commit to user
48
10. Megatruh : megat = misah atau pisah, ruh = nyawa atau jiwa, melambangkan behwa manusia telah usai melaksanakan tugas-tugas di dunia dan kembali
pulang ke alam baka akhirat atau jaman kelanggengan. 11. Pocung : pocong, tata cara agama yang dilaksanakan oleh umat islam, orang
yang telah meninggal dunia sebelum dimakamkan atau dikubur terlebih dulu dimandikan dan di pocong dengan kain kafan yang berwarna putih.
C. Pertunjukan Wayang Kulit Sesuai dengan Pakem
Sebagai salah satu bentuk kesenian yang multi lapis, pertunjukan wayang merupakan jalinan dari berbagai perabot atau unsur, baik yang bersifat fisik maupun
non fisik. Perabot fisik merupakan berbagai unsur nir kasat mata yang berperan dalam sajian pakeliran sebagai sarana ekspresi, misalnya: gamelan, wayang,
gawang , kelir, kothak. Sedangkan perabot non fisik adalah unsur-unsur yang tidak
kasat mata yang berupa ide atau gagasan yang diekspresikan melalui pengolahan medium yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya: ekspresi berupa suara lagu,
wacana, gerak. Pada dasarnya antara perabot fisik dengan unsur-unsur garap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Perabot garap berperan
sebagai sarana ekspresi dari unsur-unsur garap, sedangkan unsur-unsur garap akan berarti apabila diungkapkan melalui bentuk-bentuk ekspresi sesuai dengan tuntunan
suasananya Suyanto 2003: 23-24. Ditinjau dari jenisnya unsur-unsur garap pakeliran terdiri dari 3 tiga jenis
yaitu:
1. Garap Catur
Catur adalah semua wujud bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang
di dalam pakeliran Bambang Murtiyoso 1981: 6. Selain itu catur adalah semua bentuk ekspresi dalang lewat wacana yang berupa narasi maupun dialog tokoh dalam
pakeliran Suyanto 2003: 28. Pada prinsipnya catur adalah kemampuan dalang
dalam berbahasa untuk mengekspresikan pengalaman dan perasaannya dalam pakeliran
. Dalam pemilihan catur, seniman dalang biasanya tinggal memilih mana
yang akan digunakan karena pada umumnya catur yang digunakan sudah ada dan
commit to user
49
pada umumnya memiliki struktur isi dan pola yang telah membeku narasi, dialog, dan monolog. Sebagai contoh: 1 untuk bentuk narasi seperti janturan jejer,
janturan gapuran, janturan kedhatonan, pocapan gajah, dan pocapan kreta; 2
bentuk dialog seperti bage-binage, tantangan, bantah, dan wejangan Sudarko, 2003: 102.
Catur pakeliran bentuk semalam pada umumnya menggunakan kalimat-
kalimat panjang. Selain itu pakeliran bentuk semalam juga sering menggunakan catur-catur klise dikarenakan adanya suatu hubungan yang erat antara lama waktu
pertunjukan dengan kebutuhan caturnya. Pada umumnya dalang yang menyajikan pakeliran
bentuk semalam harus mempunyai perbendaharaan catur yang banyak serta lengkap. Jika tidak demikian ia akan kehabisan bahan. Selain itu bentuk
susunan catur klise dirasa masih cocok digunakan oleh para pendukung pakeliran bentuk semalam Sudarko 2003: 107-108.
Pengulangan dalam bentuk catur dapat terjadi baik dalam janturan, pocapan,
maupun dialog. Pengulangan sering terjadi dalam hal isi dan kosakata. Misalnya narasi yang berisi deskripsi tentang perang yang sebetulnya perang ini telah
dingkapkan melalui sabet, atau dalam bentuk dialog dapat berupa dialog tokoh mengutarakan suatu masalah tertentu kemudian diulangi oleh tokoh lain baik
langsung maupun tidak langsung Sudarko 2003: 109. Di dalam pakeliran gaya Surakarta, catur dapat digolongkan menjadi tiga
jenis, yaitu: a. Janturan
Janturan adalah cerita yang diutarakan diungkapkan oleh dalang dalam
pertunjukan wayang yang diringi dengan suara gamelan yang dibunyikan secara lirih. Janturan memiliki fungsi pokok yaitu untuk memberitahu penonton mengenai
dimana tempat adegan, siapa-siapa saja yang ada di pentas, sketsa watak dari tokoh wayang, dan apa yang akan dijadikan pokok pembicaraan dalang Pandam Guritno
1988: 67. Dalam buku Bahan Ajar Teori Pedalangan 1 yang disusun oleh Suyanto
2003: 28 disebutkan bahwa “janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi
commit to user
50
suatu adegan yang sedang berlangsung, mencakup suasana tempat negara, tokoh, dan peristiwa dengan diiringi gendhing sirepan”.
Dilihat dari aspek kesusastraan yang digunakan, janturan mempunyai ciri khas sebagai berikut: 1 bentuk bahasanya prosa liris; 2 banyak menghadirkan
leksikal arkhais Bahasa Kawi; dan 3 terdapat jalinan harmonis antara suasana dan lagu iringan Suyanto, 2003: 28.
Dalam pakeliran tradisi gaya Surakarta, bentuk dari janturan menurut proporsi pengungkapannya terbagi menjadi dua macam yaitu: Janturan Ageng dan
Janturan Alit. Janturan Ageng adalah janturan yang proporsi pengungkapannya
cukup panjang, biasanya digunakan dalam adegan pertama atau yang disebut jejer. Misalnya: Jejer Ngastina, Jejer Dwarawati, Jejer Khayangan Suralaya, dan
sebagainya. Sedangkan Janturan Alit adalah janturan yang proporsi ungkapannya relative pendek dan biasanya digunakan dalam adegan-adegan setelah jejer pertama.
Misalnya: adegan kedhatonan, adegan paseban jawi, adegan sabrangan Yaksabagus, adegan magak, adegan pertapan sanga sepisan, adegan alas-
alasan, adegan menyura sepisan, dan sebagainya.
Contoh Janturan Ageng dan Janturan Alit: 1
Janturan Ageng Jejer Ngastina dalam lakon Wahyu Makhuta Rama
Swuh rep data pitana, anenggih negari pundi ta ingkang kaeka adi dasa purwa, eka sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan, sanadyan
kathah titahing bathara ingkang kasangga ing pratiwi, kaungkulan ing akasa, kahapit samodra laya, saha kathah ingkang samya anggana raras;
nanging datan kadyan gelaring negari Nastina, ya Hastinapura, Gajahoya, Limanbenawi, ya Kurujanggala.
Marma dadya bebukaning carita awit pranyata pinunjul ing jagad. Bebasan ngupaya nagari satus datan antuk kalih, sanadyan sewu datan jangkep
sedasa. Dasar negara kang panjang, punjung, pasir, wuklir, loh jinawi, gemah, ripah, karta tur raharja. Nagari kang ngungkuraken pareden,
nengenaken benawi, ngeringakaen pasabinan, ngayunaken bandaran agung. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang samya tinuku,
gemah kang samya lampah dagang layar surya ratri tan ana kendhate labet tan ana sansayaning marga. Ripah kathah janma manca ingkang samya
bebara miwah samya bebadra, bebasan jejel pipit, aben cukit wisma nira, papan wiyar katingal rupak labet saking rejaning praja. Karta lebih saking
parangmuka, raharja gesanging para nara prajasamya sahiyek saeka praya, senadyan para kamwula dasih samyaguyup rukun lebih saking
hambeg dursila juti myang cecengilan. Ingon-ingon raja kaya, pitik iwen
commit to user
51
datan samya kinandhangan, yen siang aglar ing pangonan, lamun ratri bali mring kandhanging sowang-sawang tan ana kang ghothang sawiji.
Dhasar nagari Ngastina kasusra kajanapriya, mila winastan nagari kang gedhe obore, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, amba leladane. Boten
ngemungaken ing tanah jawi kewala, senadyan para bupati ing tanah sabrang kathah ingkang samya sumuyut sumawita tan karana ginebanging
prah pupuh, labet hamung kayungyun kapiluyu ing pepoyaning kautaman. Saben hari kalamangsa samya asok bulu bekti glondhang pangareng-areng,
peni-peni raja peni, guru bakal guru dadi, pinangka tandha panungkul. Lah sinten ta ingkang ngasta pusaraning Negari Ngastina?, wenang den
ucapna jejuluking sang bumi nata nenggih prabu Duryudana, Suyudana, Kurupati, Jakapitana, Jayapitana, Sang Gendarisuta, Dhestharastraatmaja,
ya Sang Kurawaendra. Marma ajejuluk Prabu Duryudana nerendra kang awrat sanggahing aprang, Suyudana prajuritlinangkukng, Kurupati
narendraning bangsa Kuru, Jakapita nggenya jumeneng nata maksih jejaka, Jayapitana nerendra kang rosa ing pamuja, Gendarisuta linahirake
dening Dewi Gendari, Dhestharastraatmaja pinutrakake dening adipati Dhestharastra, Kurawaendra narendraning para kadang.
............................................................................. Suyanto, 2003: 30-32. 2
Janturan Alit Janturan Kedhatonan Dwarawati Hanenggih kang cinerita, ing Kenyopuri Praja nDwarawati. Sang sri
supadniwara tetiga, kang sepuh kekasih Dewi Jembawati. Dhasar wanodya endah ing warna, karengga ing busana, atmajaning pandhita tuwuk
winulang ing darma; marma katingal wingit pasemone, ngenguwung tejane. Wimbuh ginarwa narendra binathara, kalangkung sinihan, labet wignya
hanuju prana. Nadyan wus peputra tiga, parandene sapisan dereng nate karengon.
Garwa ingkang panenggak putri saking Kumbina, kekasih Retnaning Dyah Dewi Rukmini. Galak ulat raga karana, gonas-ganes lelewane milangoni.
Liringing netra tumanen nala, tembeling lathi handudut ati. Garwa ingkang katiga putri saking Lesanpura, kekasih Dewi Setyaboma.
Endahing suwarna tan pae kadya widadari tumurun; wimbuh lebda ngadi sarira, marma hanggung sinihan ing sri nata.
Kacarita sang prameswari tetiga saben sang nata miyos sinewaka, samya lenggah aneng prabasuyasa kaleres pananggap ingkang sisih ler wetan;
den-ayap para dyah ingkang samya ngampil upacara garwaning nata; ing ngandap andher para parekan cethi. Sinambi mriksani ajaran
bedhayasrimpi; pradangga munya hangrangin keplok imbal hangudasih, senggakan rebut wirama. Nuju suwuking pradangga munya tengara
konduring nata. Sang dayinta gya mirantos tirta pawijikan ing sangku. Gupuh prameswari tiga, samya methuk konduring nata
Tim, 2006: 25-26. b. Pocapan
Pocapan adalah wacana dalang berupa narasi yang pada umumnya
menceritakan peristiwa yang sudah, sedang dan akan berlangsung, tanpa iringan
commit to user
52
gedhing sirepan Suyanto, 2003: 33. Menurut Soetarno 2004: 129, pocapan adalah
suatu deskripsi suatu adegan atau peristiwa menjelang atau sesudah adegan. Dilihat dari bentuk bahasanya pocapan dalam pakeliran gaya Surakarta
terdapat dua macam bentuk yaitu: pocapan baku dan pocapan blangkon. Pocapan baku
adalah suatu bentuk narasi yang menceritakan suatu peristiwa berupa bahasa bebas yang berkaitan langsung dengan konteks lakon. Seperti: pocapan peralihan
adegan, pocapan suasana tokoh marah, sedih, emeng. Sedangkan pocapan blangkon
adalah bentuk narasi yang menceritakan suatu keadaan berupa bahasa klise yang berlaku umum dan tidak terkait dengan konteks lakon. Misalnya: pocapan
padupan, pocapan pathet kedhu, pocapan abur-aburan Gathutkaca, pocapan Gara- gara
Suyanto 2003: 34. Contoh pocapan baku dan pocapan blangkon
1 Pocapan Baku
Lah ing kana wau, untaping wadya-bala saking nagari Ngastina lir pindah sela blekithi, anglur selur data nana pedhote kadi semut gumreget ing sela.
Abra busananing wadya lir pendah panjrahing puspita. Gebyaring busana cawuh lan klebeting bandera lelayu kelaping kakandha pedhang tameng
mawur lan kelaping paying agung, sinawung saking mandrawa pindha wredu angga sasra. Wredu lintah angga banyu sasra sewu, kaya lintah
sewu aneng banyu bareng kumerlap. Rame swaraning janma, cawuh lan kriciking kendhali kropyaking watang gathik, pengeriking kuda myang
pangepreting dwipangga, barung lan swaraning poksur tambur gong beri wurahan, jajah warsa kinteki. Warsa udan kinteki alas pajaten, kaya udan
nrajang wana pajaten. Nyarangaping langkap bedhil tombak landheyan pindha jati ngarang. Prajurit sajuru-jurudatan kena carob wor. Kang
busana putih kumpul padha seta, tinon saking mandrawa pindha kontul aneba. Kang busana Kresna kumpul padha langking, kadi dhandhang
areraton. Kang busana rekta kumpul padha abang, tinon saking mandrawa abra markata pindha wukir kawelagar. Kang busana ijo kumpul padha
wilis, katon riyo-riyo kadi tanem nedhenging gumadhung. Baleduging lampah, peteng angampak-ampak, katon angendanu pindha mendhung
Siswoharsojo yang dikutip Soetarno, 2004: 129. Terjemahan:
Demikianlah keberangkatan prajurit dari kerajaan Astina seperti batu, terus mengalir tidak henti-hentinya seperti semut sedang berjalan di batu. Warsa-
warni busananya para prajurit seperti bunga yang sedang berkembang. Gemerlapnya busana yang bercampur dengan berkibarnya bendera serta
mengkilapnya senjata pedang tameng dan warsa-warni paying, kalau dilihat dari kejauhan seperti lintah seribu dalam air. Gemuruh suaranya menusia
commit to user
53
bersama dengan suara kereta dan kuda, serta suara gajah yang ditambah dengan suara tambur dan gong beri seperti hujan yang menerjang hutan jati.
Prajurit yang berbusana putih berkumpul dengan yang memakai busana putih seperti burung kuntul di sawah, yang berpakaian warsa hitam
berkumpul dengan yang berbusana hitam seperti burung gagak. Yang berseragam merah bersama dengan yang berbusana merahseperti hutan
terbakar. Prajurit yang berseragam hijau berkumpul dengan hijau seperti tanaman padi masih muda. Debu di jalan tampak tebal dan gelap seperti
awan.
2 Pocapan Blangkon
Lah ning kana ta wau, Nata ing Dwarawati wus manjing jroning sasana busana, lukar busana keprabon ngrasuk busana kapandhitan; sigra laju
manjing sanggar pamelengan. Ing mriku wus samapta uparengganing sesaji. Sela gengnya samustaka, liman, winor lan ratus, kayu garu
rasamala, miwah cendhana sari. Tinumpangaken ing bagni makantar- kantar, kukusing dupa kumelun yayah sundhul ngantariksa. Sang katong
murwani denira semedi, sendhakep asta suku juga, nutupi bah-bahan nawa sanga, meper dayaning pancadriya sekawan kang binengkas sajuga kang
sinidikara pinangka nut laksitaning subrata. Mandeng pucaking grana, ngeningaken wijiling bajra hirawana. Bawaning narendra kang sembada
pralebdeng patrap mangulah lenging subrata, bebasan mung sakedheping netra wus gambuh mring panguwasaning Widhi.gemblengng pangesti
maharani pratitising pamawas. Ancasing sedya wus melok datanpa aling- aling, kang ngalingi wus kelingling. Syekti katarima panedhaning sang
nata, apa ta tandhane? jroning palanggatan ana riris manda linuting maruta midit angganda arum. Mesem jroning werdaya sang nata, sigra
wudhar denira mangsah semedi. Neng na wau genti kang kinocap tan kandya ingkang wonten ing pagelaran jawi, solahing wadya bala ing
madyaning alun-alun tinon saking mandrawa kaya robbing jalanidhi
Suyanto 2003: 34-35. c. Ginem
Di dalam dunia pedalangan istilah ginem mempunyai pengertian khusus yaitu ucapan dalang yang mengekspresikan wacana tokoh, baik dalam bentuk
monolog maupun dialog Suyanto 2003: 35. Pada perkembangannya dalang-dalang populer telah mempersiapkan sendiri dialog tokoh wayang berdasarkan situasi aktual
dan telah meninggalkan basa pinathok bahasa yang klise. Dengan demikian, ginem dalam adegan tertentu telah berubah dan kebanyakan telah menyimpang dari esensi
pembicaraan arau keluar dari pakeliran. Dialog yang sering dipersiapkan oleh dalang biasanya dalam adegan limbuk-cangik dan adegan goro-goro Soetarno 2004: 131-
133.
commit to user
54
Jika dilihat dari bentuknya, ginem dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu: ginem blangkon dan ginem baku. Ginem blangkon adalah wacana yang berupa
bahasa klise yang dikemas secara konvensional. Untuk isi dari wacananya, tidak berkaitan langsung dengan jalan cerita. Sedangkan ginem baku adalah wacana
wayang yang berkaitan langsung dengan isi atau permasalahan dalam lakon. Untuk bahasa yang digunakan disesuaikan dengan karakter tokoh yang akan ditampilkan
Suyanto 2003: 36. Contoh ginem blangkon dan ginem baku
1 Ginem Blangkon Jejer Dwarawati
Kresna : Kulup [kuluuup] Samba, kaya ora dadi guguping atinira, sira
ingsun timbali marak ana ngarsaningsun? Samba
: Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Sareng nampi dhawuh timbalanipun Kanjeng Dewaji, sanget guguping manah. Nalika
wonten ing njawi raosing manah kados sinamber ing gelap tuna, tinubruk ing simo lepat; upami sumerep gebyaring caleret, mboten
sumerap dhawahing gelap. Dhahat kumepyar kados kados panjang putra dhumawah ing sela kumalasa. Upami kambengan salamba
kapanjer madyaning alul-alun, katiyup ing samirana, sakalangkung kejot kumitir carub maras. Nanging sareng dumugi ing ngarsa Nata
asreping manah pindha siniram toya wanci enjing, mboten pisan yen ta darbeya manah maras. Kawula nuwun [nuwuun], nuwun.
Kresna : Apa mulane nalika ana ing njaba banget kuwatir, nanging bareng
prapta ngarsaningsun datan darbe rasa maras? Samba
: Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Mila nalika wonten ing njawi dhahat sumelanging manah, sareng wonten ing ngarsa Nata mboten
darbe raos maras; upami pun Samba nandhanga dosa sakit Sinuhun ingkang nyakitana, yen hanandhang dosa pejah Sinuhun ingkang
hamejahana. Sampun ingkang siyang, sanadyan dalu pejah- gesangipun pun Samba sumangga ing asta kekalih; tembang tadhah
wadana, suka kakurepna ing abahan, kapanduka warastra ingkang lungit. Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun.
Kresna : Kulup [kuluuup], kejeron panampa. Koyo wong nandang dedosan,
ngaturake pati-urip. Iya sadurung lan sawise banget ing panarimaningsun, awit anggonira hanjunjung kapraboningsun. Ana
bebasan sak galak-galake macan ora kolu mangsa marang anake dhewe. Apa maneh panjenenganinsun kaya durung tau kelakon
hangukum wong kang tanpa dosa. Tumrape marang sira kaya maksih akeh parimarmaning karaton. Sapa ta kang kawongan ing
Praja nDwarawati pantes ngobori pepeteng, hambabadi rerungkut, kajaba hamung sira. Marma haywa kaduk ati bela panampa; aja
katenta ingsun piji nampani gnjaran mas sesotya sarwa retna,
commit to user
55
myang busana adi endah; ora pisan bebasan adoh lintang waluku sinawat ing baling kayu, cepak cupete-tangeh kenane.
Samba : Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Sadrahing angin pinara sapta,
sarekma pinara sasra, yen tilema kula mboten supena hangajeng- ajeng ganjaran. Tebih sampun tuwuk, celak mboten kuwawi nampi
rumentahing ganjaran,
ingkang prasasat
mboten wonten
kandhatipun pindha ilining toya narmada. mBoten langkung kawula hamung nyenyadhang dhawuhing Nata, suka kakarsakna nggayuh
ingkang tebih, ngrangsang ingkang inggil. Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun
Sugeng Nugroho, dkk, 2006: 20-22. 2
Ginem baku Jejer Dwarawati dalam lakon Parta Krama
Kresna : Kaka Prabu Mandura kawistingan sumengka pengawak prapta
wonten ing negari Dwarawati esmu mengku wigatos, menawi ta tanpa sangsaya saha kengaing kawedhar ing akathah mugi ri
paduka enggal kababarana sejati.
Baladewa : Mangkene yayi prabu, abot-abote pun kakang pinutra mantu tinemu tuwa dening Rama Prabu Salyapati. Telung dina kepungkur
aku mertuwi marang marang negara Mandaraka. Kanjeng rama Prabu Salya apadene Kanjeng ibu Satyawati kawistara suntrut
pasemone labet menggalihake pamothane si Burisrawa nggone adreng kepingin dhaup kalawan kadangmu si Rara Ireng.
Ringkesing rembug Rama Prabu nuding pun kakang bab prakara Burisrawa dipasrahake sawutuhe marang aku. Oh yayi abot
sangganing atiku. Aku pinangka kadang wredha dadi wakile Sudarma, mesthine aku metu mikirake kabgyaning kadangku siji si
Rara Ireng. Mangka pitungkasing Kanjeng Rama Suwangi, Rara Ireng kuwi ginadhang dadi jodhoning Premadi, lan kuwi tak rasa
wis trep. Nanging bareng ngadepi lelekon kang kaya mangkene pun kakang dadi kodheng, yen nganti aku ora bisa ngusadani larane
Burisrawa, iba ingsemku ana ngarsaning Kanjeng Rama maratuwa. Mula yayi tekaku ing kene muhung pasrah bongkokan marang si
adhi, mara lungguhna pun kakang iki kudu kepriye yayi?
Suyanto, 2003: 37-38.
Di dalam adegan pakeliran tradisi semalam, peralihan antara ginem blangkon
dengan ginem baku biasanya ditandai dengan singgetan suluk pendek pathetan jugag, baik pada jejer pertama, adegan kedua dan seterusnya. Hal ini
digunakan untuk membedakan suasana dialog pengantar kemudian masuk pada ginem wigati
, sehingga nampak jelas peningkatan suasana suatu adegan Suyanto, 2003: 37.
commit to user
56
2. Garap Sabet