – undang pemerintahan daerah adalah sebagai antisipasi pembaharuan dan sebagai penyempurnaan dari beberapa aturan yang melandasi pelaksanaan pemerintahan daerah yang sudah tidak efektif dalam perkembangan yang ada saat ini. Di satu sisi, undang – undang ini juga sebagai implementasi dari beberapa aturan mendasar, dengan tegas dan jelas memberikan batasan – batasan, beberapa pengertian sebagai acuan atau dasar dari pelaksanaan pemerintahan di daerah: diantaranya memisahkan secara tegas fungsi dan peran pemerintahan daerah dan DPRD, yang disatu sisi menempatkan kepala daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif dan di sisi lainnya, DPRD sebagai badan legisliatif daerah. Universitas Sumatera Utara Pada tahap selanjutnya, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati yang telah melakukan evaluasi yang mendasar, maka lahirlah UU No. 322004 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah yang menggantikan UU No. 221999 yang dianggap tidak lagi sesuai setelah amandemen UUD 1945. 2 Demokrasi di tingkat lokal mulai mekar, dimana pada tahun 2005 untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia digelar perhelatan akbar “Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung”, baik gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati maupun walikota dan wakil walikota. Pemilukada langsung merupakan hasil kerja keras dalam perwujudan demokrasi, walaupun banyak hal yang menjadi konsekuensinya seperti biaya yang besar, energi, waktu, pikiran dan lain sebagainya. Namun, keberhasilan pemilukada untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang murni secara demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada sikap kritisme dan rasionalitas rakyat sendiri. Tahun 2005, merupakan awal perubahan besar terjadi, dimana untuk pertamakalinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dipilih secara langsung oleh rakyat. Peristiwa ini menandai babakan baru dalam sejarah politik daerah di Indonesia. Adapun pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU No.322004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56. Dalam Pasal 56 ayai 1 dikatakan : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.” 3 Berdasarkan UU No. 222007, pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pemilukada juga dimasukkan sebagai bagian dari kategori pemilu. Pemilihan umum Kepala Daerah langsung merupakan suatu capaian yang baik dalam proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan umum Kepala 2 Ibid Hal. 167 3 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2005, Hal. 3 Universitas Sumatera Utara Daerah langsung berarti mengembalikan hak – hak masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses politik dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokrasi. 4 • Rakyat secara langsung dapat menggunakan hak – haknya secara utuh. Menjadi kewajiban Negara memberikan perlindungan terhadap hak pilih rakyat. Salah satu hak politik rakyat tersebut adalah hak memilih calon pemimpin. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi secara signifikansi nilai – nilai demokrasi dalam pemilukada langsung namun bahkan setiap saat mengancam legitimasi pemimpin pemerintahan daerah. Sehingga hal ini semakin memajukan demokrasi ditingkat lokal karena masyarakat lokal akan memilih sendiri siapakah calon pemimpinnya atau yang mewakilinya di daerah. Adapun pemilukada terkait dengan kedaulatan rakyat, mencakup hal – hal sebagai berikut : • Wujud nyata asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Hal ini merupakan suatu landasan yang sangat penting guna menjaga kelangsungan sebuah kepemimpinan politik. Melalui pemilukada langsung, maka seorang Kepala Daerah harus dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kepada rakyat yang memilih. Tingkat penerimaan rakyat terhadap Kepala Daerah merupakan jaminan bagi peningkatan partisipasi politik rakyat yang akan menjaga kelanggengan sebuah kepemimpinan. Kepala Daerah yang tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban dan akuntabilitasnya akan ditinggalkan oleh rakyat, bahkan rakyat akan memberikan sangsi dengan jalan tidak akan memilih kandidat tersebut pada pemilukada berikutnya. Karena itu dalam beberapa system pemilihan, calon Kepala Daerah harus memiliki trade merk, yaitu ciri khas dan prioritas program kerja, yang dapat dipertanggungjawabkan. 4 Ibid., Hal.21 Universitas Sumatera Utara • Menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergis antara pemerintahan dan rakyat. Pemerintahan akan melaksanakan kehendaknya sesuai dengan kehendak rakyat. Keserasian dan keseimbangan hubungan antara keduanya akan membawa pengaruh yang sangat menguntungkan bagi tegaknya suatu pemerintahan yang demokratis. Oleh sebab itu, bilamana sebuah pemerintahan telah “ditinggalkan” rakyatnya, maka ambruknya pemerintahan tersebut tinggal menunggu waktu dalam hitungan yang tak lama. 5 Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilukada. Dan perilaku pemilih yang dimaksud disini adalah antara lain pemberian suara atau proses voting, partai politik dan tidak memberikan suara atau non voting. Dimana pada kesempatan ini yang menjadi titik fokus adalah adanya perilaku tidak memilih atau non voting. Perilaku tidak memilih atau non voting menurut Arbi Sanit adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi parpol sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi. Perilaku tidak memilih atau non voting merupakan suatu tindakan dimana masyarakat yang namanya terdaftar dalam daftar pemilih tetap DPT secara sengaja maupun tidak sengaja tidak mau memberikan hak suaranya pada saat pemilu ataupun pemilukada yang dilatarbelakangi oleh suatu alasan tertentu. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tidak memberikan suaranya saat pemilu ataupun pemilukada antara lain; faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor kebudayaan. Tingginya angka non voting pada setiap pemilu maupun pemilukada setidaknya akan berpengaruh terhadap validitas suara yang diberikan oleh masyarakat. Validitas suara adalah keabsahan atau keaslian suara yang diberikan 5 Ali Maksyur Musa, “Pilpres Langsung”, Sinar Harapan, 30 Januari 2003 Universitas Sumatera Utara oleh seluruh masyarakat yang dapat menggambarkan pilihan masyarakat secara menyeluruh. Sehingga apabila banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya akan menyebabkan suara yang terkumpul itu tidak murni keputusan masyarakat, sebab suara yang dihasilkan hanyalah suara sekelompok masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya tidak memiliki keterkaitan terhadap hasil pemilu ataupun pemilukada yang ada. Sehingga hasil pemilu ataupun pemilukada yang memiliki kecenderungan masyarakat tidak memilih yang tinggi akan mempengaruhi tingkat validitas suara yang diberikan masyarakat. Salah satu yang menjadi indikator terpenting dalam pemilihan yang berkualitas yaitu dilaksanakannya pemungutan suara oleh rakyat yang memiliki tingkat validitas suara yang tinggi, sebab benar – benar mencerminkan implementasi asas – asas pemilukada langsung, yakni ; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemungutan suara adalah proses pencurahan pikiran dan pertimbangan warga untuk memilih calon berdasarkan informasi dan data yang diperoleh pada masa kampanye. Bagi pemilih, pemberian suara atau voting ini merupakan seleksi akhir dalam pemilihan, yang dikenal dengan seleksi politis. Tetapi bagi pemilih yang tidak memberikan hak suaranya dalam seleksi politis atau pada masa pemilihan, merupakan suatu tindakan yang kurang atau tidak mendukung terwujudnya pemilihan umum Kepala Daerah langsung yang benar – benar berkualitas. Perilaku pemilih dalam pemilukada itu sangat penting. Karena di dalam menentukan apakah pemilukada itu berhasil, maka perilaku pemilih masyarakatnya akan menjadi faktor penentu yang penting pula. Apabila dalam pelaksanaan pemilukada ternyata dapat dilihat bahwa masyarakat tidak terlalu ikut ambil bagian di dalamnya, misalnya dapat kita perhatikan dengan tingginya angka DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya atau sering disebut dengan golput atau non voting, berarti pemilukada tersebut kurang berhasil pelaksanaannya. Yang terbukti dari kurangnya perhatian yang diberikan oleh masyarakat pada pesta Universitas Sumatera Utara demokrasi lokal tersebut. Karena guna menghindari semakin maraknya perilaku tidak memilih pada setiap pemilu maupun pemilukada, maka perlu diadakan kajian intensif terhadap perilaku tidak memilih, guna dapat mewujudkan cita – cita bersama yaitu pemilukada langsung yang benar – benar berkualitas. Apabila kita amati, hingga saat ini belum terlalu banyak kalangan pemerhati politik Indonesia yang melakukan kajian intensif terhadap perilaku politik tidak memilih. Kebanyakan dari mereka hanya terfokus pada bagaimana proses pelaksanaan pemilukadanya, karakteristik pendukung, strategi pemenangan, serta faktor faktor apa yang membuat salah satu kandidat atau partai politik dapat memenangkan sebuah pemilukada. Padahal, tanpa kita sadari kajian tentang perilaku tidak memilih juga tidak kalah pentingnya dalam pemilukada, sebab saat ini hampir di semua daerah di Indonesia tercatat sangat tinggi angka DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya. Pemilukada merupakan salah satu bagian dari pemilihan umum, dimana pemilukada masih tergolong hal baru bagi masyarakat kita, sebab baru setidaknya dua kali diadakan pemilukada diseluruh daerah di Indonesia. Adapun alasan saya mengkaji perilaku tidak memilih dalam pemilukada dan bukan dalam pemilu adalah karena penulis ingin mengetahui apakah yang mendasari masyarakat tidak mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi daerah, padahal kegiatan tersebut menjadi penentu nasib tiap – tiap daerah untuk lima tahun kedepan. Sebab, melalui pesta demokrasi daerah atau sering disebut pemilukada terpilihlah orang nomor satu di daerah kita nantinya yang akan mengatur segala bentuk kegiatan yang ada di masing – masing daerah selama periode tertentu. Oleh sebab itu, menyadari akan kurangnya penelitian yang dilakukan tentang perilaku tidak memilih atau sering disebut non voting pada pemilukada, maka di dalam proposal penelitian ini saya akan menjelaskan dan meneliti tentang perilaku tidak memilih masyarakat yang terdapat di Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar. Kecamatan Siantar Selatan merupakan sebuah kawasan Universitas Sumatera Utara pertokoan dan pemukiman padat penduduk dan bersifat heterogen. Maka tentu saja terdapat variasi alasan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilukada Kota Pematangsiantar Juni 2010 lalu. Keterlibatan masyarakat Kecamatan Siantar Selatan dalam pemilukada perlu mendapat apresiasi yang positif, sebab mereka mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal yang merupakan suatu kegiatan terpenting di tiap – tiap daerah. Namun banyak juga terdapat kejanggalan, dimana kurang lebih 30 masyarakat Kecamatan Siantar Selatan tidak menggunakan hak pilihnya Adapun terdapat sebuah fenomena yang cukup menarik di Kecamatan Siantar Selatan sehingga saya ingin melakukan penelitian di Kecamatan Siantar Selatan, yaitu : bahwa jumlah DPT Kecamatan Siantar Selatan tidaklah terbesar di Kota Pematangsiantar, tetapi angka non voting di kecamatan ini termasuk yang paling besar, selain itu komposisi masyarakat Siantar Selatan rata – rata tergolong dalam kelas menengah dan berpendidikan, sehingga menjadi penulis merasa perlu mengetahui apa alasan dari mereka untuk tidak memilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Pematangsiantar Juni 2010 lalu. Maka berdasarkan hal – hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perilaku Tidak Memilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Pematangsiantar juni 2010 di Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar.

1.2 Perumusan Masalah