I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang dari barat sampai ke timur. Indonesia memiliki berbagai macam lanskap yang indah,
keanekaragaman hayati yang tinggi, dan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Berbagai macam lanskap, penggunaan lahan, dan penutupan lahan di
Indonesia mengalami perubahan yang sangat cepat sebagai akibat dari faktor perekonomian, kependudukan, dan kebijakan, terutama setelah terjadinya krisis
ekonomi dan politik. Perkembangan ekonomi dan berbagai infrastruktur telah menghubungkan berbagai wilayah, mulai dari pegunungan, dataran rendah sampai
dengan wilayah perbatasan Indonesia. Keterhubungan ekonomi, sosial, dan biofisik di dalam lanskap merupakan sumber untuk kemampuan masyarakat
dalam menyediakan keamanan pangan, mata pencarian, dan jasa lingkungan untuk masyarakat luas. Oleh karena itu, fungsi dari keseluruhan lanskap menjadi penting
untuk dipahami Arifin et al., 2008. Kalimantan Timur sebagai provinsi terluas di Indonesia memiliki
permasalahan kemiskinan dan bencana alam. Bencana alam yang terjadi, antara lain, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kepunahan keanekaragaman hayati,
dan juga kekeringan. Banyak kegiatan pembangunan di dalam era otonomi daerah yang dilakukan berdampak pada konflik pengelolaan sumber daya alam.
Implikasi pengelolaan sumber daya alam yang tidak tepat adalah suatu perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol yang umumnya terjadi dalam bentuk
deforestasi dan pengkonversian lahan pertanian ke arah non-pertanian FAO, 1990. Adanya perubahan tata guna lahan yang intensif pada lanskap seperti
alihguna lahan hutan menjadi lahan pertanian, lahan pertanian menjadi permukiman, dan seterusnya disadari menimbulkan banyak permasalahan.
Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialihgunakan menjadi lahan usaha lain.
Daerah aliran sungai DAS sebagai suatu daerah penting dengan batas ekologis merupakan satu kesatuan kawasan hulu dan hilir yang harus dikelola
secara terintegrasi. Perubahan yang terjadi pada satu kawasan akan berpengaruh
terhadap kawasan yang lain. Aktivitas perubahan lanskap termasuk perubahan tata guna lahan yang dilakukan di kawasan hulu DAS tidak hanya akan memberikan
dampak di kawasan yang merupakan tempat perubahan tersebut berlangsung hulu DAS, tetapi juga akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk
perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya Asdak, 2007. Uraian di atas menunjukkan bahwa secara
biogeofisik kawasan hulu dan hilir DAS mempunyai keterkaitan. Masalah degradasi lingkungan yang terjadi sering kali berpangkal pada
komponen manusia. Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan meningkatnya berbagai kebutuhan hidup. Perbandingan jumlah penduduk tidak
seimbang dengan luasan lahan pertanian, keterbatasan lapangan kerja, dan minimnya pendapatan. Keadaan tersebut mendorong sebagian masyarakat untuk
merambah hutan, menggunakan lahan marjinal untuk lahan pertaniannya dengan mengabaikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Hal ini menyebabkan
meningkatnya areal lahan kritis pada suatu lanskap. Demikian pula yang terjadi pada kawasan DAS Karang Mumus. Daerah aliran sungai Karang Mumus dengan
luas 32.196,3 ha merupakan DAS di Kalimantan Timur dengan tingkat kerusakan prioritas pertama, pada saat ini terdapat areal lahan kritis seluas 9.106 ha
Timpakul, 2007. Semakin luasnya areal lahan kritis dan tingginya intensitas curah hujan
menyebabkan sering terjadi bencana banjir di DAS Karang Mumus, terutama di pusat Kota Samarinda. Bencana banjir terbesar terjadi pada tanggal 31 Juli 1998.
Pada tahun 2008, banjir terjadi hampir setiap kali turun hujan dengan intensitas yang cukup deras. Fenomena terjadinya banjir tersebut selain diakibatkan oleh
curah hujan yang turun relatif deras, juga pada saat yang bersamaan ditopang oleh arus balik back water limpasan air dari sungai Mahakam yang sedang dalam
kondisi air pasang di bagian hilir wilayah Kota Samarinda. Selain itu, adanya kontribusi limpasan permukaan runoff yang relatif besar dan laju tanah yang
tererosi yang berasal dari kawasan DAS Karang Mumus sebagai sumber sedimen atau pendangkalan pada sungai DPU, 2003.
Perubahan pola penutupan dan penggunaan lahan juga berpengaruh terhadap penurunan potensi kawasan DAS Karang Mumus yang disebabkan oleh semakin
meluasnya penggunaan lahan untuk permukiman. Hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan lahan atau kawasan resapan air yang berfungsi sebagai pencegah
terjadinya banjir. Bencana kebakaran hutan, kebakaran lahan, dan perambahan hutan yang terjadi di DAS Karang Mumus selain menyebabkan berkurangnya
vegetasi dan satwa khas Kalimantan Timur juga dapat mempercepat proses terjadinya banjir. Untuk itu, perlu adanya upaya pengelolaan untuk mengatasi
permasalahan yang terjadi di DAS Karang Mumus. Lahan-lahan kritis di DAS Karang Mumus yang pada mulanya adalah lahan
hutan merupakan lahan yang memiliki kesuburan tanah yang rendah, siklus nutrisi yang berjalan cepat pada ekosistem hutan, lingkungan yang cocok bagi
pertumbuhan vegetasi pohon, curah hujan tinggi, dan tanah yang mudah tererosi. Suatu pola pertanaman antara tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat
didesain untuk mendapatkan keadaan yang optimal dalam usaha tani yang dilakukan Riyanto Riyanto, 1981. Pola pertanaman yang telah disebutkan di
atas merupakan salah satu sistem agroforestri, yaitu agroforestri sederhana. Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat ini, agroforestri tidak
hanya terbatas pada kombinasi tanaman semusim dan tanaman tahunan saja, tetapi juga dapat dikombinasikan dengan hewan ternak bahkan dengan ikan. Kombinasi
berbagai jenis tanaman semusim, tanaman tahunan, hewan ternak, dan ikan merupakan sistem agroforestri kompleks. Pada bentang lahan, bentuk-bentuk
kombinasi ini terdapat dalam berbagai tipe penutupan dan penggunaan lahan baik secara monokultur maupun campuran yang disebut dengan lanskap agroforestri.
Lanskap agroforestri terbagi menjadi dua sistem penutupan dan penggunaan lahan yaitu sistem penutupan dan penggunaan lahan tersegregasi dan sistem penutupan
dan penggunaan lahan terintegrasi. Lanskap agroforestri dengan keragaman komponen di dalamnya mempunyai
fungsi, yaitu a mempertahankan pengelolaan sumber daya air water resources management
; b mempertahankan cadangan karbon carbon stock; c mempertahankan keanekaragaman hayati biodiversity; dan d mempertahankan
keindahan lanskap landscape beautification Suyanto Khususiyah, 2006; Hairiah et al., 2008. Dengan demikian, upaya pengelolaan yang dapat dilakukan
di DAS Karang Mumus adalah dengan pengelolaan lanskap agroforestri.
Penelitian rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis spasial dan temporal,
evaluasi kesesuaian lahan, analisis sosial ekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik analytical hierarchy processAHP.
Berdasarkan hasil analisis kemudian dilakukan penyusunan rekomendasi rencana
pengelolaan penggunaan lahan berbasis lanskap agroforestri. Melalui penelitian ini diharapkan bahwa pengelolaan lanskap agroforestri dapat menjadi alternatif
dalam mengatasi permasalahan di kawasan DAS Karang Mumus.
1.2. Tujuan Penelitian