PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

(1)

commit to user

PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

Skripsi

Oleh :

MOHAMMAD FAROKH PURBOYO X4406009

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

ii

PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

Oleh :

MOHAMMAD FAROKH PURBOYO X4406009

Skripsi

Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Januuari 2011

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dra.Sutiyah,M.Pd,M.Hum Drs. Djono, M. Pd


(4)

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi sebagian dari persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Rabu

Tanggal : 02 Februari 2011

Tim Penguji Skripsi :

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ( )

NIP. 19541129 198601 2 001

Sekretaris : Drs. Leo Agung Sutimin, M. Pd ( )

NIP. 19560515 198203 1 005

Anggota I : Dra. Sutiyah, M. Pd, M. Hum ( )

NIP. 19590708 198601 2 001

Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ( )

NIP. 19630702 199003 1 005

Disahkan oleh,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1 001


(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Mohammad Farokh Purboyo. PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret, Januari 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Struktur pakeliran gaya Surakarta, (2) Nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa, (3) Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem, (4) Bentuk pertunjukan wayang kulit modern.

Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, dokumen, buku-buku, surat kabar dan majalah yang relevan dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara, observasi lapangan, kajian pustaka, dan memanfaatkan internet. Sample yang digunakan bersifat purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu interaksi antara pengumpulan data dengan tiga komponen pokok, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi data melalui proses siklus. Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi. Untuk menguji keabsahan data penulis menggunakan trianggulasi sumber (data) dan trianggulasi metode.

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat menyimpulkan bahwa: (1) Dalam struktur pakeliran gaya Surakarta terdapat aturan-aturan baku dalam pementasan wayang yang harus diikuti. Aturan tersebut mengenai pembagian adegan dalam pathet, pemakaian gendhing tiap adegan, sulukan, dan dhodhogan/keprakan. Aturan tersebut telah disusun dan dibakukan dalam Serat Tuntunan Pedalangan jilid I-IV yang disusun oleh Nojowirongko Als. Atmotjendono yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta. (2) Di dalam pertunjukan wayang kulit mengandung gambaran tata kehidupan nenek moyang yang patut di ambil suri tauladan. Selain itu, juga terkandung makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian periode pertunjukan (pathet) bentuk semalam, yang dimulai dari pathet nem, pathet songo, dan pathet menyura. Selain terkandung proses pendidikan dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan oleh dalang, terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran, petuah, keteladanan, dan juga makna tentang hubungan manusia dengan tuhan. (3) Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem adalah pertunjukan wayang kulit yang berpegang terhadap naskah lakon pewayangan. Dalam perkembangannya pakem lakon wayang mengalami perubahan. Pakem lakon yang digunakan kebanyakan berasal dari Pustaka Raja Purwa dan Serat Pedalangan Ringgit Purwa yang di dalamnya merupakan cerita sempalan/carangan yang berasal dari kitab Mahabarata dan Ramayana. (4) Pakeliran padat merupakan bentuk pembaharuan dalam pakeliran. Pakeliran padat dikenalkan oleh Humardani. Meskipun berbeda dengan pakeliran bentuk semalam, pakeliran padat tidak secara penuh melepaskan unsur tradisi dari pakeliran bentuk semalam.


(6)

commit to user

vi

ABSTRACT

Mohammad Farokh Purboyo. THE TRANSITION OF THE WAYANG KULIT THEATRE IN SURAKARTA. Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University, January 2011.

This study has an aims to know: (1) The Surakarta wayang kulit theatre structure, (2) The philosophical values of the wayang kulit purwa theatre, (3) The form of the wayang kulit theatre that fit with the rules, (4) The modern wayang kulit theatre.

This study used qualitative method. The data source used informant, events, or activity, place or spot, documents, literatures, newspaper and magazine that relevance with the study. The data collecting used are interview, field observation, study literature, and internet. The study used purposive sampling in gaining the data from the sample. The technique of analysis used was qualitative with interactive analysis model, the interaction between data collecting with three main components that are data reduction, data serving, and conclusion withdrawal/data verification through cycle process. Checking the validity of data used triangulation. To analyze the data, the researcher used triangulation of the resource data and triangulation method.

Based on the results of data analysis and discussion in this study, can concluded that: (1) In the Surakarta wayang kulit theatre, there are standard rules in puppets theatre which it must be followed. The rules are about scene division in pathet, using gendhing for each scene, sulukan, and dhodhogan/keprakan. That rules have been arranged and setled in Serat Tuntunan Pedalangan part I-IV by Nojowirongko Al. Atmotjendono. He is an abdi dalem in Kasunanan Surakarta palace. (2) Wayang kulit theatre contains pictures of ancestor life which can be example for our life, and purpose of education process from it born until die. It can be seen period division performance (pathet) whole night form (type), which it is stared from pathet nem, pathet sanga, and pathet manyura. Besides that, it contains doctrines, advices, example, and purpose of relation between god and human, (3) The form of the wayang kulit theatre that fit with the rules wayang kulit theatre which hanging on the puppets lakon manuscript. On its development, puppets pakem lakon had change. The puppets pakem lakon that usually use coming from Pustaka Raja Purwa and Serat Pedalangan Ringgit Purwa which its load is a sempalan/carangan stories that coming from Kitab Mahabarata and Ramayana (4) The modern form of wayang kulit theatre is pakeliran padat. Pakeliran padat is a renewal on pakeliran. Pakeliran padat was defined by Humardani. Even though it is different with whole night’s wayang kulit theatre. The pakeliran padat not totally release traditional unsure from whole night’s wayang kulit theatre.


(7)

commit to user

vii MOTTO

”Allah meninggikan orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan, beberapa derajat”( QS. Al-Mujadalah : 11 )

Katakanlah : “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?” sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran ( QS Az-Zumar : 9 )

“Setiap generasi tidak akan puas dengan hanya mewariskan pusaka (budaya) yang diterimanya dari masa lalu, tetapi akan berusaha untuk membuat sumbangannya sendiri” ( Maurice Duverger )

“Posisikanlah dirimu menjadi seseorang yang hebat saat dirimu memilih sesuatu dan jadikanlah kekuranganmu menjadi kelebihanmu” ( Penulis )


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini Penulis persembahkan kepada:

Bapak dan Ibu yang tercinta, semoga Allah senantiasa meridhoi serta adik yang aku sayang Dwi Retno Fatmawati

Sahabat terbaikku yang senantiasa menyemangatiku My best friend Dian Nursiwi, An Nuur Sakha H.P., Anggi Permatasari, Wenda Widyo S., dan Sri Wahyuni Rekan-rekan seperjuangan Pendidikan Sejarah Angkatan 2006


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya penulisan Skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan di Program Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penulisan Skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, atas segala bentuk bantuannya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

2. Ketua Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Dra. Sariyatun, M. Pd, M. Hum Selaku Pembimbing Akademis yang telah membantu menyelesaikan studi ini

5. Dra. Sutiyah, M. Pd, M. Hum Selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dalam penyusunan Skripsi ini

6. Drs. Djono, M. Pd Selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dalam penyusunan Skripsi ini

7. Bapak & Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS. 8. Semua informan yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.


(10)

commit to user

x

Penulis menyadari bahwa dalam Skripsi ini masih ada kekurangan. Namun demikian, penulis berharap semoga Skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian pendidikan.

Surakarta, Februari 2011


(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN ABSTRAK ... v

HALAMAN ABSTRACT ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. ManfaatTeoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 10

1. Pagelaran Wayang Kulit ... 10

B. Kerangka Berfikir ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

1. Tempat Penelitian ... 26


(12)

commit to user

xii

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 27

1. Bentuk Penelitian ... 27

2. Strategi Penelitian ... 28

C. Sumber Data ... 29

1. Informan ... 29

2. Tempat dan Peristiwa ... 29

3. Arsip dan Dokumen ... 30

D. Sampling ... 30

E. Teknik Pengumpulan Data ... 31

1. Wawancara Mendalam ... 31

2. Observasi ... 31

3. Analisis Dokumen ... 32

F. Validitas Data ... 33

G. Teknik Analisis Data ... 34

H. Prosedur Penelitian ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Struktur Pakeliran Gaya Surakarta ... 37

B. Nilai-nilai Filosofis dalam Pertunjukan Wayang Kulit ... 41

1. Simbol Kehidupan Masa Kanak-kanak (Pathet Nem) ... 41

2. Simbol Kehidupan Masa Dewasa (Pathet Sanga) ... 43

3. Simbol Kehidupan Masa Tua (Pathet Menyura) ... 44

C. Pertunjukan Wayang Kulit Sesuai dengan Pakem ... 48

1. Garap Catur ... 48

2. Garap Sabet ... 56

3. Garap Iringan ... 57

D. Pertunjukan Wayang Kulit Modern ... 67

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ... 77

B. Implikasi ... 78


(13)

commit to user

xiii

2. Implikasi Teoritis ... 78

3. Implikasi Praktis ... 79

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

GLOSARI ... 84

LAMPIRAN ... 91


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel dan Gambar Halaman

2.1. Gambar Bagan Kerangka Pemikiran ... 23

3.1. Tabel Waktu Penelitian... 27

3.2. Skema Analisis Data Model Interaktif ... 35


(15)

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Peta Wilayah Surakarta ... 92

Lampiran 2 : Foto Pertunjukan Wayang Kulit Ki Anom Suroto ... 93

Lampiran 3 : Foto Adegan Goro-goro ... 94

Lampiran 4 : Cerita Lakon Ramayana dan Mahabarata ... 95

Lampiran 5 : Macam Lakon dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa ... 100

Lampiran 6 : Daftar Informan ... 138

Lampiran 7 : Surat Ijin Menyusun Skripsi dan Penelitian ... 139


(16)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai sebuah kasenian yang adiluhung, pertunjukan wayang kulit purwa merupakan sebuah hasil budaya masyarakat Jawa yang masih dapat bertahan sampai sekarang dibandingkan dengan kesenian sejenis. Di masa lampau pernah hidup dan berkembang wayang madya, wayang gedog, wayang krucil, wayang klitik, wayang dupara, wayang makripat, wayang kuluk, wayang suluh, wayang kancil, wayang beber, wayang bible, wayang wahyu, wayang warta, dan wayang sadat. Sebagian besar wayang-wayang itu tinggal dikenal namanya saja, wujud pertunjukannya sudah tidak dikenal lagi dan/atau jarang dipentaskan (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1). Pertunjukan wayang kulit yang sering disebut dengan sebutan pakeliran ini banyak terkandung nilai di dalamnya seperti sistem kepercayaan, filsafat, pandangan hidup, adat istiadat, ’unggah-ungguh’. Wayang kulit juga dapat berfungsi sebagai perangkat upaya tradisi dan kebudayaan, wahana pendidikan yang didalamnya tercakup penerangan dan dakwah, penyampaian kritik sosial dan budaya (Karsono H. Saputro 1987 : 10). Selain itu secara luwes dapat digunakan untuk mewadahi dan menjembatani berbagai kepentingan masyarakat, di antaranya untuk peringatan peristiwa - peristiwa penting dalam kehidupan atau perjalanan hidup manusia sejak dalam kandungan hingga meninggal dunia; untuk sarana pemujaan (upacara agama atau kepercayaan); untuk peringatan hari-hari besar kenegaraan atau keagamaan; untuk kepentingan sosial; untuk sarana penyampaian ide-ide dan pesan pemerintah atau kelompok masyarakat; serta untuk tontonan dan tuntunan (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 6).

Sebagai sebuah pertunjukan tradisi, wayang kulit merupakan media untuk kongkow-kongkow bagi penggemarnya. Masyarakat selain menikmati pertunjukan wayang kulit yang syarat akan makna juga dijadikan sebagai sarana untuk bertemu dengan tetangga di lain desa maupun sanak saudara yang jarang bertemu satu sama lain. Fungsi pertunjukan kesenian mulai mengalami


(17)

commit to user

pergeseran. Pertunjukan wayang menjadi wahana soldaritas sosial masyarakat (Sarworo Suprapto 1994 : t.h.).

Dalam kaitannya wayang kulit sebagai sebuah tindakan kesenian sudah sejak lama dapat diketahui dengan adanya sebuah karya sastra Jawa Kuna Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa yang ditulis pada abad XI masa pemerintahan maharaja Airlangga antara tahun 1019-1042 Masehi seperti tercantum dalam kakawin Arjunawiwaha bait 59 yang berbunyi :

“Hanonton ringgit manangis asekel muda hadepan huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresning wisaya malah tan wihikana tatwan jan maya sahan kahaning bahwa siluman.”(Hazeu yang dikutip Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1) “Ada orang yang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihatnya itu hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja” (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1).

Wayang kulit memiliki filosofi yang sangat tinggi terhadap kehidupan manusia. Dalam perkembangannya pertunjukan wayang kulit purwa mengalami banyak sekali parubahan yang sangat signifikan. Baik dalam pementasan, jalan cerita, maupun hal yang lain terkait dengan pertunjukan itu sendiri.

Sebagai sebuah kesenian tradisi, pakeliran gaya Surakarta telah memberi pengaruh yang cukup besar terhadap dunia pewayangan di Jawa. Pakeliran gaya Surakarta telah menyebar luas sampai ke daerah Pantura dan Jawa Timur. Pengaruhnya meliputi daerah – daerah : Purwokerto, Purwodadi, Pati, Semarang, Boyolali, Wonogiri, Sragen, Ngawi, Nganjuk, Surabaya, Malang, Kediri, Blitar, dan Tulung Agung (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 261).

Kesenian pada hekekatnya merupakan tindak komunikasi, baik komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal yang disublimasikan sedemikian rupa berdasarkan kaidah-kaidah estetika sehingga tidak tampak vulgar. Sebagai media komunikasi, suatu bentuk kesenian akan lahir, tumbuh, dan berkembang berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat dimana kesenian tersebut menampakkan eksistensinya. Adanya kesatuan antara corak kesenian dan jaman.


(18)

commit to user

Sebaliknya suatu bentuk kesenian akan punah dengan sendirinya apabila tidak mampu lagi manampung aspirasi masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu hanya kesenian yang memiliki elastisitas tinggi dalam arti mampu berkomunikasi sepanjang jaman, akan langgeng sekalipun harus mengalami inovasi, modivikasi, atau transformasi (Karsono H. Saputro 1987 : 10).

Pada awal tahun 90-an di Jawa Tengah muncul pertunjukan wayang purwa dengan menggunakan dua kelir/layar atau lebih dikenal dengan nama pakeliran Pantap yang merupakan bentuk pembaruan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah di Jawa Tengah. Pakeliran ini berfungsi sebagai alat propaganda partai politik Golkar masa Orde Baru. Selain itu dalam pergelarannya juga terdapat perbedaan dengan bentuk pertunjukan wayang kulit semalam yaitu : pertama, pertunjukan dilakukan oleh dua orang dalang dengan dua layar yang dilakukan secara bersamaan ataupun bergantian; kedua, ada penambahan pelaku pertunjukan, yaitu pemusik, pelawak, pemain wayang orang, dan penyanyi.

Masuknya lawak, penyanyi, bintang tamu, penonton ke panggung wayang kulit menjadikan suasana sakral, magis, dan mistik lenyap. Dengan demikian dunia wayang menjadi lebih dekat dengan penonton karena penggunaan bahasa sehari-hari tidak hanya terbatas pada adegan gara-gara maupun Limbuk-Cangik, tetapi kapan saja dan pada adegan manapun yang dikehendaki dalang (Soetarno 2004 : 178). Selain itu Penghadiran bintang tamu hanya akan mencerminkan ketidakmampuan dalang yang bersangkutan menampilkan jatidirinya secara utuh (Antonius Darmanto, 1995 : 11).

Media pertunjukan pada era Orde Baru diharapkan dapat menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Hampir semua pertunjukan harus mampu menyampaikan pesan-pesan pembangunan dengan cara menyisipkan pesan-pesan. Pesan-pesan tersebut berupa filsafat umum, 1. Pancasila, 2. GBHN, 3. Pelita, dan pemikiran-pemikiran lain yang sehubungan dengan budi daya memasyarakatkan ketiga hal tersebut. Pertunjukan apa saja merupakan media massa. Media pentas yang dilaksanakan secara tatap muka atau face to face antara pemain sebagai komunikator dan penonton sebagai audience merupakan sarana yang sangat efektif. Selain itu pengolahan pesan yang sedemikian rupa tidak akan membuat


(19)

commit to user

audience merasa sakit hati walaupun mereka tersindir (S. Darmoatmodjo 1987 : 12-13).

Pada era Orde Baru, penguasa Orde Baru melakukan suatu perubahan besar dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya, membentuk satu tata kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia yang hampir sepenuhnya kapitalis. Dengan demikian, Orde Baru telah menciptakan sebuah iklim bagi pakeliran yang membuatnya ke arah kecenderungan materialisasi dan ekonomisasi wayang kulit. (http://www.adln.lib.unair.ac.id di unduh tanggal 22 April 2010)

Dalam rangka memperingati lima puluh tahun kemerdekaan RI, kota Surakarta mengadakan Festival Gregat Dalang (FGD) yang diselenggarakan selama 18 hari dari tanggal 15 Juli – 2 September 1995 yang diikuti oleh 49 dalang muda se-Jawa (DKI, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) dengan bentuk pakeliran semalam tradisi gaya Surakarta. Melalui FGD ini diharapkan dapat memacu kreativitas dalang muda dalam bingkai pakeliran tradisi gaya Surakarta (2007 : 275).

Pada pertengahan tahun 1990-an, dalang Warseno Slenk memasukkan beberapa intrumen musik (non gamelan) sebagai sarana pendukung dalam pertunjukannya. Intrumen musik yang digunakan antara lain keyboard, drum, bass gitar elektrik dan gitar rithym.

Sekitar tahun 1998 kehadiran campursari merebak dan digemari masyarakat. Sebagai dalang mengerti selera pasar, Warseno Slenk menyajikan pertunjukan wayang kulit dengan tambahan sajian lagu-lagu campusari setiap pementasan wayangnya. Biasanya lagu-lagu campursari dimasukkan dalam adegan Limbuk Cangik dan gara-gara. Ki Warsena banyak melakukan eksperimen kreatif dengan memadukan beberapa aliran musik seperti rock, punk, rap yang dipadukan dengan gamelan. Hasilnya adalah musik gamelan yang kolaboratif yang digandrungi kawula muda (http://cetak.kompas.com di unduh tanggal 08 Juni 2010).

Ki Manteb yang lihai dalam hal sabetan (memainkan wayang) mementaskan pertunjukan wayang bersama dengan pelawak, penyanyi dangdut,


(20)

commit to user

dan penyanyi campursari. Beliau bahkan membolehkan pelawak dan penyanyi dangdut beraksi di pangung wayangan kulit dengan berdiri dan berjoget di antara para pemain gamelan dan dalang yang duduk bersimpuh. Di sisi lain dalang papan atas seperti Ki Anom Soeroto yang setia di jalur pakem, pada akhirnya juga tidak menolak kehadiran bintang tamu dalam pentas wayang kulit. Ki Anom, yang dijuluki sebagai dalang “bersuara emas”, memberi tempat para pelawak seperti Timbul, Kirun, dan Ranto Edi-Gudel (almarhum) menyemarakkan panggungnya. Beliau juga mau menerima kehadiran penyanyi campursari dan keroncong seperti Waldjinah di pentasnya, tetapi Ki Anom menolak apabila bintang tamunya berdiri di atas pentas. Dalam soal pakem pakeliran, Ki Anom dan Ki Manteb sama-sama masih setia pada pakem. Dua dalang kondang ini berusaha memadukan fungsi wayang sebagai tuntunan (pembawa pesan moral) dan wayang sebagai tontonan alias hiburan.

(

http://anugerahadiwarta.org di unduh tanggal 08 Juni 2010)

Garapan lakon para seniman dalang di masa Orba adalah lakon yang ada hubungannya dengan peristiwa sekarang. Lakon-lakon yang dipilih merupakan kemasan baru antara lain: lakon Ontran-ontran Winatha, Semar Babar Jatidiri, Wahyu Ketentraman, Semar Bangun Kayangan, Pilihan Senapati, Wahyu Ringin

Kencana, Wahyu Purbeng Kayun, Wisanggeni Kridha dan sebagainya

(http://www.j-harmonia.com di unduh tanggal 22 April 2010).

Tahun 1997 tidak terkecuali, krisis melanda dunia seni. Terutama seni yang berbasis idealisme dan tidak bisa menembus pangsa pasar. Vakumnya pementasan teater dan sepinya tanggapan wayang adalah fenomena krisis kesenian yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Asumsi yang pertama muncul faktor ekonomi dituding sebagai penyebab. Kedua, kesenian tradisional seperti wayang telah ditinggalkan penggemarnya. Kaum muda lebih suka kesenian pop, band adalah contohnya (http://www.bentarabudaya.com di unduh tanggal 08 Juni 2010).

Tahun 1998 merupakan tahun dimana runtuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya Orde reformasi. Era reformasi membawa dampak yang cukup signifikan dalam jagad pedalangan. Dengan adanya krisis yang berkepanjangan menambah kompleksitas masyarakat urban untuk bekerja lebih keras agar


(21)

commit to user

terpenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak jarang mereka membuat keputusan yang cepat tanpa melalui perencanaan yang matang. Situasi yang demikian berdampak terhadap kesenian, khususnya pertunjukan wayang kulit purwa Jawa.

Dalam perjalanannya pertunjukan wayang kulit cenderung berkembang menjadi bentuk-bentuk hiburan dan sebagai komoditas dagangan (komersial). Keindahan pakeliran lebih cenderung untuk memenuhi selera dan memadai permintaan massa. Garapan tokoh-tokohnya dalam lakon yang disajikan menunjukkan antihero dengan mempresentasikan tokoh-tokoh gambaran manusia biasa seperti tokoh : Limbuk, Cangik, Petruk, dan Bagong. Selain itu bentuk pakeliran ini lebih mementingkan aspek komunikasi daripada mempertahankan sastra pedalangannya (2004 : 169-170).

Cara penggarapan baru bermunculan. Kadang-kadang jauh menyimpang dari pola pengadegan buku yang sudah ada, namun kadang-kadang tetap manggunakan kerangka acuan klasik dengan memberi warna yang berbeda.

Alasan untuk manyajikan pakeliran yang modern yaitu : Pertama, untuk menarik minat generasi muda. Kedua, untuk memodernisasi sajian. Ketiga, mengikuti tuntutan jaman (Ki Edy Suwondo 1995 : 9).

Sebagai contoh Ki Enthus Susmono seorang dalang dari kabupaten Tegal, ia memfungsikan panggung secara maksimal. Fungsi panggung tidak hanya untuk mengakomodasi peralatan pakeliran akan tetapi juga digunakan sebagai arena penampilan penyanyi, penari, pelawak, bahkan dalang secara teatrikal. Pada atraksi perang, ia sering melibatkan diri sebagai pelaku lakon. Selain itu ia tidak segan-segan bernyanyi ataupun berorasi saat adegan Limbukan dan/atau gara-gara. Kabebasan berekspresi membuat gaya pakeliran Ki Enthus Susmono lebih disukai daripada gaya pakeliran Ki Manteb Soedarsono yang mengandalkan sabet maupun Ki Anom Suroto yang mengandalkan pakeliran tradisinya. Kedua orang dalang ini merupakan dalang yang banyak menerima job pada masa Orde Baru (2007 : 277).

Pada setiap penampilan Ki Enthus selalu mempertunjukkan sebuah pertunjukan wayang kulit yang lebih daripada dalang yang lain. Sebagai contoh dalam pertunjukannya yang mengambil lakon “Rahwana Gugur”. Lakon yang


(22)

commit to user

penuh dengan adegan peperangan ini semakin menarik karena Ki Enthus piawai memainkan wayang. Sesekali Ki Enthus membuang wayang yang dipegangnya ke samping kanan atau kiri untuk menggambarkan efek perkelahian yang dahsyat. Narasi yang diucapkan Ki Enthus pun sering memancing gelak tawa para penonton. Kata-kata vulgar dan umpatan dalam bahasa Jawa kerap meluncur dari mulut Ki Enthus dan semakin membuat penonton terpingkal

(http://majalah.tempointeraktif.com di unduh tanggal 08 Juni 2010). Melihat hal seperti ini unsur tontonan lebih banyak terlihat daripada unsur tuntunannya.

Pada kenyataannya sebagian besar dari penonton tidak paham akan pesan-pesan moral yang disampaikan oleh dalang, baik yang disampaikan dalam adegan Limbukan maupun dalam adegan Gara-gara, terlebih dalam sanggit lakon. Oleh karena itu, sebagian besar pakeliran mengarah pada bentuk hiburan, walaupun ada beberapa dalang tetap menyampaikan pesan-pesan moral dan kritik sosial (http://www.adln.lib.unair.ac.id di unduh tanggal 22 April 2010).

Jagad pakeliran pada beberapa waktu terakhir mengalami banyak perubahan pola pentas. Terlihat dari keseluruhan durasi pentas semalam suntuk, adegan gara-gara berlangsung berkepanjangan sehingga alur utama wayang justru tidak tergarap secara intensif. Hal seperti ini terjadi karena adanya tuntutan dari penonton. Penonton bukan ingin melihat alur cerita wayang namun sekadar menonton gara-gara. Begitu adegan gara-gara usai penonton segera bubar.

Bagaimanapun wayang diputarbalikkan, dipengaruhi akan tetap berjalan pada intinya yaitu berjalan atas dasar klasik tradisional adiluhung. Ide pokok cerita pakeliran bentuk semalam tetap bertumpu pada kitab Ramayana dan Mahabarata (Sri Mulyono 1982 : 292) Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka diambil judul ”Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :


(23)

commit to user

2. Bagaimana nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa? 3. Bagaimana bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan

pakem?

4. Bagaimana bentuk pertunjukan wayang kulit modern?

C. Tujuan Penelitian

Dalam hubungannya dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan :

1. Menjelaskan struktur pakeliran gaya Surakarta.

2. Menjelaskan nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa. 3. Menjelaskan bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan

pakem.

4. Menjelaskan bentuk pertunjukan wayang kulit modern.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah khususnya yang berkaitan dengan Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta.

b. Memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan kepada peneliti khususnya dan pembaca umumnya tentang Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta.

c. Menjadi salah satu bahan perbandingan apabila ada penelitian yang sama diwaktu-waktu mendatang.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana kependidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Pendidikan Ilmu


(24)

commit to user

Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Melengkapi koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan, Khususnya mengenai Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta.

c. Menambah bahan bacaan di Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.


(25)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Pagelaran Wayang Kulit

Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa dan kebudayaan yang beranekaragam dan berbeda satu dengan yang lainnya, yang kesemuanya itu turut memperkaya khasanah kebudayaan di tanah air ini. Demikian pula Seni pertunjukan wayang kulit Jawa yang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang sarat akan filosofi dan kebijaksanaan.

a. Pagelaran (pergelaran) / Pakeliran 1) Pengertian

Pergelaran adalah suatu kegiatan dalam pertunjukan hasil karya seni kepada orang banyak pada tempat tertentu. Untuk mencapai suatu tujuan pada dasarnya pergelaran adalah merupakan kegiatan konsumsi secara tidak langsung antara pemain dengan penonton untuk mencapai kepuasan masing-masing (baik penonton maupun pemain). Baik tidaknya suatu pergelaran dapat di ukur dengan melihat bagaimana respon dan tanggapan serta perhatian penonton selama pergelaran itu berlangsung. Kadang-kadang ada suatu pergelaran yang di tinggalkan oleh penonton ini menandakan bahwa pergelaran itu tidak dapat berkomunikasi dengan penontonnya (Trio Nugraha. http://www.blogspot.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).

Pergelaran/Pementasan adalah kegiatan memperkenalkan atau menunjukkan hasil karya seni seperti: musik, tari, teater/drama dan lainnya kepada masyarakat luas. Pergelaran merupakan cara untuk melakukan komunikasi antara pencipta karya dan penikmat karya. Pergelaran bersifat Dinamis/bergerak seperti: Pergelaran musik, pergelaran tari, pergelaran busana dan pergelaran wayang (Zakki. http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).

Pakeliran adalah bentuk pertunjukan wayang dalam bingkai kelir atau geber, pada pertunjukan wayang kulit. Peranan kelir dalam pertunjukan wayang kulit pantas diperhitungkan dan ikut menentukan pertimbangan estetis, tetapi jika untuk jenis


(26)

commit to user

pertunjukan wayang golek yang tanpa geber dapat saja disebut pakeliran golek sebagaimana istilah STSI Surakarta (Poniman Sumarno, 2001: 1).

Manfaat Pergelaran : Melatih mengapresiasi karya, melatih tanggung jawab, melatih mengevaluasi karya, membangkitkan motivasi dan melatih kegiatan bersama serta melatih mandiri. Tujuan Pergelaran : Menawarkan karya kepada masyarakat, berkomunikasi dengan masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat dan melatih masyarakat untuk berapresiasi. Fungsi Pergelaran : Sarana apresiasi, sarana rekreasi, sarana edukasi/pendidikan dan sarana ajang prestasi (Zakki. http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).

2) Syarat-syarat Pakeliran

Pakeliran memiliki tiga syarat yaitu : a) Dalang

Dalang merupakan tokoh utama dalam pertunjukan wayang dan pada umumnya pria dikarenakan pekerjaan sebagai dalang memang amat berat. Dalang harus duduk bersila semalam suntuk untuk melaksanakan pertunjukan wayang, dan juga memimpin yang lain seperti seniman-seniwati yang duduk di belakangnya dengan aba-aba tersamar, berupa wangsalan atau petunjuk sastra yang diselipkan dalam cariyos atau narasinya, berupa gerak-gerik wayang, berupa nyanyian, berupa dodogan dan kepyakan (Pandam Guritno 1988: 33-34).

Kewajiban dan pantangan yang harus ditaati para dalang, di samping keharusan menguasai macam-macam keahlian seperti pandai memainkan wayang-wayang dengan terampil, mampu menyarakan sedikitnya tiga puluh macam suara para tokoh wayang yang masing-masing memiliki wataknya yang khas, pandai memukau para hadirin dengan suaranya yang merdu, menguasai seni sastra dan filsafat (Pandam Guritno 1988: 35). Selain itu seniman dalang dituntut memiliki kreativitas yang tinggi dan matang dalam hal mengkolaborasikan intrumen musik sehingga pada setiap penyajian pertunjukan wayangnya dapat memanfaatkan intrumen-instrumen baru dengan komposisi gendhing yang baru (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 54).


(27)

commit to user

Secara tradisional ada beberapa kelas dalang, yakni : (1) mereka yang baru dapat mendalang, (2) yang sudah pandai mendalang, (3) yang telah menguasai semua teknik pedalangan, (4) yang telah menguasai isi pedalangan, dan (5) ‘dalang sejati’, yaitu dalang yang telah menguasai semua isi pedalangan dan juga dapat memberi suri tauladan kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seorang yang arif, bijaksana, dan patut dihormati (Pandam Guritno 1988: 36).

b) Niyaga atau wiyaga (di Jawa Barat dinamakan nayaga)

Niyaga merupakan sebutan bagi para penabuh gamelan dan biasanya pria. Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit, jumlah niyaga itu sedikitnya sepuluh orang untuk memainkan sedikitnya lima belas peralatan gamelan. Jadi ada beberapa orang yang mampu merangkap memainkan beberapa peralatan gamelan, jika jumlah niyaga kurang dari lima belas orang.

Untuk mengiringi bebagai lakon pertunjukan wayang kulit secara lengkap sesuai ketentuan tradisional diperlukan lebih dari seratus enam puluh gending klasik. Melihat hal tersebut pengetahuan dan kemampuan suatu kelompok niyaga ikut menentukan pilihan gending-gending yang dimainkan. Apabila niyaga hanya terbatas memainkan macam-macam gendingnya, maka dalang pun hanya terbatas sekali dalam pemilihannya, dan pertunjukannya tidak dapat bermutu tinggi (Pandam Guritno 1988: 37).

Kebanyakan peralatan yang dimainkan adalah peralatan pukul yang cara membunyikannya dengan dipukul seperti : jenis gender, gambang beberapa jenis saron, kempyang, kathuk, kenong, kempul, gong, dan bonang. Selain peralatan gamelan pukul ada juga yang di tabuh seperti beberapa jenis kendang, peralatan berdawai seperti rebab dan kadang-kadang juga siter, dan alat-alat tiup berupa suling (Pandam Guritno 1988: 37). Untuk membantu para niyaga menyesuaikan dengan perkembangan jaman, ada pula yang memasukkan alat-alat musik modern seperti keyboard, drum, bass gitar elektrik dan gitar rithym yang dipadupadankan dengan gamelan tradisi.

Posisi terpenting dari semua niyaga adalah penabuh kendang (pengendang), karena dialah yang biasanya menangkap isyarat dan perintah dalang, dan


(28)

commit to user

meneruskannya kepada niyaga yang lain, terutama untuk melirihkan atau mengeraskan bunyi gamelan, mempercepat atau memperlambat irama gending, memulai dan menghentikannya. Pengendang juga harus menghidupkan pagelaran karena bunyi kendang-kendangnya yang mengiringi gerak-gerak wayang di pentas sungguh merupakan ilustrasi yang menghidupkan suasana (Pandam Guritno 1988: 37-38).

c) Pesinden atau penyanyi wanita

Pesinden atau penyanyi wanita sudah lama di kenal di kalangan seni di pulau Jawa, tetapi para pesinden dikenal sebagai bagian dari pagelaran wayang kulit baru pada tahun 1925-an. Hingga kini pagelaran wayang kulit dianggap tidak wajar apabila pesinden tidak ada. Para pesinden memiliki nama lain yaitu waranggana, widuwati, dan suarawati (Pandam Guritno 1988: 39). Nyanyian para pesinden kebanyakan dari jenis macapat meskipun pada perkembangannya pesinden juga menyanyikan musik campursari.

Jumlah suarawati sebaiknya 2 (dua) orang, meskipun juga dapat dilakukan 1 orang. Jumlah pesinden tidak boleh terlalu banyak agar suaranya tidak mengganggu jalannya pagelaran. Sebaiknya pesinden tidak lebih dari 5 (lima) orang (Sri Mulyono 1982: 129). Akan tetapi pada perkembangannya jumlah suarawati yang mengiringi pagelaran banyak yang lebih dari 5 orang dan kadang-kadang mencapai 10 orang tergantung event yang ada.

3) Jenis-jenis Pakeliran a) Wayang Gedhog

Wayang gedhog memiliki fungsi akspresif atau penghayatan estetis dan sebagai fungsi hiburan bagi para abdi dalem selama raja berada di luar keraton. Selain itu memiliki fungsi lain yaitu sebagai alat pendidikan dan sebagai pengukuh kedudukan raja (alat legitimasi raja). Wayang gedog tidak berkembang di masyarakat karena ada faktor interen dan faktor eksteren. Faktor interen bahwa garap pakeliran wayang gedog lebih sulit dari wayang kulit purwa. Faktor eksteren bahwa wayang gedog di lingkungan keraton berfungsi untuk mengukuhkan kedudukan dan kekusaan raja. Teknis pertunjukan wayang gedog berbeda dengan wayang kulit purwa, sang


(29)

commit to user

dalang harus menguasai repertoar cerita panji yang berupa seluk beluk keraton secara seksama. Dan biasanya ditampilkan dalam keraton (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 135-137).

b) Wayang Golek

Wayang golek adalah salah satu jenis wayang diantara berbagai jenis wayang yang ada di jawa. Wayang golek masih hidup sampai sekarang dan tersebar diberbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, dan di Jawa Barat. Wayang golek bonekanya berbentuk tiga dimensi, terbuat dari bahan kayu jaranan, kayu kemiri atau kayu mentaos. Kata golek berarti anak – anakan, patung kecil, cari mencari. Timbulnya wayang golek menurut tradisi lisan yang dikutip oleh soetarno, sarwanto, sudarko, (2007) bahwa pada tahun 1659 keraton Kartosura membangun serta menyempurnakan berbagai seni pertunjukan istana. Sedangkan di masyarakat, banyak seni pertunjukan yang datang dari daerah pesisir, yaitu wayang golek purwa. Sedangkan seni pertunjukan yang datang dari Kudus adalah wayang golek menak. Hadirnya wayang golek itu membuat para ulama tidak senang dan menolak karena wayang golek itu mirip gambar manusia maka dianggap karam, sehingga di Jawa Tengah wayang golek tidak berkembang. Bentuk boneka wayang ini bulat. Wayang golek berupa balutan kayu yang diukir dan dipahat serta terbagi atas: kepala, badan, tanganan dengan tuding (tongkat kecil) (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 142).

c) Wayang Madya

Pertunjukan wayang madya pada dasarnya tidak berbeda dengan wayang kulit purwa. Wayang Madya lebih muda daripada wayang kulit purwa. Wayang madya tidak dapat berkembang dengan baik dikarenakan: (1) masyarakat telah mendarah daging terhadap wayang purwa; (2) wayang madya jarang dipergelarkan diluar dan biasanya hanya dipertunjukan di dalam istana; (3) kerena gineologi wayang madya tidak dikenal oleh masyarakat, sehingga tidak disukai. Isi cerita wayang madya kurang lebih sama dengan wayang purwa dengan pembagian tiga tataran, yaitu: (1) Purwa carita, sesuai dengan iringan gamelan dalam pathet nem; (2) Madya carita, sesuai dengan iringan gamelan dalam pathet sanga; (3) Wasana carita,


(30)

commit to user

sesuai dengan iringan dalam pathet manyura, sebagai inti cerita wayang semalam suntuk (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 158-159).

4) Kelengkapan

Kelengkapan yang harus ada pada suatu pakeliran : a) Boneka Wayang

Satu kothak wayang kulit purwa berisi sekitar 200 buah boneka atau wayang yang terbuat dari belulang dan kulit kerbau, dan dapat pula dibuat dari kulit lembu (Pandam Guritno 1988 : 40).

Boneka-boneka wayang kulit tidak menggambarkan manusia-manusia secara wajar, demikian pula boneka-boneka yang digunakan dalam wayang-wayang jenis lainnya. Yang digambarkan adalah watak berbagai tokoh dalam dunia pewayangan. Setiap boneka/wayang kulit melukiskan watak tertentu dalam keadaan batin tertentu (Pandam Guritno 1988: 42).

Dalam pertunjukan semalam suntuk yang mulai sekitar pukul 21.00 dan berakhir pada saat matahari terbit keesokan harinya, dalang biasanya hanya menggunakan antara 50-60 buah wayang. Wayang-wayang yang lain hanya ditancapkan berjajar di kanan dan kiri panggung, sebagian masih diletakkan dalam kothak, sebagian lainnya diletakkan di sisi kanan dalang, di atas tutup kothak. Semuanya dilakukan menurut aturan-aturan tertentu sehingga dalang mengetahui betul di mana wayang-wayang yang dibutuhkannya (Pandam Guritno 1988: 42-43).

b) Kelir (layar dari katun)

Sebagai permainan bayangan, wayang kulit purwa memerlukan layar yang dinamakan kelir (Pandam Guritno, 1988: 49). Kelir adalah selembar tabir yang terbuat dari kain putih, pada umumnya terbuat dari kain blacu, dan di sekeliling kelir dengan kain merah atau hitam, dengan ukuran lebar 1 1/2 – 2 meter, dan panjang 3- 3 1

/2 meter. Kelir dalam pertunjukan wayang merupakan peralatan yang penting sekali,

karena yang direntangkan dengan bingkai gawangan yang terbuat dari kayu atau bambu. Kelir pada umumnya berwarna putih, karena ada kaitannya dengan pengertian bahwa kelir merupakan lambang semesta alam. Dalam perkembanganya kelir dewasa ini terbuat dari kain mori prima putih, sekelilingnya dihias dengan


(31)

commit to user

bludru hitam (biru) dan dihias dengan benang emas, serta dibingkai gawangan yang terbuat dari kayu jati yang penuh dengan ukiran dengan ukuran panjang 25 meter dan lebar 2 1/2 – 3 meter.

Hazeu yang dikutip Soetarno, Sarwanto dan Sudarko (2007: 40) istilah kelir dalam pagelaran wayang telah muncul sejak abad XII, seperti tercantum dalam Serat Wreta Sancaya, dalam bait 93, Sekar Mandraka antara lain berbunyi :

”Lwir mawayang tahen ganti mikang wukir kineliran himarang anipis/ bungbung ikang petung kapawanan, jateka tudungan ja munya ngarangin/ paksi ketur selundingan ika kinang syani pamungsal ing kidang alon/ mandrakala sabda ing mrak alano sawang pangidungnya mangrai hati” Dalam pertunjukan wayang kulit fungsi kelir adalah tempat untuk mempergelarkan/ memainkan wayang di samping juga sebagai tempat untuk meletakkan simpingan wayang. Kecuali itu gawangan kelir dipakai untuk meletakkan sesaji (sajen) seperti padha, kain, pohon tebu yang merupakan perlengkapan (sesaji) dalam pertunjukan wayang (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 40).

Kelir selalu digunakan dalam pagelaran wayang kulit purwa sejak dahulu kala, lain halnya dengan pertunjukan wayang golek, menunjukkan bahwa wayang kulit purwa merupakan pertunjukan bayangan (Pandam Guritno 1988: 51).

c) Blencong (lampu)

Blencong merupakan lampu minyak kelapa yang digunakan dalam pertunjunkan wayang kulit purwa. Lampu ini terbuat dari logam (perunggu) bentuknya menyerupai burung dengan sayap-sayapmengepak dan ekornya terangkat. Kedua sayap dan ekornya berfungsi sebagai reflektor yang memantulkan cahaya lampu pada kelir. Sebagai sumbu lampu minyak kelapa digunakan lawe, yaitu benang-benang kapas yang keluar dari paruh burung yang menyerupai garuda (Pandam Guritno 1988: 53). Pesatnya perkembangan teknologi di masa kini, pada pertunjukan wayang kulit tidak lagi menggunakan blencong tetapi dengan lampu penerangan listrik yang menggunakan sistem cahaya/lighting, yang berwarna-warni (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 44-45).


(32)

commit to user

d) Dhebog (batang pisang)

Untuk pertunjukan wayang kulit purwa biasanya diperlukan tiga sampai empat batang pisang yang cukup panjang dan padat (batang pisang raja). Ukuran dhebog sangat tergantung dengan ukuran gawangan kelir, yang normal dhebog yang berada di sebelah kanan dan kiri sekitar 3,5 m, sedangkan yang ditengah dua buah dengan panjang 2 m dan dipilih dhebog yang masih segar, sehabis ditebang (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 41). Dari dhebog tersebut dibuat bertingkat dua yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Dhebog atas merupakan bagian pentas untuk menancapkan tokoh-tokoh wayang yang dalam adegan berstatus tinggi sedangkan dhebog lapisan bawah berfungsi seperti lantai tempat untuk duduk bawahan. Kedua lapisan dhebog bertumpu pada penyangga-penyangga dari kayu yang dinamakan tapak dara, sedang bagian atas sligi-sligi dan blandar diikat pada kayu-kayu melintang yang menghubungkan tiang-tiang rumah (Pandam Guritno 1988: 52).

e) Kothak wayang

Sebuah kothak yang terbuat dari kayu nangka atau kayu suren dengan ukuran panjang sekitar 55 cm. Kothak untuk menyimpan boneka wayang setelah selesai pertunjukan. Dalam pertunjukan kothak diletakkan pada sisi kiri dalang sedangkan tutup kothak diletakkkan pada sebelah kanan dalang (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 42). Pada bibir kothak digantungkan kepyak, yang saat waktu pertunjukan dibunyikan dengan jejakan-jejakan ujung kaki kanan dalang. Kothak tersebut juga dipukul-pukul dalang dengan menggunakan cempala-cempala (Pandam Guritno 1988: 56).

f) Cempala (pemukul kothak)

Cempala merupakan alat pemukul yang dipukulkan pada kothak wayang untuk menimbulkan suara/efek tertentu sesuai dengan kebutuhan dalang. Cempala biasanya terbuat dari kayu galih asem atau kayu kemuning atau kayu sambi. Dalam pedalangan terdapat dua cempala yaitu cempala ageng dan cempala alit (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 43). Dalam pertunjukan cempala alit dijepit oleh jari kaki kanan dalang dan dapat diketukkan pada tepi luar kothak ataupun pada kepyak,


(33)

commit to user

sebagai ganti dari cempala ageng saat dalang sedang memainkan wayang menggunakan kedua tangannya (Pandam Guritno 1988: 56-57).

g) Kepyak atau keprak

Pada pedalangan gaya Surakarta kepyak terdiri dari lembaran-lembaran logam, biasanya besi atau perunggu, dengan ukuran kira-kira 10 x 15 cm dan tebal sekitar 1 mm, biasanya berjumlah tiga lembar (Pandam Guritno 1988: 58). Permainan kepyak menurut tradisi pedalangan Keraton Surakarta mulai dibunyikan dalam pertunjukan wayang pada adegan budhalan menjelang adegan jaranan. Dengan demikian mulai adegan jejer sampai dengan adegan seban jawi kepyak belum dibunyikan untuk mengiringi tokoh tertentu (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 44).

h) Gamelan (alat-alat musik)

Gamelan merupakan alat musik tradisional yang kebanyakan merupakan instrumen pukul dan biasanya terbuat dari perunggu. Gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukn wayang kulit purwa meliputi: kendang (besar, sedang, kecil atau ketipung), rebab (instrumen gesek), gender, demung (semacam gender besar), gambang, suling, siter, kempyang atau kemong, kethuk, kempul, kenong, saron, peking (saron kecil), slenthem (saron besar), bonang dan gong (Pandam Guritno 1988: 58).

b. Wayang Kulit Purwa 1) Pengertian

Pertunjukan baying-bayang pada mulanya bersifat upacara agama, tetapi kemudian berkembang menjadi pertunjukan wayang purwa yang bersifat pertunjukan duniawi. Pada perkembangannya pertunjukan purwa menjadi popular dan mengharukan kalbu penonton. Akan tetapi pokok pertunjukan wayang masih tetap memiliki kesan sifat magis-religius (Sri Mulyono 1982: 147).

Wayang berarti bayangan, tetapi dalam perjalanannya pengertian wayang berubah dan kini wayang dapat berarti pertunjukan penggung atau teater yang memiliki padanan kata dengan aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti


(34)

commit to user

pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal sebagai dalang. Wayang kulit purwa merupakan pertunjukan wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabarata dan Ramayana (Pandam Guritno 1988: 11).

Purwa semula adalah bahasa Sansekerta yang berarti ‘ pertama’, yang terdahulu, ‘yang dahulu’. Jaman purwa berarti ‘dulu’. Wayang purwa berarti wayang jaman dulu, atau wayang yang mempertunjukkan cerita jaman dulu (Sri Mulyono 1982: 149).

Perkataan paruwa oleh Dr. Brandes yang dikutip Sri Mulyono (1982) menganggap “salah satu mata- rantai antara perkataan parwa, yang kemudian menjadi purwa, yang dipakai dalam pengertian wayang purwa”.

Jadi nama “wayang purwa” adalah karena jenis-jenis cerita yang dipertunjukkan (parwa) dan bukan karena suatu sifat teknis sarana pentasnya ataupun boneka-bonekannya (Sri Mulyono, 1982: 150).

2) Jenis cerita

Wayang kulit purwa merupakan jenis pertunjukan wayang kulit yang paling terkenal, tersebar luas dan diketahui sejarah perkembangannya (Pandam Guritno 1988: 15). Pada pertunjukan wayang kulit purwa kebanyakan lakon-lakonnya pada awal mulanya bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India, yaitu: Ramayana dan Mahabarata. Berbagai jenis wayang menurut sumber ceritanya antara lain wayang kulit, sumber ceritanya mengambil cerita dari serat Ramayana dan Mahabarata; wayang madya sumbar lakonnya dari serat Pustaka Raja Madya; wayang gedog dari serat Panji; wayang klitik dari Damarwulan; wayang golek dari Serat Menak; wayang beber dari Serat Panji; wayang kancil mengambil cerita tentang binatang atau dari Serat Kancil Kridamartana; wayang dupara mengambil cerita dari babad; wayang suluh dengan cerita perjuangan dalam mengusir penjajah Belanda; wayang wahyu mengambil cerita dari serat perjanjian lama; wayang sadat mengambil cerita tentang Wali Sanga, wayang buda ceritanya adalah tokoh Sutasoma; wayang sandosa ceritanya Serat Mahabarata (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 133-134).


(35)

commit to user

Secara rinci, pakem wayang yang berupa naskah berbahasa Jawa dapat dibedakan dalam lima kelompok yaitu (a) lakon atau cerita dalam syair tembang, (b) lakon wayang dalam bentuk cerita prosa atau lazim disebut gancaran, (c) cerita wayang dalam bentuk lakon wayang, (d) ikhtisar tentang rangkaian lakon wayang, (e) cerita wayang dalam bentuk balungan lakon wayang (Ensiklopedi Wayang Indonesia)

Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa mengambil epos Ramayana dan Mahabharata yang merupakan karya sastra yang berasal dari India. Keduanya digubah dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuna pada abad X pada masa raja Dyah Balitung (898-910 Masehi) dan raja Dharmawangsa Teguh (991-1007 Masehi) (Soetarno. Sarwanto. Sudarko 2007: 58). Pada zaman Surakarta sejak Paku Buwana II sampai dengan raja Paku Buwana X, kesenian berkembang dengan pesat. Begitu pula untuk seni pedalangan, muncul karya sastra yang digunakan untuk pedoman cerita dalam pertunjukan wayang diantaranya Serat Pustaka Raja Purwa, Serat Putaka Raja Madya yang merupakan sumber lakon wayang kulit purwa dan lakon wayang madya (Soetarno 2004: 105).

Untuk lakon wayang yang bersumber dari pakem balungan lakon untuk daerah Surakarta bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A. Mangkunegara VII (1916-1944). Pakem Serat Pedalangan Ringgit Purwa terdiri dari 37 jilid yang berisi 177 lakon yang terbagi menjadi 4 bagian yaitu cerita dewa-dewa, siklus Arjuna Sasrabahu, siklus Rama, dan siklus Pandawa. Lakon yang terdapat dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya Mangkunegara VII terdiri dari lakon baku, lakon sempalan, dan lakon carangan. Lakon baku adalah suatu lakon yang ceritanya langsung diambil dari Serat Pustaka Raja atau tradisi resmi. Lakon carangan adalah suatu lakon yang direkayasa atau disadur yang lepas dari cerita pokok. Contoh dari lakon carangan yang ditampilkan dalang saat ini adalah lakon banjaran, seperti banjaran bima dan banjaran durna. Lakon Banjaran mengisahkan tokoh dalam pewayangan sejak lahir sampai matinya. Sedangkan untuk masa kini dalang-dalang tenar dan pemula jarang menggunakan lakon-lakon yang bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa, mereka cenderung menampilkan lakon carangan (Soetarno. Sarwanto. Sudarko 2007: 59-60).


(36)

commit to user

3) Nilai-nilai yang terkandung di dalam wayang kulit

Wayang mempunyai nilai-nilai istimewa yang tersembunyi di dalamnya, wayang purwa, disebut juga “Ringgit Purwa”. Ringgit beraal dari 2 kata: Miring dan Anggit yang dipersatukan. Miring mempunyai arti tidak tegak lurus. Untuk memperoleh pandangan isi dan bentuk yang sebenarnya harus memproyeksikan kembali pada proyeksi tegaknya. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Secara keselurhan Ringgit berarti: diciptakan dalam bentuk yang miring.

Istilah wayang sendiri telah memberikan petunjuk bahwa yang disaksikan itu hanyalah bayangannya. Belum wujud yang sebenarnya. Sebab wujud yang sebenarnya terletak di balik “Kelir” (tabir). Untuk melihat bentuk yang sebenarnya harus menyingkirkan kelir itu. Perumpamaan wayang sebagai bayangan dari seluruh segi kehidupan, untuk mengetahuinya harus membuka tabir yang menyelubungi makna yang sebenarnya.

Wayang ditancapkan pada pohon pisang saat pertunjukan wayang berlangsung. Pisang dalam bahasa Jawa disebut “Gedang”. Kata-kata ini berasal dari “Geged” dan “Padang”. Geged berarti gigit, artinya, apabila menggigit atau mencernakan apa yang disaksikan di dalam pagelaran wayang, dalam arti tidak menelannya begitu saja, akan tercapailah keadaan “Padang” (terang). Keadaan ini tercapai apabila betul-betul mengerti dengan jalan mengupas kulit pembungkusnya dan dicerna sampai halus kemudian barulah ditelan sebagai suatu pengertian yang “menerangi”.

Itulah sebabnya wayang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Mereka semua mendapat suguhan sesuai dengan pengertiannya. Yang muda terpikat oleh karena kepahlawanannya. Sebagian yang lain terpikat oleh karena kehumorannya. Ada juga yang terpikat oleh keasyikan ceritanya (Ki Wahyu Pratista. http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).

Boneka-boneka wayang tidak menggambarkan manusia secara utuh, demikian juga boneka yang digunakan pada jenis wayang yang lain. Boneka wayang menggambarkan watak berbagai tokoh dalam dunia pewayangan. Setiap boneka menampilkan watak tertentu dalam keadaan tertentu. Setiap pola bentuk wayang


(37)

commit to user

menggambarkan suasana batin tokoh wayang dinamakan wandha (Pandam Guritno 1988: 42)

4) Cara pagelaran wayang kulit

Setiap pertunjukan wayang kulit semalam dibagi ke dalam tiga bagian pathet yang masing-masing mempunyai struktur internal yang sama dalam setiap pathet, yang terdiri dari tiga bagian yaitu: jejer, adegan dan perang. Masing-masing bagian memiliki struktur yaitu deskripsi, dialog dan tindakan. Ketiga struktur intern tersebut masih didukung oleh unsur iringan seperti sulukan, keprakan dan gendhing-gendhing iringan adegan (Soetarno 2007: 107).

Pakeliran tradisi gaya Surakarta semalam dengan struktur lakon pakeliran yang lebih terperinci sebagai berikut :

a) Pathet Nem: (1) Jejer; (2) Babak Unjal; (3) Bedhol jejer; (4) Gapuran; (5) Kedhatonan; (6) Paseban jawi; (7) Budhalan; (8) Kapalan; (9) Pocapan kreta/gajah; (10) Perang ampyak; (11)Adegan sabrang; (12) Budhalan; (13) Perang gagal

b) Pathet Sanga: (14) Gara-gara; (15) Adegan pertapan atau tengah hutan; (16) Alas-alasan; (17) Perang kembang; (18) Adegan sintren; (19) Perang sintren

c) Pathet Menyura: (20) Adegan menyura; (21) Perang sampak menyura; (22) Adegan perang brubuh; (23) Tayungan; (24) Tancep kayon (Soetarno 2007: 111).

Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung. Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara. Pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi dan pada siang hari pertunjukan dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00. Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak (Ki Demang Sokowaten http://www.sutresnajawa.com diunduh tanggal 18 Maret 2010).


(38)

commit to user

B. Kerangka Berfikir

Keterangan :

Sebagai sebuah kesenian tradisi, pertunjukan wayang kulit purwa merupakan hasil karya budaya masyarakat Jawa yang memiliki kedudukan yang cukup tinggi.

Sebagai salah satu gaya pedalangan, pedalangan gaya Surakarta merupakan gaya pedalangan yang cukup luas persebarannya. Dengan luasnya persebarannya ini membuat khasanah pedalangan gaya Surakarta menjadi lebih bervariasi.

Sebagai sebuah kesenian keraton, pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta memiliki aturan-aturan yang harus di penuhi. Di lain pihak adanya penambahan unsur hiburan seperti banyolan dan campursari dan unsur politik dari pemerintah seperti pesan-pesan pembangunan merupakan sebuah perubahan dari pola dasar pakeliran keraton. Dengan ini unsur hiburan mulai muncul. Pergeseran-pergeseran mulai intensif terlihat. Munculnya dalang-dalang dari kalangan biasa

Wayang Kulit

Pagelaran

Gaya

Surakarta Nilai Filosofi

Struktur

Pertunjukan

Modern Pakem

Pesan-pesan pemerintah

Hiburan Kreasi baru Budaya Jawa


(39)

commit to user

yang terkenal membuat pakeliran gaya Surakarta mendapat tambahan-tambahan unsur garapan.

Banyak dalang-dalang baru bermunculan. Baik yang berasal dari sekolah-sekolah seni maupun yang belajar secara otodidak. Kebanyakan dari dalang ini melakukan banyak perubahan pada struktur lakon pakeliran yang telah ada. Kebanyakan dari dalang-dalang ini mengurangi beberapa adegan dalam struktur lakon pakeliran semalam dan lebih menekankan pada unsur hiburan seperti dalam adegan Limbuk Cangik dan Goro-goro. Selain itu penekanan pada segi hiburan telah jelas terlihat dengan penambahan waktu pada adegan Limbuk Cangik dan Goro-goro yang pada akhirnya membuat alur cerita pertunjukan wayang tidak jelas pada akhirnya.

Berkurangnya adegan-adegan dalam pertunjukan wayang kulit semalam pada akhirnya akan mengurangi nilai-nilai dari sebuah pertunjukan kesenian tradisi. Sebagai contoh hilangnya adegan kedhatonan yang merupakan gambaran tentang pelukisan permaisuri raja, serta keindahan kedhaton (tempat istri raja), yang sedang menanti raja kembali dari siniwaka (pertemuan di sitihinggil). Selain adegan kedhatonan masih terdapat adegan yang lain yang dihilangkan untuk memperpanjang waktu untuk adegan goro-goro.

Sebenarnya tidak semua lakon menampilkan adegan goro-goro akan tetapi adegan ini pulalah yang mampu menarik daya kreasi dalang untuk menarik penonton dan juga pemerintah untuk merangkul para dalang dengan pesan-pesan pembangunannya.

Perubahan demi perubahan memberi banyak sekali dampak yang kurang baik terhadap kehidupan wayang bektuk tradisi. Penambahan waktu untuk adegan gara-gara dan limbuk cangik membuat alur dalam setiap pementasan wayang kulit menjadi bias. Keterbukaan panggung untuk menampilkan pelawak dan penyanyi membuat situasi sakral sebuah pagelaran wayang menjadi luntur.

Lunturnya budaya tradisi dalam sebuah kesenian yang dibarengi dengan berkembangnya budaya baru membuat budaya tradisi menjadi tergeser. Metamorfosis yang tidak sempurna yang terjadi dalam kebudayaan tradisi ini membuatnya terlihat baru akan tetapi dengan adanya hal tersebut membuat budaya


(40)

commit to user

ini menjadi tidak ada artinya lagi. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak mengikuti kaidah yang yang ada sehingga penambahan-penambahan yang terjadi membuat kesenian menjadi lebih menduniawi. Pada hakekatnya kesenian merupakan budaya tradisi yang merupakan hasil cipta karya nenek moyang kita dan patut kita jaga dan pelihara.


(41)

commit to user

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian. 1. Tempat Penelitian.

Tempat penelitian sangat menentukan diperolehnya informasi untuk menyampaikan kebenaran dari suatu penelitian. Penulis mengadakan penelitian dengan mengambil lokasi:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

e. Perpustakaan ISI Surakarta

f. Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran. g. Perpustakaan Daerah Kota Surakarta

h. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta i. Library Center Jogja

2. Waktu Penelitian.

Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal disetujui pembimbing yaitu bulan Februari 2010 sampai dengan November 2010 (sepuluh bulan). Adapun kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil penelitian.

Dengan jadwal penelitian, sebagai berikut :


(42)

commit to user

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

N O

JENIS KEGIATAN

Bulan

Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov

1 Pengajuan Proposal

2 Pengumpulan data dan analisa data 3 Penyusunan Laporan penelitian

B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian.

Bentuk penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif Kualitatif, karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, yang memiliki arti dan makna daripada sekedar angka atau frekuensi. Penelitian Kualitatif adalah bentuk penelitian yang menghasilkan karya ilmiah yang menggunakan data diskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dengan orang-orang atau perilaku yang dapat diamati terhadap status kelompok orang, suatu obyek, dan suatu kelompok kebudayaan (Laxy J. Moleong, 1990: 3).

Ciri-ciri pokok metode Diskriptif adalah : a) Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah yang aktual, b) Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional (Hadari Nawawi, 1995: 64).


(43)

commit to user

Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian deskriptif adalah metode penilitian yang digunakan untuk meneliti peristiwa yang terjadi sekarang atau masih aktual, dengan cara interpretasi rasional dengan fakta-fakta sebagaimana adanya, data-data yang didapatkan berupa data diskriptif berupa kata-kata atau lisan terhadap suatu obyek tertentu.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian diskriptif sebagai berikut : (a) memilih masalah yang diteliti, (b) merumuskan dan mengadakan pembatasan masalah. Kemudian berdasarkan masalah tersebut diadakan studi pendahuluan yang menghimpun data dasar menyusun teori, (c) membuat asumsi atau anggapan yang menjadi dasar perumusan hipotesis, (d) merumuskan hipotesis, (e) merumuskan dan memilih teknik pengumpulan data, (f) mengumpulkan dan mengategorikan data untuk megklasifikasi data. Menetapkan teknik pengumpulan data yang akan digunakan, (g) melaksanakan penelitian atau pengumpulan data untuk menguji hipotesis, (h) mengadakan analisis data (menguji hipotesis), (i) menarik kesimpulan atau generalisasi, dan (j) menyusun dan mempublikasikan Laporan Penelitian (Mohammad Ali, 1982: 20)

2. Strategi Penelitian.

Ditinjau dari masalah yang diangkat, teknik serta alat yang digunakan maka dapat digunakan strategi penelitan studi kasus. Studi kasus adalah salah satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial, studi kasus adalah inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan di mana multi sumber di manfaatkan. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa yang akan diselidiki dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata (K. Yin, 1997: 1-18).

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terpancang tunggal. Penelitian ini disebut terpancang karena sasaran yang akan diteliti adalah


(44)

commit to user

perubahan bentuk pertunjukan wayang kulit purwa. Sedangkan disebut tunggal karena hanya meneliti pada satu tempat yaitu di Surakarta.

Sesuai dengan pengertian di atas bahwa penilitian ini membahas tentang fenomena dalam konteks kehidupan nyata dan sudah ditentukan fokus penelitianya yaitu tentang perubahan pagelaran wayang di Surakarta.

C. Sumber Data

Menurut Sutopo (2002) bahwa “Dalam penelitian kualitatif, sumber datanya dapat berupa manusia, tingkah laku, dokumen dan arsip atau benda lain”. Sedangkan menurut Lofland, “ Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen”. (Lexi J. Moleong, 2001). Dalam penelitian ini sumber data diperoleh melalui :

1. Informan

Informan yaitu individu-individu tertentu yang dapat memberikan keterangan dan data atau informasi untuk berkepentingan penelitian. “Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki motivasinya” (H.B. Sutopo, 2002:50). Narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan yang diminta peneliti tetapi bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang dimilikinya.

Lexy J. Moleong (2001: 45) mengatakan bahwa ”yang disebut informan adalah “Orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian”. Dalam penelitian ini orang yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data serta mengetahui permasalahan yang akan dikaji adalah dalang dan juga dosen dari ISI Surakarta serta dalang diluar institusi pendidikan (dalang non-akademis).

2. Tempat dan Peristiwa

Sumber data lain adalah tempat dan peristiwa. Informasi mengenai kondisi dari lokasi peristiwa atau aktivitas dilakukan bisa digali lewat sumber lokasinya baik yang merupakan tempat maupun lingkungannya. Sebagai sumber data, tempat dan peristiwa yang diambil merupakan tempat di mana pertunjukan wayang dilaksanakan


(45)

commit to user

sedangkan peristiwanya berupa pertunjukan wayang kulit semalam gaya Surakarta. Tempat yang diambil sebagai sumber data adalah pendopo ISI Surakarta dan Taman Budaya Jawa Tengah karena ditempat tersebut sering digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit semalam gaya Surakarta.

3. Dokumen dan Arsip

Dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang dapat digunakan sebagai sumber data yang dijadikan sumber informasi, dokumen-dokumen yang digunakan tentu saja yang berkaitan dengan masalah yang sedang dipelajari saat ini. Sutopo (2002: 54) mengemukakan bahwa “Dokumen dan arsip merupakan sumber data yang sering sangat penting artinya dalam penelitian kualitatif. Terutama bila sasarannya terarah pada latar belakang dengan kondisi peristiwa yang terkini yang sedang dipelajari”. Dokumen yang digunakan berupa naskah pertunjukan wayang semalam suntuk yang digunakan oleh dalang nara sumber dan juga hasil dari menganalisis dari beberapa karangan dari Pandam Guritno dengan judul Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, Karangan dari Soetarno dengan judul Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan Hiburan, dan karangan dari Sri Mulyono dengan judul Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya.

D. Sampling

Bertolak dari sumber data, maka dalam penelitian ini bentuk sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. “Dalam purposive sampling, dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap” (Sutopo, 2002: 56). Selain menggunakan purposive sampling dalam penelitian ini juga menggunakan snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel yang pada mulanya jumlahnya kecil tetapi makin lama makin banyak berhenti sampai informasi yang didapatkan dinilai telah cukup.

Dalam pengambilan sumber data, peneliti memilih waktu yang tepat untuk melakukan penelitian di lapangan. Untuk pengambilan data observasi di lapangan


(1)

commit to user

74

kesempurnaan batiniah, duniawi dan ukhrawi’.

Lakon

ini dapat diawali dengan

jejer

Dwarawati, membicarakan kepergian Arjuna. Pembicaraannya berkisar tentang

kegelisahan Kresna serta tindak lanjutnya mencari Arjuna. Meskipun pembicaraan

ini baik, tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan tema dasar yang telah

ditentukan, sehingga tidak ditampilkan (Bambang Suwarno 1984: 3-6)

Garap tokoh dalam

pakeliran padat

diusahakan untuk menampilkan

perkembangan sikap batin tokoh agar terwujud melalui tindakan lahir. Tindakan lahir

ini terungkap di dalam peristiwa-peristiwa

lakon

yang mengandung permasalahan

tokoh. Penokohan dalam pakeliran padat tidak harus mengikuti penokohan tradisi.

Seniman mempunyai kebebasan sesuai dengan kedalaman menyelami

masalah-masalah kemanusiaan. Penokohan dalam pakeliran padat memberlakukan tokoh

sebagai manusia biasa, ini menyebabkan tidak selalu menempatkan tokoh pada posisi

merah dan putih atau baik dan buruk atau salah dan benar. Setiap tokoh selalu dilihat

dalam konteks permasalahan dan kedudukannya dalam permasalahan itu. Berpangkal

dari situasi itu penokohan dalam pakeliran padat berusah menampilkan tokoh sebagai

manusia secara utuh dengan berbagai liku-liku serta renik-renik kejiwaannya.

Penentuan alur cerita dalam

pakeliran padat

tidak harus dengan ditampilkan dengan

penokohan wayang secara utuh akan tetapi dapat dibentuk melalui

pocapan gendhing

(wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010).

Garap

catur

dalam pakeliran padat menekanka isi secara padat melalui

ungkap bahasa untuk mencapai kaliamt yang padat penggarap menempuh dengan

berbagai jalan antara lain menyingkiri catur klise, menghindari pengulangan,

memadatkan kalimat (Sudarko 2003: 101). Dalam setiap perpindahan adegan ke

adegan yang lain tidak menggunakan

suluk

maupun

iringan

karena dalam

pakeliran

padat

terdapat penekanan dalam menggunakan narasi cerita

pakeliran

bukan

berdasarkan naskah lakon seperti pada

pakeliran

bentuk semalan (wawancara dengan

Sabini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010).

Garap

sabet padat

yang dipentingkan adalah tercapainya kesan atau isi yang

dimaksud melalui ungkapan gerak-gerak wayang

.

Penyusunan

sabet pakeliran padat

harus selalu mempertimbangkan konsep yang melandasinya,

yang diantaranya adalah

menyampaikan sesuatu secara padat. Dalam

pakeliran padat

diharapkan dapat


(2)

commit to user

menggarap gerak-gerak wayang seperti berbicara menyampaikan kesan-kesan

tertentu. Kemantapan

sabet

tidak bergantung pada ruwetnya gerak tetapi

terungkapnya rasa gerak sebagai misal gambaran api berkobar, peristiwanya dalah

kebakaran.

Dalang

harus mampu melukiskan suasana itu dengan kedua

kayon

(gunungan) supaya tampak api berkobar sehingga terasa hidup dan terkesan

kebakaran. Contoh lain ‘menghantam’ bagaimana cara dan sikap yang saling

memukul itu sehinggga pukulannya terasa mantap serta yamg dipukul tampak

merasakan beratnya pukulan. Gerak karakter satu dengan yang lain berbeda

meskipun dalam kelompok jenis yang sama, misalnya sama-sama dalam suasana

gembira volume gerak tokoh Gathutkaca tidak sama dengan tokoh Boma meskipun

keduanya termasuk tokoh gagah (Sudarko 2003: 114-119).

Garap

iringan

dalam pakeliran padat menyatu dengan unsur-unsur lainnya,

seperti

catur

dan

sabet

. Dalam pengambilan

iringan

tidak harus menggunakan

sekar

ageng

akan tetapi

gendhing

disesuaikan dengan adegan tokoh yang dimainkan.

Sebagai contoh dalam adegan kasar menggunakan

sekar dirada metha

dan

moncer

sedangkan untuk adegan halus menggunakan

sekar peksi kuwung

dan

gendhing-gendhing ladrang

(wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28

November 2010). Penyusunan

iringan pakeliran padat

meliputi pemilihan vokabuler

iringan

dan penentuan perangkat

gamelan

atau

ricikan

yang digunakan. Dalam

pemilihan vokabuler

iringan

seniman tidak hanya dibatasi pada satu gaya saja

mereka bebas memilih vokabuler yang mereka inginkan. Contoh penggunaan unsur

gaya lain adalah sebagai berikut:

a.

Suluk Plencung Jugag

gaya Yogyakarta digunakan untuk mengiringi

keberangkatan Begawan Wisrowo ke alengka melamar Dewi Sukeksi.

b.

Sampak Kebumen

untuk mengiringi perang Bisma melawan Srikandhi

dengan mengunakan senjata panah.

c.

Ayak-Ayak Songo Mataram

untuk mengiringi Salya menjelang naik

kereta.

d.

Sampak Jek Dong

(Jawa Timuran) digunakan untuk mengiringi

perkelahian prajurit Astina melawan Pandhawa yang menggambarkan

rampangan perang dengan rampongan.


(3)

commit to user

76

e.

Pancer Lima

(Yogyakarta) untuk mengiringi larinya Puntadewa ketika

melihat kedua adiknya yakni Nakula dan Sadewa dikejar Candhabirawa.

f.

Galong

(Yogyakarta) untuk mengiringi Candhabirawa melawan

Puntadewa.

g.

Ada-ada Sanga Klatenan

untuk mengiringi kedatangan Gagarmayang

dan Leng-lengmandanu ketika akan menggoda Ciptaning.

Berdasarkan pengamatan peniliti dilapangan dengan didukung melalui video

pakeliran padat

, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa

pakeliran

padat

ini muncul dan berkembang dari institusi pendidikan pedalangan yang

dimotori oleh Humardani selaku katua ASKI Surakarta kala itu. Sebagai sebuah

model

pakeliran

bentuk baru,

pakeliran padat

sering ditampilkan untuk acara

tertentu seperti fastival, penyambutan tamu, peringatan hari besar maupun untuk

menarik turis atau wisatawan. Tetapi

pakeliran

ini lebih sering dipentaskan oleh

mahasiswa dan dosen ISI jurusan pedalangan daripada dalang pada umumnya. Hal

ini dikarenakan kesulitan dalam penyajian yang memerlukan proses yang cukup lama

dan juga pemilihan-pemilihan unsur-unsur garap didalamnya. Untuk pemilihan

lakon

dalam

pakeliran padat

kurang lebih sama dengan

pakeliran

bentuk semalam, lebih

banyak memakai cerita atau

lakon

yang ada dalam Serat Pedhalangan Ringgit Purwa

susunan Mangkunegara VII.


(4)

commit to user

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.

Dalam struktur

pakeliran

gaya Surakarta terdapat aturan-aturan baku dalam

pementasan wayang yang harus diikuti. Aturan tersebut mengenai pembagian

adegan dalam

pathet,

pemakaian

gendhing

tiap adegan

, sulukan,

dan

dhodhogan/keprakan

. Aturan tersebut telah disusun dan dibakukan dalam

Serat

Tuntunan Pedalangan

jilid I-IV yang disusun oleh Nojowirongko Als.

Atmotjendono yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.

2.

Di dalam pertunjukan wayang kulit mengandung gambaran tata kehidupan

nenek moyang yang patut di ambil suri tauladan. Selain itu, juga terkandung

makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat dalam

pembagian periode pertunjukan (

pathet

) bentuk semalam, yang dimulai dari

pathet nem

,

pathet songo,

dan

pathet menyura

. Selain terkandung proses

pendidikan dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan

oleh dalang, terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran,

petuah, keteladanan, dan juga makna tentang hubungan manusia dengan tuhan.

3.

Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan

pakem

sebagai salah satu

bentuk kesenian yang multi lapis, merupakan jalinan dari berbagai perabot atau

unsur, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Perabot fisik merupakan

berbagai unsur nir kasat mata yang berperan dalam sajian

pakeliran

sebagai

sarana ekspresi, misalnya:

gamelan

,

wayang

,

gawang

,

kelir

,

kothak

. Sedangkan

perabot non fisik adalah unsur-unsur yang tidak kasat mata yang berupa ide atau

gagasan yang diekspresikan melalui pengolahan medium yang sesuai dengan

kebutuhan, misalnya: ekspresi berupa suara lagu, wacana, gerak. Dan

kesemuanya itu telah diatur dalam sebuah naskah

lakon

maupun cerita

pewayangan.

4.

Pakeliran padat

merupakan bentuk pembaharuan dalam

pakeliran

.

Pakeliran

padat

dikenalkan oleh Humardani. Meskipun berbeda dengan

pakeliran

bentuk


(5)

commit to user

78

semalam,

pakeliran padat

tidak secara penuh melepaskan unsur tradisi dari

pakeliran

bentuk semalam.

B.

IMPLIKASI

1.

Implikasi Metodologis

Penelitian ini lebih ditekankan untuk mengamati perubahan-perubahan yang

terjadi dalam

pakeliran

gaya Surakarta.

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan melalui tiga

cara yaitu wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Pada awalnya wawancara

yang dilakukan menyangkut hal-hal umum, namun tetap berkisar pada permasalahan

yang diteliti, kemudian wawancara difokuskan pada masalah-masalah khusus lebih

mendalam. Peneliti juga mengadakan observasi yaitu melihat pertunjukan wayang

secara langsung di Taman Budaya Surakarta (TBS) maupun di pendopo ISI

Surakarta. Selain itu peneliti juga mengadakan analisis dokumen yang berupa video

pertunjukan. Metode ini digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal dengan

meneliti dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Secara metodologis hasil penelitian ini ada bagian yang dapat berlaku di

daerah lain dan ada bagian yang hanya berlaku pada lokasi penelitian saja. Dalam

penelitian ini, peneliti terjebak dalam subyektivitas sehingga emosi, perasaan, dan

pemikiran peneliti ikut masuk dalam analisis atau hasil penelitiannya. Selain itu juga

adanya kesulitan untuk memilih informan yang tepat sehingga mempengaruhi

peneliti untuk menganalisis permasalahan, konsekuensinya analisa peneliti kurang

tajam dan kurang obyektif.

2.

Implikasi Teoritis

Menambah referensi materi yang berkaitan dengan budaya lokal khususnya

mengenai pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, sehingga dapat digunakan untuk

meneliti lebih detail terkait perkembangan dan perubahan mengenai seni budaya

Jawa sebagai bahan pelengkap materi pelajaran. Dengan demikian akan memberi

dorongan untuk meneliti bagian yang lebih rinci tentang wayang kulit yang berkaitan

dengan pendidikan.


(6)

commit to user

3.

Implikasi Praktis

Dalam dunia pendidikan, khususnya di Program Studi Pendidikan Sejarah

FKIP UNS dengan mengetahui lebih banyak tentang pertunjukan wayang kulit

purwa Jawa yang mempunyai banyak nilai dan tuntunan bagi kehidupan, mahasiswa

akan lebih aktif terhadap berbagai

event

yang menampilkan wayang kulit sehingga

dapat diaplikasikan dalam diri pribadi masing-masing.

C.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut:

1.

Bagi dosen agar dapat menambahkan materi wayang kulit dalam kajian budaya

lokal.

2.

Bagi mahasiswa Prodi Sejarah mau membaca referensi terkait wayang kulit purwa

Jawa, agar bisa mengetahui nilai-nilai yang terdapat di dalam wayang kulit

sehingga mahasiswa Prodi Sejarah dapat mengambil hal-hal baik yang terdapat di

dalamnya.

3.

Bagi pemerintah daerah Surakarta agar dapat memberdayakan masyarakat kota

Surakarta untuk dapat ikut melestarikan dan menjaga kebudayaan lokal khususnya

pertunjukan wayang kulit purwa Jawa.