usaha di bidang lain. Selain itu, 89,36 responden di lokasi penelitian telah bekerja di bidang pertanian selama 6 - 31 tahun. Besarnya minat masyarakat
terhadap pengelolaan agroforestri ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik, mengingat permasalahan yang ada di lapang sangat kompleks.
4.2.3. Faktor Kebijakan
Pemerintah Kota Samarinda menyadari pentingnya sungai Karang Mumus sebagai sumber daya alam yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan dan
penghidupan masyarakat Kota Samarinda dari dulu sampai sekarang. Fungsi tersebut antara lain, sebagai sumber air bersih, pengendali banjir, angkutan sungai,
sumber perikanan, dan obyek wisata. Namun, dari waktu ke waktu fungsi tersebut terus mengalami penurunan seiring dengan perkembangan perkotaan,
bertambahnya jumlah penduduk, dan meningkatnya aktivitas manusia baik yang berada di sepanjang maupun di luar aliran DAS Karang Mumus. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyempitan badan sungai hingga tidak mampu lagi menahan debit air yang lebih besar. Pada akhirnya terjadi
banjirgenangan di beberapa wilayah Kota Samarinda. Selain itu, kualitas air sungai Karang Mumus sudah tidak layak digunakan sebagai sumber pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat dan biota khas Samarinda. Pada tahun 1989 dalam Rapat Kerja Pengendalian Pencemaran Air Sungai di
Surabaya, yang dihadiri oleh delapan provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, dan
Kalimantan Timur, untuk pertama kalinya dicanangkan program kali bersih PROKASIH. Kedelapan provinsi ini kemudian menjadi provinsi pertama
peserta PROKASIH yang meliputi 15 daerah aliran sungai dan 35 ruas sungai, termasuk sungai Karang Mumus sebagai sub-DAS Mahakam. Tujuan dari
PROKASIH adalah meningkatkan kualitas air sungai, memulihkan fungsi, kedayagunaan, dan kemanfaatan sungai bagi kepentingan umum, dan
meningkatkan sumber daya dan kapasitas kelembagaan institutional resources di bidang pengendalian pencemaran air PEMKOT Samarinda, 2007.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan PROKASIH dan terjadinya banjir di Kota Samarinda pada tahun 1998, dilaksanakan program relokasi penduduk tepi
sungai Karang Mumus. Kebijakan relokasi ini merupakan salah satu langkah program penataan sungai Karang Mumus. Langkah-langkah penataan sungai
Karang Mumus yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda, yaitu 1 kawasan permukiman kumuh yang berada di bantaran sungai Karang Mumus pada jarak ±
5 – 20 m akan direlokasi ke luar kawasan, 2 memindahkan atau menutup industri-industri kecil di sepanjang sungai Karang Mumus, 3 memperlebar jalan
di tepi sungai, 4 penataanrelokasi pasar yang ada, dan 5 membuat jalur hijau dan taman, jalur rekreasi di lahan sepanjang sungai yang terkena relokasi.
Dengan terjadinya banjir pada bulan Juli – Agustus 1998, seluruh program pembangunan diprioritaskan untuk penanganan sungai Karang Mumus, baik
melalui program normalisasi sungai maupun program percepatan relokasi penduduk Karang Mumus.
Selain program penataan sungai Karang Mumus, pemerintah juga telah dan sedang melakukan program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis untuk
penanganan DAS Karang Mumus. Berdasarkan hasil wawancara, pemerintah telah melakukan upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan menyediakan bibit
berupa tanaman buah-buahan, perkebunan, dan penyedia energi, seperti durian, sengon, dan lain-lain. Masih banyak responden di lokasi penelitian yang
meragukan keberhasilan program rehabilitasi ini karena banyaknya permasalahan di lapang, seperti pendistribusian sarana dan biaya produksi yang tidak tepat
sasaran dan tidak tepat waktu, pemanfaatan dan pemasaran hasil produksi yang juga belum jelas.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah RTRW Kabupaten Kutai Kartanegara 2007, Kecamatan Muara Badak dialokasikan sebagai kawasan budi
daya non kehutanan. Kecamatan Muara Badak akan dikembangkan sebagai kawasan perkotaan dengan fungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa,
pertambangan, dan permukiman. Sebagai daerah hulu dari DAS Karang Mumus, rencana pengembangan yang akan dilakukan di Kecamatan Muara Badak ini
harus diarahkan pada konsep konservasi lingkungan, sehingga pengembangan kawasan perkotaannya perlu dibatasi. Pada saat ini telah berkembang kegiatan
perdagangan dan jasa skala sub-wilayah di Kecamatan Muara Badak.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah RTRW Kota Samarinda 2005, alokasi kawasan budi daya pertanian tersebar di seluruh Kecamatan
Samarinda. Kawasan lindung dialokasikan di Kecamatan Samarinda Utara Kelurahan Sei Siring, Bayur, Sempaja, dan Lempake. Kawasan lindung yang
dimaksud di sini adalah kawasan yang masih mempunyai vegetasi heterogen yang dilindungi sebagai penangkap air hujan untuk suplai air Kota Samarinda seperti
KRUS, kawasan sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak sungai yang berada di luar
permukiman, kawasan sepanjang tepian wadukbendungan yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik wadukbendungan antara 50-100
meter dihitung dalam keadaan pasang tertinggi ke arah daratan, yaitu sekitar 1.857,19 ha. Pada kenyataannya, masyarakat masih menganggap bahwa kawasan
lindung seperti sempadan sungai dan kawasan sekitar bendungan adalah harta milik bersama common property sehingga masih terjadi berbagai bentuk
penggunaan lahan di kawasan ini. Kekhawatiran terhadap bentuk penggunaan ini adalah jika dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan
sehingga menimbulkan degradasi lingkungan yang semakin parah. Kawasan wisata dialokasikan di Kecamatan Samarinda Utara Kelurahan
Lempake, Pampang, dan Sungai Siring. Lempake direncanakan sebagai kawasan wisata dengan tetap memperhatikan fungsi lingkungan, yaitu dengan tetap
berupaya mempertahankan dan memanfaatkan vegetasi heterogen sebagai cathment area
daerah tangkapan air dan juga sebagai fungsi pariwisata alam dengan terdapatnya taman wisata tanah merah, lapangan golf, tempat-tempat
pemancingan dan peristirahatan. Pampang dan Sungai Siring dialokasikan sebagai kawasan cagar budaya Dayak yang merupakan kawasan permukiman
suku Dayak Kenyah dan Benoa Baru. Untuk menarik para wisatawan, atraksi seni dan budaya Dayak Kenyah Gambar 25 tetap dipertahankan dan dilakukan setiap
minggu di rumah Lamin Pampang.
Gambar 25. Seni dan budaya Dayak Kenyah Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, Kecamatan Samarinda
Utara juga dialokasikan untuk perluasan permukiman, realisasi Sungai Siring sebagai Bandara Internasional dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.
Menurut Saroinsong 2002, perubahan penggunaan lahan menyangkut peningkatan kebutuhan penduduk tidak bisa dibendung begitu saja. Namun, yang
menjadi persoalan adalah bagaimana mengontrol perubahan yang terjadi dan meminimalkan dampak negatif sekaligus memaksimalkan dampak positif. Dasar
pengembangan wilayah yang akan dilakukan seharusnya dengan tidak mengubah begitu banyak kondisi fisik dan lingkungan yang ada, jenis kegiatan yang
diijinkan, dan lokasi yang diijinkan dikembangkan harus mengacu pada ketentuan-ketentuan teknis yang diberlakukan secara ketat, terutama untuk
mendukung pengembangan Bandara Internasional Sei Siring. Pengembangan Bandara Internasional Sei Siring akan memberikan pengaruh yang cukup besar
dalam perkembangan wilayah Kota Samarinda, terutama kawasan DAS Karang Mumus sebagai wilayah ekologisnya.
Dari hasil kajian di atas, pengelolaan penggunaan lahan yang dilakukan di DAS Karang Mumus, baik oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara
maupun Pemerintah Kota Samarinda harus tetap memperhatikan fungsi kawasan DAS Karang Mumus. Selain itu, juga harus tetap dapat mempertahankan
keanekaragaman hayati yang ada, mengkonservasi tanah dan air, mempertahankan cadangan karbon, dan mempertahankan keindahan kawasan. Dengan demikian,
kondisi yang terjadi saat ini dapat menjadi salah satu faktor pendorong rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus.
4.2. Faktor-Faktor Pendorong Pengelolaan Lanskap Agroforestri
Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik lanskap DAS Karang Mumus, faktor-faktor yang menjadi pendorong di dalam pengelolaan lanskap
agroforestri adalah sebagai berikut. 1 Faktor pendorong yang merupakan faktor biologi-fisik adalah aksesibilitas, perubahan penutupan dan penggunaan lahan,
dan kesesuaian penggunaan lahan. 2 Faktor pendorong yang merupakan faktor sosial-ekonomi-budaya adalah laju pertumbuhan penduduk, kelayakan usaha
pertanian, dan latar belakang budaya dan keinginan masyarakat. 3 Faktor pendorong yang merupakan faktor kebijakan adalah program-program pemerintah
dalam rangka penanganan permasalahan lingkungan di kawasan DAS Karang Mumus, seperti program relokasi permukiman di sempadan sungai Karang
Mumus dan juga program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis. Hasil pendapat gabungan para ahli yang menunjukkan besarnya tingkat
pengaruh yang diberikan terhadap masing-masing faktor pendorong rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel
18. Tabel 18. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh faktor-faktor pendorong
Faktor Bobot Tingkat
pengaruh Kebijakan 0,59
1 Sosial-ekonomi-budaya 0,25
2 Biologi-fisik 0,16
3
Sumber: Hasil survei 2008
Menurut penilaian responden, faktor kebijakan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap rencana pengelolaan lanskap agroforestri dengan
bobot 0,59. Selanjutnya faktor pendorong dengan tingkat pengaruh kedua dan ketiga adalah faktor sosial-ekonomi-budaya dengan bobot 0,25 dan faktor biologi-
fisik dengan bobot 0,16. Nilai rasio konsistensi yang diperoleh dari hasil analisis adalah sebesar 0,05. Nilai ini menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan
berada pada tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, cukup baik, dan dapat diterima. Responden konsisten dalam memberikan penilaian terhadap tingkat
pengaruh masing-masing faktor. Faktor kebijakan menjadi faktor yang paling berpengaruh disebabkan bahwa
pengelolaan yang dilakukan terhadap suatu kawasan seperti DAS Karang Mumus