Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang.

(1)

PENGARUH KONSEP DIRI

TERHADAP PENERIMAAN DIRI ANAK JALANAN

(STREET CHILDREN) DI RPSA KOTA SEMARANG

Skripsi

Disajikan sebagai salah satu syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi S1

Jurusan Psikologi

Oleh

Dyah Naila Husniyati NIM 1550402027

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada hari Jum’at tanggal 14 Agustus 2009.

Panitia:

Ketua Sekretaris

Drs. Hardjono, M.Pd Siti Nuzulia, S.Psi., M.Si

NIP. 130781006 NIP. 132307257

Penguji Utama,

Dra. Sri Maryati Deliana, M.Si NIP. 131125886

Penguji /Pembimbing I Penguji /Pembimbing II

Drs. Sugeng Haryadi, M.S Drs, Sugiyarta SL, M.Si


(3)

iii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini merupakan hasil karya penulis sendiri, bukan buatan orang lain, dan tidak menjiplak karya ilmiah orang lain, baik seluruhnya ataupun sebagian. Pendapat dan temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Agustus 2009

Dyah Naila Husniyati NIM.1550402027


(4)

iv

MOTTO DAN PERUNTUKAN

MOTTO

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Mujaadalah:11)

Langkah penting yang harus dilakukan seorang pelari dalam arena perlombaan bukan hanya saat ia memulai garis start, ataupun cukup dengan semangat yang menyala-nyala, namun yang terpenting yaitu bagaimana ia dapat terus bertahan dan berjuang dengan sekuat tenaga untuk mencapai tujuan akhir yaitu finish (anonim)

PERUNTUKAN

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada : Allah SWT Yang Maha Agung

Bapak dan Ibu tercinta atas keringat, doa, dan cinta kasih yang tiada mengenal batas ruang dan waktu

Kedua kakakku Any dan Asty, dan Keponakanku Danidzar


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hanya dengan Rahmat dan Karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang.”

Penyusunan skripsi ini mampu terselesaikan berkat kerjasama, bantuan, dan dorongan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

2. Dra. Tri Esti Budiningsih, Ketua Jurusan Psikologi yang telah memberikan dukungan, dorongan, dan bimbingan kepada penulis.

3. Drs. Sugeng Haryadi, M.S, dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini hingga dapat terselesaikan.

4. Drs. Sugiyarta S.L, M.Si., dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini hingga dapat terselesaikan.

5. Seluruh staf pengajar Jurusan Psikologi yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan di bidang Psikologi.

6. Bapak, Ibu, kakak-kakakku Any dan Asty, serta keponakanku Danidzar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan pelajaran hidup yang sangat berharga.


(6)

vi

7. Semua sahabat jurusan Psikologi khususnya Ogiee, Mbak Yanti, Titik, Diana, Wida, Cipoet dan Ririn atas semangat dan persahabatan yang diberikan. 8. Teman-teman seperjuangan bimbingan Fitri, Diana, Ratna, Aprilia, Lia, Sita,

Ayas, Lukita, dan teman-teman lainnya.

9. Nia, Ria, Cahya, Elok, terimakasih atas dukungan, semangat, dan bantuannya selama ini.

10.Teman-teman angkatan 2002 Psikologi Unnes, terimakasih atas kebersamaan dan semangatnya.

11.Teman-teman di jalan, terutama di Siranda dan Johar yang telah banyak membantu penulis, Ester (Atun), Ari, Yanto, Melan, Resa, Indah, Dani, Wulan, Naim, terimakasih.

12.Septi, mbak Ika, Mas Dwi dan mas Wahid di RPSA Gratama, terimakasih banyak atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya.

13.Pihak RPSA Anak Bangsa dan yayasan Setara terutama mas BDN, terimakasih atas bantuan dan pencerahannya.

14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan masukan bagi pembaca.

Semarang, Agustus 2009


(7)

vii

ABSTRAK

Husniyati, Dyah Naila. 2009. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang. Skripsi, Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing: Drs. Sugeng Haryadi, M.S dan Drs. Sugiyarta SL, M.Si.

Kata kunci : Konsep Diri, Penerimaan Diri, Anak Jalanan

Anak jalanan memiliki permasalahan yang kompleks. Latar belakang yang menjadikan anak turun ke jalan serta kehidupannya di jalan menjadi sangat penting artinya bagi pembentukan dan perkembangan psikologis anak terutama dalam pembentukan konsep diri yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana penerimaan diri anak jalanan itu sendiri. Penerimaan diri erat kaitannya dengan konsep diri yang dimiliki seseorang. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain dan bahwa konsep diri merupakan sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya Oleh karena itu penulis ingin mengetahui hubungan antara konsep diri dengan penerimaan diri anak jalanan (street children) di RPSA Kota Semarang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri, dengan penerimaan diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang. Penelitian ini melibatkan 40 anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang sebagai sampel penelitian yang diambil dengan menggunakan teknik acidental sampling. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuatitatif dengan pendekatan korelasi. Pengambilan data ini dilakukan dengan menggunakan skala konsep diri dan skala penerimaan diri. Pada skala konsep diri dihasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,907 dan dari 50 item didapat 43 item yang valid dengan nilai validitas item 0,321 s.d 0,732. Pada skala penerimaan diri dihasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,872 dan dari 36 item didapat 32 item yang valid dengan nilai validitas item 0,329 s.d 0,632. Analisis data menggunakan teknik korelasi Product Moment dengan bantuan program SPSS 12.0 for windows.

Hasil analisis data yang diperoleh menujukkan ada hubungan yang signifikan dari konsep diri dengan penerimaan diri dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,599 dengan Taraf signifikansi 5% dan p = 0,000 (p < 0,05). Tingkat konsep diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang berada dalam kategori tinggi (50%), penerimaan diri dalam kategori sedang (50%).

Oleh karena itu saran yang diberikan kepada Bagi pihak RPSA supaya dapat lebih meningkatkan pelayanan-pelayanan terutama mengenai pelayanan bimbingan dan pengasuhan atau pendampingan yang bersifat psikologis dan sosial. Bagi anak jalanan supaya lebih dapat mengembangkan diri, tentunya dengan adanya dukungan, baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah.


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ...iii

MOTTO DAN PERUNTUKAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 15

1.3 Penegasan Istilah ... 16

1.4 Tujuan penelitian ... 17

1.5 Manfaat Penelitian ... 17

1.6 Sistematika Penulisan Skripsi ... 18

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Penerimaan Diri ... 19

2.1.1 Pengertian Penerimaan Diri ... 19


(9)

ix

2.1.3 Ciri-Ciri Orang Yang Menerima Diri Sendiri ... 25

2.1.4 Pengaruh Penerimaan Diri...27

2.2 Konsep Diri ... 28

2.2.1 Pengertian Konsep Diri ... 29

2.2.2 Ciri-Ciri Konsep Diri ... 30

2.2.3 Komponen Konsep Diri ... 33

2.2.4 Aspek-Aspek Konsep Diri ... 34

2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan dan Perkembangan Konsep Diri...36

2.3 Anak Jalanan ... 41

2.3.1 Pengertian Anak Jalanan ... 41

2.3.2 Jenis dan Kategori Anak Jalanan ... 42

2.3.3 Pekerjaan Anak ... 46

2.3.4 Karakteristik Anak Jalanan...47

2.3.5 Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan...49

2.4 Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) ... 51

2.3.1 Pengertian Rumah Perlindungan Sosial Anak (Rumah Singgah)...51

2.3.2 Tujuan Rumah Perlindungan Sosial Anak...51

2.3.3 Fungsi Rumah Perlindungan Sosial Anak...52

2.5 Hubungan Konsep Diri Dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan...53


(10)

x

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 62

3.2 Variabel Penelitian ... 62

3.2.1 Identifikasi Variabel ... 62

3.2.2 Definisi operasional ... 63

3.2.3 Hubungan antar variabel ... 64

3.3 Populasi Dan Sampel ... 64

3.3.1 Populasi ... 64

3.3.2 Sampel ... 65

3.4 Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 66

3.5 Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ... 69

3.5.1 Validitas ... 69

3.5.2 Reliabilitas ... 70

3.6 Teknik Analisis Data ... 71

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Penelitian ... 73

4.4.1 Orientasi Kancah Penelitian... 73

4.4.2 Proses perijinan ... 75

4.4.3 Penentuan sampel ... 76

4.2 Pelaksanaan Penelitian... 76

4.3 Prosedur Pengumpulan Data ... 77

4.3.1 Validitas...77


(11)

xi

4.4 Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian………...80

4.4.1 Gambaran Penerimaan Diri...82

4.4.2 Gambaran Konsep Diri...90

4.4.3 Uji Asumsi...97

4.4.3.1 Uji Normalitas...97

4.4.3.2 Uji Linearitas...98

4.4.3.3 Uji Hipotesis...98

4.4.3.4 Tabel Model Summary...100

4.5 Pembahasan...100

4.5.1 Penerimaan Diri Anak Jalanan...100

4.5.2 Konsep Diri Anak Jalanan...103

4.5.3 Pengaruh Konsep Diri Dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan...105

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 111

5.2 Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 114


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Data Statistik Anak Jalanan di Indonesia... 2

Tabel 2.1 Ciri-Ciri Anak Jalanan………...……….. 47

Tabel 3.1 Blue Print Skala Konsep Diri... 67

Tabel 3.2 Blue Print Skala Penerimaan Diri………...………… 68

Tabel 4.1 Sebaran item yang tidak valid pada skala konsep diri... 78

Tabel 4.2 Sebaran item yang tidak valid pada skala penerimaan diri ... 79

Tabel 4.3 Interpretasi Reliabilitas... 80

Tabel 4.4 Deskripsi Data Penelitian………. 81

Tabel 4.5 Penggolongan Kriteria Analisis... 81

Tabel 4.6 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri... 83

Tabel 4.7 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Penerimaan Diri... 84

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri... 85

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri... 86

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri... 88

Tabel 4.11 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Konsep Diri... 90

Tabel 4.12 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Konsep Diri... 92

Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Diri... 93

Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Penilaian Tentang Diri... 94

Tabel 4.15 Distribusi Frekuensi Pengharapan... 96

Tabel 4.16 Linearitas….……….. 98


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Alur Pikir………... 54

Gambar 3.1 Hubungan antar variabel konsep diri (X) dengan penerimaan diri (Y)... 64

Gambar 4.1 Grafik Tingkat Penerimaan Diri Anak Jalanan………. 84

Gambar 4.2 Grafik Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri………. 86

Gambar 4.3 Grafik Indikator Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri…… 88

Gambar 4.4 Grafik Indikator Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri... 89

Gambar 4.5 Grafik Tingkat Konsep Diri Anak Jalanan……… 92

Gambar 4.6 Grafik Indikator Pengetahuan Tentang Diri...………. 94

Gambar 4.7 Grafik Indikator Penilaian Tentang Diri...………. 95


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Skala Konsep Diri.………. 119

Skala Penerimaan Diri…....……….... 122

Lampiran 2: Tabulasi data skala Konsep Diri……...………. 124

Tabulasi data skala Penerimaan Diri...………...………. 127

Lampiran 3: Validitas skala Konsep Diri…..………. 129

Reliabilitas Konsep Diri…..………... 133

Validitas skala Penerimaan Diri………. 134

Reliabilitas Penerimaan Diri…….………... 137

Statistik deskriptif variabel Konsep Diri ……….…….. 138

Statistik deskriptif variabel Penerimaan Diri ……….... 139

Lampiran 4: Korelasi Variabel Konsep Diri dengan Penerimaan Diri... 142

Uji Linearitas variabel Konsep Diri dengan Penerimaan Diri... 144

Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test…… 144

Lampiran 5: Data Anak Jalanan……….. 145 Lampiran 6: Surat Permohonan Ijin Penelitian………...


(15)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Negara Indonesia sejak lama telah memiliki permasalahan mengenai anak jalanan, namun pada puncaknya setelah krisis moneter yang berawal pada tahun 1997 yang meliputi semua bidang dan berlanjut dengan krisis ekonomi, kemudian meluas menjadi krisis multidimensi, mengakibatkan semakin banyak anak-anak usia sekolah terkena dampaknya. Banyak diantara mereka yang tidak bersekolah lagi, karena orang tua mereka terkena pemutusan hubungan kerja. Secara ideal anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara riil, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan.

Meskipun krisis ekonomi bukan satu-satunya penyebab terbengakalainya pendidikan usia sekolah, namun ada korelasi kuat semakin luasnya krisis ekonomi diikuti pula oleh semakin banyaknya anak-anak yang tidak berada di ruang sekolah lagi. Hasil dari penelitian Mia Hapsari (2008:77) menunjukkan bahwa faktor tertinggi yang melatar belakangi anak jalanan Semarang memiliki minat sekolah yaitu pengalaman dini sekolah dan pengaruh orang tua. Adanya kesiapan sosial, kesiapan fisik dan kesiapan intelektul yang dimiliki oleh anak jalanan membuat mereka memiliki minat tinggi pada sekolah. Oleh sebab itu berdasarkan


(16)

dari penelitian di atas, pengaruh dari orang tua sangat penting artinya bagi kelangsungan minat sekolah pada anak jalanan. Saat ini pada jam-jam sekolah banyak terdapat anak-anak usia sekolah yang berada di jalanan. Ini meyakinkan kita semua bahwa kehadiran anak-anak di jalanan meningkat tajam. Menurut BPS Republik Indonesia, secara nasional pada tahun 2002 terdapat 6.686.936 anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan yang potensial terlantar 10.322.674. Akibatnya terdapat 2-8 juta anak yang bekerja, diantaranya pada sektor berbahaya seperti perdagangan narkoba, sektor alas kaki, dan pelacuran. Lebih parah lagi, sekitar 36.500.000 anak Indonesia masih dibawah garis kemiskinan (Huraerah, 2007:21-22). Ini berbanding searah dengan jumlah orang miskin pada akhir 2003 yang bertambah 4 juta orang atau 18% penduduk Indonesia karena semakin tingginya tingkat pengangguran.

Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Keberadaannya tidak lagi terbatas pada kota-kota besar saja, melainkan sudah mulai bermunculan di kota-kota kecil. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak tahun 1997 diyakini banyak pihak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah anak jalanan di Indonesia. Sejak tahun 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85%.

Tabel 1.1. Data Statistik Anak Jalanan di Indonesia

TAHUN JUMLAH ANAK JALANAN (JUTA)

1995 2,07

1998 2,8


(17)

TAHUN JUMLAH ANAK JALANAN (JUTA)

2003 8

Sumber: SUSENAS BPS RI

Semarang yang merupakan Ibukota propinsi Jawa Tengah juga tidak dapat dihindarkan dari fenomena anak jalanan. Menurut data yang terkumpul pada tahun 2004 oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah terdapat 7.983 anak jalanan. Menurut data terakhir Penyandang Masalah Sosial (PMS) khususnya pada anak jalanan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 menunjukkan bahwa populasi anak jalanan mencapai 10.025 yang terdiri dari 8.958 laki-laki dan 1.067 perempuan, 60% dari mereka adalah anak putus sekolah dan 80% anak jalanan masih tinggal dengan orang tua mereka. Peningkatan anak jalanan sebelum masa krisis mencapai 15%, dan angka tersebut meningkat hingga 100% dalam masa krisis.

Dampak dari hal tersebut di atas, perampasan terhadap hak-hak anak tanpa disadari telah terjadi secara besar-besaran. Anak-anak yang tengah menikmati pendidikan di sekolah-sekolah formal mulai terancam dan bahkan banyak yang menjadi korban (Drop Out). Sehingga kesempatan untuk bermain dan tumbuh kembang secara wajar sudah mulai hilang. Kondisi tersebut merupakan akibat dari ketidakberdayaan para orang tua untuk melindungi mereka, sehingga anak-anak mereka dijadikan tumpuan harapan keluarga untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga.

Salah satu masalah krusial dari dampak kemiskinan adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang berada di jalanan, diantara mereka tidak sedikit anak-anak


(18)

yang berumur antara 4 sampai dengan 18 tahun berada di jalanan untuk hidup bebas kemudian mencari pendapatan dan lari dari keluarga/rumah atau untuk mencari tambahan pendapatan keluarga dengan menjadi pengamen, pemulung, pengasong, pengemis, berjualan koran, menyemir sepatu, juru parkir, calo angkutan umum, dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi tersebut cenderung akan dapat merusak proses pendewasaan anak yang kemudian berujung pada perilaku negatif, baik disaat kanak-kanak, remaja, maupun dewasa kelak.

Keluarga merupakan pemberi informasi pertama dan terpenting, baik dari bantuan verbal maupun non verbal yang diberikan pada individu dalam hal ini anak agar ia merasa diperhatikan dan dicintai. Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga yang keras dan penuh permasalahan, secara otomatis akan mempengaruhi kejiwaan, sikap dan perilaku anak tersebut, terlebih anak hidup dalam keluarga yang memiliki beban perekonomian yang berat, hal ini akan membentuk perilaku anak untuk senantiasa bertindak sendiri agar dapat terpenuhi kebutuhan ekonominya.

Beberapa individu terkadang sangat sulit untuk menerima kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima kelebihannya. Individu yang mempunyai penerimaaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan dirinya, malu, rendah diri akan keadaannya, merasa tidak berarti dan merasa iri terhadap keadaan orang lain. Keadaan yang demikian, bila terus menerus dialami akan membuat hidup anak-anak jalanan menjadi tidak bahagia akan kehidupannya.


(19)

Ditinjau dari umurnya, sebagian besar anak jalanan berumur antara 5-18 tahun. Rata-rata anak jalanan hidup dalam suatu kelompok yang terbentuk karena kesamaan asal daerah, kesamaan jenis pekerjaan, kesamaan nasib, kesamaan kesenangan dan lain sebagainya. Dalam kelompoknya, mereka mengembangkan berbagai cara / strategi agar dapat terus hidup di jalanan. Tidak jarang juga mereka menciptakan suatu sub kultur yang diadopsi dari kultur jalanan. Situasi sosial tersebut bersifat dinamis dan rentan terhadap pengaruh dari luar. Krisis sekarang ini akan sangat mempengaruhi situasi di jalanan secara luar biasa. Jumlah kaum marginal dan anak-anak jalanan meningkat pesat padahal peluang ekonomi menipis, sementara persaingan semakin memuncak. Anak-anak juga harus memperpanjang waktu di jalanan untuk mempertahankan pendapatan yang berarti juga memperpanjang resiko. Kejahatan jalanan meningkat dimana anak jalanan bisa menjadi korban atau pelakunya sendiri, baik secara individual, kelompok, atau diperalat oleh preman.

Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa jumlah anak jalanan di Semarang semakain lama makin meningkat. Sampai saat ini belum ada data akurat yang menunjukkan persisnya jumlah anak jalanan di kota Semarang. Dari keterangan kantor Dinas Sosial Kotamadya Semarang, pada tahun 1996 jumlahnya diperkirakan hanya 500 anak, akan tetapi sampai pertengahan tahun 1997, jumlah tersebut telah menjadi 700 anak yang tersebar di berbagai pelosok kota (Nurharjadmo, 1999:18). Data yang dihimpun oleh sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) di Semarang tahun 2006 terdapat 898 anak jalanan yang dibina di empat RPSA dan


(20)

dua LSM. Dari jumlah tersebut sebanyak 747 anak jalanan masih memiliki orang tua. Data tersebut menunjukkan bahwa 500 anak masih aktif di jalan, 331 anak terkadang turun ke jalan, dan 39 anak tidak lagi turun ke jalan (Kompas, 12 April 2007). Data terakhir untuk kota Semarang pada tahun 2008, jumlah anak jalanan mencapai kurang lebih 830 anak (data penjangkauan 4 RPSA di Semarang).

Keberadaan dan berkembangnya jumlah anak jalanan merupakan persoalan yang perlu menjadi perhatian. Hal ini mengingat anak-anak melakukan kegiatan / tinggal di jalanan yang senantiasa berhadapan dengan banyak resiko dan situasi buruk. Lokasi paling menonjol yang digunakan tempat kegiatan anak jalanan adalah di persimpangan jalan atau di sekitar traffic light. Oleh karena itu banyak juga diantara mereka yang mengalami kecelakaan di jalan raya ketika sedang bekerja (Hapsari, 2007:60).

Seperti yang pernah diceritakan juga oleh seorang Suster pimpinan dari RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) “Anak Bangsa” yang mengatakan bahwa banyak anak jalanan yang terancam nyawanya oleh tindak kriminal pelaku kejahatan, korban tabrakan di jalan, serta korban pembunuhan dari anak jalanan lain ataupun tindak kekerasan dari preman atau “penjaga” anak jalanan itu sendiri. Mereka turun ke jalan sebagian besar dikarenakan faktor keluarga dan ekonomi.

Permasalahan anak jalanan semakin meluas ketika pada suatu waktu ada seseorang yang berniat baik dengan memberi makanan atau uang, anak jalanan bereaksi dengan buruk, bisa dengan merampas, mencuri, menjambret serta tindakan kekerasan lain yang dapat membahayakan orang lain. Inilah yang


(21)

menjadikan banyak keresahan pada sebagian masyarakat mengenai problematika dan dilema pada anak jalanan.

Anak-anak yang bekerja di usia dini biasanya berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan yang terabaikan. Sesungguhnya hal tersebut bukannya akan mengentaskan kemiskinan tetapi malah akan melestarikan kemiskinan. Karena anak yang bekerja tersebut akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaaan yang tidak terlatih dan dengan upah yang sangat buruk. Selain itu, mereka juga akan tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu suatu lingkungan yang tidak semestinya ditujukan pada anak yang sedang dalam proses tumbuh kembang, karena hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana kepribadian mereka selanjutnya.

Dalam sebuah Jurnal Perempuan menyebutkan bahwa seorang anak akhirnya memutuskan hidup di jalanan bukan semata karena faktor kemiskinan. Dan sebuah organisasi non profit di Jakarta bahkan pernah mewawancarai mereka dan hasilnya 80% anak memutuskan pergi dari rumah lantaran salah perlakuan (abuse) di dalam rumah yaitu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami, keluarga yang tidak harmonis, perpecahan dalam keluarga, degradasi nilai-nilai sosial, moral dan spiritual dalam keluarga, komunikasi yang buruk antar anggota keluarga, minimnya perhatian dari orang tua kepada anaknya, serta pola asuh yang tidak konsisten dan membingungkan dari orang tua mereka. Hanya 20% yang mengaku punya alasan ekonomi (Sitorus, 2007:5). Seperti yang dikatakan Permadi dan Ardhianie (1999:17) bahwa secara sederhana dapat diklasifikasikan penyebab seorang anak bekerja dan hidup di jalan, yaitu 80%


(22)

akibat ada masalah di dalam rumah orang tua; 16% akibat faktor ekonomi; 2% akibat ada masalah dengan teman di lingkungan rumah; 2% akibat pengaruh teman.

Penelitian dari Surjo Dharmono dan Wahyadi Darmabrata (1999:51), menunjukkan bahwa faktor lingkungan tempat tinggal, faktor lamanya anak telah menjalani kehidupan jalanan, dan faktor relasi atau kekerapan anak bertemu dengan orang tuanya menjadi faktor psikososial yang memperlihatkan hubungan bermakna dengan berkembangnya perilaku antisosial pada keluarga anak jalanan di Jakarta.

Meski begitu, bagi anak-anak yang belum mampu berpikir jauh ke depan, jalanan menjadi tempat yang mungkin lebih menjanjikan, bebas dari aturan, dan berpikir hanya untuk hari ini. Hal itu yang menyebabkan banyak anak jalanan menghindari bangku sekolah dan lebih senang bermain dan mengais rejeki di jalanan. Tak jarang mereka dikoordinir oleh ‘penjaga’ mereka dan dieksploitasi. Karena jika dilihat dari segi mental, lingkungan yang keras dapat menyebabkan mereka menjadi agresif dan anti sosial dan memiliki penerimaan diri negatif.

Penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Sikap tersebut ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihan sekaligus menerima kelemahan-kelemahan tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri Handayani, Ratnawati dan Helmi, 1998:47-48).


(23)

Pada umumnya, kebanyakan dari anak jalanan kurang dapat menerima orang lain pada lingkungan mereka, ini terlihat dari ketidaktertarikan mereka pada awalnya untuk mengenal orang lain di luar lingkungan atau komunitasnya, ketika diajak berkenalan pada awalnya mereka menunjukkan sikap seperti tidak membutuhkan dan sulit menerima orang lain. Selain itu orang yang memiliki penerimaan diri pastinya akan memandang dirinya disenangi, mampu, berharga dan diterima oleh orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak banyak dari anak jalanan yang merasa dirinya disenangi, mampu, berharga dan diterima oleh orang lain. Kemudian orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain serta akan berpikiran positif mengenai orang lain, tetapi mayoritas anak jalanan memiliki sikap yang berbeda mengenai hal tersebut, mereka lebih menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu salah satunya dengan kurang dapat menunjukkan empati terhadap orang lain dan sepertinya mereka merasa kurang aman untuk bersama dan berhubungan dengan orang lain.

Hasil penelitian oleh Rina Oktaviana (2004:8) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan diri terhadap ciri-ciri perkembangan seksual sekunder dengan konsep diri pada remaja putri SLTPN 10 Yogyakarta. Kemudian hasil penelitian dari Brian L. Thompson dan Jennifer A. Waltz (2007:119) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara mindfulness, self-esteem, dan unconditional sef-acceptance.

Penelitian lain oleh Muryatinah Mulyo Handayani, Sofia Ratnawati dan Avin Fadilla Helmi (1998:47), menunjukkan bahwa pelatihan pengenalan diri efektif untuk meningkatkan penerimaan diri dan harga diri. Seseorang dengan


(24)

konsep diri positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang begitu berbeda dengan dirinya, orang dapat menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya akan positif (Handayani, Ratnawati dan Helmi, 1998:48).

Dari hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan pada 15 anak jalanan yang berada di Pasar Bulu, pasar Johar, perempatan POLDA, serta anak-anak jalanan yang pernah tinggal di RPSA Anak Bangsa dan Gratama menunjukkan bahwa terdapat sembilan anak yang memiliki penerimaan diri negatif dan enam sisanya memiliki penerimaan diri yang cukup baik. Banyak diantara mereka yang acuh, baik acuh terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Lingkungan sosial yang tidak mendukung memicu munculnya hambatan-hambatan dari lingkungan menyebabkan mereka memiliki penerimaan diri yang rendah, bahkan sebagian besar penerimaan diri negatif ini dibentuk karena lingkungan dan latar belakang keluarga tidak harmonis yang menyebabkan adanya tekanan emosi yang berat akan mengurangi pemahaman dan cara mereka melihat diri sendiri . Ini berarti menandakan bahwa penerimaan diri anak jalanan tergolong rendah. Sebagian besar dari mereka pada awalnya sebenarnya merasa puas menjadi anak jalanan, tetapi setelah lama bercerita mereka merasa bahwa kepuasan mereka hanya bersifat fisik, karena dengan menjadi anak jalanan mereka dapat dengan cepat dan mudah mendapatkan uang sendiri dari hasil mengamen, tetapi untuk mendapatkan uang bagi kepentingan pendidikan demi perbaikan kehidupannya mereka enggan melakukannya. Hal itu merupakan interpretasi dari kurangnya menghargai dan bertanggung jawab terhadap diri


(25)

sendiri. Selain itu jika mereka puas terhadap diri sendiri, belum tentu mereka puas terhadap hubungan dengan orang lain (keluarga, teman dan masyarakat), sehingga dapat dikatakan secara psikis mereka tidak puas terhadap diri sendiri.

Latar belakang keluarga sangat berkaitan erat dengan perginya anak ke jalan. Adapun faktor terbesar penyebab anak pergi ke jalan adalah faktor kemiskinan dan faktor disharmoni keluarga. Kedua faktor tersebut adakalanya berkaitan satu dengan yang lain, yakni faktor disharmoni muncul sebagai akibat dari faktor kemiskinan keluarga atau sebaliknya. Banyak diantara mereka yang berasal dari keluarga yang broken home (orang tua bercerai, orang tua tunggal, orang tua tiri karena ibu atau bapak menikah lagi), serta banyak juga diantara mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh orang tua ataupun anggota keluarga lain seperti yang dialami oleh Jopan, Sardi dan puluhan baahkan ratusan anak jalanan lain di Semarang. Ada pula anak yang dari keluarga mampu tetapi terjadi kondisi disharmoni dalam keluarga yang tidak ditangani serius oleh orang tua dan menyebabkan anak tidak betah tinggal di rumah sehingga mereka mencari kompensasi di luar rumah, salah satunya yaitu dengan pergi ke jalan.

Coopersmith dalam Pudjijogyanti (1991:30) menyatakan bahwa kondisi keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada anak. Suasana keluarga yang tidak menyenangkan, mengakibatkan anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya. Semakin banyak anggota keluarga, anak akan semakin cakap dan makin cepat berbuat, baik secara verbal maupun non verbal. Kemudian semakin lama,


(26)

anak semakin tidak puas dengan apa yang dapat diberikan oleh keluarga, sehingga ia akan pergi jauh dari keluarganya untuk mendapatkan yang dibutuhkannya (Sujanto, 1988:72-73). Motif anak turun ke jalan dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Peran dan fungsi orang tua sangatlah menentukan, keluarga yang tidak bahagia (disharmoni) akan mengakibatkan jumlah anak turun ke jalan semakin besar.

Hasil penelitian oleh Salmani – Barough N, Sharifi – Neiestanak ND, Kazemnejad dan Pashaeypoor (2003:6), menunjukkan bahwa half of the subjects (50%) had very negative concept of them selves and only 2,2% of them had a very positive concept levels. Therefore the street children had a very low self-concept level. Penelitian oleh MB Ubangha dan RE Oputa (2007:1), menyatakan bahwa similarities in the self-concept of all classes of children investigated irrespective of gender. The children differed in academic orientation and vocational interests.

Di bidang pendidikan, banyak diantara mereka yang putus sekolah pada waktu SD, bahkan ada juga yang tidak pernah merasakan bangku sekolah. Seperti penuturan Adi dan Jopan yang peneliti temui di RPSA Anak Bangsa, mereka dulu pernah putus sekolah tetapi kemudian sekarang mereka mendapatkan beasiswa dari yayasan atau pihak RPSA untuk melanjutkan sekolahnya di SMP. Mereka mengatakan sebenarnya mereka merasa malu pada teman-teman sekolahnya hingga mereka sempat berhenti mengamen, tapi karena lingkungan yang mendukungnya untuk menjadi pengamen di jalan dan di bus serta alasan ikut-ikutan, tidak lama mereka turun ke jalan lagi. Terkadang emosi mereka juga


(27)

tinggi karena di sekolah ataupun di jalan mereka sering kali berkelahi untuk suatu hal kecil dan sering bolos sekolah karena malas ataupun karena ingin ngamen. Di jalan mereka merasa itu adalah tempat mereka, banyak teman, dapat uang dan tidak begitu memikirkan keluarga. Mereka sebenarnya sadar akan resiko-resiko yang mereka hadapi ketika mereka mengamen di jalan, tetapi mereka lebih sering mengacuhkannya. Sekarang, karena mereka mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah, jadi pihak RPSA mengawasi dan mendampingi mereka secara ketat yang dilakukan oleh para pekerja sosial di RPSA tersebut agar mereka tidak lagi berada di jalan. Karena jika tidak didampingi secara ketat mereka akan dapat turun ke jalan dengan mudah. Karena dengan aktivitas keseharian sebagai anak jalanan ini berarti bahwa mereka tidak dapat mengembangkan diri mereka sendiri untuk masa depannya.

Adanya pelayanan-pelayanan yang berupa bimbingan sosial, konsultasi serta pembinaan ketrampilan yang dilakukan pada RPSA sedikit demi sedikit akan merubah sikap mereka terhadap suatu hal. Seperti yang dikemukakan Septi dan Ika, pekerja sosial di RPSA Gratama, mereka mengatakan bahwa memang ada perbedaan antara anak jalanan yang mengikuti pelayanan-pelayanan di RPSA dengan anak jalanan yang tidak pernah mengikutinya. Kira-kira delapan puluh persen anak jalanan yang mengikuti bimbingan sosial menjadi lebih tahu akan etika seperti unggah ungguh dan lebih sopan, selain itu dari segi agama mereka juga ada peningkatan. Pada umumnya mereka juga lebih terbuka terhadap orang lain.


(28)

Perkembangan psikologis dan sosial seseorang bermula dari sejak ia lahir hingga meninggal. Selama proses tumbuh kembang tersebut, tiap individu juga pasti akan mempelajari berbagai macam pengalaman dalam masa kehidupannya, baik itu kehidupan pribadi, keluarga, ataupun kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Semua itu ada dan akan semakin berkembang karena masing-masing individu memiliki tahapan pembelajaran dalam setiap proses kehidupannya. Hal tersebut diantaranya yang dapat membentuk kepribadiannya, terutama konsep diri serta penerimaan diri.

Konsep-Aku yang diartikan sebagai gambaran mental yang dimiliki oleh seseorang mengenai pribadi dirinya (Surachmad, 1977:37). Inspirasi yang sejalan dengan harapan individu akan membantu untuk dapat berkembang sebagai manusia dewasa. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan faktor yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berubungan dengan orang lain.

Masa remaja merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan konsep diri, sebab masa remaja merupakan masa yang penuh dengan tekanan yang memungkinkan individu menemukan identitas dirinya. Selain itu, masa remaja juga merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Secara psiskis, pada seorang remaja akan timbul perasaan aneh, ganjil, yang kemudian hal ini juga dapat menimbulkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri. Perasaan tidak puas tersebut dikarenakan kurangnya penerimaan diri pada remaja yang dipengaruhi oleh konsep diri negatif pada seseorang.


(29)

Latar belakang keluarga, peran perilaku orang tua, hubungan keluarga, pengaruh teman-teman sebaya pada anak jalanan, serta andil masyarakat untuk memberikan perhatian, kasih sayang, serta ruang bagi anak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya dapat menjadi jalan keluar yang positif bagi anak agar dapat menerima dirinya sebagaimana adanya sehingga anak tersebut memiliki ruang, tempat, serta kehidupan yang layak dan lebih baik. Maka konsep diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan individu. Hal ini dikarenakan seseorang yang memiliki kehidupan di lingkungan keluarga dan sosial yang baik, maka akan membentuk individu yang mengetahui pandangan dan penilaian tentang diri sendiri serta mengetahui harapan apa yang ingin dicapainya hingga ia akan merasa senang, puas secara fisik dan psikis, serta dapat menyadari dan menerima keterbatasan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh konsep diri terhaap penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang.

1.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang ?

2. Bagaimanakah gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang ?


(30)

3. Apakah ada pengaruhnkonsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang ?

1.

3. Penegasan Istilah

Untuk memberikan kejelasan arti dan sekaligus menghindari kesalahan pengertian dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberikan penegasan beberapa istilah, yaitu:

1. Konsep Diri

Konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang diri sendiri. Individu mempersepsi diri tentang keadaan psikologis, sosial, dan fisiknya (Rakhmat, 2004:99).

2. Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan ungkapan perasaan senang dan puas terhadap kenyataan diri sendiri. Penerimaan diri sendiri tersebut pada dasarnya merupakan perwujudan dari rasa puas, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kemampuan yang ada pada dirinya. Disamping itu, individu yang menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya (Chaplin, 1999: 450).


(31)

1.

4. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang.

2. Untuk mengetahui gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang.

3. Untuk mengetahui pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang.

1.

5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk menambah kajian pengetahuan dan pengembangan di bidang ilmu psikologi, khususnya dalam konsentrasi psikologi sosial.

2. Manfaat Praktis

Memberikan gambaran latar belakang secara mendalam khususnya mengenai penerimaan diri dan konsep diri pada anak jalanan ditinjau dari psiologi sosial.


(32)

1.

6. Sistematika Skripsi

Sistematika skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi, dan bagian akhir.

Bagian Pendahuluan berisi halaman judul, pengesahan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel daftar lampiran.

Bagian Isi terdiri dari lima bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritis dan hipotesis, metode penelitian dan hasil penelitian serta penutup.

Untuk memberikan gambaran menyeluruh materi secara garis besar dalam penelitian, dibawah ini diuraikan sistematika skripsi sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II Kajian Teoretis, bab ini berisi tentang konsep diri, penerimaan diri, anak jalanan, Rumah Perlindungan Sosial Anak, hubungan konsep diri dan penerimaan diri dan hipotesis.

Bab III, Metode Penelitian, berisi tentang variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, uji validitas dan uji reliabilitas, dan teknik analisis data.

Bab IV Laporan hasil penelitian dan pembahasan Bab V Penutup, yang berisi simpulan dan saran


(33)

19

BAB 2

KAJIAN TEORI

2. 1. Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan mental. Seseorang yang memilki penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya disenangi, mampu berharga dan diterima oleh orang lain, sedangkan orang yang menolak dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu membangun serta melestarikan hubungan baik dengan orang lain. (Supratiknya, 1995, 85-86).

2. 1. 1. Pengertian Penerimaan Diri

Menurut Chaplin (1999: 450) penerimaan diri merupakan sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Orang yang mampu menerima dirinya, mampu pula menerima orang lain walaupun keadaannya berbeda. Penerimaan diri mempunyai pandangan positif tentang dirinya serta menerima dan menyadari bahwa manusia mempunyai keterbatasan dan kelemahan pada dirinya.

Sulaeman (1995:20) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima dirinya memiliki penghargaan yang tinggi tentang sumber-sumber yang ada pada dirinyadigabung dengan penghargaan tentang kebergunaan dirinya, percaya akan norma-norma serta keyakinan-keyakinan sendiri, dan juga mempunyai pandangan


(34)

realistis tentang keterbatasan-keterbatasan tanpa menimbulkan tindakan penolakan diri. Berarti, penerimaan diri adalah kesadaran individu untuk menerima, mengenal, dan menghargai potensi-potensi dirinya.

Supratiknya (1995:84-85) mendefinisikan penerimaan diri dengan memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau lawannya, tidak besikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri ini berkaitan dengan tiga hal, antara lain:

1. Kerelaan kita untuk membuka atau mengungkapakan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain. Penerimaan diri dibangun lewat pemahaman kita bahwa orang lain menerima kita. Jika orang lain memandang kita berharga, maka kita pun akan memandang diri kita berharga.

2. Kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri sendiri. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh orang lain. Agar kita tumbuh dan berkembang secara psikologis, maka kita harus menerima diri kita. 3. Penerimaan kita terhadap orang lain.

Orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain. Bila kita berpikiran positif tentang diri sendiri, maka kita pun akan berpikir positif tentang orang lain.

Penerimaan diri menurut Hurlock (1974:434) adalah tingkat dimana individu benar-benar mempertimbangkan karakteristik pribadinya dan mau hidup dengan karakteristik tersebut. Orang yang menerima dirinya memiliki penilaian realistik tentang potensi-potensi dan harga dirinya, bertanggung jawab terhadap


(35)

norma-norma yang ada dan juga berpikir realistis tentang kekurangan-kekurangan dirinya tanpa menyalahkan diri sendiri atas kekurangan tersebut. Penerimaan diri erat kaitannya dengan konsep diri yang dimiliki seseorang. Semakin positif konsep dirinya maka akan semakin tinggi penerimaan dirinya, begitu juga sebaliknya, jika konsep diri yang dimiliki seseorang rendah maka akan rendah penerimaan dirinya. Penerimaan diri lebih mengarah pada kerendahan hati dan kedermawanan seseorang. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya (Calhoun dan Acocella, 1995:73).

Dari beberapa definisi diatas, jadi yang dimaksud dengan penerimaan diri adalah sikap individu yang mencerminkan perasaan menerima dan senang atas segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu mengelola segala kekhususan diri dengan baik sehingga dapat menimbulkan kepribadian dan fisik yang sehat.

2. 1. 2. Kondisi yang Mempengaruhi Pembentukan Penerimaan Diri

Hurlock (1974:434) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi orang menyukai dan menerima dirinya. Faktor tersebut merupakan kebalikan dari faktor-faktor yang mengakibatkan penolakan diri. Menurut Hurlock (1974:435) kondisi yang dapat mempengaruhi penerimaan diri tersebut adalah: 1. Pemahaman diri

Pemahaman diri adalah suatu persepsi atas diri sendiri yang ditandai oleh keaslian bukan kepura-puraan, realistis bukan khayalan, kebenaran bukan kebohongan, keterusterangan bukan berbelit-belit. Pemahaman diri dan penerimaan diri memiliki hubungan positif, semakin baik seseorang


(36)

memahami dirinya maka semakin baik ia menerima dirinya apa adanya, dengan adanya pemahaman pada diri sendiri, maka secara tidak langsung orang akan berusaha untuk mengerti, memahami dan menerima semua yang ada pada dirinya tersebut, termasuk semua kelebihan serta kekurangannya, sehingga dapat diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri (Oktaviana, 2004:5)

2. Harapan yang realistis

Ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis, kesempatan untuk mencapai sukses tersebut akan muncul. Adanya kesempatan tersebut akan mendukung terbentuknya kepuasan diri sendiri yang pada akirrnya membentuk sikap penerimaan terhadap diri sendiri.

3. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan

Ketidakmampuan untuk mencapai tujuan yang realistik dapat disebabkan oleh ketidakmampuan individu yang bersangkutan untuk mengontrol adanya hambatan-hambatan dari lingkungan. Seseorang yang menyadari bahwa sebenarnya dia mampu, tetapi karena ada hambatan dari lingkungan (misalnya diskriminasi ras, gender, kepercayaan) akan sukar untuk memiliki penerimaan diri yang baik. Sikap tidak senang terhadap diri atau kurangnya penerimaan terhadap diri dapat juga dipengaruhi oleh adanya pemberian label-label yang berkembang dalam masyarakat terhadap orang atau komunitas tertentu.

Jika hambatan-hambatan dari lingkungan tersebut dihilangkan, seseorang akan dapat mencapaui tujuan yang realistik. Tercapainya tujuan akan


(37)

mengakibatkan individu yang bersangkutan merasa puas dan kemudian akan mendukung terbentuknya penerimaan diri.

4. Tingkah laku sosial yang mendukung

Peranan lingkungan sosial terhadap seseorang dapat membentuk tingkah laku orang tersebut. Seseorang yang mengalami perlakuan lingkungan sosial yang mendukung akan dapat menerima dirinya dengan lebih baik.

5. Tidak adanya tekanan emosi yang berat

Tekanan yang berat dan terus menerus seperti yang terjadi di lingkungan kerja atau di rumah, di mana kondisi emosi sedang tidak baik dapat mengakibatkan gangguan yang berat pada seseorang, sehingga tingkah laku orang tersebut dinilai menyimpang dan orang lain menjadi terlihat selalu dan menolak orang tersebut.

Tidak adanya tekanan emosi membuat seseorang dapat melakukan yang terbaik dan dapat berpandangan keluar dan tidak memiliki pandangan hanya kedalam diri saja. Tanpa tekanan emosi juga dapat membuat seseorang santai dan bahagia. Kondisi-kondisi ini memberikan sumbangan positif bagi penilaian terhadap lingkungan sosial yang menjadi dasar terhadap penilaian diri sendiri dan terhadap penerimaan diri.

6. Sukses yang terjadi

Kegagalan yang sering menimpa menjadikan seseorang menolak dirinya sendiri. Sebaliknya, kesuksesan yang sering terjadi menumbuhkan penerimaan terhadap dirinya sendiri. Sering atau tidaknya sukses yang terjadi dapat dinilai secara kuantitatif dan juga secara kualitatif. Secara kuantitatif berarti jumlah


(38)

terjadinya kesuksesan lebih banyak dari pada kegagalan. Secara kualitatif maksudnya, walaupun jumlah terjadinya kegagalan lebih banyak dari pada kesuksesan, namun kesusksesan yang terjadi tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting dan sangat berarti yang dapat melebihi julah kegagalan tersebut, baik dari penilaian masyarakat maupun diri sendiri.

7. Identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik

Individu yang mengidentifikasika diri dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan terpengaruh untuk mengembangkan tingkah laku positif terhadap hidupnya. Tingkah laku positif tersebut menandakan penilaian diri yang positif seta menunjukkan adanya penerimaan diri yang baik.

8. Cara seseorang melihat diri sendiri (konsep diri)

Seseorang yang dapat melihat dirinya sendiri dengan benar, memiliki pengertian terhadap diri sendiri. Cara seseorang memandang diri sendiri atau konsep diri yang stabil akan menentukan bagaimana penerimaan diri seseorang. Memiliki konsep diri yang stabil dapat meningkatkan potensi yang terbaik dari diri sendiri dengan senantiasa belajar meningkatkan kemampuan diri, dan memanfaatkan kesempatan serta peluang yang ada.

9. Pendidikan yang baik pada masa kanak-kanak

Meskipun bermacam-macam penyesuaian yang dilakukan oleh seseorang dapat mengubah secara radikal dan membuat hidupnya semakin baik, namun pusat dari konsep diri yang menentukan jenis penyesuaian diri yang akan dilakukan terletak pada masa kanak-kanak.


(39)

Selain kondisi-kondisi yang mempengaruhi penerimaan diri yang tersebut diatas, faktor pendidikan dan dukungan sosial juga dapat mempengaruhi penerimaan diri seseorang. Penerimaan diri akan semakin baik apabila ada dukunngan dari lingkungan sekitar, hal ini dikarenakan individu yang mendapat dukungan sosial akan mendapat perlakuan yang baik dan menyenangkan. Sedangkan faktor pendidikan juga tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi penerimaan diri seseorang, dimana individu yang memiliki pendidikan lebih tinggi pada umumnya akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi pula

2. 1. 3. Ciri-Ciri Orang yang Menerima diri sendiri

Sheerer dalam Cronbach (1963:223) terdapat ciri-ciri orang yang dapat menerima diri dengan baik:

1. Memiliki keyakinan akan kemampuannya menghadapi kehidupan.

2. Tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak menganggap orang lain menolak dirinya.

3. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia, sederajat dengan orang lain.

4. Tidak malu dan tidak hanya memperhatikan dirinya. 5. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. 6. Dalam berperilaku menggunakan norma dirinya. 7. Mampu menerima pujian dan celaan secara obyektif.

8. Tidak menyalahkan atas keterbatasan dalam dirinya atau mengingkari kelebihannya


(40)

Menurut Allport dalam Wrastari dan Handadari (2003:21), seseorang yang menerima dirinya akan memiliki ciri sebagai berikut:

1. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.

2. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi atau kemarahannya.

3. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain memberikan kritikan.

4. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (seperti depresi, kemarahan, rasa bersalah).

5. Mengekspresikan keyakinan dan perasaan mereka dengan mempertimbangkan perasaan dan keadaan orang lain.

Menurut Sulaeman (1995:20), tanda-tanda penerimaan diri antara lain: 1. Seseorang yang menerima keadaan dirinya memiliki penghargaan yang

realistis tentag sumber-sumber yang ada pada dirinyadigabungkan dengan penghargaan tentang kebergunaan dirinya.

2. Seseorang yang menerima dirinya mengenal dan menghargai potensi-potensi yang ada pada dirinya, menyadari kekurangan tanpa terus menerus menyesalinya.

3. Ciri yang paling menonjol pada seseorang yang memiliki penerimaan diri adalah spontanitas dan tanggung jawab untuk dirinya. Mereka akan menerima kualitas-kualitas kemanusiaannya tanpa menyalahkan diri sendiri, jika terjadi hal-hal diluar kontrolnya.


(41)

2.1.4 Pengaruh Penerimaan Diri

Untuk lebih mudahnya, Hurlock (1974:437) membagi pengaruh dari penerimaan diri menjadi dua, yaitu:

1. Pengaruh pada penyesuaian diri.

Seseorang yang dapat menerima dirinya mampu menerima seluruh kelebihan dan kelemahan dirinya, ia mampu mengenal kelemahan dirinya sebaik ia mengenal kelebihan dirinya sendiri. Karakteristik orang yang dapat menyesuaikan diri adalah dapat menerima kelebihan dirinya dan lebih memaksimalkan kelebihan tersebut serta memanimalisir kelemahannya. Orang yang menerima diri dapat menerima kritikan tanpa mengurangi rasa penerimaan dirinya, menyadari bahwa bagaimanapun ia tidak sempurna. Ketika mendapat kritikan, orang tersebut akan berusaha untuk memperbaiki kelemahannya. Adanya penerimaan diri dapat mendorong seseorang untuk mengatasi masalah-masalah dalam hidupnya dan bahwa ia dapat diterima oleh orang lain. Orang yang menerima dirinya akan mengevaluasi dirinya secara realistis dan menggunakan kemampuannya secara efektif.

Hal yang penting, orang yang menerima diri tidak ingin menjadi orang lain. Ia merasa puas dengan dirinya sendiri. Ia akan meningkatkan kualitasnya dan meminimalisir kelemahannya.

2. Pengaruh pada penyesuaian sosial.

Penerimaan diri akan disertai oleh penerimaan terhadap orang lain. Orang yang menerima dirinya akan merasa aman untuk bersama dan berhubungan dengan orang lain dan menunjukkan empati. Sebagai hasilnya, ia dapat membuat


(42)

penyesuaian sosial yang lebih baik dari pada orang yang berorientasi pada diri sendiri karena adanya perasaan tidak cukup dan perasaan rendah diri.

Orang yang menerima dirinya memiliki toleransi dengan orang lain, memaafkan kelemahan-kelemahannya. Toleransi dengan orang lain seringkali menyertai keinginan untuk menolong orang lain. Ketika orang yang menerima dirinya tidak berorientsi pada diri sendiri dan tidak menyalahkan orang lain akan kelemahan-kelemahannya, ia akan menolong orang yang membutuhkan disekitarnya.

Secara umum, semakin baik orang menerima dirinya maka akan semakin baik pula penerimaannya terhadap orang lain.

2.

2. Konsep diri

Manusia dilahirkan sebagai individu yang belum mendapat pengaruh apapun dari lingkungan sekitarnya. Dalam perkembangan kepribadian seseorang sangat dipengaruhi terutama oleh lingkungan keluarga, karena orang-orang yang dikenal pertama kali oleh individu adalah orang tua dan anggota keluarga lain, baru kemudian pengaruh lingkungan sekitar akan menjadi pengaruh selanjutnya setelah individu tersebut melakukan interaksi.

Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang, yaitu dari masa kecil hingga dewasa. Karena untuk selanjutnya konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang dirinya, akan tampak dalam seluruh perilakunya tersebut.


(43)

Perilaku individu tersebut akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya sendiri (Pudjijogyanti, 1991:4).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu tidak dilahirkan dengan konsep diri. Konsep diri muncul sebagai pengalaman yang didapatkan dari proses interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Perlakuan orang-orang tersebutlah yang menjadikan cerminan tentang diri kita.

2. 2. 1. Pengertian Konsep Diri

Menurut Burns (1993:vi) konsep diri adalah satu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan, pikiran atau pendapat orang lain mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Brooks dalam Rakhmat (2004:99) mendefinisikan konsep diri sebagai segala persepsi tentang diri sendiri, secara fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Pudjijogyanti (1991:2) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan sikap dan pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya. Cawagas dalam Pudjijogyanti (1991:2) menyatakan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, kegagalan dan sebagainya.

Menurut Calhoun (1995:67) konsep diri adalah pandangan diri atau potret mental terhadap diri sendiri yang meliputi tiga dimensi, yaitu pengetahuan, pengharapan dan penilaian tentang diri sendiri. Chaplin (2002:450) menyatakan bahwa konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan.


(44)

Selanjutnya Hall dan Lindzey (dalam Nuryoto dan Ampuni, 2006:144) memberikan dua pengertian mengenai konsep diri, yaitu:

1. Konsep diri yang bersifat objektif, diartikan sebagai suatu pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya sendiri atau memberikan gambaran tentang individu dan ini akan membentuk citra diri individu (self image).

2. Konsep diri yang bersifat subjektif, merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri, dalam penilaian ini akan membentuk penerimaan terhadap dirinya (self acceptance) serta akan membentuk harga dirinya (self esteem). Self esteem ini berasal dari interaksi individu dengan lingkungannya, serta penghargaan, penerimaan dan perlakuan yang diterima individu dari lingkungannya. Apabila seseorang memiliki harga diri yang tinggi maka konsep dirinya positif, demikian pula sebaliknya.

Konsep diri menurut Rakhmat (2004:99) yaitu pandangan atau gambaran, perasaan, serta penilaian tentang diri sendiri yang dapat bersifat psikologis, sosial dan fisik.

2. 2. 2. Ciri-Ciri Konsep Diri

Setelah melihat definisi tentang konsep diri di atas, maka berikut akan dijelaskan mengenai konsep diri yang dapat dibedakan menjadi dua macam konsep secara umum yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, adapun ciri-ciri konsep diri negatif dan positif dijelaskan oleh William D Brooks dan Philip Emmert (dalam Rahmat, 2004:105) sebagai berikut:


(45)

2. 2. 2. 1. Ciri-ciri konsep diri positif

1) Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah. 2) Merasa setara dengan orang lain.

3) Menerima pujian tanpa rasa malu.

4) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat.

5) Mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya.

2.2.2.2. Ciri-ciri konsep diri negatif

1) Peka pada kritik, yang ditunjukkan dengan mudah marah, koreksi dipersepsi sebagai upaya menjatuhkan harga diri dalam komunikasi menggunakan dialog terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapat sekalipun logikanya keliru. 2) Responsif sekali terhadap pujian, yang ditunjukkan dengan pura-pura

menghindari pujian dan sesuatu yang menunjang harga dirinya menjadi pusat harga dirinya.

3) Krisis berlebihan, yang ditunjukkan dengan selalu mengeluh, mencela siapapun, tidak sanggup dan tidak pandai mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada orang lain.

4) Cenderung merasa tidak disenangi orang lain, ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak pernah melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.


(46)

5) Bersikap pesimis terhadap kompetisi, seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.

Ciri-ciri konsep diri positif dan negatif dari pendapat William D Brooks dan Philip Emmert tersebut maka dapat diidentifikasikan tanda-tanda seorang individu yang memiliki konsep diri negatif serta konsep diri positif. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, mampu menerima pujian karena layak menerimanya, menyadari bahwa setiap orang memiliki bermacam perasaan, harapan, serta perilaku yang tidak disetujui dalam masyarakat, sehingga memiliki kemampuan merubah diri untuk lebih baik lagi dalam kualitas hidupnya. Sedangkan individu dengan konsep diri negatif yaitu individu yang peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, krisis berlebihan, cenderung merasa tidak disenangi orang lain, serta bersikap pesimis terhadap tantangan dan persaingan.

Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri adalah cara pandang atau penilaian individu terhadap diri sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksi dengan orang lain serta pengalaman-pengalaman yang dilalui selama hidupnya.


(47)

2. 2. 3. Komponen konsep diri

Burns (1993:66) mengemukakan komponen dari konsep diri, yaitu: 1. Keyakinan pengetahuan atau komponen kognitif.

Pengetahuan atau komponen kognitif ini mewakili sebuah deskripsi dari suatu obyek dengan tidak memandang apakah pengetahuan itu benar atau salah, didasarkan atas bukti yang obyektif maupun opini yang subyektif.

2. Komponen Afektif.

Merupakan deskripsi-deskripsi diri dan keyakinan-keyakinan yang semuanya diinvestasikan dengan nada-nada tambahan yang diekspresikan dengan emosional.

3. Evaluasi.

Merupakan penilaian diri terhadap komponen kognitif yang berhubungan dengan kebudayaan, fisik dan hubungan sosial. Evaluasi diri ini sifatnya tetap atau dapat berubah sesuai dengan pengalaman belajar yang dipelajarinya dan dapat berupa evaluasi diri positif maupun evalusi diri negatif. Evaluasi diri disebut pula dengan perasaan harga diri.

4. Suatu kecenderungan untuk memberi respon.

Menurut Pudjijogyanti (1991:3) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk atas dua komponen, yaitu:

1. Komponen Kognitif

Merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya yang akan membentuk gambaran tentang diri (self-picture) dan akan membentuk citra diri (self-image). Komponen kognitif ini merupakan data yang bersifat obyektif.


(48)

2. Komponen afektif

Merupakan penilaian individu tentang dirinya yang akan membentuk penerimaan diri (self-acceptance) serta harga diri (self-esteem).

Berdasarkan kedua komponen tersebut dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri tidak dapat terlepas dari masalah gambaran diri, citra diri, penerimaan diri serta harga diri.

Konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsisten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru tanpa merasa terancam.

2. 2. 4. Aspek-aspek konsep diri

Kemudian aspek konsep diri menurut Hurlock (1978:237) sendiri meliputi: 1. Aspek fisik

Terdiri dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain.

2. Aspek psikologis

Terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain.

Dalam menentukan perilaku individu, konsep diri mempunyai peranan penting. Bagaimana individu memandang atau menilai dirinya sendiri akan tampak jelas dari seluruh perilakunya.


(49)

Isi konsep diri menurut Burns (1993:209-210), yaitu:

1) Karakteristik-karakteristik fisik, termasuk di dalamnya penampilan secara umum, ukuran tubuh dan berat tubuh; sosok dan bentuk tubuh, dan detail-detail dari kepala dan tungkai lengan.

2) Cara berpakaian, model rambut dan make-up. 3) Kesehatan dan kondisi fisik.

4) Benda-benda yang dipunyainya dan pemilikan. 5) Binatang peliharaan dan sikap-sikap terhadap mereka. 6) Rumah dan hubungan keluarga.

7) Olahraga, permainan dan hobi-hobi (partisipasi dan kemampuannya). 8) Sekolah dan pekerjaan sekolah, kemampuan dan sikapnya.

9) Status intelektual, kecerdasan.

Semakin dewasa dan semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka semakin mampu dia menggambarkan dirinya sendiri, serta semakin baik pula konsep dirinya (Sarwono, 1997:147).

10) Bakat khusus dan kemampuan khusus atau minat khusus.

11)Ciri kepribadian, termasuk di dalamnya temperamen, disposisi, ciri karakter, tendensi emosional, dan lain-lain.

12)Sikap dan hubungan sosial.

13) Ide religius, minat religius, keyakinan dan praktek religius. 14) Pengelolaan peristiwa-peristiwa praktis; kemandirian.

Dari berbagai pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah suatu cara pandang menyeluruh yang dimiliki seseorang mengenai


(50)

dirinya yang meliputi pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan, dan penilaian diri, yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain.

2. 2. 5. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep diri

Pembentukan konsep diri saat usia remaja menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi kepribadian, tingkah laku, dan pemahamannya terhadap diri sendiri. Remaja berusaha menyesuaikan antara konsep diri ideal yang dibangun berdasarkan cita-cita dan harapannya dengan konsep diri real, yaitu keadaan diri yang sesungguhnya.

Konsep diri pada remaja diperolehnya melalui bagaimana orang lain dan lingkungan sekitar memperlakukan dirinya. Menurut Sullivan dalam Rakhmat (2004:101), “Jika kita diterima orang lain, dihormati dan menerima diri kita, maka kita akan menerima diri kita dengan baik. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan dan menyalahkan kita, maka kita akan cenderung untuk menolak diri kita”. Tetapi tidak semua remaja dapat mengembangkan konsep diri secara positif, dalam hal ini yaitu menerima dirinya, karena hal ini berkaitan dengan faktor-faktor yang akan mempengaruhi konsep diri pada masing-masing individu.


(51)

Djalaluddin Rakhmat (2004:100) menyatakan faktor-faktor yang membentuk konsep diri adalah:

1. Orang Lain (significan others)

Orang lain yang memiliki pengaruh dalam kehidupan misalnya orang tua dan teman. Pujian yang diberikan, dorongan, semangat yang diberikan mereka menyebabkan menilai diri kita secara efektif.

2. Kelompok Rujukan (group reference)

Dalam suatu kelompok ada norma-norma yang secara emosional mengikat kita dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Misalnya bergabung dalam kelompok pecinta alam, maka kita akan memiliki konsep diri sebagai seseorang yang memelihara alam, mencintai alam.

Dalam konsep diri menurut Burns (1993:188-189) terdapat lima buah sumber penting dalam pembentukan konsep diri seseorang. Kelima sumber itu adalah:

1. Citra tubuh

Yaitu evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang jelas berbeda. 2. Bahasa

Merupakan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan memverbalisasikan diri serta untuk memudahkan pemahaman atas banyak umpan balik dari orang lain.

3. Umpan balik yang ditafsirkan dari lingkungan tentang bagaimana orang lain yang dihormati memandang pribadi tersebut secara relatif ada dibandingkan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam.


(52)

4. Identifikasi dengan modal peranan seks stereotip yang sesuai. 5. Praktek-praktek membesarkan anak.

Kelima sumber tersebut tidak dapat berfungsi secara bebas, melainkan saling terkait secara erat dalam kehidupan sosial.

Sejalan dengan pendapat tersebut diatas, Mead (Pudjijogyanti, 1991:27) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organissi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting (significant others) disekitarnya. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka seseorang akan merasa dirinya cukup berharga sehingga timbullah konsep diri yang positif, begitu pula sebaliknya.

Selain itu dalam konsep diri terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut Menurut Hurlock (1980:235) antara lain:

1. Usia kematangan

Pengembangan konsep diri yang menyenangkan akan dapat menyesuaikan diri dengan baik.

2. Penampilan diri

Daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan akan menambah dukungan sosial.


(53)

3. Kepatutan seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku akan membantu individu mencapai konsep diri yang baik.

4. Nama dan julukan

Julukan yang diberikan teman-teman akan mempengaruhi konsep diri seseorang. Misalnya julukan si bodoh, ladang jerawat, dan sebagainya yang bernada ejekan akan mempengaruhi konsep diri.

5. Hubungan keluarga

Melalui hubungan yang erat dengan keluarga akan membuat lebih mudah bagi remaja untuk mengembangkan pola kepribadiannya melalui identifikasi dengan anggota keluarga tersebut. Bila sesama jenis, maka akan membantu remaja mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis kelaminnya. 6. Teman-teman sebaya

Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remja merupakan cerminan tentang konsep teman-teman terhadap dirinya. Kedua, remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri kepribadian yang diakui kelompok.

7. Kreativitas

Remaja yang sejak kanak-kanak didorong untuk mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang berpengaruh baik terhadap konsep dirinya.


(54)

8. Cita-cita

Cita-cita yang tidak realistik membuatnya mengalami kegagalan dan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Sebaliknya, cita-cita yang realistik cenderung mengalami keberhasilan sehingga membuatnya percaya diri.

Menurut Pudjijogyanti (1991:14) mengemukakan empat hal yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri:

1. Citra fisik atau sikap positif terhadap fisik 2. Peran jenis kelamin

3. Peran perilaku orang tua 4. Peranan faktor sosial

Proses perkembangan konsep diri tidak pernah sungguh-sungguh berakhir, hal itu berjalan terus dengan aktif dari saat kelahiran sampai pada kematian sejalan dengan individu tersebut secara terus menerus menemukan potensi-potensi yang baru dalam proses perkembangannya. Untuk memiliki konsep diri, seseorang harus memandang dirinya sendiri sebagai sebuah obyek yang jelas berbeda dan mampu melihat dirinya dari obyek-obyek lainnya (Burns, 1993:188).

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah mengemukakan tentang konsep diri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dapat dikatakan secara jelas dapat dikatakan bahwa konsep diri bukanlah diwariskan atau ditentukan secara biologis, tetapi merupakan hal yang dipelajari dari proses interaksi, belajar dan pengalaman-pengalaman. Konsep diri individu terbentuk dan berkembang melalui jalan dari hasil pengaruh interaksi yang dilakukan melalui hubungan sosial dengan


(55)

lingkungan terutama lingkungan keluarga, pendidikan dan hasil tanggapan dari orang lain.

2. 3. Anak Jalanan

2. 3. 1. Pengertian Anak Jalanan

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, definisi anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

UNICEF mendefinisikan anak jalanan atau street children dengan istilah yang dipakai untuk menyebutkan anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berada di jalanan kawasan urban (1999:45) memberikan batasan terhadap kelompok ini sebagai “Chilren who work on the streets of urban areas, without reference to the time they spend there or the reasons for being there”.

Sedangkan pengertian lainnya menurut Dinas Kasejahteraan Sosial bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Lokakarya Nasional Anak Jalanan Depsos, Oktober 1995).

Definisi yang tersebut diatas memberikan 4 faktor penting yang saling terkait, yaitu:

1. Anak-anak

2. Menghabiskan sebagian besar waktunya 3. Mencari nafkah dan atau berkeliaran 4. Jalanan dan tempat-tempat umum lainnya


(56)

Faktor-faktor tersebut memperlihatkan terganggunya keberfungsian sosial anak. Penyimpangan-penyimpangan tersebut akan berakibat bagi proses tumbuh kembang anak, karena di jalanan banyak terdapat bentuk ancaman-ancaman yang akan mempengaruhi pribadi anak jalanan itu sendiri.

2. 3. 2. Jenis dan Kategori Anak Jalanan

Menurut Dharmono dan Darmabrata (1999:45), berdasarkan latar belakang kehidupan dan motivasi mereka dalam melakoni kehidupan jalanan, maka kelompok anak-anak jalanan ini dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu:

1. Golongan anak jalanan pekerjaan perkotaan, yakni mereka yang keberadaannya di jalanan terutama untuk mencari nafkah bagi dirinya maupun keluarganya. Anak-anak jalanan dari golongan ini menekuni kehidupan jalanan terbatas pada pemenuhan aspek ekonomi saja.

2. Golongan anak jalanan “murni”, yakni mereka yang melakoni seluruh aspek kehidupannya di jalanan. Mereka umumnya adalah pelarian dari keluarga bermasalah yang kemudian terlempar pada kehidupan jalanan. Anak-anak dari golongan ini nyaris tidak lagi mempunyai ikatan dengan keluarganya.

Shalahuddin (2004) dalam jurnal perempuan (2007:40) membagi anak jalanan dalam tiga kategori, yaitu:

1. Children on the street adalah kelompok anak jalanan yang karena masalah ekonomi terpaksa berada di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok dalam kategori ini, yaitu:

1) Anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa pulang setiap hari.


(57)

2) Anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang, baik secara berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin. 2. Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau

sebagian besar waktunya di jalanan yang tidak memiliki hubungan dengan orang tua atau keluarganya lagi.

3. Children in the street atau children from the families of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan dari keluarga yang hidup di jalanan.

Dalam badan PBB, terdapat suatu lembaga yang mengurusi kesejahteraan penduduk dalam suatu negara, UNICEF membagi 3 kategori anak jalanan, antara lain:

1. Anak jalanan yang bekerja di jalanan (Children on the street). 2. Anak jalanan yang hidup di jalanan (Children of the street). 3. Anak jalanan ditelantarkan karena berbagai sebab (Abadon Child).

Sedangkan menurut Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Tengah dalam Materi untuk Petugas Penanganan Anak Jalanana Tahun 2005, jenis-jenis anak jalanan, yaitu:

1. On the street, yaitu menjadi anak jalanan tetapi hanya untuk mencari uang tidak sebagai pekerjaan utama, dan masih berhubungan dengan keluarga. 2. Off the street, yaitu menjadi anak jalanan sebagai pekerjaan utama, semua

dilakukan di jalan, dan tidak melakukan kontak/jarang kontak dengan keluarga.


(1)

5.2

Saran

Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

(1) Bagi Pihak RPSA

Bagi pihak RPSA supaya tetap memberikan pelayanan-pelayanan terutama mengenai pelayanan bimbingan dan pengasuhan atau pendampingan yang bersifat psikologis dan sosial agar dapat membantu bagi terbentunya konsep diri yang positif pada anak jalanan, sehingga mereka dapat memiliki penerimaan diri yang positif pula. Selain itu juga dengan tetap memperhatikan anak jalanan, melakukan pendampingan ketika mereka sedang mempunyai masalah, mampu menjadi teman ketika mereka mengalami kesulitan dan memotivasi anak jalanan agar mau berusaha dan berkarya supaya tidak lagi turun ke jalan dan dapat menjadi pribadi yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, agama dan bangsa.

(2) Bagi Anak Jalanan

Bagi anak jalanan supaya lebih dapat mengembangkan diri, walaupun mungkin sulit dan membutuhkan waktu, tapi dengan adanya dukungan dari keluarga, masyarakat serta pemerintah, anak-anak jalanan harus tetap berusaha untuk menjadi pribadi yang sehat, matang serta carilah lingkungan yang terdapat orang-orang yang dapat membentuk konsep diri positif agar dapat menjadi pribadi yang berkualitas agar nantinya dapat meraih cita-cita dan harapan yang diinginkan.


(2)

113

(3) Bagi Pemerintah

Pemerintah supaya lebih memperhatikan anak-anak jalanan, walaupun membutuhkan dana yang besar untuk mengatasi permasalahan anak jalanan yang begitu kompleks, tapi sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku bahwa fakir miskin dan anak terlantar, dalam hal ini anak jalanan dipelihara oleh negara, jadi ini merupakan salah satu tugas pemerintah. Tetapi dengan adanya kerjasama dari masyarakat pada umumnya, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Yayasan-yayasan yang fokus pada penanganan anak jalanan pada khususnya, tentu akan sangat membantu dalam penanganan anak jalanan ini, karena semua anak termasuk anak jalanan adalah penerus bangsa, sehingga penanganan secara psikologis penting artinya bagi keberadaan anak jalanan.

(4) Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian yang sejenis, disarankan untuk mengacu pada jumlah sampel yang lebih besar, dengan pendekatan yang lebih mendalam serta diharapkan juga memperhatikan faktor lain yang berpengaruh terhadap penerimaan diri namun belum diteliti dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penerimaan diri dan belum termasuk dalam penelitian ini antara lain adalah pola asuh orang tua, lingkungan keluarga serta faktor intern dari anak jalanan itu sendiri.


(3)

114

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. 2003. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. 2000. Modul Pelatihan Pekerja Sosial Rumah Singgah.

Burns, R.B.1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Pertimbangan, dan Perilaku (Penerjemah : Eddy). Jakarta:Arcan.

Calhoun, J.F. dan Acocella, J.R. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi Ketiga. Alih bahasa : Satmoko, R.S. Edisi ke-3. Semarang: IKIP Semarang Press.

Chaplin, J.P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Cronbach, L. J. 1963. Educational Psychology. Second edition. New York: Harcourt, Brace and World, Inc.

Dharmono dan Darmabrata. 1999. Faktor-Faktor Psikososial Dengan Berkembangnyaa Perilaku Antisosial Pada Kelompok Anak Jalanan di Jakarta. Jiwa, Indon Psychiat Quart 1999: XXXII: 1.

Dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 2006. Data dan Informasi Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006.

Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. 1999. Pedoman Penyelenggaran Pembinaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah. Rumah Singgah dalam Penanganan Anak Jalanan. Jakarta: Departemen Sosial RI

Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabiltasi Sosial. 2002. Standar Pelayanan Sosial Anak jalanan melalui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen Sosial RI.

_________________________________________________. Acuan Teknis

Pengembangan Pelayanan Sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI.

_________________________________________________. Standar Pelayanan

Sosial anak Jalanan mealui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen Sosial RI.


(4)

115

Hadi, Sutrisno.2002. Metodologi Research jilid 1. Yogyakarta: ANDI.

Handayani, Ratnawati dan Helmi. 1998. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Jurnal Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ISSN. 0215-8884.No.2, 47-55.

Handayani, Mulyo M. 2000. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Insan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Vol.2 No.1.November 2000.

Hapsari, Mia. 2008. Penelitian Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Minat Bersekolah Pada Anak Jalanan di Semarang. Skripsi (Tidak diterbitkan). Semarang: Jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang.

Hapsari, P. 2007. Anak Jalanan (Perempuan) Subordinat Orang Dewasa. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Herlina, A. et al dan UNICEF Indonesia. 2002. Perlindungan Anak

Huraerah, Abu. 2007.Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak). Bandung: Nuansa. Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

___________.1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Alih bahasa : Tjandrasa, M.M., & Zarkasih, M. Edisi ke-6. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

___________. 1974. Personality Development. New Delhi: Tata McGraw-Hill. Irawati, Henny. 2007. Ranperda Gepeng Sapu Anak Jalanan di Medan. Jurnal

Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

__________. 1983. Psikologi Orang Dewasa. . Surabaya: Usaha Nasional.

MB Ubangha, RE Oputa. 2007. Differences in Self-Concept, Academic Orientation And Vocational Interests of Normal And Institutionalized Street Children in Lagos Metropolis. International Journal of Educational Research Vol 3 (1) pp 1-12. ISSN 1595-8485: AJOL (African Journals Online)

Nurharjadmo, W. 1999. Seksualitas Anak Jalanan. Yogyakarta: Kerja sama Ford Fundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.


(5)

Oktaviana, R. 2004. Hubungan Antara Penerimaan Diri Terhadap Ciri-Ciri Perkembangan Sekunder Dengan Konsep Diri Pada Remaja Puteri SLTPN 10 Yogyakarta. Jurnal Psyche. Palembang: Vol.1 No.2. Desember 2004.

Permadi, Gunawan dan Ardhianie, Nila. 1999. Selinting Ganja di Tangan. Semarang: Yayasan Duta Awam.

Prasetyo, Bambang dan Jannah, M.L. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Pudjijogyanti, C.R.1991. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: ARCAN Penerbit Umum.

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Salmani, Barough N et al. 2003. Self Concept and Influential Factors on it In The Street Children Aged 6-12 Years. TUMS E Journals 2004-2009: Central Library And Documents Center Tehran University of Medical Sciences. Shalahuddin, Odi. 2004. Di Bawah Bayang-Bayang Ancaman (Dinamika

Kehidupan Anak Jalanan). Semarang: Yayasan Setara.

Sarwono, Sarlito.Wirawan.1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka.

Sitorus, Magdalena. 2007. Ketika ’Anak’ Sebagai Perempuan. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Soeitoe, Samuel. 1994. Psikologi Pendidikan (Mengutamakan Segi-Segi Perkembangan). Jilid 2. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sujanto, A. 1988. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru Sulaeman, Dadang. 1995. Psikologi Remaja. Bandung: Mandar Maju.

Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi (Tinjauan Psikologis). Yogyakarta: Kanisius.

Surachmad, Winarno. 1977. Psikologi Pemuda (Sebuah Pengantar Dalam Perkembangan Pribadi dan Interaksi Sosialnya. Bandung: CV Jemmars.


(6)

117

Thompson, B.L dan Waltz, J.A. 2007. Mindfulness, Self-Esteem, and Unconditional Sef-Acceptance. Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy. Department of Psychology University of Montana: Springer Netherlands. Vol 26 No.2 / June, 2008.

Wrastari dan Handadari. 2003. Pengaruh Pemberian Neuro Linguistic Programming (NLP) terhadap Peningkatan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tubuh pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Bina Daksa ”Suryatama” Bangil Pasuruan. Insan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Vol.5 No.1. April 2003, 17-35.