Tepung berwarna putih dan enak rasanya. Setiap pohon dapat menghasilkan 170-500 kg tepung kering Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli
1992. Spesies ini merupakan sagu paling besar ukurannya dibandingkan dengan jenis lainnya.
2. Metroxylon sagu Rottboell sagu molat Tinggi batang berkisar dari 10-14 meter, diameter sekitar 40-60 cm, berat
batang dapat mencapai 1,2 ton atau lebih. Tangkai daun tidak berduri, ujung daun panjang meruncing. Letak daun
berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4,5 meter, panjang lembaran daun sekitar 1,5 meter dan lebar kira-kira 7 cm.
Memiliki bunga majemuk berwarna sawo matang kemerah-merahan. Empulur lunak dan berwarna putih, sehingga acinya berwarna putih. Berat
empulur sekitar 80 dari berat batang, kandungan aci sekitar 18 . Setiap pohon dapat menghasilkan aci basah sekitar 800 kg atau sekitar 200 kg aci
kering Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli 1992. 3. Metroxylon sylvestre Martius sagu ihur
Tinggi batang berkisar dari 12-16 meter, bahkan dapat mencapai 20 meter. Diameter batang sekitar 60 cm, berat batang sekitar 1,2 ton. Tebal kulit
berkisar 1-3 cm. Panjang tangkai pelepah daun sekitar 4-6 meter. Daun berwarna hijau tua,
memiliki tulang daun yang lunak, dan ujungnya membengkok ke bawah. Pada sekitar pelepah dan sepanjang tangkai daun terdapat duri dengan
panjang sekitar 1-5 cm. Empulur agak keras, mengandung banyak serat dan berwarna kemerah-
merahan, sehingga aci yang dihasilkan berwarna kemerah-merahan pula. Berat empulur sekitar 18 dari berat batang dengan kandungan aci sekitar
17-18 . Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 150 kg aci kering BPPT 1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992.
4. Metroxylon longispinum Martius sagu makanaru Tinggi batang sekitar 12-15 meter, diameter sekitar 50 cm. Berat batang
sekitar satu ton dan kandungan empulur mencapai 80 dari berat batang Rumalatu 1981 dalam Haryanto dan Pangloli 1992.
Tangkai daun pendek berkisar antara 4-6 cm dan berduri banyak. Anak daun kecil-kecil dengan panjang sekitar 80-120 cm. Pinggir daun penuh
duri. Kandungan aci sagu dalam empulur sekitar 200 kg per pohon, dan rasanya
kurang enak. 5. Metroxylon microcanthum Martius sagu duri rotan
Tinggi batang sekitar 8 meter dengan diameter sekitar 40 cm. Produksi aci dalam setiap pohon hampir sama dengan M. sylvestre Mart.
Soerjono dalam Haryanto dan Pangloli 1992. Empulur tidak cepat mengalami fermentasi atau pengasaman, sehingga tidak
cepat busuk setelah dipanen.
2.4. Habitat dan ekologi tumbuhan sagu
Daerah penyebaran tumbuhan sagu terdapat di Pasifik Selatan, Melanesia, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Philipina. Pada umumnya tumbuh pada lahan-
lahan yang basah atau tergenang, baik bersifat permanen, tergenang ketika berlangsung musim hujan, dan ada pula yang tumbuh pada lahan kering. Deinum
1984 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993 menyebutkan bahwa habitat asli tumbuhan sagu adalah tepian parit dan sungai yang becek, tanah
berlumpur, akan tetapi secara berkala mengering. Lahan sekitar parit pada umumnya berupa lahan kering, sedangkan pada pinggiran sungai, kebanyakan
tergenang air atau relatif basah, meskipun ada pula yang kering. Flach 1983 menyebutkan bahwa habitat tumbuh yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah
daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam. Apabila akar
nafas terendam air secara terus menerus akan menghambat pertumbuhan, dan dengan sendirinya menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati dalam
pokok batangnya. Tempat tumbuh sagu terdapat di tanah yang lembab, di sepanjang tepi
sungai, di sekitar danau dan tanah berawa Atmawidjaja 1992. Tumbuhan sagu dijumpai juga di tempat dimana terdapat pohon nipah di muara sungai. Tanah
lempung berpasir merupakan tempat tumbuh yang baik, sebaliknya di tanah
gambut pertumbuhan sagu cukup merana. Pada jalur transisi antara hutan sagu dan hutan tropika basah, dimana sesekali digenangi air, sagu tumbuh dengan baik.
Tumbuhan sagu dapat pula tumbuh pada tanah-tanah organik, akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah yang demikian biasanya menunjukkan
berbagai gejala defisiensi terhadap beberapa unsur hara tertentu yang ditandai oleh berkurangnya jumlah daun dan umur sagu yang lebih panjang mencapai 15-17
tahun Fach 1977 dalam Haryanto dan Pangloli 1992. Apabila dilihat dari kemungkinan hidup tumbuhan sagu berdasarkan
kisaran keadaan hidrologi, maka Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993 menyatakan bahwa kisaran keadaan hidrologi tempat tumbuh sangat lebar. Sagu
dapat hidup pada keadaan lahan yang tergenang, sampai kondisi lahan yang tidak tergenang asalkan kondisi kadar air tanah lengas tanah terjamin cukup tinggi.
Kondisi kadar air yang tinggi ini dapat disebabkan oleh genangan berkala, daya tahan menyimpan air banyak, misalnya karena mengandung bahan organik
banyak, maupun oleh air tanah dangkal. Pada genangan tetap, pertumbuhan sagu pada fase semai masih baik, akan tetapi pada fase pembentukan batang tiang dan
pohon laju pertumbuhannya sangat lambat, jumlah pohon masak tebang per hektar sedikit dan produksi pati per pohon rendah. Pertumbuhan dan produksi
tampak cukup baik pada lahan dengan genangan berkala atau yang tidak tergenang.
Di daerah rawa pantai dengan kadar garam salinitas tinggi tumbuhan sagu masih dapat tumbuh, ditemukan bercampur dengan nipah. Akan tetapi
perkembangan fase pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Secara alamiah di daerah rawa pasang surut zone sagu berada di belakang zone nipah
yang lebih tenggelam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993. Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di Provinsi Maluku,
menurut Louhenapessy 1993 dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu : 1. Kondisi rawa pantai brackish water yang bercampur dengan nipah dan
tumbuhan payau lainnya, 2. Kondisi rawa air tawar, baik secara murni maupun bercampur dengan tumbuhan rawa, dengan penggenangan tetap maupun
penggenangan sementara, 3. Kondisi pantai berpasir yang dipengaruhi oleh