Rencana pengelolaan lanskap agroforestri di daerah aliran sungai karang mumus, Kalimantan Timur
RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP AGROFORESTRI
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KARANG MUMUS,
KALIMANTAN TIMUR
PENNY PUJOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009 Penny Pujowati A251060031
(3)
ABSTRACT
PENNY PUJOWATI. Management Plan of Agroforestry Landscape on Karang Mumus River Basin, East Kalimantan. Under supervision of HADI SUSILO ARIFIN and WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Karang Mumus river basin of 32,196.3 ha is a part of subwatershed of the down stream of Mahakam. Land use change on Karang Mumus river basin causes various environmental problems, it’s included land degradation, floods, wildlife extinction, contribution to climate change and global warming, etc. Environmental problems that took place in the process of land use requires suitable management plan. The objectives of the research are 1) to evaluate and to analyze the landscape character of Karang Mumus river basin, 2) to analyze agroforestry landscape driven factors, and 3) to establish recommendation for management plan of sustainable land use based on agroforestry landscape. The technique of data processing analysis was done with temporal and spatial analysis, land suitability evaluation, sedimentation evaluation, sosio-economic analysis, policy analysis, and analytical hierarchy process (AHP). The result of analysis shows that the landscape character of Karang Mumus river basin are landscape forms of flat-undulating-hilly with actual land use and land cover as forest conservation of 219.7 ha (0.7%);forest secondary of 2,540.5 ha (7.8%); dry land agriculture of 99.3 ha (0.3%); wet land agriculture of 807.8 (2.5%); shrub of 25,762.1 (79.3%); abandon land of 712.7 ha (2.2%); and settlement of 1,926.9 ha (5.9%). It’s found that the driven factors of agroforestry landscape are policy, socio-cultural-economy, and physical-biological factors. Management concept of agroforestry landscape should be integrated agroforestry. Allocation for integrated agroforestry land use as follows: area protected of 12,972.8 ha (39.2%); area conservation of 3,475.5 ha (10.5%), dry land agriculture of 6,056.5 ha (18.3%); wet land agriculture of 7,342.4 ha (22.2%), and settlement of 3,256.3 ha (9.8%). Key words: agroforestry, agroforestry landscape, driven factors, landscape,
(4)
RINGKASAN
PENNY PUJOWATI. Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Kalimantan Timur sebagai provinsi terluas di Indonesia memiliki permasalahan besar yang harus dihadapi, antara lain, degradasi lahan, banjir, kepunahan flora dan fauna, serta kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Daerah aliran sungai Karang Mumus dengan luas 32.196,3 ha merupakan DAS di Kalimantan Timur dengan tingkat kerusakan prioritas pertama, pada saat ini terdapat areal lahan kritis seluas 9.106 ha. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengevaluasi dan menganalisis karakter lanskap DAS Karang Mumus, 2) menganalisis faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri, dan 3) menyusun rekomendasi rencana pengelolaan lanskap agroforestri.
Penelitian dilakukan di kawasan DAS Karang Mumus yang merupakan sub-sub-DAS Mahakam Hilir.Pelaksanaan penelitian di lapang mulai Februari sampai Maret 2008. Metode yang digunakan adalah analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, evaluasi sedimentasi, analisis sosial ekonomi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik (AHP).
Berdasarkan analisis spasial dan temporal yang dilakukan terhadap citra satelit Landsat tahun 1992 dan 2007, komposisi luasan permukiman meningkat dari 1.277,1 ha menjadi 1.926,9 ha atau meningkat seluas 649,8 ha (50,9%); lahan terbuka meningkat dari 119,5 ha menjadi 712,7 ha atau meningkat seluas 593,2 ha (495,5%); semak belukar meningkat dari 25.297,4 ha menjadi 25.762,1 ha atau meningkat seluas 464,7 ha (1,8%). Sebaliknya, tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan basah berkurang dari 1.034,8 ha menjadi 807,8 ha atau berkurang seluas 226,9 ha (21,9%); pertanian lahan kering berkurang dari 170,9 ha menjadi 99,3 ha atau berkurang seluas 71,6 ha (41,9%); hutan sekunder berkurang dari 3.969,5 ha menjadi 2.540,5 ha atau berkurang seluas 1.429,0 ha (36,0%). Sebagian besar berkurangnya luasan pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hutan sekunder disebabkan oleh terjadinya perubahan penggunaan lahan sebagai permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka.
Berdasarkan hasil evaluasi, kesesuaian lahan untuk kawasan lindung memperlihatkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 8.810,5 ha (27,1%); cukup sesuai (S2) seluas 12.805,4 ha (39,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 7.947,5 ha (24,5%); tidak sesuai (N) seluas 2.936,6 ha (9,0%). Kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi menunjukkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 3.475,5 ha (10,7%); cukup sesuai (S2) adalah 682,3 ha (2,1%); sesuai marjinal (S3) adalah 647,7 ha (2,0%); tidak sesuai (N) adalah 27.694,5 ha (85,2%). Kelas kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering memperlihatkan hasil yang sangat sesuai seluas 20.009,7 ha (61,6%); cukup sesuai (S2) seluas 2.237,9 ha (6,9%); sesuai marjinal (S3) seluas 8.580,2 ha (26,4%); tidak sesuai (N) seluas 1.672,1 ha (5,1%). Kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah memperlihatkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 12.802,5 ha (39,4%); cukup sesuai (S2) seluas 8.264,5
(5)
ha (25,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 2.381,0 ha (7,3%); tidak sesuai (N) seluas 9.051,9 ha (27,9%). Kelas kesesuaian lahan untuk permukiman menunjukkan hasil yang sangat sesuai 19.520,1 ha (60,1%); cukup sesuai (S2) seluas 2.745,7 ha (8,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 362,9 ha (1,1%); tidak sesuai (N) seluas 9.871,3 ha (30,4%).
Hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus mengalami peningkatan yang sangat besar. Pada tahun 2000, hasil sedimen yang diperoleh adalah sebesar 1.010.976,3 ton/tahun, meningkat menjadi 2.819.698,4 ton/tahun pada tahun 2002. Terjadi peningkatan sebesar 1.808.722,1 ton atau sekitar 178,9%. Prediksi hasil sedimen yang dihasilkan pada tahun 2008 adalah sebesar 8.245.864,7 ton/tahun.
Berdasarkan analisis sosial-ekonomi, diperoleh laju pertumbuhan penduduk DAS Karang Mumus sebesar 4,9% per tahun. Prediksi jumlah penduduk pada tahun 2012 adalah 276.756 jiwa, kepadatan geografis 879 jiwa/km2, dan kepadatan agraris mencapai 9 jiwa/ha. Tipe penggunaan lahan pertanian lahan basah dengan komoditas padi sawah memberikan hasil yang menguntungkan dengan rasio B/C = 2,7, pertanian lahan kering (jagung manis, jagung manis unggul, dan cabai) juga memperlihatkan hasil yang layak untuk diusahakan dengan rasio B/C berturut-turut adalah 1,2, 2,8, dan 3,4. Kebutuhan hidup layak (KHL) berdasarkan upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Samarinda pada tahun 2008, yaitu sebesar Rp. 842.000,- per bulan, memperlihatkan bahwa KHL untuk lima orang anggota keluarga petani adalah sebesar Rp. 50.520.000,-.
Selain program penataan sungai Karang Mumus, pemerintah telah dan sedang melakukan program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis untuk penanganan DAS Karang Mumus. Pemerintah telah melakukan upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan menyediakan bibit berupa tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan, dan tanaman penyedia energi.
Menurut penilaian responden, faktor kebijakan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap rencana pengelolaan lanskap agroforestri dengan bobot 0,59. Selanjutnya, faktor pendorong kedua dan ketiga adalah faktor sosial-ekonomi-budaya dengan bobot 0,25 dan faktor biologi-fisik dengan bobot 0,16.
Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus memperlihatkan bentuk bentang lahan datar, bergelombang, dan berbukit. Tipe penutupan dan penggunaan lahan aktual adalah hutan konservasi seluas 219,7 ha (0,7%); hutan sekunder seluas 2.540,5 ha (7,8%); pertanian lahan kering seluas 99,3 ha (0,3%); pertanian lahan basah seluas 807,8 (2,5%); semak belukar seluas 25.762,1 (79,3%); lahan terbuka seluas 712,7 ha (2,2%); bendungan seluas 408,9 ha (1,3%); permukiman seluas 1.926,9 ha (5,9%). Faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri adalah kebijakan, sosial-ekonomi-budaya, dan biologi-fisik. Konsep pengelolaan yang direkomendasikan adalah agroforestri terintegrasi. Alokasi penggunaan lahan mencakup kawasan lindung seluas 12.972,8 ha (39,2%); kawasan konservasi seluas 3.475,5 ha (10,5%); pertanian lahan kering seluas 6.056,5 ha (18,3%); pertanian lahan basah seluas 7.342,4 ha (22,2%); permukiman seluas 3.256,3 ha (9,8%). Alternatif rencana pengelolaan adalah dengan mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan, yaitu relokasi permukiman tepi sungai, konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan.
(6)
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP AGROFORESTRI
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KARANG MUMUS,
KALIMANTAN TIMUR
PENNY PUJOWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(8)
(9)
Judul Tesis : Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur
Nama : Penny Pujowati
NRP : A251060031
Program Studi : Arsitektur Lanskap
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Prof. Dr. Ir. Wahju Q. Mugnisjah, M.Agr.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
(10)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul ”Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur” ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana yang ditempuh atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI. Tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan pendanaan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE)-ICRAF.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat dalam menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara serta instansi-instansi yang terkait, pihak akademis Universitas Mulawarman atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada rekan-rekan ARL, Nurfaida, Euis Puspita Dewi, Siti Zulfa Yuzni, Wulan Sarilestari, Noril Milantara, Dudun Abdurrahim, Nursalam, dan Andi Chairul Achsan atas persahabatan dan kebersamaannya selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir, serta Dwi Aryanti atas dukungan yang diberikan.
Terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta, Bapak, Ibu, dan adik-adik atas kasih sayang, motivasi, dan doa tulus yang tidak pernah berhenti, khususnya kepada suami dan anak-anak atas motivasi, doa, dan kesabaran yang diberikan selama ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara serta pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan DAS Karang Mumus.
Bogor, Januari 2009 Penny Pujowati
(11)
RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP AGROFORESTRI
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KARANG MUMUS,
KALIMANTAN TIMUR
PENNY PUJOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(12)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009 Penny Pujowati A251060031
(13)
ABSTRACT
PENNY PUJOWATI. Management Plan of Agroforestry Landscape on Karang Mumus River Basin, East Kalimantan. Under supervision of HADI SUSILO ARIFIN and WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Karang Mumus river basin of 32,196.3 ha is a part of subwatershed of the down stream of Mahakam. Land use change on Karang Mumus river basin causes various environmental problems, it’s included land degradation, floods, wildlife extinction, contribution to climate change and global warming, etc. Environmental problems that took place in the process of land use requires suitable management plan. The objectives of the research are 1) to evaluate and to analyze the landscape character of Karang Mumus river basin, 2) to analyze agroforestry landscape driven factors, and 3) to establish recommendation for management plan of sustainable land use based on agroforestry landscape. The technique of data processing analysis was done with temporal and spatial analysis, land suitability evaluation, sedimentation evaluation, sosio-economic analysis, policy analysis, and analytical hierarchy process (AHP). The result of analysis shows that the landscape character of Karang Mumus river basin are landscape forms of flat-undulating-hilly with actual land use and land cover as forest conservation of 219.7 ha (0.7%);forest secondary of 2,540.5 ha (7.8%); dry land agriculture of 99.3 ha (0.3%); wet land agriculture of 807.8 (2.5%); shrub of 25,762.1 (79.3%); abandon land of 712.7 ha (2.2%); and settlement of 1,926.9 ha (5.9%). It’s found that the driven factors of agroforestry landscape are policy, socio-cultural-economy, and physical-biological factors. Management concept of agroforestry landscape should be integrated agroforestry. Allocation for integrated agroforestry land use as follows: area protected of 12,972.8 ha (39.2%); area conservation of 3,475.5 ha (10.5%), dry land agriculture of 6,056.5 ha (18.3%); wet land agriculture of 7,342.4 ha (22.2%), and settlement of 3,256.3 ha (9.8%). Key words: agroforestry, agroforestry landscape, driven factors, landscape,
(14)
RINGKASAN
PENNY PUJOWATI. Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Kalimantan Timur sebagai provinsi terluas di Indonesia memiliki permasalahan besar yang harus dihadapi, antara lain, degradasi lahan, banjir, kepunahan flora dan fauna, serta kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Daerah aliran sungai Karang Mumus dengan luas 32.196,3 ha merupakan DAS di Kalimantan Timur dengan tingkat kerusakan prioritas pertama, pada saat ini terdapat areal lahan kritis seluas 9.106 ha. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengevaluasi dan menganalisis karakter lanskap DAS Karang Mumus, 2) menganalisis faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri, dan 3) menyusun rekomendasi rencana pengelolaan lanskap agroforestri.
Penelitian dilakukan di kawasan DAS Karang Mumus yang merupakan sub-sub-DAS Mahakam Hilir.Pelaksanaan penelitian di lapang mulai Februari sampai Maret 2008. Metode yang digunakan adalah analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, evaluasi sedimentasi, analisis sosial ekonomi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik (AHP).
Berdasarkan analisis spasial dan temporal yang dilakukan terhadap citra satelit Landsat tahun 1992 dan 2007, komposisi luasan permukiman meningkat dari 1.277,1 ha menjadi 1.926,9 ha atau meningkat seluas 649,8 ha (50,9%); lahan terbuka meningkat dari 119,5 ha menjadi 712,7 ha atau meningkat seluas 593,2 ha (495,5%); semak belukar meningkat dari 25.297,4 ha menjadi 25.762,1 ha atau meningkat seluas 464,7 ha (1,8%). Sebaliknya, tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan basah berkurang dari 1.034,8 ha menjadi 807,8 ha atau berkurang seluas 226,9 ha (21,9%); pertanian lahan kering berkurang dari 170,9 ha menjadi 99,3 ha atau berkurang seluas 71,6 ha (41,9%); hutan sekunder berkurang dari 3.969,5 ha menjadi 2.540,5 ha atau berkurang seluas 1.429,0 ha (36,0%). Sebagian besar berkurangnya luasan pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hutan sekunder disebabkan oleh terjadinya perubahan penggunaan lahan sebagai permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka.
Berdasarkan hasil evaluasi, kesesuaian lahan untuk kawasan lindung memperlihatkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 8.810,5 ha (27,1%); cukup sesuai (S2) seluas 12.805,4 ha (39,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 7.947,5 ha (24,5%); tidak sesuai (N) seluas 2.936,6 ha (9,0%). Kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi menunjukkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 3.475,5 ha (10,7%); cukup sesuai (S2) adalah 682,3 ha (2,1%); sesuai marjinal (S3) adalah 647,7 ha (2,0%); tidak sesuai (N) adalah 27.694,5 ha (85,2%). Kelas kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering memperlihatkan hasil yang sangat sesuai seluas 20.009,7 ha (61,6%); cukup sesuai (S2) seluas 2.237,9 ha (6,9%); sesuai marjinal (S3) seluas 8.580,2 ha (26,4%); tidak sesuai (N) seluas 1.672,1 ha (5,1%). Kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah memperlihatkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 12.802,5 ha (39,4%); cukup sesuai (S2) seluas 8.264,5
(15)
ha (25,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 2.381,0 ha (7,3%); tidak sesuai (N) seluas 9.051,9 ha (27,9%). Kelas kesesuaian lahan untuk permukiman menunjukkan hasil yang sangat sesuai 19.520,1 ha (60,1%); cukup sesuai (S2) seluas 2.745,7 ha (8,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 362,9 ha (1,1%); tidak sesuai (N) seluas 9.871,3 ha (30,4%).
Hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus mengalami peningkatan yang sangat besar. Pada tahun 2000, hasil sedimen yang diperoleh adalah sebesar 1.010.976,3 ton/tahun, meningkat menjadi 2.819.698,4 ton/tahun pada tahun 2002. Terjadi peningkatan sebesar 1.808.722,1 ton atau sekitar 178,9%. Prediksi hasil sedimen yang dihasilkan pada tahun 2008 adalah sebesar 8.245.864,7 ton/tahun.
Berdasarkan analisis sosial-ekonomi, diperoleh laju pertumbuhan penduduk DAS Karang Mumus sebesar 4,9% per tahun. Prediksi jumlah penduduk pada tahun 2012 adalah 276.756 jiwa, kepadatan geografis 879 jiwa/km2, dan kepadatan agraris mencapai 9 jiwa/ha. Tipe penggunaan lahan pertanian lahan basah dengan komoditas padi sawah memberikan hasil yang menguntungkan dengan rasio B/C = 2,7, pertanian lahan kering (jagung manis, jagung manis unggul, dan cabai) juga memperlihatkan hasil yang layak untuk diusahakan dengan rasio B/C berturut-turut adalah 1,2, 2,8, dan 3,4. Kebutuhan hidup layak (KHL) berdasarkan upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Samarinda pada tahun 2008, yaitu sebesar Rp. 842.000,- per bulan, memperlihatkan bahwa KHL untuk lima orang anggota keluarga petani adalah sebesar Rp. 50.520.000,-.
Selain program penataan sungai Karang Mumus, pemerintah telah dan sedang melakukan program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis untuk penanganan DAS Karang Mumus. Pemerintah telah melakukan upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan menyediakan bibit berupa tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan, dan tanaman penyedia energi.
Menurut penilaian responden, faktor kebijakan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap rencana pengelolaan lanskap agroforestri dengan bobot 0,59. Selanjutnya, faktor pendorong kedua dan ketiga adalah faktor sosial-ekonomi-budaya dengan bobot 0,25 dan faktor biologi-fisik dengan bobot 0,16.
Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus memperlihatkan bentuk bentang lahan datar, bergelombang, dan berbukit. Tipe penutupan dan penggunaan lahan aktual adalah hutan konservasi seluas 219,7 ha (0,7%); hutan sekunder seluas 2.540,5 ha (7,8%); pertanian lahan kering seluas 99,3 ha (0,3%); pertanian lahan basah seluas 807,8 (2,5%); semak belukar seluas 25.762,1 (79,3%); lahan terbuka seluas 712,7 ha (2,2%); bendungan seluas 408,9 ha (1,3%); permukiman seluas 1.926,9 ha (5,9%). Faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri adalah kebijakan, sosial-ekonomi-budaya, dan biologi-fisik. Konsep pengelolaan yang direkomendasikan adalah agroforestri terintegrasi. Alokasi penggunaan lahan mencakup kawasan lindung seluas 12.972,8 ha (39,2%); kawasan konservasi seluas 3.475,5 ha (10,5%); pertanian lahan kering seluas 6.056,5 ha (18,3%); pertanian lahan basah seluas 7.342,4 ha (22,2%); permukiman seluas 3.256,3 ha (9,8%). Alternatif rencana pengelolaan adalah dengan mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan, yaitu relokasi permukiman tepi sungai, konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan.
(16)
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(17)
RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP AGROFORESTRI
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KARANG MUMUS,
KALIMANTAN TIMUR
PENNY PUJOWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(18)
(19)
Judul Tesis : Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur
Nama : Penny Pujowati
NRP : A251060031
Program Studi : Arsitektur Lanskap
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Prof. Dr. Ir. Wahju Q. Mugnisjah, M.Agr.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
(20)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul ”Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur” ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana yang ditempuh atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI. Tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan pendanaan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE)-ICRAF.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat dalam menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara serta instansi-instansi yang terkait, pihak akademis Universitas Mulawarman atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada rekan-rekan ARL, Nurfaida, Euis Puspita Dewi, Siti Zulfa Yuzni, Wulan Sarilestari, Noril Milantara, Dudun Abdurrahim, Nursalam, dan Andi Chairul Achsan atas persahabatan dan kebersamaannya selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir, serta Dwi Aryanti atas dukungan yang diberikan.
Terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta, Bapak, Ibu, dan adik-adik atas kasih sayang, motivasi, dan doa tulus yang tidak pernah berhenti, khususnya kepada suami dan anak-anak atas motivasi, doa, dan kesabaran yang diberikan selama ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara serta pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan DAS Karang Mumus.
Bogor, Januari 2009 Penny Pujowati
(21)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanggul, Jember, pada tanggal 31 Januari 1977 dari Bapak Sukur Harianto dan Ibu Endang Susilowati. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.
Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tenggarong dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Mulawarman Samarinda melalui jalur penelusuran minat dan bakat daerah. Penulis memilih Program Studi Agronomi, Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, dan lulus pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Departemen Arsitektur Lanskap penulis peroleh pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS dari DIKTI.
Sebelum diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman pada tahun 2005, penulis mengabdi pada Dinas Pendidikan Nasional sebagai Guru Tidak Tetap di SMP Negeri 3 Tenggarong sejak tahun 1999.
Pada tahun 2000, penulis menikah dengan Kusdiyanto Yusman, anak kelima dari Bapak Moenahid dan Ibu Djumiah. Penulis dikaruniai dua orang anak, yaitu Amara Ratih Adibny (7 tahun) dan Muhammad Fakhri (3 tahun).
(22)
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR ... xv DAFTAR LAMPIRAN ... xvi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 4 1.3. Manfaat Penelitian ... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5 2.1. Lanskap ... 5 2.2. Agroforestri ... 6 2.2.1. Definisi ... 6 2.2.2. Fungsi dan Peran Agroforestri ... 7 2.3. Lanskap Agroforestri ... 10 2.4. Faktor-Faktor Pendorong ... 12 2.5. Rencana Pengelolaan ... 14 2.5.1. Terintegrasi (Terpadu) ... 14 2.5.2. Ekologis ... 15 2.5.3. Ekonomis ... 16 III. METODOLOGI PENELITIAN ... 18 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18 3.2. Bahan dan Alat ... 18 3.3. Kerangka Pemikiran ... 21 3.4. Tahapan Penelitian ... 23 3.4.1. Prasurvei ... 24 3.4.2. Pengumpulan Data Spasial dan Nonspasial ... 25 3.4.3. Pengolahan Data ... 25 3.4.3.1. Analisis Spasial dan Temporal ... 26 3.4.3.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 27 3.4.3.3. Analisis Sosial Ekonomi ... 31 3.4.3.4. Evaluasi Sedimentasi ... 32 3.4.3.5. Analisis Kebijakan ... 33 3.4.3.6. Proses Hirarki Analitik (AHP) ... 33 3.4.4. Penyusunan Rekomendasi ... 36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 37 4.1. Karakteristik Lanskap DAS Karang Mumus ... 37 4.1.1. Faktor Biologi-Fisik ... 37 4.1.1.1. Topografi ... 37 4.1.1.2. Kemiringan Lereng ... 37 4.1.1.3. Geologi ... 38 4.1.1.4. Jenis Tanah ... 38 4.1.1.5. Iklim ... 39
(23)
4.1.1.6. Jenis Vegetasi dan Satwa ... 40 4.1.1.7. Hidrologi ... 41 4.1.1.8. Pola-Pola Agroforestri ... 42 4.1.1.9. Aksesibilitas ... 44 4.1.1.10. Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 46 4.1.1.11. Kesesuaian Lahan ... 52 4.1.1.12. Sedimentasi ... 61 4.2.2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya ... 63 4.2.2.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 63 4.2.2.2. Umur Responden ... 64 4.2.2.3. Tingkat Pendidikan Responden ... 65 4.2.2.4. Jumlah Tanggungan Keluarga ... 66 4.2.2.5. Kelayakan Usaha Tani dan Kebutuhan
Hidup Layak ... 67 4.2.2.6. Latar Belakang Budaya dan Keinginan
Masyarakat ... 69 4.2.3. Faktor Kebijakan ... 70 4.2. Faktor-Faktor Pendorong Pengelolaan Lanskap Agroforestri ... 74 4.2.1. Faktor Kebijakan ... 75 4.2.2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya ... 76 4.2.3. Faktor Biologi-Fisik ... 77 4.2.4. Alternatif Rencana Pengelolaan ... 78 4.3. Pengelolaan Lanskap Agroforestri ... 79 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 98 5.1. Kesimpulan ... 98 5.2. Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA ... 100 LAMPIRAN... 106 xiv
(24)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis data, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan analisis data . 20 2. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan dan pengertiannya ... 29 3. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan lindung ... 30 4. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi ... 30 5. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering ... 30 6. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah ... 31 7. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk permukiman ... 31 8. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty ... 35 9. Kelas kemiringan lereng DAS Karang Mumus ... 37 10. Luasan formasi geologi di DAS Karang Mumus ... 38 11. Hasil analisis data iklim DAS Karang Mumus tahun 1998 - 2007 ... 39 12. Deskripsi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada
DAS Karang Mumus ... 47 13. Komposisi tipe-tipe penutupan dan penggunaan lahan di
DAS Karang Mumus tahun 1992 dan 2007 ... 47 14. Hasil evaluasi kesesuaian lahan DAS Karang Mumus ... 53 15. Hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus ... 61 16. Perkiraan jumlah, kepadatan geografis, dan kepadatan agraris
penduduk DAS Karang Mumus ... 63 17. Jumlah anggota keluarga responden ... 67 18. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh faktor-faktor pendorong ... 74 19. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam
faktor kebijakan ... 75 20. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam
faktor sosial-ekonomi-budaya ... 76 21. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor
biologi-fisik ... 77 22. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh alternatif pengelolaan
terhadap tujuan ... 78 23. Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus ... 79 24. Alokasi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada
(25)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Strategi sistem pengelolaan lahan secara segregate (terpisah)
atau integrate (terpadu) pada skala bentang lahan ... 12 2. Lima kelompok besar faktor-faktor pendorong underlying
yang mempengaruhi proximate causes dari penggundulan hutan ... 13 3. Peta lokasi penelitian ... 19 4. Bagan alir kerangka pemikiran ... 22 5. Tahapan penelitian ... 23 6. Lokasi contoh penelitian ... 24 7. Bagan alir proses analisis spasial dan temporal ... 26 8. Pendekatan dua tahap dalam metode evaluasi lahan ... 28 9. Struktur hirarki rencana pengelolaan lanskap agroforestri
di DAS Karang Mumus ... 34 10. Banjir di Kota Samarinda ... 41 11. Pemanfaatan pekarangan ... 44 12. Keberadaan vegetasi yang melintang di tengah sungai
Karang Mumus ... 45 13. Permukiman penduduk di sepanjang sempadan sungai Karang Mumus .. 45 14. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus
(Citra Landsat TM 1992) ... 48 15. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus
(Citra Landsat TM 2007) ... 49 16. Contoh kombinasi komponen agroforestri secara horisontal
dalam skala lanskap ... 52 17. Peta kesesuaian lahan kawasan lindung ... 54 18. Peta kesesuaian lahan kawasan konservasi ... 55 19. Peta kesesuaian lahan pertanian lahan kering ... 57 20. Peta kesesuaian lahan pertanian lahan basah ... 58 21. Peta kesesuaian lahan permukiman... 60 22. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok umur ... 64 23. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian ... 66 24. Latar belakang budaya masyarakat ... 69 25. Seni dan budaya Dayak Kenyah ... 73
(26)
26. Peta alokasi penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi ... 83 27. Alat pengolah air bersih ... 85 28. Potensi wisata sungai ... 88 29. Kondisi lahan pertanian di DAS Karang Mumus ... 94 30. Contoh penerapan teknologi pertanian pada lahan berlereng ... 94 xvii
(27)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Batasan istilah ... 106 2. Karakteristik dan kualitas lahan pada sistem lahan DAS Karang Mumus 107 3. Cara penilaian tekstur tanah, kesuburan tanah, dan indikasi erosi ... 108 4. Cara penilaian drainase tanah, banjir, dan batuan tersingkap ... 109 5. Kuisioner AHP ... 110 6. Peta kemiringan lereng DAS Karang Mumus ... 117 7. Peta geologi DAS Karang Mumus... 118 8. Deskripsi formasi geologi penyusun kawasan DAS Karang Mumus ... 119 9. Peta jenis tanah DAS Karang Mumus... 120 10. Peta hidrologi DAS Karang Mumus ... 121 11. Peta sistem lahan DAS Karang Mumus ... 122 12. Analisis finansial pertanian lahan basah (padi sawah)
dengan luas tanam 1 ha ... 123 13. Analisis finansial pertanian lahan kering (jagung manis)
dengan luas tanam 1 ha ... 124 14. Analisis finansial pertanian lahan kering (jagung manis unggul)
dengan luas tanam 1 ha ... 125 15. Analisis finansial pertanian lahan kering (cabai)
dengan luas tanam 1 ha ... 126 16. Kebutuhan hidup layak berdasarkan harga barang konsumtif
(28)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang dari barat sampai ke timur. Indonesia memiliki berbagai macam lanskap yang indah, keanekaragaman hayati yang tinggi, dan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Berbagai macam lanskap, penggunaan lahan, dan penutupan lahan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat cepat sebagai akibat dari faktor perekonomian, kependudukan, dan kebijakan, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi dan politik. Perkembangan ekonomi dan berbagai infrastruktur telah menghubungkan berbagai wilayah, mulai dari pegunungan, dataran rendah sampai dengan wilayah perbatasan Indonesia. Keterhubungan ekonomi, sosial, dan biofisik di dalam lanskap merupakan sumber untuk kemampuan masyarakat dalam menyediakan keamanan pangan, mata pencarian, dan jasa lingkungan untuk masyarakat luas. Oleh karena itu, fungsi dari keseluruhan lanskap menjadi penting untuk dipahami (Arifin et al., 2008).
Kalimantan Timur sebagai provinsi terluas di Indonesia memiliki permasalahan kemiskinan dan bencana alam. Bencana alam yang terjadi, antara lain, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kepunahan keanekaragaman hayati, dan juga kekeringan. Banyak kegiatan pembangunan di dalam era otonomi daerah yang dilakukan berdampak pada konflik pengelolaan sumber daya alam. Implikasi pengelolaan sumber daya alam yang tidak tepat adalah suatu perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol yang umumnya terjadi dalam bentuk deforestasi dan pengkonversian lahan pertanian ke arah non-pertanian (FAO, 1990). Adanya perubahan tata guna lahan yang intensif pada lanskap seperti alihguna lahan hutan menjadi lahan pertanian, lahan pertanian menjadi permukiman, dan seterusnya disadari menimbulkan banyak permasalahan. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialihgunakan menjadi lahan usaha lain.
Daerah aliran sungai (DAS) sebagai suatu daerah penting dengan batas ekologis merupakan satu kesatuan kawasan hulu dan hilir yang harus dikelola secara terintegrasi. Perubahan yang terjadi pada satu kawasan akan berpengaruh
(29)
2
terhadap kawasan yang lain. Aktivitas perubahan lanskap termasuk perubahan tata guna lahan yang dilakukan di kawasan hulu DAS tidak hanya akan memberikan dampak di kawasan yang merupakan tempat perubahan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya (Asdak, 2007). Uraian di atas menunjukkan bahwa secara biogeofisik kawasan hulu dan hilir DAS mempunyai keterkaitan.
Masalah degradasi lingkungan yang terjadi sering kali berpangkal pada komponen manusia. Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan meningkatnya berbagai kebutuhan hidup. Perbandingan jumlah penduduk tidak seimbang dengan luasan lahan pertanian, keterbatasan lapangan kerja, dan minimnya pendapatan. Keadaan tersebut mendorong sebagian masyarakat untuk merambah hutan, menggunakan lahan marjinal untuk lahan pertaniannya dengan mengabaikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Hal ini menyebabkan meningkatnya areal lahan kritis pada suatu lanskap. Demikian pula yang terjadi pada kawasan DAS Karang Mumus. Daerah aliran sungai Karang Mumus dengan luas 32.196,3 ha merupakan DAS di Kalimantan Timur dengan tingkat kerusakan prioritas pertama, pada saat ini terdapat areal lahan kritis seluas 9.106 ha (Timpakul, 2007).
Semakin luasnya areal lahan kritis dan tingginya intensitas curah hujan menyebabkan sering terjadi bencana banjir di DAS Karang Mumus, terutama di pusat Kota Samarinda. Bencana banjir terbesar terjadi pada tanggal 31 Juli 1998. Pada tahun 2008, banjir terjadi hampir setiap kali turun hujan dengan intensitas yang cukup deras. Fenomena terjadinya banjir tersebut selain diakibatkan oleh curah hujan yang turun relatif deras, juga pada saat yang bersamaan ditopang oleh arus balik (back water) limpasan air dari sungai Mahakam yang sedang dalam kondisi air pasang di bagian hilir wilayah Kota Samarinda. Selain itu, adanya kontribusi limpasan permukaan (runoff) yang relatif besar dan laju tanah yang tererosi yang berasal dari kawasan DAS Karang Mumus sebagai sumber sedimen atau pendangkalan pada sungai (DPU, 2003).
Perubahan pola penutupan dan penggunaan lahan juga berpengaruh terhadap penurunan potensi kawasan DAS Karang Mumus yang disebabkan oleh semakin
(30)
3
meluasnya penggunaan lahan untuk permukiman. Hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan lahan atau kawasan resapan air yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya banjir. Bencana kebakaran hutan, kebakaran lahan, dan perambahan hutan yang terjadi di DAS Karang Mumus selain menyebabkan berkurangnya vegetasi dan satwa khas Kalimantan Timur juga dapat mempercepat proses terjadinya banjir. Untuk itu, perlu adanya upaya pengelolaan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di DAS Karang Mumus.
Lahan-lahan kritis di DAS Karang Mumus yang pada mulanya adalah lahan hutan merupakan lahan yang memiliki kesuburan tanah yang rendah, siklus nutrisi yang berjalan cepat pada ekosistem hutan, lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan vegetasi pohon, curah hujan tinggi, dan tanah yang mudah tererosi. Suatu pola pertanaman antara tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat didesain untuk mendapatkan keadaan yang optimal dalam usaha tani yang dilakukan (Riyanto & Riyanto, 1981). Pola pertanaman yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu sistem agroforestri, yaitu agroforestri sederhana. Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat ini, agroforestri tidak hanya terbatas pada kombinasi tanaman semusim dan tanaman tahunan saja, tetapi juga dapat dikombinasikan dengan hewan ternak bahkan dengan ikan. Kombinasi berbagai jenis tanaman semusim, tanaman tahunan, hewan ternak, dan ikan merupakan sistem agroforestri kompleks. Pada bentang lahan, bentuk-bentuk kombinasi ini terdapat dalam berbagai tipe penutupan dan penggunaan lahan baik secara monokultur maupun campuran yang disebut dengan lanskap agroforestri. Lanskap agroforestri terbagi menjadi dua sistem penutupan dan penggunaan lahan yaitu sistem penutupan dan penggunaan lahan tersegregasi dan sistem penutupan dan penggunaan lahan terintegrasi.
Lanskap agroforestri dengan keragaman komponen di dalamnya mempunyai fungsi, yaitu a) mempertahankan pengelolaan sumber daya air (water resources management); b) mempertahankan cadangan karbon (carbon stock); (c) mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity); dan d) mempertahankan keindahan lanskap (landscape beautification) (Suyanto & Khususiyah, 2006; Hairiah et al., 2008). Dengan demikian, upaya pengelolaan yang dapat dilakukan di DAS Karang Mumus adalah dengan pengelolaan lanskap agroforestri.
(31)
4
Penelitian rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, analisis sosial ekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik (analytical hierarchy process/AHP). Berdasarkan hasil analisis kemudian dilakukan penyusunan rekomendasi rencana pengelolaan penggunaan lahan berbasis lanskap agroforestri. Melalui penelitian ini diharapkan bahwa pengelolaan lanskap agroforestri dapat menjadi alternatif dalam mengatasi permasalahan di kawasan DAS Karang Mumus.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
1. mengevaluasi dan menganalisis karakter lanskap DAS Karang Mumus; 2. menganalisis faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri; dan 3. menyusun rekomendasi rencana pengelolaan penggunaan lahan berbasis lanskap agroforestri.
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
1. digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan sebagai dasar informasi alternatif skala regional untuk pertimbangan penerapan lanskap agroforestri sebagai salah satu penggunaan lahan yang berkelanjutan, dan
2. dijadikan acuan dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan sebagai bentuk harmonisasi kawasan hulu dan hilir melalui jasa lingkungan (environmental services).
(32)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lanskap
Lanskap dapat didefinisikan sebagai area lahan heterogen yang tersusun dari suatu kelompok ekosistem yang saling berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengembangan atau pembentukan lanskap diakibatkan oleh bekerjanya tiga mekanisme di dalam batas lanskap, yaitu berbagai proses geomorfologi khusus yang berlangsung dengan waktu yang lama, pola-pola kolonisasi dari berbagai organisme, dan gangguan-gangguan lokal dari berbagai ekosistem dengan waktu yang lebih singkat (Forman & Godron, 1986).
Menurut Porteous (1996), lanskap adalah bagian dari pemandangan alam yang membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasikannya. Tipe-tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan, alam bebas, perdesaan, taman-taman, dan lanskap perkotaan.
Selanjutnya menurut Antrop (2000), lanskap adalah konsep yang sangat kompleks, keadaan alam yang holistik yang dikenal dalam banyak ilmu geografi dan ekologi lanskap sebagai kumpulan fenomena alam yang luas, saling berhubungan, dan juga dinamis. Lebih lanjut definisi lanskap mengacu pada lingkungan manusia, lanskap merupakan suatu konsep yang abstrak, tidak memiliki batasan-batasan, dan mengacu pada bentuk seperti pemandangan, sistem, dan struktur. Pada penggunaan yang nyata, lanskap-lanskap dibagi dalam satu atau lebih bagian lahan yang telah ditentukan atau dibatasi.
Lanskap adalah keadaan dan kondisi bentuk bentang alam di atas permukaan bumi (natural) dan atau yang merupakan hasil campur tangan budidaya manusia terhadap bentuk alami (artificial) (Subroto, 2004). Sebagai salah satu contoh deskripsinya adalah lanskap perdesaan.
Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit untuk diubah, sedangkan unsur penunjang atau unsur minor adalah unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simond & Starke, 2006).
(33)
6
2.2. Agroforestri 2.2.1. Definisi
Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu yang mengombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau hewan ternak secara bersama-sama atau bergiliran untuk menghasilkan produk terpadu (Nair, 1991).
Huxley (1999) mendefinisikan agroforestri sebagai berikut.
1. Agroforestri sebagai penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan, dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah dan ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
2. Agroforestri sebagai penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan untuk memperoleh berbagai produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antarkomponen tanaman.
3. Agroforestri sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan.
Menurut Hairiah et al. (2003), dari beberapa definisi agroforestri yang telah ada, dapat disimpulkan bahwa agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur seperti penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, komponen tanaman tahunan dan atau ternak atau hewan, waktu dapat bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu, terdapat interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi.
Di kalangan masyarakat, berkembang beberapa istilah yang sering dicampuradukkan dengan agroforestri. Sebagian masyarakat ada yang
(34)
7
memandang agroforestri adalah suatu kebijakan pemerintah atau status kepemilikan lahan, bukan sebagai sistem penggunaan lahan (Hairiah et al., 2003).
Menurut De Foresta dan Michon (1997) diacu dalam Hairiah et al. (2003), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian yang di dalamnya pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah tampak fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder. Oleh karena itu, sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (ICRAF, 1996 diacu dalam Hairiah et al., 2003). Beberapa contoh sistem agroforestri kompleks di Indonesia yang sudah sejak lama dikenal dan diterapkan oleh masyarakat adalah sistem dusun di Maluku, lembo di Sendawar Kalimantan Timur, pekarangan di DAS Cianjur Jawa Barat, tembawang di Kalimantan Barat (Arifin et al., 2003), serta kebun campuran dan talun di DAS Cianjur Jawa Barat (Arifin et al., 2001).
2.2.2. Fungsi dan Peran Agroforestri
Melihat komposisinya yang beragam, agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan jika dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, dan lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi. Beberapa fungsi dan manfaat hutan bagi manusia dan kehidupan lainnya adalah sebagai berikut.
a) Penghasil kayu bangunan (timber)
Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan berbagai ukuran dan kualitas yang dapat dipergunakan untuk bahan bangunan (timber). Kayu bangunan yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi.
(35)
8
b) Sumber hasil hutan non-kayu (non timber forest product = NTFP)
Tingkat biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Selain kayu bangunan, hutan juga menghasilkan beraneka hasil yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan, sayuran, dan keperluan rumah tangga lainnya (misalnya rotan dan bambu).
c) Cadangan karbon (C)
Salah satu fungsi hutan yang penting adalah sebagai cadangan karbon di alam karena C disimpan dalam bentuk biomasa vegetasinya. Alihguna lahan hutan mengakibatkan peningkatan emisi CO2 di atmosfer yang berasal dari
hasil pembakaran dan peningkatan mineralisasi bahan organik tanah selama pembukaan lahan serta berkurangnya vegetasi sebagai lubuk C (C-sink). d) Habitat bagi fauna
Hutan merupakan habitat penting bagi beraneka fauna dan flora. Konversi hutan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya akan menurunkan populasi fauna dan flora yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati atau biodiversitas berkurang.
e) Filter
Kondisi tanah hutan umumnya remah dan memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus-menerus dari daun-daun, cabang, dan ranting yang berguguran sebagai seresah, dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya infiltrasi air tanah dan penyerapan air oleh tumbuhan hutan serta bentang lahan alami dari hutan, terjadi pengurangan limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah. Jadi, hutan berperan sebagai filter (saringan) dan pada peran ini sangat menentukan fungsi hidrologi hutan pada kawasan daerah aliran sungai (DAS).
f) Sumber tambang dan mineral berharga lainnya
Seringkali di bawah hutan terdapat berbagai bahan mineral berharga yang merupakan bahan tambang yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan hidup manusia. Namun, pemanfaatan bahan tambang tersebut seringkali harus menyingkirkan hutan yang ada di atasnya.
(36)
9
g) Lahan
Hutan menempati ruangan (space) di permukaan bumi, terdiri atas komponen-komponen tanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim, dan sebagainya dinamakan ’lahan’. Lahan sangat bermanfaat bagi berbagai kepentingan manusia sehingga dapat memiliki nilai ekonomi yang tinggi. h) Rekreasi
Manfaat hutan sebagai tempat rekreasi ini jarang dibicarakan karena sulit untuk dinilai dalam rupiah. Banyak hutan dipakai sebagai ladang perburuan bagi orang yang memiliki hobi berburu. Hutan merupakan sumber pendapatan daerah dengan adanya eco-tourism yang akhir-akhir ini cukup ramai memperoleh banyak perhatian pengunjung baik domestik maupun manca negara.
Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti di berbagai tempat adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan. Beberapa dampak positif sistem agroforestri pada skala meso ini, antara lain, a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah, b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan, c) mempertahankan cadangan karbon, d) mengurangi emisi gas rumah kaca, dan e) mempertahankan keanekaragaman hayati (Widianto et al., 2003).
Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon (C) dari atmosfer. Karbon yang berasal dari CO2 (karbondioksida) tersebut diambil oleh tumbuhan dan
disimpan dalam bentuk biomassa. Santoso (2003) menyatakan bahwa lahan demplot agroforestri (tanaman pokok kedawung, trembesi, pakem, dan kemiri) memberikan potensi mitigasi sebesar 268 ton C/ha dan net present value (NPV) sebesar 2.458 US$/ha atau 9,2 US$/ton C. Dengan menambahkan tanaman buah (mangga, durian, dan rambutan), potensi mitigasi meningkat menjadi 311 ton C/ha dan NPV sebesar 3.346 US$/ha atau 10,8 US$/ton C. Metode yang dipergunakan dalam penelitian analisis potensi agroforestri untuk peningkatan rosot karbon ini adalah metode comprehensive mitigation assessment process (COMAP) dengan modul REFREGN. REFREGN adalah opsi reboisasi tanpa
(37)
10
adanya pemanenan kayu. Metode COMAP memerlukan input biomassa hutan yang diperoleh dengan pengukuran diameter pohon langsung di lapangan, sedangkan destructive sampling hanya dilakukan pada satu pohon kedawung.
De Foresta et al. (2000) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis tanaman dalam agroforest sangat menakjubkan. Pada agroforest-agroforest yang terletak di dekat hutan alam, sangat sulit memperoleh daftar lengkap tanamannya. Di wilayah dekat desa dengan lahan yang umumnya lebih terawat, jumlah tanaman utama dapat dihitung. Semakin mendekati hutan, semakin besar dan beragam komponen tumbuhan liar. Mendaftar tanaman di agroforest semacam ini sama sulitnya dengan mendaftar tanaman di hutan primer. Sebagai contoh, kekayaan jenis dalam pekarangan dengan rata-rata luas lahan 188,2 m2, 218,7 m2, dan 562 m2 terdapat rata-rata jenis tanaman sebanyak 26,7 jenis, 40,4 jenis, dan 44 jenis (Arifin et al., 2001), sementara kurang lebih 300 jenis tanaman dapat ditemukan di lingkungan desa sekitar Bogor, Jawa Barat (Michon & Mary, 1994 diacu dalam Manurung, 2005).
2.3. Lanskap Agroforestri
Pada suatu bentang lahan perdesaan di beberapa wilayah di Indonesia, dapat ditemukan tata guna lahan yang bervariasi antartapak. Bahkan pada beberapa kelompok masyarakat perdesaan, alokasi lahan dimusyawarahkan sebaik-baiknya berdasarkan kebutuhan bersama serta kesesuaian terhadap kondisi atau karakteristik tapak berdasarkan pengalaman tradisional. Sebagai contoh, pada masyarakat Dayak Kenyah di Batu Majang (Kalimantan Timur), selain areal yang digunakan sebagai permukiman (yang akan berkembang kebun pekarangan) terdapat juga kawasan desa yang dipertahankan sebagai hutan lindung (istilah setempat adalah Tana’ Ulen). Hutan lindung ini berfungsi sebagai pengatur tata air dan menyediakan bahan baku kayu secara terbatas (untuk keperluan komunal). Di samping Tana’ Ulen, terdapat pula lokasi yang diperuntukkan bagi kegiatan berladang. Beberapa lahan pertanian pada masyarakat Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung dialokasikan bagi pengembangan perkebunan karet (Hevea brasiliensis), sehingga dalam skala bentang lahan, terdapat mosaik agroforestri (Sardjono, 1990 diacu dalam Sardjono et al., 2003). Interaksi antar sistem penggunaan lahan atau
(38)
11
kegiatan produksi tersebut terjadi atas dasar pertimbangan kebutuhan komunal dan karakter lingkungan yang dikenal baik oleh masyarakat (Sardjono et al., 2003).
Agroforestri pada tingkat bentang lahan dewasa ini dalam lingkup kehutanan masyarakat (community forestry) seringkali disebut dengan istilah Sistem Hutan Kerakyatan (SHK/community based forest system management). Meskipun penekanan SHK diberikan pada wilayah-wilayah masyarakat adat atau tradisional (Mushi, 1998), tetapi mengingat sub-elemennya, antara lain, ladang, kebun, sawah, pekarangan, tempat-tempat yang dikeramatkan sebagai satu kesatuan yang integral dalam upaya komunal dari satu komunitas atau lebih, sistem ini dapat dikatakan sebagai suatu agroforestri. Dengan terjadinya interaksi dalam suatu bentang lahan di atas, maka agroforestri lebih dari sekedar pengkombinasian dua atau lebih elemen pemanfaatan lahan. Agroforestri juga dapat dilihat sebagai suatu jembatan politis untuk mengakomodasi kepentingan berbagai sektor terutama kehutanan dan pertanian (von Maydell, 1978 diacu dalam Sardjono et al., 2003). Dengan demikian, agroforestri dapat mengubah dari situasi yang disosiatif menjadi yang bersifat asosiatif (kooperasi, kolaborasi, ataupun koordinasi) (Sardjono et al., 2003).
Isu spasial dari pengaturan tipe penutupan lahan agroforestri pada tingkat bentang lahan mengarah kepada isu segregate-integrate. Pada konsep sederhana ini, penutupan lahan secara segregate (terpisah) cocok untuk pencapaian tujuan yang ekstrim, yaitu sebagian area disediakan khusus untuk pelestarian keanekaragaman hayati dan sebagian lagi khusus untuk pemenuhan tujuan produksi pertanian. Jika yang ingin dicapai keduanya, integrate-lah jawabannya (Van Noordwijk et al., 2001 diacu dalam Widianto et al., 2003). Keberadaan tipe penutupan lahan segregate-integrate ini digambarkan secara skematis pada Gambar 1.
(39)
12
Gambar 1. Strategi sistem pengelolaan lahan secara segregate (terpisah) atau integrate (terpadu) pada skala bentang lahan (Van Noordwijk et al., 2001 diacu dalam Widianto et al., 2003).
Secara teori, segregate merupakan lahan pertanian dan hutan yang secara jelas terpisah satu sama lain, sedangkan integrate merupakan peleburan dari beberapa tipe penutupan dan penggunaan lahan (McNeely & Scherr, 2001).
2.4. Faktor-Faktor Pendorong
Agroforestri terintegrasi (integrated agroforestry) adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan secara spasial berbagai tipe penutupan dan penggunaan lahan secara bersama-sama pada suatu lanskap atau bentang lahan. Tipe-tipe penggunaan lahan tersebut terdiri atas berbagai komponen, antara lain, kehutanan, pertanian, dan permukiman. Dengan demikian, agroforestri diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan, antara lain, dengan tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya kerusakan lingkungan (Sehe, 2007). Hal ini dapat tercapai dengan mengoptimalkan interaksi positif antarkomponen penyusun agroforestri (pohon, tanaman pertanian/cash crops, ternak atau hewan) atau interaksi komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya.
Adanya interaksi positif yang terjadi antara berbagai komponen penyusun agroforestri menyebabkan tidak hanya faktor biologi fisik saja, tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya, serta kebijakan turut memegang peranan penting dalam
(40)
13
mempengaruhi tindakan-tindakan manusia dalam mengelola suatu lanskap agroforestri. Dari hasil penelitian Saroinsong (2002), dapat dipelajari bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan di DAS Cianjur berkaitan dengan alokasi penggunaan lahan secara agro-ekologis, terutama disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan kebijakan, yaitu (1) pertumbuhan populasi, (2) migrasi, (3) perubahan gaya hidup dan konsumsi, dan (4) pengaruh hukum, politik, dan ekonomi.
Berdasarkan analisis dari 152 studi kasus kehilangan penutup hutan tropis (tropical cover loss), Geist dan Lambin (2002) mengembangkan kerangka kerja konseptual (Gambar 2) mengenai faktor-faktor pendorong alih fungsi lahan hutan di wilayah tropis.
Gambar 2. Lima kelompok besar faktor-faktor pendorong underlying yang mempengaruhi proximate causes dari penggundulan hutan (Geist & Lambin, 2002).
Geist dan Lambin (2002), mendefinisikan proximate causes dari penggundulan hutan adalah aktivitas manusia, yang berasal dari penggunaan lahan untuk kebutuhan manusia dan yang memiliki dampak langsung pada penutupan hutan. Contoh-contoh dari proximate causes seperti ini adalah perluasan area pertanian, pengambilan kayu hutan, dan perluasan infrastruktur. Geist dan Lambin (2002) mendefinisikan kategori lainnya yang disebut faktor lain, yang juga mempunyai peranan penting dalam penggundulan hutan. Faktor ini termasuk
Proximate Causes
(sebab-sebab yang berdampak langsung terhadap hutan)
Perluasan Infrastruktur
Perluasan Daerah Pertanian
Pengambilan
Kayu Faktor Lainnya
Faktor Demografi
Faktor Ekonomi
Faktor Teknologi
Faktor Politik dan Institusi
Faktor Budaya dan Sosiopolitik
Underlying Driving Forces
(faktor-faktor pendorong yang berkaitan dengan situasi dan kebijakan dari suatu daerah atau negara)
(41)
14
faktor-faktor lingkungan bawaan (pre-disposing) (misalnya, karakteristik lahan, termasuk kualitas tanah dan topografi), faktor pendorong biofisik (misalnya, kebakaran, kekeringan, banjir dan ledakan hama), dan juga faktor pendorong berupa kejadian-kejadian sosial (misalnya, revolusi, gangguan sosial, dan depresi ekonomi).
Geist dan Lambin (2002) mendefinisikan underlying driving forces yang terkait dengan penggundulan hutan berasal dari proses-proses sosial yang mendasar, seperti dinamika populasi manusia atau kebijakan pertanian - yang juga mendorong faktor-faktor proximate - dan yang terjadi di tingkat lokal maupun yang memiliki dampak tidak langsung pada tingkat lokal (misalnya, kebijakan nasional atau internasional). Berikut ini adalah lima faktor yang paling berpengaruh, yaitu (1) demografi, (2) ekonomi, (3) teknologi, (4) politik dan institusi, dan (5) budaya dan sosiopolitik. Lebih lanjut disebutkan bahwa, tidak ada atau hanya sedikit perhatian yang diberikan terhadap tipe alih fungsi lahan hutan yang diterapkan, atau terhadap faktor yang menyebabkan terjadinya penggundulan hutan.
Terkait dengan praktik pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah, dari berbagai faktor yang telah disebutkan di atas, pada awalnya masyarakat bermaksud melakukan pengelolaan hutan alam, tetapi seiring dengan berjalannya waktu pengelolaan tersebut pada akhirnya menjadi cikal bakal agroforestri (De Foresta et al., 2000). Terdapatnya berbagai keunggulan sistem pengelolaan lahan agroforestri jika dibandingkan dengan sistem pengelolaan lahan lainnya menyebabkan pentingnya mempertimbangkan berbagai faktor pendorong pengelolaan lahan agroforestri.
2.5. Rencana Pengelolaan 2.5.1. Terintegrasi (Terpadu)
Tujuan perencanaan penggunaan lahan secara garis besar adalah penggunaan terbaik dari lahan. Dalam konsep keberlanjutan (sustainability), hal ini lebih dispesifikkan lagi sebagai suatu situasi keseimbangan atau integrasi antara efisiensi, ekuitas, dan keberlanjutan penggunaan sumber daya alam (Hermanides & Nijkamp, 2000; Miranda, 2001). Dengan demikian, keberlanjutan penggunaan lahan
(42)
15
merupakan integrasi tiga dimensi, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan, baik sekarang maupun masa yang akan datang, yang akan dijabarkan sebagai berikut. 1. Dimensi ekonomi berhubungan dengan masalah-masalah efisiensi dan
kesejahteraan seperti pendapatan, produksi, investasi pengembangan pasar, dan formasi harga. Penggunaan lahan harus layak secara ekonomi dalam arti memberikan keuntungan yang optimal, dengan kata lain, penggunaan lahan harus diarahkan pada aktivitas yang efisien dan produktif.
2. Dimensi sosial memperhatikan masalah-masalah ekuitas atau masalah distribusi dan keadilan, seperti distribusi pendapatan, akses ke pasar, dan tingkat kesejahteraan hidup antarkelompok. Dengan kata lain, harus dikaji dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dimaksud.
3. Dimensi lingkungan mengacu pada masalah-masalah kelestarian alam seperti polusi, keragaman lanskap, kualitas kehidupan, kelangkaan sumber daya, dan variabel-variabel lingkungan yang terkait dengan kemanusiaan. Penggunaan lahan dilakukan secara berkelanjutan, yaitu yang dapat memenuhi keperluan saat ini sekaligus mengawetkan sumber daya tersebut untuk generasi yang akan datang, hal ini memerlukan kombinasi antara produksi dan konservasi.
Penggunaan lahan yang berkelanjutan menuntut adanya perencanaan yang menggunakan pendekatan multi kriteria dalam pengambilan keputusan atau disebut juga perencanaan yang integratif serta memiliki ciri-ciri, yaitu a) identifikasi kelebihan dan kekurangan, atau pengenalan mengenai potensi dan kendala; b) penilaian dampak; c) pelibatan masyarakat dan proses pengambilan keputusan yang dinamis; d) pembuatan skenario-skenario dan pembandingan biaya dan manfaat terhadap beberapa alternatif yang baik; e) adanya negosiasi semua penentu keputusan dalam menangani konflik (Bellmann, 2000; Nardini, 2000; Miranda, 2001).
2.5.2. Ekologis
Pengelolaan lanskap adalah tindakan yang dilakukan untuk mengamankan dan menyelamatkan suatu lanskap secara efisien dan terarah, dalam upaya pelestarian dan keberlanjutannya, meliputi sumber daya fisik dan biofisik,
(43)
16
lingkungan binaan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku (Wardiningsih, 2005).
Pengelolaan lanskap berkelanjutan secara umum bertujuan mengurangi input dan output yang tidak diperlukan dalam upaya melindungi sumber daya alam (Kendle et al., 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa secara lebih spesifik pengelolaan lanskap berkelanjutan mempunyai tujuan, yaitu 1) menghemat penggunaan energi dan menyediakan sumber energi yang dapat diperbaharui; 2) menurunkan limbah cair, memilih tanaman yang sesuai dengan kondisi hidrologis setempat, serta mengumpulkan dan menggunakan kembali a i r limbah; 3) mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk buatan; 4) menghindari pemadatan tanah dan mendaur ulang limbah organik dalam tanah.
Banyak sistem agroforestri yang dapat melindungi lahan lebih baik daripada sistem monocropping, baik di daerah dataran tinggi maupun di dataran rendah. Solusi-solusi yang terintegrasi diperlukan untuk dapat mengoptimalkan tata guna lahan pada daerah-daerah yang berbeda dari lanskap. Hairiah et al. (2003) mengemukakan bahwa agroforestri pada prinsipnya dikembangkan untuk memecahkan permasalahan pemanfaatan lahan dan pengembangan perdesaan serta pemanfaatan potensi-potensi dan peluang-peluang yang ada untuk kesejahteraan manusia dengan dukungan kelestarian sumber daya beserta lingkungannya. Oleh karena itu, manusia merupakan komponen yang terpenting dari suatu sistem agroforestri. Manusia melakukan interaksi dengan komponen-komponen agroforestri lainnya dalam melakukan pengelolaan lahan.
2.5.3. Ekonomis
Manfaat dari fungsi dan peran agroforestri terhadap aspek biofisik dan lingkungan tidak dapat langsung dan segera dirasakan oleh petani agroforestri sendiri, tetapi justru dinikmati oleh anggota masyarakat baik di sekitar lokasi maupun di lokasi yang jauh (misalnya di bagian hilir) dan bahkan secara global. Dengan kata lain, tindakan konservasi lahan yang diterapkan oleh petani agroforestri tidak banyak mendatangkan keuntungan langsung, bahkan seringkali petani harus menanggung kerugian dalam jangka pendek. Oleh sebab itu, ada
(44)
17
upaya untuk mengusahakan imbalan atau kompensasi bagi petani di bagian hulu jika mereka menerapkan usaha tani konservasi.
Adanya kesenjangan antara produsen jasa lingkungan yang umumnya miskin dan berdomisili di hulu dengan penikmat jasa lingkungan di berbagai bagian dari bentang lahan seharusnya dapat dijembatani. Salah satu upaya menjembatani kesenjangan ini adalah dengan mengembangkan cara-cara pemberian nilai terhadap lingkungan, yaitu dengan mekanisme imbal jasa lingkungan untuk pengentasan kemiskinan.
Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan, antara lain, mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS, mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran agroforestri tersebut, agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah & Utami, 2002 diacu dalamWidianto et al., 2003).
(45)
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu PenelitianLokasi penelitian adalah kawasan DAS Karang Mumus (Gambar 3) yang merupakan sub-sub-DAS Mahakam Hilir. DAS Karang Mumus secara geografis terletak pada 0°19’28,93 Lintang Selatan - 0°26’54,72” Lintang Selatan dan 117°12’06,24” Bujur Timur - 117°15’41,27” Bujur Timur.
Secara administratif, DAS Karang Mumus berada di wilayah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Deliniasi kawasan DAS Karang Mumus meliputi a) bagian hulu DAS Karang Mumus termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kecamatan Muara Badak); b) bagian tengah DAS Karang Mumus termasuk ke dalam wilayah Kota Samarinda (Kecamatan Samarinda Utara); c) bagian hilir DAS Karang Mumus termasuk ke dalam wilayah Kota Samarinda (sebagian kecil Kecamatan Samarinda Ulu dan sebagian kecil Kecamatan Samarinda Ilir).
Berdasarkan deliniasi, luas DAS Karang Mumus adalah 32.196,3 ha. Persentase luasan terbesar dari total luasan DAS Karang Mumus merupakan wilayah Kecamatan Samarinda Utara, dengan luas 27.780,0 ha (86,3%).
Pelaksanaan penelitian dilakukan selama sepuluh bulan mulai Februari sampai November 2008, terdiri atas prasurvei, pengumpulan data, pengolahan data, penyusunan rekomendasi, dan penyusunan laporan. Prasurvei dan pengumpulan data di lapang dilakukan selama dua bulan mulai Februari sampai Maret 2008. Pengolahan data, penyusunan rekomendasi, dan penyusunan laporan dilakukan selama delapan bulan mulai April sampai November 2008.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah data biologi-fisik, sosial-ekonomi-budaya, kebijakan, peta rupa bumi Indonesia, dan citra satelit. Jenis, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan analisis dari data penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Alat yang digunakan selama penelitian adalah seperangkat komputer, kompas, scanner, ArcView versi 3.3, Erdas Imagine versi 8.5, kamera dijital, dan Global Positioning System (GPS).
(46)
19
(47)
20
Tabel 1. Jenis data, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan analisis data
No. Jenis data Unit Tahun Sumber Kegunaan Pendekatan
A. Biologi-Fisik
1. Lokasi (letak dan luas) m2 2003 Survei, Pemkot
Posisi dengan tempat lain 2. Iklim
- Curah hujan mm 1992-2007 BMG Modifikasi
penggunaan lahan
Kesesuaian lahan
- Suhu udara oC 1998-2007 BMG Modifikasi
penggunaan lahan
Kesesuaian lahan
- Kelembaban udara % 2007 BMG Modifikasi
penggunaan lahan
Kesesuaian lahan
3. Geologi - 2003 Balitbangda Modifikasi
penggunaan lahan
Kesesuaian lahan
4. Jenis tanah - 2003 Survei,
Balitbangda Modifikasi penggunaan lahan Kesesuaian lahan 5. Topografi
- Kemiringan lereng % 2003 Survei, Balitbangda Modifikasi penggunaan lahan Kesesuaian lahan
- Ketinggian m
dpl 2003 Survei, Balitbangda Modifikasi penggunaan lahan Kesesuaian lahan 6. Hidrologi dan
kualitas air sungai Karang Mumus
2004 Balitbangda Modifikasi
penggunaan lahan
Kesesuaian lahan
7. Vegetasi - 2003 Survei,
Dinas terkait Modifikasi penggunaan lahan Kesesuaian lahan
8. Tata guna lahan - 2003 Survei,
Dinas terkait Modifikasi penggunaan lahan Kesesuaian lahan 9. Kesesuaian lahan
berdasarkan sistem lahan (modifikasi dari FAO)
- 2004 Lab.
Kartografi dan SIG, Ilmu Tanah, Unmul Modifikasi penggunaan lahan Kesesuaian lahan
10. Sedimentasi - 2000 dan
2004 BP DAS Mahakam-Berau Indikator keberlanjutan Evaluasi sedimentasi B. Sosial-Budaya-Ekonomi
1. Jumlah dan kepadatan penduduk
jiwa 1992, 2001, dan 2007 BPS Identifikasi faktor pendorong Analisis sosial-ekonomi
2. Pendapatan penduduk - 2007 BPS Identifikasi
faktor pendorong
Analisis sosial-ekonomi
(48)
21
Tabel 1. Lanjutan
No. Jenis data Unit Tahun Sumber Kegunaan Pendekatan
3. Pendidikan masyarakat
- 2007 BPS Identifikasi
faktor pendorong
Analisis sosial-ekonomi 4. Latar belakang
budaya
- 2007 Studi pustaka, kuisioner Identifikasi faktor pendorong Analisis sosial-ekonomi 5. Aktivitas dan
keinginan masyarakat
- 2007 Wawancara
dan kuisioner Identifikasi faktor pendorong Analisis sosial-ekonomi C. Kebijakan
1. RTRW - 2005 Bappeda Identifikasi
faktor pendorong Analisis kebijakan 2. Ringkasan pelaksanaan program relokasi penduduk tepi sungai Karang Mumus
- 2007 Dinas
Kimbangkot Identifikasi faktor pendorong Analisis kebijakan
D. Peta Rupa Bumi Indonesia
1. Lembar 1915-13 (Samarinda)
lembar 1991 Bakosurtanal,
Cibinong
Pemetaan Validasi lokasi
2. Lembar 1915-41 (Air Putih)
lembar 1991 Bakosurtanal,
Cibinong Pemetaan
Validasi lokasi 3. Lembar 1915-42
(Muara Badak)
lembar 1991 Bakosurtanal,
Cibinong Pemetaan
Validasi lokasi E. Citra Satelit
1. Landsat 5 TM geotiff 1992 BTIC
Dataport
Pemetaan Analisis spasial dan temporal
3. Landsat 7 ETM+ geotiff 2007 BTIC
Dataport
Pemetaan Analisis spasial dan temporal
3.3. Kerangka Pemikiran
Perubahan tata guna lahan di DAS Karang Mumus menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan, antara lain, degradasi lahan, banjir, kekeringan, kepunahan flora dan fauna, pencemaran air, serta kontribusi terhadap perubahan iklim (climate change), dan berkontribusi terhadap pemanasan global (global warming). Suatu kawasan DAS tidak hanya bagian hulu saja yang berperan sebagai daerah resapan atau tangkapan air, melainkan seluruh kawasan DAS tersebut, termasuk bagian hilirnya.
(49)
22
Permasalahan lingkungan yang terjadi dalam proses penggunaan lahan memerlukan upaya pengelolaan yang tepat, salah satunya melalui pengelolaan tata guna lahan yang disesuaikan dengan karakteristik lahan, yaitu pengelolaan lanskap agroforestri. Di dalam lanskap agroforestri, terdapat sistem penggunaan lahan agroforestri terintegrasi (integrated agroforestry) yang menjadi dasar pemikiran dari penelitian ini (Gambar 4).
Gambar 4. Bagan alir kerangka pemikiran
Secara umum, bentuk penutupan dan penggunaan lahan di dalam sistem agroforestri terintegrasi terdiri atas kehutanan, pertanian, dan permukiman. Tiga bentuk penutupan dan penggunaan lahan ini kemudian dikembangkan lagi
Agroforestri Terintegrasi (integrated agroforestry): sistem pengelolaan lanskap agroforestri secara terpadu
Penutupan dan Penggunaan Lahan: kehutanan (kawasan lindung, kawasan konservasi),
pertanian (pertanian lahan basah, pertanian lahan kering),
permukiman
Evaluasi dan Analisis: analisis spasial dan temporal, evaluasi
kesesuaian lahan, analisis sosial-ekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis
kebijakan, dan proses hirarki analitik
Faktor Kebijakan: program pemerintah
dan kelembagaan Faktor Biologi-Fisik:
aksesibilitas, perubahan penutupan dan
penggunaan lahan, kesesuaian lahan, sedimentasi Faktor Sosial-Budaya-Ekonomi: kepadatan penduduk, pendapatan, pendidikan, latar belakang budaya,
dan keinginan masyarakat
Rekomendasi Rencana Pengelolaan: konsep alokasi penggunaan lahan agroforestri
terintegrasi,
peta alokasi lahan agroforestri terintegrasi, dan konsep pengelolaan lanskap agroforestri
berdasarkan faktor-faktor pendorong Fungsi Lanskap Agroforestri:
mempertahankan pengelolaan sumber daya air,
mempertahankan cadangan karbon, mempertahankan keanekaragaman
hayati, dan
(50)
23
menjadi lima kategori tipe penutupan dan penggunaan lahan, yaitu kawasan lindung, kawasan konservasi, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan permukiman. Bentuk-bentuk penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus ini kemudian dievaluasi dan dianalisis sehingga diperoleh faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri yang meliputi faktor-faktor biologi-fisik, sosial-budaya-ekonomi, dan kebijakan. Dari hasil analisis yang dilakukan, kemudian disusun rekomendasi rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus berdasarkan faktor-faktor pendorong dan fungsi lanskap agroforestri, antara lain, mempertahankan pengelolaan sumber daya air; mempertahankan cadangan karbon; mempertahankan keanekaragaman hayati; dan mempertahankan keindahan lanskap. Batasan istilah yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.4. Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam empat tahap (Gambar 5), yaitu prasurvei, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan rekomendasi.
Gambar 5. Tahapan penelitian Permasalahan DAS Karang Mumus:
perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol, degradasi lahan, sedimentasi, banjir, kekeringan, pencemaran air, dan kepunahan flora dan fauna
Hasil:
konsep pengelolaan lanskap agroforestri dengan pendekatan faktor-faktor pendorong Tahapan Penelitian
IV. Penyusunan Rekomendasi: alokasi penggunaan lahan agroforestri terintegrasi peta alokasi penggunaan lahan agroforestri terintegrasi
II. Pengumpulan Data Spasial dan Nonspasial: koleksi data dan informasi kondisi DAS Karang Mumus (data biologi-fisik, sosial-budaya-ekonomi, kebijakan, peta rupa bumi
Indonesia, dan citra satelit) I. Prasurvei:
penelusuran pustaka, deliniasi, dan penentuan lokasi contoh penelitian di kawasan DAS Karang Mumus
III. Pengolahan Data:
analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, analisis sosial-ekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik
(51)
24
3.4.1. Prasurvei
Pada tahap ini, kegiatan dipusatkan pada penelusuran pustaka, deliniasi peta, dan penentuan lokasi contoh penelitian. Penelusuran pustaka dilakukan untuk mengetahui hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian. Deliniasi lokasi penelitian (Gambar 6) dilakukan berdasarkan batas kawasan DAS Karang Mumus dan peta rupa bumi Indonesia Lembar 1915-13, 1915-41, dan 1915-42.
(52)
25
Lokasi yang menjadi contoh penelitian ditentukan dengan menggunakan metode jalur (transek). Metode ini merupakan metode yang efektif digunakan untuk mempelajari suatu kawasan yang luas. Di dalam metode ini, jalur contoh dibuat memotong garis-garis topografi (Soerianegara & Indrawan, 2002). Kemudian pada jalur ini ditentukan lokasi-lokasi yang menjadi contoh penelitian. Kelurahan yang terpilih menjadi lokasi contoh penelitian adalah Kelurahan Sempaja, Kelurahan Lempake, dan Kelurahan Sungai Siring.
3.4.2. Pengumpulan Data Spasial dan Nonspasial
Data spasial dan nonspasial dikumpulkan dari survei lapang secara langsung, baik melalui wawancara, kuisioner maupun kunjungan lapang. Wawancara dilakukan kepada pemerintah daerah dan pihak-pihak yang terkait dengan penentu kebijakan. Penyebaran kuisioner untuk analisis sosial-ekonomi dilakukan terhadap 94 responden dalam lokasi contoh dengan mengikuti metode pengambilan contoh dengan tujuan (purposive sampling). Jumlah responden ditentukan berdasarkan teori limit pusat. Dalam teori ini, jumlah responden mencapai 25 atau 30 responden telah dapat menghasilkan bentuk sebaran penarikan contoh mendekati normal (berbentuk genta) (Agresti & Finlay, 1997).
Penyebaran kuisioner AHP dilakukan terhadap sepuluh ahli (pakar) dari sepuluh institusi, yaitu Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Badan Pengelola DAS Mahakam Berau, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur, Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, Dinas Permukiman dan Pengembangan Kota Samarinda, Dinas Pertanian Kota Samarinda, Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Universitas Mulawarman Samarinda.
3.4.3. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, analisis sosial-ekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik.
(53)
26
3.4.3.1. Analisis Spasial dan Temporal
Perubahan penutupan dan penggunaan lahan dianalisis secara spasial dan temporal untuk melihat besarnya tekanan pertambahan penduduk terhadap kawasan DAS Karang Mumus. Perubahan penutupan dan penggunaan lahan ini dapat dilihat melalui data citra satelit Landsat dengan rentang waktu perubahan 15 tahun. Selain skala spasial, skala temporal sama pentingnya ketika memperkirakan perubahan lanskap dari waktu ke waktu (Rocchini et al., 2005). Klasifikasi citra untuk menentukan kelas penutupan lahan dilakukan pada data citra satelit Landsat tahun 1992 dan 2007.
Proses analisis spasial dan temporal yang dilakukan di dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Bagan alir proses analisis spasial dan temporal
Klasifikasi diawali dengan persiapan citra satelit Landsat TM 1992, citra satelit Landsat ETM 2007, dan peta topografi dari lokasi penelitian. Kemudian dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan Arcview Extension Image Analysist. Citra dikoreksi berdasarkan peta jalan dan sungai dalam format TIFF (*.tiff file). Setelah kesalahan hasil koreksi (RMS error) bernilai <0,1, citra disimpan dengan format Erdas Image (*.img file). Dalam klasifikasi citra, koreksi
Citra Landsat
tahun 1992 dan 2007 Koreksi geometri (RMS error <0,1):
- peta sungai - peta jalan Citra Landsat
tahun 1992 dan 2007 terkoreksi
Peningkatan tampilan visual citra
Klasifikasi terbimbing
Peta penutupan/ penggunaan lahan
Kepadatan penduduk dan proyeksi pertambahan
penduduk
Perubahan penutupan dan penggunaan lahan Survei lapang:
- GPS - Peta RBI - Peta DAS - Observasi
(1)
(2)
Lampiran 12. Analisis finansial pertanian lahan basah (padi sawah) dengan luas
tanam 1 ha
Komponen Volume Satuan Nilai satuan (Rp)
Total nilai (Rp)
Nilai per item (Rp) Biaya Produksi
Sarana Produksi: 1.430.000
Benih 40 Kg 4.000 160.000
Urea 100 Kg 1.200 120.000
NPK 200 Kg 1.750 350.000
Pestisida 4 Liter 180.000 720.000
Herbisida 2 Liter 40.000 80.000
Tenaga Kerja: 2.340.000
Persemaian 4 Hok 30.000 120.000
Pengolahan tanah 1 Hand
traktor 800.000 800.000
Penanaman 10 Hok 30.000 300.000
Pemupukan 4 Hok 30.000 120.000
Pemanenan 1 ha 250.000 250.000
Perontokan 100 Karung 5.000 500.000
Pengangkutan 100 Karung 2.500 250.000
Total Biaya Produksi:
1 x panen 3.770.000
1 tahun (2 x panen) 7.540.000
Produksi Padi:
1 x panen 5000 Kg 2.760 13.800.000 13.800.000
1 tahun (2 x panen) 10000 Kg 2.760 27.600.000 27.600.000
Keuntungan:
1 x panen 10.030.000
1 tahun (2 x panen) 20.060.000
Rasio B/C:
1 x panen 2,66
(3)
Lampiran 13. Analisis finansial pertanian lahan kering (jagung manis) dengan
luas tanam 1 ha
Komponen Volume Satuan Nilai satuan (Rp)
Total nilai (Rp)
Nilai per item (Rp) Biaya Produksi
Sarana Produksi: 794.000
Benih (umum) 2,5 Kg 60.000 150.000
Urea 100 Kg 1.200 120.000
NPK 10 Karung 35.000 350.000
Pestisida 1 Liter 80.000 80.000
Herbisida 2 Liter 47.000 94.000
Tenaga Kerja: 995.000
Pengolahan tanah
Penanaman 10 Hok 30.000 300.000
Pemupukan 4 Hok 30.000 120.000
Penyiangan 5 Hok 30.000 150.000
Pemanenan 10 Hok 30.000 300.000
Pengangkutan 50 Karung 2.500 125.000
Total Biaya Produksi:
1 x panen 1.789.000
1 tahun (3 x panen) 5.367.000
Produksi Jagung:
1 x panen 50 Karung 80.000 4.000.000 4.000.000
1 tahun (3 x panen) 150 Karung 80.000 12.000.000 12.000.000
Keuntungan:
1 x panen 2.211.000
1 tahun (3 x panen) 6.633.000
Rasio B/C:
1 x panen 1,24
(4)
Lampiran 14. Analisis finansial pertanian lahan kering (jagung manis unggul)
dengan luas tanam 1 ha
Komponen Volume Satuan Nilai satuan (Rp)
Total nilai (Rp)
Nilai per item (Rp) Biaya Produksi
Sarana Produksi: 994.000
Benih 2,5 Kg 140.000 350.000
Urea 100 Kg 1.200 120.000
NPK 10 Karung 35.000 350.000
Pestisida 1 Liter 80.000 80.000
Herbisida 2 Liter 47.000 94.000
Tenaga Kerja: 995.000
Pengolahan tanah
Penanaman 10 Hok 30.000 300.000
Pemupukan 4 Hok 30.000 120.000
Penyiangan 5 Hok 30.000 150.000
Pemanenan 10 Hok 30.000 300.000
Pengangkutan 50 Karung 2.500 125.000
Total Biaya Produksi:
1 x panen 1.989.000
1 tahun (3 x panen) 5.967.000
Produksi Jagung:
1 x panen 50 Karung 150.000 7.500.000 7.500.000 1 tahun (3 x panen) 150 Karung 150.000 22.500.000 22.500.000
Keuntungan:
1 x panen 5.511.000
1 tahun (3 x panen) 16.533.000
Rasio B/C:
1 x panen 2,77
(5)
Lampiran 15. Analisis finansial pertanian lahan kering (cabai) dengan luas tanam
1 ha
Komponen Volume Satuan Nilai satuan (Rp)
Total nilai (Rp)
Nilai per item (Rp)
Biaya Produksi
Sarana Produksi: 21.100.000
Benih 15 Bungkus 85.000 1.275.000
Ajir 20800 Batang 500 10.400.000
Mulsa plastik 3 Gulung 500.000 1.500.000
Kapur 80 Karung 20.000 1.600.000
Pupuk kandang 400 Kg 6.500 2.600.000
NPK dasar 100 Kg 1.750 175.000
NPK Mutiara 1 Karung 550.000 550.000
Zat pengatur tumbuh 3.000.000
Tenaga Kerja: 1.290.000
Pengolahan tanah 10 Hok 30.000 300.000
Penyemaian 4 Hok 30.000 120.000
Penanaman 10 Hok 30.000 300.000
Pemupukan 4 Hok 30.000 120.000
Penyiangan 5 Hok 30.000 150.000
Pemanenan 10 Hok 30.000 300.000
Total Biaya
Produksi:
1 x panen 22.390.000
1 tahun (3 x panen) 67.170.000
Produksi Padi:
1 x panen 7000 Kg 14.000 98.000.000 98.000.000
1 tahun (3 x panen) 21000 Kg 14.000 294.000.000 294.000.000
Keuntungan:
1 x panen 75.610.000
1 tahun (3 x panen) 226.830.000
Rasio B/C:
1 x panen 3,38
(6)
Lampiran 16. Kebutuhan hidup layak berdasarkan harga barang konsumtif di
DAS Karang Mumus (2008)
No. Pos Pengeluaran Rincian Pengeluaran Volume Nilai/Unit/ bulan
Nilai Total 1 Beras 5 or*10 kg/or 50 kg Rp. 4.600 Rp. 230.000 2 Lauk-pauk 30 hr 30 hr Rp. 50.000 Rp. 1.500.000 3 Gas 2 tab/bl 2 tab Rp. 100.000 Rp. 200.000 4 Listrik, 900 W 1 bl Rp. 100.000 Rp. 100.000
5 Air 1 bl Rp. 75.000 Rp. 75.000
6 Telepun 1 bl Rp. 100.000 Rp. 100.000
7 Transportasi 5or*30hr 180 hr Rp. 5.000 Rp.. 900.000
8 Sosial 1 bl Rp. 100.000 Rp. 100.000
9 Perayaan Hari
Besar 2events 2 ev Rp. 250.000 Rp. 500.000 10 Kesehatan 5or 5 or Rp. 50.000 Rp. 250.000 11 Pendidikan 3or*Rp 500000/smt 3 or Rp. 250.000 Rp. 250.000 12 Buku, majalah, dll 5or 5 or Rp. 25.000 Rp. 125.000 13 Baju 5or*Rp250000/thn/or 1 bl Rp. 100.000 Rp. 100.000 14 Sepatu 5or*Rp200000/thn/or 1 bl Rp. 100.000 Rp. 100.000 15 Sendal 5or*Rp100000/thn/or 1 bl Rp. 50.000 Rp. 50.000 16 Baju muslim 5or*Rp100000/thn/or 1 bl Rp. 50.000 Rp. 50.000 17 Sajadah Rp60000/5thn 1 bl Rp. 1.000 Rp. 1.000 18 Alat Dapur 1 bl Rp. 10.000 Rp. 10.000
19 Bohlam 6 bh Rp. 10.000 Rp. 60.000
20 Surat kabar 1 bl Rp. 50.000 Rp. 50.000 21 Rehabilitasi rumah Rp1.2 juta/5thn 1 bl Rp. 20.000 Rp. 20.000 22 Komputer 1 bl Rp. 50.000 Rp. 50.000 23 Mudik Rp1.2 juta/1thn 1 bl Rp. 100.000 Rp. 100.000 24 Rekreasi Rp1.2juta/1thn 1 bl Rp. 100.000 Rp. 100.000
25 Tabungan 1 bl Rp. 100.000 Rp. 100.000
26 Zakat/sumbangan 2.5%*total belanja 1 bl Rp. 125.525 Rp. 125.525
Total Rp. 5.246.525
Total
dibulatkan/bulan Rp. 5.250.000