Gambar 3. Bagan alur penelitian distribusi spasial
3.4.1.3. Klasifikasi penutupan lahan
Klasifikasi secara digital merupakan proses pengelompokkan pixel-pixel ke dalam kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan
pixel yang bersangkutan. Klasifikasi landcover dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing supervised classification, yang dikelompokkan
menjadi delapan kelas yaitu : 1 tumbuhan sagu, 2 semak belukar, 3 hutan Selesai
Mulai
Penggabungan Citra Citra Landsat-5 TM
Pemotongan Citra Pemilihan Wilayah
Klasifikasi Terbimbing
Studi Autekologi Tutupan Lahan
Evaluasi Akurasi
Peta Distribusi Spasial Sagu Cek lapangan
ditolak
diterima
mangrove, 4 hutan primer, 5 bangunanpemukiman, 6 badan air, 7 tanah terbuka, dan 8 kebuntegalan.
Prosedur pelaksanaan klasifikasi dilakukan dengan membuat traning area pada klaster untuk mewakili setiap landcover. Algoritma yang digunakan dalam
klasifikasi terbimbing ini adalah algoritma Kemiripan Maksimum maximum Likelihood Algorithm yang merupakan algoritma yang paling banyak digunakan
dalam proses klasifikasi. Asumsi penggunaan algoritma ini adalah objek homogen selalu menampakkan histogram yang berdistribusi normal. Di atas citra
masing-masing kelas penutupan lahan mempunyai penampakan khas yang membedakan dengan kelas penutupan lahan lainnya.
3.4.1.4. Evaluasi akurasi
Evaluasi akurasi dari hasil klasifikasi yang dibuat digunakan ukuran- ukuran akurasi yaitu : overall accuracy, producers accuracy omission accuracy,
dan users accuracy commision accuracy. Ukuran-ukuran akurasi tersebut dapat diketahui dengan cara membuat matriks kontingensi atau sering disebut dengan
matriks kesalahan confusion matrix Jaya, 2007. Matriks kontingensi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Matriks kontingensi untuk evaluasi akurasi Training
Area A
B C
... Total
Baris Prod
’s Acc
A X
11
X
12
X
13
... X
1+
X
11
X
1+
B X
11
X
22
X
23
... X
2+
X
11
X
1+
C X
11
X
32
X
33
... X
3+
X
11
X
1+
... ...
... ...
... ...
... Total Kolom
X
+1
X
+2
X
+3
... N
User’s Acc X
11
X
+1
X
22
X
+2
X
11
X
+1
...
Berdasarkan matriks kontingensi ditentukan tingkat akurasi yaitu : Producer’s Accuracy =
100 x
X X
i ii
.…………………………………… 1
User’s Accuracy = 100
x X
X
i ii
………………………………………….. 2
Overall Accuracy = 100
1
x N
X
r i
ii
……………………………………….. 3
3.4.1.5. Pengecekan lapangan
Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk pengecekan kebenaran klasifikasi, melalui penelusuran pada klaster sagu di setiap wilayah sampling dengan cara
mengambil gambar dan tracking ordinat menggunakan GPS.
3.4.2. Penelitian tahap II : Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku
Setelah peta distribusi spasial tumbuhan sagu diketahui, ditentukan wilayah yang menjadi lokasi pengambilan sampel. Penetapan wilayah sampel
menggunakan metode JudgementPurposive samplings yaitu penetapan sampel yang didasarkan pada luas sebaran sagu yang menempati 3 terbesar, pada tiga
wilayah kabupaten di P. Seram yaitu Kabupaten SBB, MT, dan SBT. Disamping itu juga dengan pertimbangan letak wilayah sampling sesuai posisi mata angin
Utara-Selatan-Timur-Barat. Tahapan prosedur penelitian autekologi disajikan pada Gambar 4. Wilayah sampel terpilih selanjutnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Wilayah sampel I : Luhu Kabupaten SBB.
2. Wilayah sampel II : Sawai Kabupaten MT.
3. Wilayah sampel III : Werinama Kabupaten SBT.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan penelusuran untuk pengamatan spesies sagu. Spesies sagu dibedakan berdasarkan klasifikasi sagu yang dipahami
secara umum yaitu : 1 Metroxylon rumphii Mart., 2 Metroxylon sylvestre Mart., 3 M. Longispinum Mart., 4 M. microcanthum Mart., dan Metroxylon sagu
Rottb. Petak sampel ditetapkan dengan menggunakan metode non-random
sampling penarikan contoh tak acak, secara beraturan systematic sampling. Pemilihan metode ini karena memiliki beberapa keuntungan Kusmana 1997
antara lain :
1. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total
parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada populasi.
2. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total
parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada populasi.
3. Dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan murah bila dibandingkan dengan
metode sampling berpeluang, karena kurangnya waktu dan biaya untuk proses pemilihan dari satuan-satuan sampel.
Gambar 4. Prosedur penelitan autekologi
Distribusi spasial sagu
Judgemen Purposive sampling
Pengumpulan data iklim
Analisis Data : Analisis vegetasi, asosiasi,
komponen utama
Metode sampling : Bentuk, ukuran, cara
penetapan
Peta wilayah sampel
Pengamatan vegetasi
Pengumpulan data
Pengambilan contoh air
Pengambilan contoh tanah
Pengamatan spesies
sagu Analisis sifat
kimia fisika Identifikasi tbhn
yang tak diketahui Analisis
data iklim Analisis
sifat air
Studi biodiversitas
4. Perjalanan penjelajahan antara satuan-satuan sampel yang berurutan adalah
lebih mudah, karena adanya arah rintis yang jelas. 5.
Ukuran populasi tidak perlu diketahui selama satuan-satuan sampel diletakan pada jarak yang beraturan setelah satuan sampel pertama ditentukan.
6. Pemetaan areal dapat dilakukan sekaligus di lapangan.
Penempatan unit sampel pada masing-masing wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT
sebagaimana tersaji pada Gambar 5. Jumlah petak pengamatan disesuaikan dengan luas wilayah sampel. Luas wilayah sampel I sekitar 250 ha, jumlah petak
kuadrat yang dibuat sebanyak 36 petak. Wilayah sampel II luasnya sekitar 500 ha, jumlah petak kuadratnya 54. Luas wilayah sampel III sekitar 300 ha, jumlah petak
kuadrat yang dibuat sebanyak 40 petak. Total petak pengamatan sebanyak 130 petak kuadrat.
3.4.2.1. Metode pengamatan vegetasi
Dalam metode analisis vegetasi dikenal antara lain metode petak, mencakup metode petak tunggal dan petak ganda. Metode yang disebut terakhir
salah satunya adalah metode petak ganda yang diletakkan secara sistematis Kusmana 1997. Dalam metode ini ukuran petak kuadrat untuk vegetasi fase
pohon berukuran 20 x 20 m
2
, tiang 10 x 10 m
2
, sapihan 5 x 5 m
2
, dan semai atau tumbuhan bawah 2 x 2 m
2
. Penetapan unit contoh sebagaimana tersaji pada Gambar 6. Pengamatan vegetasi meliputi jenis vegetasi, jumlah masing-masing
vegetasi, intensitas ditemukan suatu jenis, dan ukuran proyeksi tajuk. Pengamatan ukuran proyeksi selanjutnya dimanfaatkan untuk menentukan luas
tutupan tajuk masing-masing jenis vegetasi. Penetapannya dengan mengukur panjang jari-jari proyeksi tajuk dari pangkal batang suatu jenis sampai batas
proyeksi tajuk. Luas tutupan ditetapkan dengan rumus : Luas tutupan tajuk = πr
2
…………………………………………… 4 dimana :
π = 3,14 r = jari-jari proyeksi tajuk
Gambar 5. Penetapan petak sampel a wilayah sampel I Luhu Kab. SBB, b II Sawai Kab. MT, dan c III Werinama Kab. SBT
a
b
c
Keterangan : Petak pengamatan
20m
Gambar 6. Penempatan unit contoh
3.4.2.2. Pengamatan tumbuhan sagu
Berkenaan dengan fokus penelitian ini lebih diarahkan pada tumbuhan sagu, maka dilakukan uraian khusus untuk itu. Walaupun tumbuhan sagu
merupakan bagian dari vegetasi dalam komunitas sagu itu sendiri. Pengamatan tumbuhan sagu yang dimaksudkan disini adalah untuk menjelaskan tumbuhan
sagu dalam konteks individu yang kemudian membentuk populasi. Variabel pengamatan yang diamati meliputi spesies tumbuhan sagu dan fase masing-
masing spesies. Data hasil pengamatan dipergunakan untuk mengungkapkan struktur populasi tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram
Provinsi Maluku. Pengamatan dilakukan pada petak kuadrat berukuran 20 m x 20 m. Kegiatan pengukuran atau pengamatan yang dilakukan meliputi :
1. Jumlah rumpun pada setiap unit contoh, pengamatan dilakukan dengan cara
menghitung jumlah rumpun setiap spesies sagu. Satu rumpun dianggap sebagai satu tanaman.
2. Jumlah individu per rumpun, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung
jumlah individu per rumpun dengan memisahkan menjadi beberapa fase pertumbuhan. Penentuan fase pertumbuhan didasarkan pada kriteria yang
dikembangkan BPPT 1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992 Tabel 6. Pengamatan tumbuhan sagu pada masing-masing petak kuadrat yang disusun
atau ditentukan secara sistematis, dipisahkan menurut tipe habitat. Pemisahan ini dimaksudkan untuk keperluan penetapan jumlah rumpun tiap-tiap jenis
sagu, terkait dengan daya adaptasi sagu pada habitat tertentu. Makin banyak jumlah individu suatu jenis pada suatu tipe habitat, menggambarkan daya
adaptasi yang kuat. Sebaliknya apabila jumlah populasi suatu individu rendah atau sedikit, maka daya adaptasi jenis sagu tersebut sempit.
2m 5m
10m
20m pohon
semai sapihan
tiang Arah rintis
Tabel 6. Fase pertumbuhan sagu
No Fase tumbuh Kriteria BPPT 1982
Kriteria modifikasi 1.
Semai seedling Tinggi batang bebas daun
0-0,5 m. Sejak mulai muncul anakan
sd tinggi batang bebas daun 0 m terbentuk roset.
2. Sapihan sapling
Tinggi batang bebas daun 0,5-1,5 m.
Tinggi batang bebas daun 0-2 m.
3. Tiang pole
Tinggi batang bebas daun 1,5-5,0 m.
Tinggi batang bebas daun 2-5 m.
4. Pohon trees
Tinggi batang bebas daun 5 m.
Tinggi batang bebas daun 5 m.
5. Pohon Masak panen
harvesting Masa primodia berbunga sd
terbentuk bungabuah Masa primodia berbunga sd
terbentuk bungabuah. 6.
Pohon veteranmelewati masak panen post
harvesting Masa berbuah sampai
tumbuhan sagu mati Masa berbuah sampai
tumbuhan sagu mati Keterangan : Sjachrul 1993.
3. Struktur populasi tumbuhan sagu. Pola pertumbuhan suatu organisme
ditentukan oleh jumlah individu dalam setiap fase pertumbuhannya. Pola pertumbuhan ini selanjutnya mencerminkan parameter struktur populasi suatu
organisme. Dalam kaitan ini, struktur populasi yang dimaksudkan adalah struktur populasi tumbuhan sagu.
4. Mekansime adaptasi sagu. Pengamatan parameter ini dilakukan dengan
mencermati sifat pertumbuhan sagu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan atau habitat yang senantiasa tergenang. Suatu kondisi yang seringkali tidak
baik untuk jenis tumbuhan tertentu. Dengan kata lain merupakan kondisi yang bersifat marjinal bagi sebagian jenis tumbuhan, artinya tumbuh-tumbuhan
tertentu tidak dapat bertahan hidup atau pertumbuhannya terganggu pada kondisi yang tergenang itu.
5. Mekanisme pembentukan rumpun. Tumbuhan sagu pada umumnya dapat
berkembangbiak atau memperbanyak individu melalui organ biji danatau anakan berupa stolon atau rhyzome. Mekanisme pembentukan rumpun yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah pembentukan individu baru yang berasal dari rhyzome menjauh dari pangkal pohon induk, kemudian terpisah dari
pohon induk membentuk rumpun sendiri.
6. Produksi pati sagu. Parameter ini ditetapkan dengan cara menimbang hasil
panen per batang pohon panen. Penimbangan dilakukan dengan cara menimbang pati sagu basah yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang
disebut ”tumang”. Kemudian dikoreksi dengan jumlah tumang pada setiap batang panen. Pada setiap tipe habitat diambil tiga batang untuk diukur
besarnya produksi pati sagu.
3.4.2.3. Pengamatan faktor lingkungan
a.
Sifat-sifat tanah
Pengamatan sifat tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengamatan vegetasi yaitu pada petak berukuran 20 x 20 m
2
. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tiga titik secara diagonal sebagaimana tersaji dalam Gambar 7.
Gambar 7. Letak tempat pengambilan sampel dalam petak kuadrat Sampel tanah yang diambil dipisahkan menurut tipe habitat. Sifat-sifat
tanah yang diamati meliputi sifat fisika dan kimia tanah. Terdapat sifat tanah yang ditentukan langsung di lapangan seperti pH tanah, sedangkan sifat tanah
yang lain ditetapkan di laboratorium. Pengambilan sampel tanah untuk keperluan analisis kimia tanah dilakukan pada kedalaman 0-30cm dan 30-60cm. Penetapan
kedalaman ini didasarkan pada hasil observasi pendahuluan, dimana didapatkan akumulasi sebaran perakaran sagu berada pada zone kedalaman 0
– 60 cm. Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat fisika tanah menggunakan ring sampel
pada kedalaman antara 0-30 cm top soil. Prosedur pengamatan sifat-sifat tanah sebagai berikut :
Keterangan : = titik pengambilan sampel
1. Sifat fisika tanah
Pada setiap wilayah sampel diambil tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel yang digunakan untuk keperluan analisis dengan
empat tipe habitat adalah sebanyak : 3 x 3 x 4 = 36 sampel. Sifat fisika tanah yang diamati dalam penelitian ini meliputi bulk density, partikel pasir, debu, liat, dan
kelas tekstur. Analisisnya dilakukan di laboratorium BPT Bogor.
2. Sifat kimia tanah
Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat kimia tanah dari tipe habitat yang sama dikompositkan, kemudian dari komposit tersebut diambil sebanyak
tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga wilayah sampel, empat tipe habitat, dua kedalaman, dan tiap
habitat tiga sampel, jumlahnya sebanyak : 3 x 4 x 2 x 3 = 72 sampel. Sifat-sifat tanah yang dianalisis adalah sebagai berikut :
a. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter tanah, penetapannya dilakukan langsung di lapangan terutama untuk kedalaman 0-30 cm. Hasil pengukuran
ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran di laboratorium pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm. Selain pH H
2
O dilakukan pula penetapan pH KCl untuk mengetahui pH potensial di lokasi penelitian. Penetapan pH
KCl dilakukan di laboratorium. b. Kapasitas Tukar Kation KTK, dan unsur hara N, P, K, Ca, Mg, Fe, dan Al.
Analisis sifat kimia tanah menggunakan metode standard pada BPT Bogor.
b. Sifat air
Sampel air diambil dari tipe habitat tergenang, yaitu tergenang temporer air tawar T2AT, tergenang temporer air payau T2AP, dan tergenang permanen
TPN. Sampe air diambil secara hati-hati dari bagian permukaan, bagian tengah, dan bagian bawah. Pada setiap petak sampel diambil tiga sampel secara diagonal,
sama seperti pengambilan sampel tanah. Sampel dari tipe habitat yang sama kemudian dicampur untuk selanjutnya diambil tiga sampel pada setiap tipe
habitat. Dengan demikian, maka jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga wilayah sampel, tiga tipe habitat, dan tiga sampel dari masing-masing habitat
adalah sebanyak : 3 x 3 x 3 = 27 sampel air. Pengukuran variabel yang berkaitan dengan sifat air sebagian dilakukan di
lapangan dan sebagian di laboratorium. Sifat-sifat air yang diamati yaitu : 1. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter air.
2. Salinitas, ditetapkan dengan menggunakan salinitas meter atau refraktometer. 3. Pengambilan sampel air dengan cara memasukan air yang diambil dari bagian
atas, tengah dan bagian dasar, kemudian dikompositkan untuk dilakukan analisis. Sifat air yang dianalisis yaitu : NO
3 -
, NH
4 +
, K
+
, Ca
+
, Mg
+
, dan PO
4 -
.
c. Data tipe iklim
1.
Iklim mikro
a. Temperatur dan kelembaban udara relatif disekitar rumpun sagu dikumpulkan
dengan menggunakan thermohigro meter. Pengukuran dilakukan dengan cara menggantung thermohigro pada tongkat kayu setinggi satu meter dari
permukaan tanah yang ditempatkan pada salah satu bagian dalam areal hutan sagu pada masing-masing wilayah sampel. Pada setiap wilayah sampel
ditempatkan satu unit thermohigro. Pengamatan dilakukan pada pukul 07.30, 13.00, dan 17.00. Data ini kemudian di rata-ratakan untuk mendapatakan data
harian. Temperatur dan kelembaban udara relatif ditetapkan dengan menggunakan rumus berikut :
4 2
00 .
17 30
. 13
30 .
7
t t
x t
T ……………………………………… 5
4 2
00 .
17 30
. 13
30 .
7
RH RH
x RH
RH …………………………… 6
Keterangan : T = temperatur udara
o
C; RH = relative humidity atau kelembaban udara relatif
b. Intensitas sinaran surya di bawah tegakan sagu. Parameter ini diamati dengan menggunakan lux meter antara pukul 11.00 - 14.00. Data ini selanjutnya di
rata-ratakan untuk mendapatkan data intensitas sinaran surya harian.
Pengamatan intensitas sinaran surya dilakukan pada dua titik untuk setiap wilayah sampel. Titik pertama terletak di antara rumpun sagu, sedangkan titik
pengamatan yang kedua terletak di dekat rumpun atau tegakan pohon sagu pada jarak ± 1 meter. Di setiap wilayah sampel digunakan satu unit lux meter.
Pengamatan variabel temperatur, kelembaban udara, dan intensitas sinaran surya dilakukan selama 4 bulan dengan periode pengamatan dua kali
dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Minggu. Waktu pengamatan pada 3 wilayah sampel dijadwalkan secara bersamaan.
2. Iklim lokal
Selain dilakukan pengamatan parameter iklim mikro, dikumpulkan pula data iklim lokal meliputi curah hujan, temperatur, dan kelembaban udara relatif.
Data iklim lokal ini diperoleh dari dua stasiun Klimatologi di P. Seram, yaitu stasiun Klimatologi Amahai Kabupaten MT dan stasiun Kairatu Kabupaten SBB.
Data dari dua stasiun klimatologi ini mewakili dua tipe iklim di sebagian besar wilayah P. Seram, yaitu tipe iklim A diwakili oleh stasiun klimatologi Amahai