volatile flavor dan memucatnya pigmen; 3 Perubahan struktur, termasuk case hardening, sebagai akibat pengerutan selama air dikeluarkan; 4 reaksi
pencoklatan non-enzimatis yang melibatkan pereaksi dengan konsentrasi yang lebih tinggi, oksidasi dari komponen-komponen lipid; 5 kerusakan
mikrobiologis jika kecepatan pengeringan awal lambat atau jika kadar air dari produk akhir terlalu tinggi, atau jika makanan kering disimpan dalam tempat
dengan kelembaban tinggi Buckle et al,1987.
C. UMUR SIMPAN
National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai berikut : suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya
bilamana kualitas produk tersebut secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih
memiliki integritas serta proteksi isi kemasan Arpah, 2001. Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati
produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen Ellis, 1994.
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme
berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan terhadap perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan
dalam hubungan dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembapan dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum
digunakan, kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.
Penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut, oleh karena itu dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu
dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut Syarief dan Halid, 1993.
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan
sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan
tidak dapat diterima lagi. Menurut Labuza 1982, reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi orde nol dan orde satu, dan hanya
sedikit yang dijelaskan oleh orde yang lain. Menurut Labuza 1982, kehilangan nilai gizi atau mutu dari bahan
pangan secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : A
B Dimana :
A=mutu awal B=mutu akhir rusak
Perubahan mutu bahan pangan dapat digambarkan melalui persamaan sebagai berikut :
n
kA dt
dA =
Dimana, A
= jumlah komponen k
= konstanta kecepatan t
= waktu n
= orde reaksi Tanda negatif di depan persamaan di atas menunjukkan bahwa
kerusakan merupakan kehilangan A, tanda positif untuk menandakan kenaikan-kenaikan produk akhir yang tidak diinginkan. Penurunan mutu yang
umum terjadi pada bahan pangan dapat digolongkan berdasarkan orde reaksi Heldman dan Riboh, 1988.
Reaksi orde nol memiliki tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi orde nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatik dan
oksidasi. Penurunan mutu reaksi orde nol adalah penurunan mutu yang konstan. Menurut Singh 1994, tipe-tipe kerusakan yang mengikuti orde satu
adalah ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor oleh mikroba pada daging, ikan dan unggas, kerusakan vitamin dan penurunan mutu protein.
Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena penetapan kadaluarsa pangan dengan metode ESS
Extended Storage Studies dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan
terhadap penurunan mutunya sehingga tercapai mutu kadaluarsa, untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut, maka digunakan
metode ASLT Accelerated Shelf Life Testing atau metode akselerasi. Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk
dapat lebih cepat rusak dan dapat ditentukan umur simpan produk Arpah dan Syarief, 2000. Penggunaan metode akselerasi disesuaikan dengan faktor yang
dapat mempengaruhi kerusakan produk. Metode ASLT yang sering digunakan dalam menentukan umur simpan produk adalah metode Arrhenius.
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia
akan semakin cepat, karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu bahan pangan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhatikan
Syarief dan Halid 1993. Pengaruh suhu dalam suatu reaksi dapat dideskripsikan dengan
menggunakan persamaan Arrhenius, yaitu : k = k
o
.℮
-EaRT
dimana k
: konstanta penurunan mutu k
o
: konstanta tidak tergantung pada suhu Ea
: Energi aktivasi T
: Suhu mutlak
o
K R
: konstanta gas 1,986 kalmol
o
K Dengan mengubah persamaan diatas menjadi :
ln k = ln k
o
+ -EaR 1T maka akan diperoleh kurva berupa garis linear pada plot ln k terhadap
1T dengan slope EaR seperti terlihat pada Gambar 2. Kemudian dapat ditentukan nilai k dan umur simpan masing-masing bahan atau produk pangan
pada berbagai suhu penyimpanan.
Menurut Labuza 1982 persamaan Arrhenius dalam penggunaanya untuk menetapkan umur simpan menggunakan asumsi sebagai berikut :
1. Hanya ada satu jenis reaksi yang dihubungkan dengan penurunan mutu produk. Asumsi pertama ini berkepentingan dalam hal melihat pengaruh
temperatur karena jika temperatur meningkat, maka reaksi-reaksi yang memiliki energi aktivasi lebih tinggi dari reaksi yang diamati dapat mulai
berlangsung dan mempengaruhi mutu produk 2. Tidak terjadi perubahan fase selama reaksi berlangsung sehingga tidak
mempengaruhi konsentrasi reaktannya. 3. Pengaruh fase lain, misalnya jika terjadi proses partisi dari komponen
reaktan ke dalam fase minyak atau lemak tidak dipengaruhi oleh temperatur
4. Tidak ada pengaruh pengolahan dan penanganan terhadap reaksi. Dalam hal ini bagaimanapun proses pengolahan, apabila produk disimpan pada
temperatur yang memungkinkan terjadinya reaksi maka akan berlangsung. 5. Analisa penurunan konsentrasi komponen dan penentuan nilai k tidak
didapatkan pada analisa hedonik. 1T
Slope = -EaR ln k
Gambar 2. Hubungan linear ln k terhadap 1T pada plot Arrhenius
III. METODOLOGI