Wayang Kulit Purwa Pagelaran Wayang Kulit

commit to user 18 sebagai ganti dari cempala ageng saat dalang sedang memainkan wayang menggunakan kedua tangannya Pandam Guritno 1988: 56-57. g Kepyak atau keprak Pada pedalangan gaya Surakarta kepyak terdiri dari lembaran-lembaran logam, biasanya besi atau perunggu, dengan ukuran kira-kira 10 x 15 cm dan tebal sekitar 1 mm, biasanya berjumlah tiga lembar Pandam Guritno 1988: 58. Permainan kepyak menurut tradisi pedalangan Keraton Surakarta mulai dibunyikan dalam pertunjukan wayang pada adegan budhalan menjelang adegan jaranan. Dengan demikian mulai adegan jejer sampai dengan adegan seban jawi kepyak belum dibunyikan untuk mengiringi tokoh tertentu Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 44. h Gamelan alat-alat musik Gamelan merupakan alat musik tradisional yang kebanyakan merupakan instrumen pukul dan biasanya terbuat dari perunggu. Gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukn wayang kulit purwa meliputi: kendang besar, sedang, kecil atau ketipung, rebab instrumen gesek, gender, demung semacam gender besar, gambang, suling, siter, kempyang atau kemong, kethuk, kempul, kenong, saron, peking saron kecil, slenthem saron besar, bonang dan gong Pandam Guritno 1988: 58.

b. Wayang Kulit Purwa

1 Pengertian Pertunjukan baying-bayang pada mulanya bersifat upacara agama, tetapi kemudian berkembang menjadi pertunjukan wayang purwa yang bersifat pertunjukan duniawi. Pada perkembangannya pertunjukan purwa menjadi popular dan mengharukan kalbu penonton. Akan tetapi pokok pertunjukan wayang masih tetap memiliki kesan sifat magis-religius Sri Mulyono 1982: 147. Wayang berarti bayangan, tetapi dalam perjalanannya pengertian wayang berubah dan kini wayang dapat berarti pertunjukan penggung atau teater yang memiliki padanan kata dengan aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti commit to user 19 pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal sebagai dalang. Wayang kulit purwa merupakan pertunjukan wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabarata dan Ramayana Pandam Guritno 1988: 11. Purwa semula adalah bahasa Sansekerta yang berarti ‘ pertama’, yang terdahulu, ‘yang dahulu’. Jaman purwa berarti ‘dulu’. Wayang purwa berarti wayang jaman dulu, atau wayang yang mempertunjukkan cerita jaman dulu Sri Mulyono 1982: 149. Perkataan paruwa oleh Dr. Brandes yang dikutip Sri Mulyono 1982 menganggap “salah satu mata- rantai antara perkataan parwa, yang kemudian menjadi purwa, yang dipakai dalam pengertian wayang purwa”. Jadi nama “wayang purwa” adalah karena jenis-jenis cerita yang dipertunjukkan parwa dan bukan karena suatu sifat teknis sarana pentasnya ataupun boneka-bonekannya Sri Mulyono, 1982: 150. 2 Jenis cerita Wayang kulit purwa merupakan jenis pertunjukan wayang kulit yang paling terkenal, tersebar luas dan diketahui sejarah perkembangannya Pandam Guritno 1988: 15. Pada pertunjukan wayang kulit purwa kebanyakan lakon-lakonnya pada awal mulanya bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India, yaitu: Ramayana dan Mahabarata. Berbagai jenis wayang menurut sumber ceritanya antara lain wayang kulit , sumber ceritanya mengambil cerita dari serat Ramayana dan Mahabarata; wayang madya sumbar lakonnya dari serat Pustaka Raja Madya; wayang gedog dari serat Panji; wayang klitik dari Damarwulan; wayang golek dari Serat Menak; wayang beber dari Serat Panji; wayang kancil mengambil cerita tentang binatang atau dari Serat Kancil Kridamartana; wayang dupara mengambil cerita dari babad; wayang suluh dengan cerita perjuangan dalam mengusir penjajah Belanda; wayang wahyu mengambil cerita dari serat perjanjian lama; wayang sadat mengambil cerita tentang Wali Sanga, wayang buda ceritanya adalah tokoh Sutasoma ; wayang sandosa ceritanya Serat Mahabarata Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 133-134. commit to user 20 Secara rinci, pakem wayang yang berupa naskah berbahasa Jawa dapat dibedakan dalam lima kelompok yaitu a lakon atau cerita dalam syair tembang, b lakon wayang dalam bentuk cerita prosa atau lazim disebut gancaran, c cerita wayang dalam bentuk lakon wayang, d ikhtisar tentang rangkaian lakon wayang, e cerita wayang dalam bentuk balungan lakon wayang Ensiklopedi Wayang Indonesia Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa mengambil epos Ramayana dan Mahabharata yang merupakan karya sastra yang berasal dari India. Keduanya digubah dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuna pada abad X pada masa raja Dyah Balitung 898-910 Masehi dan raja Dharmawangsa Teguh 991-1007 Masehi Soetarno. Sarwanto. Sudarko 2007: 58. Pada zaman Surakarta sejak Paku Buwana II sampai dengan raja Paku Buwana X, kesenian berkembang dengan pesat. Begitu pula untuk seni pedalangan, muncul karya sastra yang digunakan untuk pedoman cerita dalam pertunjukan wayang diantaranya Serat Pustaka Raja Purwa, Serat Putaka Raja Madya yang merupakan sumber lakon wayang kulit purwa dan lakon wayang madya Soetarno 2004: 105. Untuk lakon wayang yang bersumber dari pakem balungan lakon untuk daerah Surakarta bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A. Mangkunegara VII 1916-1944. Pakem Serat Pedalangan Ringgit Purwa terdiri dari 37 jilid yang berisi 177 lakon yang terbagi menjadi 4 bagian yaitu cerita dewa-dewa, siklus Arjuna Sasrabahu, siklus Rama, dan siklus Pandawa. Lakon yang terdapat dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya Mangkunegara VII terdiri dari lakon baku, lakon sempalan, dan lakon carangan. Lakon baku adalah suatu lakon yang ceritanya langsung diambil dari Serat Pustaka Raja atau tradisi resmi. Lakon carangan adalah suatu lakon yang direkayasa atau disadur yang lepas dari cerita pokok. Contoh dari lakon carangan yang ditampilkan dalang saat ini adalah lakon banjaran , seperti banjaran bima dan banjaran durna. Lakon Banjaran mengisahkan tokoh dalam pewayangan sejak lahir sampai matinya. Sedangkan untuk masa kini dalang-dalang tenar dan pemula jarang menggunakan lakon-lakon yang bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa, mereka cenderung menampilkan lakon carangan Soetarno. Sarwanto. Sudarko 2007: 59-60. commit to user 21 3 Nilai-nilai yang terkandung di dalam wayang kulit Wayang mempunyai nilai-nilai istimewa yang tersembunyi di dalamnya, wayang purwa, disebut juga “Ringgit Purwa”. Ringgit beraal dari 2 kata: Miring dan Anggit yang dipersatukan. Miring mempunyai arti tidak tegak lurus. Untuk memperoleh pandangan isi dan bentuk yang sebenarnya harus memproyeksikan kembali pada proyeksi tegaknya. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Secara keselurhan Ringgit berarti: diciptakan dalam bentuk yang miring. Istilah wayang sendiri telah memberikan petunjuk bahwa yang disaksikan itu hanyalah bayangannya. Belum wujud yang sebenarnya. Sebab wujud yang sebenarnya terletak di balik “Kelir” tabir. Untuk melihat bentuk yang sebenarnya harus menyingkirkan kelir itu. Perumpamaan wayang sebagai bayangan dari seluruh segi kehidupan, untuk mengetahuinya harus membuka tabir yang menyelubungi makna yang sebenarnya. Wayang ditancapkan pada pohon pisang saat pertunjukan wayang berlangsung. Pisang dalam bahasa Jawa disebut “Gedang”. Kata-kata ini berasal dari “Geged” dan “Padang”. Geged berarti gigit, artinya, apabila menggigit atau mencernakan apa yang disaksikan di dalam pagelaran wayang, dalam arti tidak menelannya begitu saja, akan tercapailah keadaan “Padang” terang. Keadaan ini tercapai apabila betul-betul mengerti dengan jalan mengupas kulit pembungkusnya dan dicerna sampai halus kemudian barulah ditelan sebagai suatu pengertian yang “menerangi”. Itulah sebabnya wayang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Mereka semua mendapat suguhan sesuai dengan pengertiannya. Yang muda terpikat oleh karena kepahlawanannya. Sebagian yang lain terpikat oleh karena kehumorannya. Ada juga yang terpikat oleh keasyikan ceritanya Ki Wahyu Pratista. http:www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010 . Boneka-boneka wayang tidak menggambarkan manusia secara utuh, demikian juga boneka yang digunakan pada jenis wayang yang lain. Boneka wayang menggambarkan watak berbagai tokoh dalam dunia pewayangan. Setiap boneka menampilkan watak tertentu dalam keadaan tertentu. Setiap pola bentuk wayang commit to user 22 menggambarkan suasana batin tokoh wayang dinamakan wandha Pandam Guritno 1988: 42 4 Cara pagelaran wayang kulit Setiap pertunjukan wayang kulit semalam dibagi ke dalam tiga bagian pathet yang masing-masing mempunyai struktur internal yang sama dalam setiap pathet , yang terdiri dari tiga bagian yaitu: jejer, adegan dan perang. Masing-masing bagian memiliki struktur yaitu deskripsi, dialog dan tindakan. Ketiga struktur intern tersebut masih didukung oleh unsur iringan seperti sulukan, keprakan dan gendhing- gendhing iringan adegan Soetarno 2007: 107. Pakeliran tradisi gaya Surakarta semalam dengan struktur lakon pakeliran yang lebih terperinci sebagai berikut : a Pathet Nem: 1 Jejer; 2 Babak Unjal; 3 Bedhol jejer; 4 Gapuran; 5 Kedhatonan; 6 Paseban jawi; 7 Budhalan; 8 Kapalan; 9 Pocapan kretagajah; 10 Perang ampyak; 11Adegan sabrang; 12 Budhalan; 13 Perang gagal b Pathet Sanga: 14 Gara-gara; 15 Adegan pertapan atau tengah hutan; 16 Alas-alasan; 17 Perang kembang; 18 Adegan sintren; 19 Perang sintren c Pathet Menyura: 20 Adegan menyura; 21 Perang sampak menyura; 22 Adegan perang brubuh; 23 Tayungan; 24 Tancep kayon Soetarno 2007: 111. Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung. Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara. Pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi dan pada siang hari pertunjukan dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00. Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak Ki Demang Sokowaten http:www.sutresnajawa.com diunduh tanggal 18 Maret 2010 . commit to user 23

B. Kerangka Berfikir