4. Rumah Singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak RPSA 4. 1. Pengertian Rumah Singgah atau RPSA 4. Tujuan Rumah Singgah 4. 3. Fungsi Rumah Singgah

2. 4. Rumah Singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak RPSA

2. 4. 1. Pengertian Rumah Singgah atau RPSA

Menurut Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak dalam Standar Pelayanan Sosial Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah 2002:6, Rumah Singgah didefinisikan sebagai suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Dari pengertian tersebut, maka terkandung unsur-unsur: 1. Rumah singgah memberlakukan proses informal, memberikan perlindungan, dan suasana penanaman kembali nilai dan norma masyarakat kepada anak jalanan. 2. Adanya anak-anak jalanan yang didampingi. 3. Pihak-pihak yang akan membantu mereka karena Rumah Singgah merupakan tahap awal bagi seseorang anak untuk memperoleh pelayanan selanjutnya. Sedangkan Rumah Perlindungan Sosial Anak RPSA adalah unit pelayanan perlindungan lanjutan dari temporary shelter yang berfungsi memberikan perlindungan dan reunifikasi bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus agar anak dapat tumbuh kembang secara wajar. 2. 4. 2. Tujuan Rumah Singgah Tujuan umum Rumah Singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 1. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. 2. Mengupayakan anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan. 3. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif.

2. 4. 3. Fungsi Rumah Singgah

Rumah Singgah memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Tempat pertemuan meeting point pekerja sosial dengan anak jalanan. Tempat penjangkauan pertama kali dan pertemuan pekerja sosial dengan anak jalanan unutk menciptakan persahabatan, kekeluargaan, dan mencari jalan keluar dari kesulitan mereka. 2. Tempat membangun kepercayaan antara anak dengan pekerja sosial dan latihan meningkatkan kepercayaan diri berhubungan dengan orang lain. 3. Perlindungan. Perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, seks, ekonomi, dan bentuk lainnya yang terjadi di jalanan. 4. Kuratif-Rehabilitatif. Tempat menanamkan kembali dan memperkuat sikap, perilaku, dan fungsi sosial anak sejalan dengan norma masyarakat. 5. Pusat assessment dan rujukan. Tempat memahami masalah yang dihadapi anak jalanan dan menemukan penyaluran kepada lembaga-lembaga lain sebagai rujukan. 6. Fasilitator media perentara Sebagai media perantara antara anak jalanan dengan keluargalembaga lain, seperti panti, keluarga pengganti, dan lembaga pelayanan sosial lannya. Anak jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung kepada Rumah Singgah, melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah proses yang dijalaninya. 7. Pusat Informasi. Tempat informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tantang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan, dan lain-lain.

2.5. Hubungan Konsep Diri dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan

Istilah anak jalanan biasa digunakan oleh orang-orang yang melihat atau mengidentifikasikan kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan. Sekalipun demikian, kebanyakan dari mereka adalah para remaja yang kegiatannya menyatu dengan jalanan kota. Anak jalanan dalam menjalankan kegiatannya termotivasi oleh hasrat yang besar untuk memperoleh penghasilan sendiri. Selain karena motivasi internal dari diri mereka sendiri, tidak sedikit juga diantara mereka yang turun ke jalan dikarenakan faktor keluarga dan lingkungan. Gambar 2.1. Kerangka Alur Pikir Faktor anak turun ke jalan Anak Jalanan Faktor Sosioekonomi: a. Kemiskinan b. Pendidikan rendah c. Akibat urbanisasi Faktor Keluarga: a. Lari dari keluarga karena broken home b. Disharmoni keluarga c. Family violence d. Anak sebagai household commodity eksploitasi ekonomi e. Keterbatasan ruang dalam rumah f. Keluarga homeless Faktor Lingkungan: a. Pengaruh teman Ikut-ikutan teman b. Bermasalah dengan tetangga komunitas Konsep Diri Anjal Konsep Diri Positif : 1. Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah 2. Merasa setara dengan orang lain 3. Menerima pujian tanpa rasa malu 4. Menyadari setiap orang mempunyai berbagai keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat 5. Mampu memperbaiki dirinya Konsep Diri Negatif : 1. Peka pada kritik 2. Responsif sekali terhadap pujian 3. Krisis berlebihan 4. Cenderung meresa tidak disenangi orang lain, merasa tidak di perhatikan 5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi Penerimaan Diri Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri : 1. Pemahaman diri 2. Harapan yang realistis 3. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan 4. Tingkah laku sosial yang mendukung 5. Tidak adanya tekanan emosi yang berat 6. Sukses yang terjadi 7. Identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik 8. Cara seseorang melihat diri sendiri 9. Pendidikan yang baik pada masa kanak-kanak Penerimaan Diri Positif Penerimaan Diri Negatif Faktor-faktor lainnya: a. Korban penulikan b. Dampak program c. Korban bencana Kondisi atau keadaan dari keberadaan anak-anak jalanan dapat memberikan pengaruh negatif bagi perkembangan mereka sendiri. Situasi yang tidak baik akan sangat mempengaruhi nilai dalam diri anak jalanan yang seringkali akan menimbulkan suatu permasalahan-permasalahan dalam kepribadiannya. Apalagi anak-anak jalanan tersebut sebagian besar merupakan usia dan remaja yang berarti bahwa usia tersebut adalah usia untuk mencari jati diri. Keadaan dan latar belakang turunnya anak pergi ke jalan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional BKSN diantaranya yaitu karena kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Hal ini di jelaskan dalam tiga tingkatan, antara lain: pertama tingkat mikro, yaitu faktor yang berhubungan dengan keluarga, diantaranya karena disharmoni keluarga, broken home, family violence, persepsi orang tua bahwa anak sebagai household commodity, adanya keterbatasan ruang dalam rumah. Kedua pada tingkat messo, diantaranya karena faktor kemiskinan, dan urbanisasi. Serta yang ketiga yaitu pada tingkat makro yang mengacu pada rendahnya tingkat pendidikan karena biaya sekolah yang begitu tinggi serta pada bidang ekonomi dengan adanya peluang pekerjaan di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian. Dampak dari berbagai macam faktor-faktor tersebut di atas kemudian memunculkan keberadaan dari anak jalanan yang semakin hari kian meningkat jumlahnya. Dari bermacam-macam kondisi yang mendorong anak untuk turun ke jalan tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi bagaimana pembentukan dan perkembangan konsep diri dari anak jalanan tersebut. Keadaan dan latar belakang turunnya anak pergi ke jalan akan mempengaruhi bagaimana konsep diri dari anak jalanan tersebut. Dijelaskan oleh Mead dalam Burns, 2003:19 bahwa konsep diri sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri antara lain usia kematangan, penampilan diri, kepatutab seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas, dan cita-cita. Faktor lingkungan dan pola asuh orang tua juga seyogyanya dapat mempengaruhi dalam pembentukan dan perkembangan konsep diri seseorang Hurlock, 1980:235. Anak dengan sikap mental yang baik dan tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar yang membuat mereka bersikap negatif, hal tersebut dengan sendirinya akan membentuk konsep diri yang positif pada seseorang. Anak dengan pemikiran yang positf pada diri dan lingkungan mereka, maka akan terbentuk konsep diri yang positif, sebaliknya jika keadaan keluarga dan lingkungan yang tidak baik terjadi pada anak yang goyah kepribadiannya dan tidak labil yang pada umumnya terjadi pada anak-anak jalanan maka akan dapat terbentuk suatu konsep diri negatif dalam diri mereka. Seperti yang dijelaskan oleh William D Brooks dan Phillip Emmert dalam Rahmat, 2004:105, bahwa secara umum konsep diri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konsep diri positif dengan ciri-ciri antara lain yakin akan kemampuannya untuk mengatasi suatu masalah, merasa setara dengan orang lain artinya yaitu sederajat dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, serta mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkakan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha untuk merubahnya. Sedangkan konsep diri negatif memiliki ciri-ciri antara lain peka pada kritik yang ditunjukkan dengan rasa marah dan koreksi dipersepsi sebagai upaya untuk menjatuhkan harga diri dan bersikeras mempertahankan pendapat sekalipun logikanya salah. Kedua, responsif sekali terhadap pujian yang ditunjukkan dengan pura-pura menghindari pujian tersebut. Ketiga, hiperkrisis yang ditunjukkan dengan selalu mengeluh, mencela siapapun, tidak sanggup dan tidak pandai mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada orang lain. Keempat, cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan merasa tidak diperhatikan, sehingga bereaksi pada orang lain sebagia musuh dan tidak pernah melahirkan kehangatan dan keakraban dalam persabatan serta menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. Kelima, bersikap pesimis terhadap kompetisi. Menurut Calhoun dan Acocella 1995:73, bahwa dasar dari konsep diri yang positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif yaitu dengan mengenal dirinya dengan baik sekali Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocella, 1995:73. Begitu juga dengan yang terjadi pada anak-anak jalanan, karena berbagai kondisi dan situasi dari latar belakang turun ke jalan hingga masa anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan, selanjutnya pengambilan sikap positif atau negatif dalam menghadapi kehidupannya yang serba begitu keras tersebut akan ditentukan dan ditunjukkan oleh sikap mereka . Dari latar belakang anak turun ke jalan tersebut sebenarnya sudah menunjukkan suatu masalah hingga anak-anak memutuskan untuk hidup atau beraktivitas di jalan. Kemudian lamanya anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan akan menjadikan anak-anak sedikit demi sedikit melakukan penyesuaian dengan culture di jalanan, sedangkan culture jalanan tersebut tidak sedikit yang bersifat negatif, seperti halnya cara berbicara yang kasar, kebiasaan minum, free sex, narkoba, dan lain-lain. Untuk itu, pengambilan sikap positif atau negatif dari anak-anak jalanan menjadikan sangat penting artinya bagi pembentukan dan perkembangan konsep diri mereka sebagai tindak lanjut dari penerimaan diri anak jalanan. Penerimaan diri adalah suatu sikap yang menunjukkan rasa puas terhadap diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri Chaplin, 1999:450. Penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan mental, seseorang yang mempunyai tingkat penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif akan menerima dirinya dengan baik pula. Konsep diri merupakan cara seseorang melihat diri sendiri. Seseorang yang dapat melihat diri sendiri dengan benar, mengerti akan dirinya sendiri, mengetahui keterbatasan diri, serta menginginkan untuk menjadi individu yang lebih baik berarti memiliki konsep diri yang positif. konsep diri yang stabil akan menentukan bagaimana penerimaan diri seseorang, karena dengan memiliki konsep diri yang stabil dapat meningkatkan potensi yang terbaik dari diri sendiri dengan senantiasa belajar meningkatkan kemampuan diri, dan memanfaatkan kesempatan serta peluang yang ada. Hurlock 1974:434 mengemukakan ada beberapa kondisi yang mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang. Kondisi tersebut adalah pemahaman diri yaitu suatu persepsi atas diri sendiri yang ditandai oleh keaslian bukan kepura-puraan, harapan yang realistis yaitu ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis maka kesempatan untuk mencapai sukses tersebut akan muncul, bebas dari hambatan sosial, perilaku sosial yang mendukung, tidak adanya tekanan emosi yang berat, sukses yang terjadi, identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik, konsep diri yang stabil, serta pendidikan yang baik pada masa kanak- kanak. Konsep diri dan penerimaan diri terbentuk dari hasil belajar serta pengalaman-pengalaman yang dimulai sejak kecil hingga dewasa. Menurut Siswojo dalam Wrastari dan Handadari, 2003:23, pendidikan yang dialami seseorang memiliki pengaruh yang positif dalam penerimaan diri. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri seseorang Maka dari pengertian tersebit diatas, jika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka orang tersebut akan mempunyai gambaran positif mengenai dirinya, serta dapat memahami diri sendiri baik kelebihan maupun kekerangannya dan dapat menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya juga positif, dengan demikian akan lebih dapat menerima dirinya sendiri.

2. 6. Hipotesis Penelitian