sekitar 15 ribu hektar. Potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia diperlihatkan pada Tabel 3.
Tabel 2. Perkiraan potensi sagu dunia Negara
Tumbuh Liar ha Budidaya ha
Papua New Guinea
Provinsi Sepik
Provinsi Guv
Provinsi Lain
1.000.000 500.000
400.000 100.000
20.000
5.000 5.000
10.000
Indonesia
Irian Jaya Papua
Maluku
Sulawesi
Kalimantan
Sumatera
Kepulauan Riau
Kepulauan Mentawai
1.000.000
980.000 20.000
- -
- -
-
128.000
14.000 10.000
10.000 20.000
30.000 20.000
10.000
Malaysia
Sabah
Serawak
Malaysia Barat -
- -
- 33.000
10.000 20.000
3.000 Thailand
- 5.000
Philipina -
5.000 Kepulauan Pasifik
- 10.000
Total 2.000.000
200.000 Sumber : Flach 1983
Tabel 3. Perkiraan potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia No. Daerah
Luas Areal ha 1.
Papua Barat Irian Jaya 4.371.590
2. Maluku
30.108 3.
Sulawesi 45.540
4. Sumatera
71.900 5.
Kalimantan 2.000-50.000
6. Jawa
262
Sumber : Mulyanto dan Suwardi 2000
Dalam areal sagu yang terbesar di Indonesia yakni Papua Irian Jaya dan Maluku mencapai 96 , sampai dengan tahun 2003 besar potensinya masih
sangat beragam. Lakuy dan Limbongan 2003 menyebutkan bahwa berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua, luas areal sagu sebesar
2.936.675 hektar, tetapi menurut Gubernur Papua 2003 luas areal tumbuhan
sagu di Papua mencapai 4,1 juta hektar dengan perincian sebagai berikut : 1. Kabupaten Merauke : 3.569.130 ha, 2. Kabupaten Fak-Fak : 389.840 ha, 3.
Kabupaten Manokwari : 11.330 ha, 5. Kabupaten Biak Numfor: 6.500 ha, dan 6. KabupatenKota Jayapura : 36.670 ha.
Berdasarkan data luas areal sagu yang dikemukakan oleh Prayitno 1991 dalam Ruhendi 2000, makin menunjukkan keragaman luas potensi sagu di
Indonesia yang semakin bervariasi Tabel 4. Total luas areal sagu yang dikemukakan mencapai 2,3 juta hektar, berupa hutan sedangkan yang
dibudidayakan sebesar 136 ribu hektar. Luas areal sagu yang sangat menonjol terdapat di kepulauan Maluku mencapai 800 ribu hektar. Jika dibandingkan
dengan data sebelumnya yang tidak mencapai 50 ribu hektar, maka luasan yang dikemukakan ini hampir mencapai 20 kali lebih besar.
Tabel 4. Luas areal tumbuhan sagu di Indonesia PulauKepulauan
Berupa Hutan 000 Budidaya 000
Irian Jaya Kepulauan Maluku
Sumatera Sulawesi
Kalimantan Riau Kepulauan
Mentawai 1.500
800 30
13 5
- -
26 10
30 10
20 20
20
Jumlah 2.348
136 Sumber : Ruhendi 2000
Potensi jenis tumbuhan sagu di daerah sentra pertumbuhan Papua sangat tinggi. Hasil identifikasi jenis-jenis sagu yang dilakukan oleh BPTP Papua
ditemukan untuk jenis sagu berduri sebanyak 43 jenis, sedangkan jenis sagu yang tidak berduri sebanyak 17 jenis Lakuy dan Limbongan 2003. Di daerah Maluku
tumbuh dan berkembang lima jenis sagu Louhenapessy 2006 yaitu : 1. Sagu tuni Metroxylon rumphii Martius, 2. Sagu ihur Metroxylon sylvestre Martius,
3. Sagu makanaru Metroxylon longispinum Martius, 4. Sagu duri rotan Metroxylon microcanthum Martius, dan 5. Sagu molat Metroxylon sagu
Rottboel. Selain itu di wilayah Seram Timur terdapat jenis sagu yang dikenal dengan nama Sagu Suanggi, yang memiliki tinggi 3-4 meter telah berbunga. Ada
pula jenis sagu molat berduri pada masa anakan. Di Kota Halmahera terdapat
jenis molat merah dan molat merah berduri. Jenis-jenis ini diduga merupakan jenis baru yang terbentuk sebagai akibat terjadinya persilangan cross over
pollination di antara spesies yang telah ada sebelumnya.
2.7. Pemanfaatan tumbuhan sagu
Bagian-bagian tumbuhan sagu dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari daun, tangkai daun, kulit batang, dan yang paling penting
adalah pemanfaatan bagian empulur dalam menghasilkan pati dan ampas sebagai sisa ekstrak pati untuk pakan ternak danatau pupuk organik. Flach 1983
mengemukakan bahwa tumbuhan sagu memiliki multifungsi, daun dapat dimanfaatkan sebagai atap rumah, tangkai daun sebagai bahan bangunan, kulit
batang untuk bahan bakar dan industri kertas, dari empulur dapat diproses untuk berbagai kebutuhan, bahan pangan, bahan baku industri makanan, etanol, pakan
ternak berprotein tinggi, industri kertas, industri tekstil, board, dan plastik biodegradable. Sedangkan derivat pati dapat dimanfaatkan sebagai lapisan kertas,
bahan adhesive, dealdehide untuk industri kertas, eter dan ester sebagai bahan baku obatan.
Menurut Bintoro 2007 dikemukakan bahwa berdasarkan sifat fisik dan kimia pati sagu dapat dimanfaatkan tidak terbatas pada bahan pangan saja, tetapi
dapat juga digunakan sebagai bahan baku industri, baik pangan maupun non pangan seperti industri kertas dan tekstil. Sebagai bahan pangan, pati sagu dapat
dijadikan sebagai bahan pangan pokok sebagian masyarakat di beberapa daerah di kawasan Timur Indonesia. Saat ini pati sagu telah dimanfaatkan lebih luas lagi
yaitu sebagai bahan pembuat roti, biskuit, bagea, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi, dan penyedap makanan.
Dengan perkembangan teknologi ternyata pati sagu dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan plastik yang mudah terurai biodegradable plastic
Pranamuda et al. 1996 dalam Bintoro 2007. Gumbira Sa’id 1993
mengemukakan bahwa pati sagu dapat diolah menjadi berbagai macam keperluan seperti sirup fruktosa tinggi, protein sel tunggal untuk pangan dan pakan, Selain
itu pati sagu berpotensi dan memiliki prospek yang baik sebagai substrat fermentasi aseton-butanol-etanol. Hal ini berarti bahwa pati sagu dapat diolah
menjadi etanol gasohol, dan berpeluang sebagai salah satu sumber bahan baku bio-energi. Di Papua New Guinea telah dilakukan serangkaian penelitian tentang
studi kelayakan produksi etanol dari pati sagu, dan hasil studi menunjukkan bahwa produksi etanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan produksi etanol
dari pati sagu kering mencapai 0.56 literkg Flach, 1983 dan di daerah Sepik telah dibangun industri etanol karena areal sagunya luas, mencapai 500.000 ha.
Di Malaysia pemanfaatan pati sagu telah berkembang lebih luas, yaitu untuk pembuatan gula cair, penyedap makanan monosodium glutamate, mie,
karamel, sagu mutiara, kue cracker, keperluan rumah tangga, industri perekat, dan industri lainnya Bintoro 2000. Selain pati sagu, ampas sagu kering dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hasil penelitian perlakuan ampas sagu dengan takaran 12,5-25 untuk ransum ayam pedaging dan petelur tidak
memberikan pengaruh yang buruk Bintoro et al. 2007, dengan kata lain memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ayam. Selain itu
dengan pemanfaatan ini dapat mengurangi pencemaran lingkungan disekitar pengolahan sagu.
2.8. Distribusi spasial
Distribusi spasial atau penyebaran spasial keruangan berkaitan dengan istilah geografis, sehingga seringkali timbul istilah geospasial. Istilah-istilah
tersebut mengandung pengertian yang sama dalam konteks Sistem Informasi Geografis SIG. SIG merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur
informasi geografis. Informasi geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai
posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-keterangan atribut yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya
diketahui. SIG itu sendiri merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan
keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya Prahasta 2004. Menurut Aronoff 1989 dalam Prahasta 2004, SIG diartikan sebagai
sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan manipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang unuk mengumpulkan,