commit to user
67
tetap akan mengetahui lakon ini secara lengkap karena isi penbicaraan pada adegan sebelumnya biasanya diulangi lagi pada adegan paseban jawi Sudarko 2003: 108-
109. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa pemilihan-pemilihan lakon dalam pementasan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk bukan berasal dari cerita pakem akan tetapi berasal
dari cerita carangan. Pakem merupakan sebuah cerita wayang atau lakon yang bersumber dari epos Ramayana dan Baratayuda. Tetapi yang berkembang di
Surakarta adalah sebuah lakon pewayangan yang berpedoman dari Kitab Pustaka Raja, baik itu Pustaka Raja Purwa maupun Pustaka Raja Puwara. Walaupun begitu
beberapa dalang menyebutkan Kitab Pustaka Raja merupakan cerita lakon pakem. Pemilihan cerita dalam pertunjukan wayang semalam suntuk kebanyakan
bersumber dari kitab Mahabarata karena masyarakat pada umumnya tinggal di desa dan membenci keangkaramurkaan. Untuk pemilihan cerita dalam lakon sendiri
masyarakat lebih menyukai cerita wahyu, lahir, dan krama. Dikarenakan cerita-cerita ini lebih cocok untuk masyarakat. Untuk cerita wahyu kebanyakan dimainkan dalam
acara khitanan. Hal ini dikarenakan dalam cerita wahyu menceritakan tentang pembelokan wahyu yang dilakukan oleh Pandhawa kepada keluarganya. Untuk cerita
lahir dan krama kebanyakan dimainkan dalam acara pernikahan wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010
D. Pertunjukan Wayang Kulit Modern
Dalam perkembangannya pertunjukan wayang kulit purwa mengalami banyak perkembangan dan perubahan. Terdapat beberapa bentuk baru dalam
pementasannya seperti pertunjukan Wayang Sandosa, pakeliran layar panjang, pakeliran Pantap, pakeliran bentuk ringkas
dan pakeliran padat. Penelitian ini mengambil bentuk pakeliran padat dikarenakan pakeliran
bentuk ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dibandingkan dengan beberapa bentuk pertunjukan wayang purwa yang lain. Hal ini dapat dilihat pada waktu
pementasan, cerita yang dibawakan, iringan yang digunakan, dan pola pertunjukannya.
commit to user
68
Kehadiran pakeliran padat tidak dapat lepas dengan keberadaan Humardani selaku pencetus ide timbulnya pakeliran padat. Timbulnya ide ini bukan tanpa sebab,
tetapi dimungkinkan adanya berbagai faktor yang mempengaruhi. Sedikitnya ada faktor intern dan ekstern. Faktor intern berupa ide tentang pakeliran padat
merupakan sebuah hasil kreatif dari Humardani, namun demikian sekali tidak terlepas dari vokabuler-vokabuler pakeliran tradisi yang telah ada. Faktor ekstern
dapat dijelaskan dengan menelusuri latar belakang kehidupan Humardani dalam keluarga, pendidikan, dan berkesenian Sudarko 2003: 10.
Pakeliran Padat adalah bentuk pakeliran wayang kulit purwa yang
mengIndonesia, yang memiliki arti pengungkapan di dalamnya bukan hanya nilai- nilai budaya Jawa saja tetapi juga nilai-nilai manusia Indonesia pada masa sekarang.
Nilai-nilai isi yang menjadi sasaran penggarapan pakeliran padat dapat dilihat melalui unsur-unsur pakeliran seperti: sabet, antawacana, pocapan, karawitan, dan
sulukan. Dalam pakeliran padat diusahakan tidak ada wadah yang kosong dan tidak
ada isi yang melebihi dari daya tampung wadahnya sehingga antara wadah narasi dalang, sabet, sulukan, karawitan, cerita dan isi nilai yang disampaikan seimbang
Soetarno 2004: 163; Sudarko 2003: 52. Padat
dalam pakeliran tidak berarti bentuk dan isinya tetap akan tetapi sebagai sebuah karya seni pakeliran padat memberi arahan pada kebebasan bentuk
serta kebebasan menuangkan isi ke dalam bentuk yang dipilih. Dengan pengertian seperti ini tentu saja membawa konsekuensi yang mendasar. Konsekuensi ini
terutama berkaitan dengan konsep pakeliarannya. Dilihat dari bentuknya, pakeliran padat
memiliki perbedaan dengan pakeliran semalam. Pakeliran semalam bentuknya telah dibatasi dengan waktu, yaitu semalam antara pukul 21.00 sampai dengan pukul
05.00 pagi. Selain itu juga dibatasi dengan kerangka-kerangka tertentu, seperti kerangka adegan, pathet, dan kerangka iringan yang telah mengkristal sehingga
berubah menjadi semacam aturan dasar. Keterikatan terhadap kerangka-kerangka itu membuat kreativitas dalam pakeliran bentuk semalam menjadi tidak leluasa.
Keterbatasan keleluasaan kreatif ini dalam pakeliran padat diusahakan untuk dihindari. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mencoba
membebaskan diri dari ikatan-ikatan itu antara lain dengan jalan sebagai berikut ini.
commit to user
69
Pakeliran padat tidak berorientasi pada waktu, tetapi pada persoalan yang
diungkapkan melalui lakon cerita. Untuk lama waktu penyajian, pakeliran padat tidak dapat ditentukan secara pasti karena bergantung pada permasalahan-
permasalahan yang ada dalam lakon. Namun demikian berdasarkan pengalaman pementasan pakeliran padat biasanya memakan waktu antara satu setengah sampai
dua jam. Singkatnya waktu yang diperlukan merupakan akibat dari penggarapan secara padat. Dengan kata lain tidak ada sedikit pun waktu kosong yang tidak relevan
Sudarko 2003: 43-44. Penyusunan pakeliran padat berorientasi pada permasalahan lakon sehingga
dalam penyusunan kerangka adegan sesuai dengan kemampuan dan kreativitas pribadi penyusun naskah. Hal ini tidak berarti bahwa pakeliran padat tidak
menggunakan kerangka adegan yang telah ada. Seandainya dalam pakeliran padat masih menggunakan sebagian kerangka adegan yang ada, bukan berarti terikat pada
struktur yang telah ada tetapi kerangka yang digunakan itu memang relevan untuk ditampilkan Sudarko 2003: 44.
Pakeliran padat tidak harus mempertimbangkan masalah pathet. Hal ini
berarti dalam pakeliran padat dapat tidak mengikuti urutan pathet serta tidak harus menggunakan ketiga pathet seluruhnya. Dengan demikian dapat terjadi pakeliran
padat menggunakan dua pathet, atau menggunakan tiga pathet dengan tidak
berurutan. Seandainya menggunakan tiga pathet serta dengan urutan seperti pada pakeliran
bentuk semalam, bukan berarti pakeliran padat mengikuti kerangka yang telah ada, malainkan dalam rangka lakon tertentu urutan pathet itu masih dirasa
relevan Sudarko 2003: 46. Pakeliran Padat
lebih mementingkan cerita dan iringan karena dalam pementasannya tidak baku seperti pakeliran bentuk semalam wawancara dengan
Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010. Dalam iringan pakeliran padat
tidak harus terikat dengan gendhing yang telah dibakukan. Penyusunan pakeliran padat
bebas memilih gendhing agar rasa gendhing yang dipilih sesuai dengan suasana adegan yang didukungnya. Pemilihan gendhing tidak harus terbatas
pada gendhing-gendhing satu gaya tertentu. Sulukan yang digunakan dalam pakeliran padat
tidak harus terikat oleh aturan sulukan yang terdapat dalam
commit to user
70
pakeliran benntuk semalam telah ada seperti sulukan Pathet Nem Ageng untuj jejer
pertama, Pathet Menyura Ageng untuk adegan Kedhatonan Astina, Sendhon Kloloran
untuk bedhol kedhatonan, Sendhon Pananggalan untuk suasana ragu-ragu, Sanga Wantah
untuk peralihan pathet, dan sebagainya. Hal ini dengan pertimbangan bahwa yang dipentingkan adalah keksuaian rasa sulukan dengan suasana adegan
yang didukungnya. Dengan demikian tidak selalu setiap jejer pertama harus menggunakan sulukan Pathet Nem Ageng, demikian juga untuk adegan-adegan yang
lain. Di samping itu yang dipentingkan adalah tercapainya rasa suasana yang dibutuhkan, sehingga seandainya menggunakan salah satu bentuk sulukan untuk
mengiringi suatu adegan tertentu, tidak selalu harus digunakan seluruhnya, tetapi dapat digunakan sebagian asalkan rasa yang dikehendaki sudah tercapai. Sebagai
contoh suluk Pathet Nem Jugag yang digunakan sebagian sebagai berikut. 6
6 6
6 6
6 6
6 `
` `
` `
` `
` han- jrah
ing - kang pus - pi - ta rum,
6.12 2
2 2
2 2
2 2
12 `
Ka- si - lir - ing sa - mi - ra - na
mrik, 1
2 . 16 . 53 ` ` `
O . . . , O . . . Seperti halnya dalam gendhing dan sulukan, penggunaan dhodhogan dan
keprakan juga tidak harus mengikuti pola-pola tradisi yang sudah ada. Semua
bergantung pada kebutuhan suasana yang akan dihadirkan. Selain itu pengunaan gaya dhodhogan juga tidak terbatas pada salah satu gaya, bergantung kemantapan
masing-masing seniman dalang Sudarko 2003: 49. Salah satu lakon wayang pakeliran padat yang digarap oleh Tim ASKI
Surakarta adalah lakon “Rama”. Lakon ini dipersiapkan untuk misi pertunjukan wayang kulit ke Eropa tahun 1977. Penggarapan pakeliran padat pertama ini
memakan waktu hampir satu tahun dengan kerja secara intensif dan kontinu yang dilaksanakan dua kali seminggu, setiap latihan memakan waktu dua jam. Dalam
penggarapan lakon “Rama”, kematian Kumbakarna dalam tradisi pakeliran semalam, dibunuh dengan cara tubuhnya dipotong-potong oleh panah sakti Rama.
Pembunuhan yang demikian itu tidak dilakukan dalam pakeliran padat dengan
commit to user
71
alasan bahwa garap yang keji itu justru melemahkan karakter kejiwaan tokoh Rama sebagai titisan Wisnu. Di samping juga ada kesan bahwa orang yang menang dapat
berbuat sewenang-wenang sehingga tidak manusiawi. Contoh lain lakon “Alap- alapan Sukeksi”, dalam pakeliran semalam percintaan Wisrawa dan Sukeksi adalah
pengaruh dari Guru dan Uma. Dalam garap pakeliran padat, percintaan kedua tokoh ini adalah kemauan pribadi bukan kehendak dewa. Jika semua peristiwa atas
kehendak dewa, maka manusia berbuat jahat bukan karena kesadaran pribadinya, ia akan bersandar kepada dewa sehingga manusia dituntut pertanggungjawaban moral
Soetarno, 2004: 164; Sudarko 2003: 53. Kerja keras Humardani membuahkan hasil, terbukti setelah ia meninggal
tahun 1983 cantrik-cantriknya telah berhasil menyusun naskah-naskah pakeliran padat
sebagai berukut: 1 lakon “Rama” susunan Bambang Suwarno tahun 1979; 2 lakon
“Sutasoma” susunan Bambang Suwarno tahun 1979; 3 lakon “Wibisana Tundhung” susunan Bambang Suwarno tahun 1980; 4 lakon “Anoman Obong”
susunan Bambang Suwarno tahun 1978; 5 lakon “Ciptaning” susunan Bambang Suwarno tahun 1979; 6 lakon “Jayengrana Racun” susunan Bambang Suwarno
tahun 1976; 7 lakon “Bedhah Glagahero” susunan Bambang Suwarno tahun 1980; 8 lakon “Majapahit” atau “Menakjingga Lena” susunan Bambang Suwarno tahun
1976; 9 lakon “Srikandhi Maguru Manah” susunan Bambang Suwarno tahun 1980; 10 lakon “Dewaruci” susunan Bambang Suwarno tahun 1982; 11 lakon “Alap-
alapan Sukeksi” susunan Sumanto tahun 1980; 12 lakon “Bisma Gugur” susunan Sumanto tahun 1980; 13 lakon “Sutasoma” susunan Sumanto tahun 1981; 14
lakon “Wibisana Suwita” susunan Suratno tahun 1980; 15 lakon “Dewaruci”
susunan Sudarko tahun 1980; 16 lakon “Anoman Obong” susunan B. Subono tahun 1980; 17 lakon “Palguna-Palgunadi” susunan Bambang Murtiyoso tahun 1980. Dan
dari lakon-lakon yang telah dihasilkan dapat diketahui bahwa penggarapan pakeliran padat
pada dasarnya berpangkal pada tema dasar, garap lakon, garap adegan, garap catur
wacana, garap sabet gerak wayang, dan garap iringan Sudarko, 2003: 67- 69.
Tema dasar merupakan gagasan atau cita-cita si seniman mengenai sesuatu yang ingin disampaikan kepada penonton melalui perwujudan pakeliran padat.
commit to user
72
Sebagai pusat garapan unsur-unsur menunjukkan bahwa unsur-unsur garapan pakeliran padat
yaitu garap lakon, garap adegan, garap tokoh, garap catur, garap sabet
, dan garap iringan harus berorientasi pada tema dasar. Dengan demikian tema dasar dapat dikatakan lebih bersifat ide pokokbukan sebagai pokok persoalan
Sudarko 2003: 69. Penyusunan pakeliran padat dalam menentukan tema bebas memilih dan
bebas menentukan sesuai keinginan masing-masing dalang. Mengingat tujuan pakeliran padat ingin mengembalikan fungsi pakeliran pada fungsi utama yakni
menggarap masalah rohani yang wigati wawancara dengan Anom Sukatno pada tanggal 17 Desember 2010. Karena tema dasar adalah sebagai pusat garapan unsur-
unsur pakeliran, sudah selayaknya sebelum menyusun suatu bentuk pakeliran padat, tema dasar harus ditentukan terlebih dahulu. Setelah itu dijabarkan ke dalam unsur-
unsurnya, sehingga berbentuk menjadi pakeliran padat Sudarko 2003: 69-70 Menurut Humardani 1983 tema dasar dapat dijabarkan lebih luas dalam
bentuk gagasan pokok. Dari gagasan pokok ini diharapkan dapat ditangkap apa yang menjadi tema dasar sebuah lakon pakeliran padat. Gagasan pokok merupakan
peleburan dari tema dasar. Dengan kata lain melalui gagasan pokok sudah dapat terungkap tema dasarnya. Contoh dari tema dasar lakon-lakon pakeliran padat
susunan para cantrik diantaranya yaitu: gagasan pokok lakon “Duryudana Gugur” adalah salah satu cirri manusia adalah bercita-cita baik untuk diri sendiri maupun
keluarga. Jalan mencapai cita-cita sangat beragam. Jika cita-cita itu diperjuangkan melalui licik penuh tipu muslihat serta bengan mengorbankan seluruh harta dan
keluarganya, namun pada akhirnya ia justru terkubur dengan cita-citanya itu; gagasan pokok lakon “Gathutkaca Gugur” adalah bagaimana kuat jiwa seorang pejuang
penegak keadilan dan kebenaran ia tetap manusia, sehingga pada suatu saat akan mengalami goncangan yang dapat melemahkan semangat juangnya. Untuk
mengembalikan api semangatnya diperlukan cara yang bijaksana. Namun demikian ketika semangatnya telah pulih kembali dia dihadapkan dengan permasalahan baru
yang muncul dari pihak keluarga, baik dari istri maupun orang ua yang mengkhawatirkan keselamatannya. Dengan tetap setia kepada janji serta kewajiban
ia rela gugur demi tegaknya keadilan dan kebenaran Sudarko 2003: 70-71.
commit to user
73
Garap lakon dalam pakeliran padat adalah gambaran secara garis besar dari perwujudan keseluruhan lakon yang akan ditampilkan. Untuk mendapatkan
gambaran garis besar lakon, terlebih dahulu harus ditentukan sanggit lakon yaitu kerangka dasar lakon. Kerangka ini berisi berbagai tokoh dan peristiwa dalam lakon
serta berbagai jalinannya antara masing-masing peristiwa dan tokohnya. Dalam penentuan tokoh, peristiwa dan jalinannya harus berorientasi pada tema dasar dan
harus mempertimbangkan konsep kepadatan. Contoh garap lakon pakeliran padat sebagai berikut: Garap lakon “Bisma Gugur” yang meliputi didalamnya 1
Bagaimana menggarap persidangan Astina, sehingga akhirnya Bisma tampil sebagai senapati
; 2 Bagaimana menggarap Bisma, sehingga tanpa disadari mau memberi gambaran kepada Salya tentang keinginan menjadi senapati; 3 Bagaimana
menggarap Seta dan adik-adiknya dalam tugas sebagai senapati Pandhawa sehingga ketika terjadi peperangan melawan Bisma dapat mendukung penampilan tokoh
Bisma; 4 Bagaimana menggarap tokoh Bisma ketika menghadapi Kresna yang sedang triwikrama; dan 5 Bagaimana menggarap tokoh Bisma ketika berperang
melawan Srikandhi sampai dengan dudurnya Sudarko 2003:79-80. Adapun jalinan peristiwa yang tampak dari garap lakon “Bisma Gugur”
antara lain: 1 persidangan Astina sampai diputuskannya Bisma sebagai senapati; 2 peristiwa Bisma membeberkan latar belakang keinginannya menjadi senapati
kepada Salya; 3 peristiwa Seta dengan adik-adiknya maju ke medan perang melawan Bisma; 4 peristiwa Bisma menghadapi kemarahan Kresna; dan 5
peristiwa Bisma berperang melawan Srikandhi sampai Gugur Sudarko 2003: 82. Penentuan garap adegan untuk pakeliran padat memiliki hubungan erat
dengan garap lakon karena saat penyusunan garap lakon sudah dapat ditentukan pula adegan yang akan ditampilkan. Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah dengan
mempertanyakan perlu tidaknya adegan itu ditampilkan. Jika adegan tersebut masih relevan untuk ditampilkan dan tidak mengganggu kesatuan lakon, penggarapan
tokoh, atau dalam mengungkapkan tema dasar maka tetap digunakan. Dan apabila dirasa mengganggu maka adegan tersebut tidak digunakan. Contoh dari penggunaan
adegan dalam pakeliran padat pada lakon “Ciptoning” karya Bambang Suwarno tahun 1979 dengan tema dasar ‘keseimbangan antara kesempurnaan lahiriah dan
commit to user
74
kesempurnaan batiniah, duniawi dan ukhrawi’. Lakon ini dapat diawali dengan jejer Dwarawati, membicarakan kepergian Arjuna. Pembicaraannya berkisar tentang
kegelisahan Kresna serta tindak lanjutnya mencari Arjuna. Meskipun pembicaraan ini baik, tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan tema dasar yang telah
ditentukan, sehingga tidak ditampilkan Bambang Suwarno 1984: 3-6 Garap tokoh dalam pakeliran padat diusahakan untuk menampilkan
perkembangan sikap batin tokoh agar terwujud melalui tindakan lahir. Tindakan lahir ini terungkap di dalam peristiwa-peristiwa lakon yang mengandung permasalahan
tokoh. Penokohan dalam pakeliran padat tidak harus mengikuti penokohan tradisi. Seniman mempunyai kebebasan sesuai dengan kedalaman menyelami masalah-
masalah kemanusiaan. Penokohan dalam pakeliran padat memberlakukan tokoh sebagai manusia biasa, ini menyebabkan tidak selalu menempatkan tokoh pada posisi
merah dan putih atau baik dan buruk atau salah dan benar. Setiap tokoh selalu dilihat dalam konteks permasalahan dan kedudukannya dalam permasalahan itu. Berpangkal
dari situasi itu penokohan dalam pakeliran padat berusah menampilkan tokoh sebagai manusia secara utuh dengan berbagai liku-liku serta renik-renik kejiwaannya.
Penentuan alur cerita dalam pakeliran padat tidak harus dengan ditampilkan dengan penokohan wayang secara utuh akan tetapi dapat dibentuk melalui pocapan gendhing
wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010. Garap catur dalam pakeliran padat menekanka isi secara padat melalui
ungkap bahasa untuk mencapai kaliamt yang padat penggarap menempuh dengan berbagai jalan antara lain menyingkiri catur klise, menghindari pengulangan,
memadatkan kalimat Sudarko 2003: 101. Dalam setiap perpindahan adegan ke adegan yang lain tidak menggunakan suluk maupun iringan karena dalam pakeliran
padat terdapat penekanan dalam menggunakan narasi cerita pakeliran bukan
berdasarkan naskah lakon seperti pada pakeliran bentuk semalan wawancara dengan Sabini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010.
Garap sabet padat yang dipentingkan adalah tercapainya kesan atau isi yang dimaksud melalui ungkapan gerak-gerak wayang. Penyusunan sabet pakeliran padat
harus selalu mempertimbangkan konsep yang melandasinya, yang diantaranya adalah menyampaikan sesuatu secara padat. Dalam pakeliran padat diharapkan dapat
commit to user
75
menggarap gerak-gerak wayang seperti berbicara menyampaikan kesan-kesan tertentu. Kemantapan sabet tidak bergantung pada ruwetnya gerak tetapi
terungkapnya rasa gerak sebagai misal gambaran api berkobar, peristiwanya dalah kebakaran. Dalang harus mampu melukiskan suasana itu dengan kedua kayon
gunungan supaya tampak api berkobar sehingga terasa hidup dan terkesan kebakaran. Contoh lain ‘menghantam’ bagaimana cara dan sikap yang saling
memukul itu sehinggga pukulannya terasa mantap serta yamg dipukul tampak merasakan beratnya pukulan. Gerak karakter satu dengan yang lain berbeda
meskipun dalam kelompok jenis yang sama, misalnya sama-sama dalam suasana gembira volume gerak tokoh Gathutkaca tidak sama dengan tokoh Boma meskipun
keduanya termasuk tokoh gagah Sudarko 2003: 114-119. Garap iringan dalam pakeliran padat menyatu dengan unsur-unsur lainnya,
seperti catur dan sabet. Dalam pengambilan iringan tidak harus menggunakan sekar ageng
akan tetapi gendhing disesuaikan dengan adegan tokoh yang dimainkan. Sebagai contoh dalam adegan kasar menggunakan sekar dirada metha dan moncer
sedangkan untuk adegan halus menggunakan sekar peksi kuwung dan gendhing- gendhing ladrang
wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010. Penyusunan iringan pakeliran padat meliputi pemilihan vokabuler
iringan dan penentuan perangkat gamelan atau ricikan yang digunakan. Dalam
pemilihan vokabuler iringan seniman tidak hanya dibatasi pada satu gaya saja mereka bebas memilih vokabuler yang mereka inginkan. Contoh penggunaan unsur
gaya lain adalah sebagai berikut: a. Suluk Plencung Jugag gaya Yogyakarta digunakan untuk mengiringi
keberangkatan Begawan Wisrowo ke alengka melamar Dewi Sukeksi. b. Sampak Kebumen untuk mengiringi perang Bisma melawan Srikandhi
dengan mengunakan senjata panah. c. Ayak-Ayak Songo Mataram untuk mengiringi Salya menjelang naik
kereta. d. Sampak Jek Dong Jawa Timuran digunakan untuk mengiringi
perkelahian prajurit Astina melawan Pandhawa yang menggambarkan rampangan perang dengan rampongan.
commit to user
76
e. Pancer Lima Yogyakarta untuk mengiringi larinya Puntadewa ketika melihat kedua adiknya yakni Nakula dan Sadewa dikejar Candhabirawa.
f. Galong Yogyakarta untuk mengiringi Candhabirawa melawan Puntadewa.
g. Ada-ada Sanga Klatenan untuk mengiringi kedatangan Gagarmayang dan Leng-lengmandanu ketika akan menggoda Ciptaning.
Berdasarkan pengamatan peniliti dilapangan dengan didukung melalui video pakeliran padat
, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa pakeliran padat
ini muncul dan berkembang dari institusi pendidikan pedalangan yang dimotori oleh Humardani selaku katua ASKI Surakarta kala itu. Sebagai sebuah
model pakeliran bentuk baru, pakeliran padat sering ditampilkan untuk acara tertentu seperti fastival, penyambutan tamu, peringatan hari besar maupun untuk
menarik turis atau wisatawan. Tetapi pakeliran ini lebih sering dipentaskan oleh mahasiswa dan dosen ISI jurusan pedalangan daripada dalang pada umumnya. Hal
ini dikarenakan kesulitan dalam penyajian yang memerlukan proses yang cukup lama dan juga pemilihan-pemilihan unsur-unsur garap didalamnya. Untuk pemilihan lakon
dalam pakeliran padat kurang lebih sama dengan pakeliran bentuk semalam, lebih banyak memakai cerita atau lakon yang ada dalam Serat Pedhalangan Ringgit Purwa
susunan Mangkunegara VII.
commit to user
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam struktur pakeliran gaya Surakarta terdapat aturan-aturan baku dalam
pementasan wayang yang harus diikuti. Aturan tersebut mengenai pembagian adegan dalam pathet, pemakaian gendhing tiap adegan, sulukan, dan
dhodhogankeprakan . Aturan tersebut telah disusun dan dibakukan dalam Serat
Tuntunan Pedalangan jilid I-IV yang disusun oleh Nojowirongko Als.
Atmotjendono yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta. 2. Di dalam pertunjukan wayang kulit mengandung gambaran tata kehidupan
nenek moyang yang patut di ambil suri tauladan. Selain itu, juga terkandung makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat dalam
pembagian periode pertunjukan pathet bentuk semalam, yang dimulai dari pathet nem
, pathet songo, dan pathet menyura. Selain terkandung proses pendidikan dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan
oleh dalang, terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran, petuah, keteladanan, dan juga makna tentang hubungan manusia dengan tuhan.
3. Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem sebagai salah satu bentuk kesenian yang multi lapis, merupakan jalinan dari berbagai perabot atau
unsur, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Perabot fisik merupakan berbagai unsur nir kasat mata yang berperan dalam sajian pakeliran sebagai
sarana ekspresi, misalnya: gamelan, wayang, gawang, kelir, kothak. Sedangkan perabot non fisik adalah unsur-unsur yang tidak kasat mata yang berupa ide atau
gagasan yang diekspresikan melalui pengolahan medium yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya: ekspresi berupa suara lagu, wacana, gerak. Dan
kesemuanya itu telah diatur dalam sebuah naskah lakon maupun cerita pewayangan.
4. Pakeliran padat merupakan bentuk pembaharuan dalam pakeliran. Pakeliran padat
dikenalkan oleh Humardani. Meskipun berbeda dengan pakeliran bentuk 77