Simbol Kehidupan Masa Tua pathet menyura

commit to user 44 Dyan prang kembang wus ana pepati tegese lamun wong wus kuwawa nayuti nafsune pan wis bangkit amateni pancaindriya kang mrih durlaksaneng kalbu Padmosoekotjo, 1995: 23 …setelah perang gagal pathetnya ganti sanga sampai tengah malam… segera adegan pendhita saat tengah malam ibarat umur manusia ya sudah tengah baya waktunya ya disitu segala kehendak iramanya sudah berganti serba awas waspada Sedang perang kembang telah ada kematian artinya kalau manusia sudah mampu mengendalikan nafsu memang telah bisa meredam panca indera yang hendak mengotori hati Wejangan pada pathet sanga ini disampaikan kepada seorang satria oleh dewa, pendeta, pertapa, Semar atau pinisepuh lainnya. Wejangan berisikan kesadaran dalam ngudi kasampurnaan. a Dari lingkungan hidup batin meningkat kemampuan rasa kesusilaan sampai kemampuan rasa jati. b Perjalanan mencapai kesempurnaan melalui darma atau kewajiban dengan memperoleh kesaksian atau jaya kawijayan. c Wejangan tentang manunggal, kesempurnaan Abdullah Ciptoprawiro, 1986: 89

3. Simbol Kehidupan Masa Tua pathet menyura

Pathet manyura, Periode ini berlangsung dari pukul 03.00-06.00, ditandai dengan gunungan kayon condong ke kanan. Pathet manyura ini dibagi menjadi tiga jejeran yaitu: a Jejer Manyura. Tokoh utama adegan ini sudah berhasil dan mengetahui dengan jelas akan tujuan hidupnya. Mereka sudah dekat dengan sesuatu yang dicita- citakan. b Adegan Perang Brubuh. Yaitu suatu adegan yang diakhiri dengan suatu kemenangan dan banyak jatuh korban. Adegan ini melambangkan suatu tataran commit to user 45 manusia yang sudah dapat menyingkirkan segala hambatan hingga berhasil mencapai tujuannya. c Tancep Kayon. Penutup pergelaran wayang ini, diadakan tarian Bima atau Bayu yang berarti angina tau nafas. Kemudian gunungan kayon ditancapkan di tengah-tengah kelir lagi. Adegan yang terakhir ini melambangkan proses maut, jiwa meninggalkan alam fana dan menuju kepada kehidupan alam baqa, kekal, abadi. R. Ng. Ranggawarsita dalam Serat Wedhapurwaka menerangkan: Dupi prapteng wanci lingsir wengi rasane ginantos ingaranan pathet manyura lah ing kono upamane janmi wus anandhang sakit aperak ing lampus Wancinira wus prapteng byar enjing bubar tancep kayon iya iku kulup umpamane wong wus krasa sanget kang sesakit praptil sakaratil katerak reridhu Gora godha sasring pati ngrayah angreroyok yen kalipyan tan tekeng kajaten ya Sang Banyusiwi tegese puniku Banyusiwi iku angin cilik mungguh angining wong ya napas wuwus pradikane yo ing kono jroning sakaratil napas kang mungkasi neneng tamah lampus Padmosoekotjo, 1995: 23. Saat sudah sampai lewat tengah malam iramanya berganti disebut pathet menyura nah disitu ibarat manusia telah terkena sakit mendekati kematian Waktunya sudah menginjak pagi commit to user 46 bubar tancep kayon yaitulah ibaratnya orang telah merasa sakit sekali tiba saat maut terkena cobaan Aneka unjian menuju kematian mengeroyok mengepung jika lupa tak sampai kesejatian Bratasena yang mengakhiri perang artinya begini Banyusiwi itu angin kecil padahal angin manusia yaitu napas jantung tempatnya di situ dalam sakaratul maut napas yang mengakhiri diam lalu meninggal Wedharan pada pathet menyura berupa nasihat atau pernyataan pada jejeran menjelang perang brubuh. Setelah mendapatkan pengetahuan dan penghayatan dari wejangan pathet sanga seorang satria lalu memperlihatkan kemampuannya untuk memberantas dur angkara. Tindakan yang dilakukan tanpa marah, tanpa pamrih yang melihat pada dirinya. Melalui uraian yang telah dijelaskan bahwa pergelaran wayang semalam suntuk itu sebagai lambang keberadaan manusia secara ontologis-metafisis, yaitu dari tiada menjadi ada dan kemudian melaksanakan lakon, maut dan kembali menjadi tiada lagi. Semua sudah diatur menurut jadwal yang sudah ditentukan pada waktu sebelum hidup pergelaran, yaitu di Lauh Mahfudz atau surat dan ilahi. Setelah paripurna pergelaran wayang semalam suntuk itu, maka semua wayang beserta perlengkapannya dikukut sedemikian rupa, sehingga pendapa menjadi kosong atau suwung. Kemudian barulah Sang Dalang bertemu dengan yang kuasa untuk menerima pahala sebagai berkah usahanya. Pathet Menyura yang ditandai dengan posisi kayon sedikit miring ke kiri melambangkan bahwa manusia harus beramal, sehingga kehidupannya akan berbuah kebahagiaan Purwadi, 2005: VII11. Iman-ilmu-amal yang padu akan mengantarkan diri manusia yang ihsan. Ibarat orang berdagang, pada akhirnya harus mendapat untung, namun tidak selamanya untung harus berupa harta. Dalam pemahaman orang Jawa terdapat commit to user 47 konsep tentang untung rugi, yakni tuna sathak bathi sanak ‘rugi harta untung mendapat saudara’. Penggambaran perjalanan hidup manusia dari pagi sampai sore atau lahir sampai meninggal dunia juga dapat dilihat melalui judul tembang-tembang macapat seperti yang tercantum dalam makalah konggres pewayangan yang disusun oleh Purwadi 2005: VII12 berikut ini: 1. Mijil : miyos, metu, lahir melambangkan seorang bayi lahir dari guwa garba rahim ibunya. 2. Sinom : pupus daun muda melambangkan seorang bayi sudah mulai berkembangbagaikan daun yang bersemi. 3. Maskumambang : mas = perhiasan, kumambang = kelihatan, melambangkan perkembangan seorang bayi anak yang semakin terlihat keindahannya bagaikan emas. 4. Asmarandana : asmara = asmara, dana = member, melambangkan perkembangan seorang anak mulai mengenal dan saling mengasihi kepada lain jenis. Dalam kitab Smaradahana juga diceritakan tentang api asmara. 5. Dhandhanggula : dandang = hitam, gula = legi atau manis, melambangkan anak yang telah menemukan gula hitam atau madu manisnya asmara. 6. Kinanthi : diajak, dibawa atau bersama-sama untuk menikmati manisnya atau harmonisnya rumah tangga. 7. Gambuh : sudah sangat cocok, selaras, serasi, dan seimbang, melambangkan kehidupan rumah tangga benar-benar mencapai kebahagiaandan kemuliaan hidup di dunia. 8. Durmo : dur = mundur, mo = momor, mundur dari kebahagiaan duniawi untuk mempersiapkan diri mencapai kebahagiaan ukhrawi. 9. Pangkur : mungkur atau meninggalkan diri dari kesenangan-kesenangan duniawi, melambangkan bahwa manusia telah meninggalkan perbuatan- perbuatan yang menjadi larangan agama, dan selalu berbuat sebaik-baiknya serta meningkatkan amal ibadahnya. commit to user 48 10. Megatruh : megat = misah atau pisah, ruh = nyawa atau jiwa, melambangkan behwa manusia telah usai melaksanakan tugas-tugas di dunia dan kembali pulang ke alam baka akhirat atau jaman kelanggengan. 11. Pocung : pocong, tata cara agama yang dilaksanakan oleh umat islam, orang yang telah meninggal dunia sebelum dimakamkan atau dikubur terlebih dulu dimandikan dan di pocong dengan kain kafan yang berwarna putih.

C. Pertunjukan Wayang Kulit Sesuai dengan Pakem