40 maka akan mendorong pertumbuhan mikroba, keberadaan jamur, serta mendorong
kerusakan kandungan sel karena adanya proses hidrolisis WHO,1998. Penetapan kadar sari dilakukan terhadap dua pelarut, yaitu air dan etanol.
Hasil karakterisasi simplisia daun kelor menunjukkan kadar sari larut dalam air adalah 38,91, dan kadar sari larut dalam etanol 15,65. Menurut Materia
Medika Indonesia edisi 5 1989 , kadar sari larut dalam air dan kadar sari larut dalam etanol simplisia daun kelor sama-sama tidak boleh kurang dari 5, hal ini
berarti kadar sari larut dalam air dan etanol simplisia daun kelor memenuhi
persyaratan karakterisasi simplisia.
Penetapan kadar abu pada serbuk simplisia daun kelor menunjukkan nilai sebesar 9,08 . Menurut Materia Medika Indonesia edisi 5 1989, kadar abu
pada simplisia daun kelor tidak boleh melebihi 11. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka simplisia daun kelor memenuhi persyaratan karakterisasi
simplisia. Hasil penetapan kadar abu tidak larut dalam asam yang diperoleh dari
simplisia daun kelor adalah sebesar 0,88 . Menurut Materia Medika Indonesia edisi 5 1989, kadar abu tidak larut dalam asam pada simplisia daun kelor tidak
boleh melebihi 1, maka hasil yang diperoleh memenuhi syarat karakterisasi simplisia.
4.3 Hasil Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia serbuk simplisia daun kelor dan ekstrak etanol daun kelor dilakukan untuk menentukan ada atau tidaknya golongan senyawa metabolit
sekunder yang terdapat dalam tumbuhan yang digunakan. Adapun pemeriksaan yang dilakukan terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun kelor meliputi
Universitas Sumatera Utara
41 pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, saponin, tanin, steroidtriterpenoid, dan
flavonoid. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun kelor dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun
Kelor
No Skrining Fitokimia
Hasil Simplisia
Ekstrak 1
Alkaloid +
+ 2
Flavonoid +
+ 3
Glikosida +
+ 4
Tanin +
+ 5
Saponin +
+ 6
SteroidTriterpenoid +
+ Keterangan : + = positif
- = negatif Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang telah diperoleh pada Tabel 3.2,
maka golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk simplisia daun kelor dan ekstrak etanol daun kelor adalah alkaloid, flavonoid, glikosida,
tanin, saponin, dan steroidtriterpenoid.
4.4 Hasil Uji Aktivitas Koagulan Ekstrak Etanol Daun Kelor
Hasil uji aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor dilakukan secara in vitro dan in vivo dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
42
4.4.1 Uji aktivitas koagulan secara in vitro 4.4.1.1 Hasil waktu koagulasi dengan metode Lee-White
Pengujian aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor secara in vitro dilakukan dengan metode Lee-White dengan mengukur waktu pembekuan darah
yang diamati selama 2 jam 120 menit. Sampel penelitian berupa darah segar diperoleh dari tikus yang dianestesi, kemudian dibedah dan diambil darahnya dari
jantung sebanyak 0,5 ml untuk setiap tabung total berupa 4 tabung, berarti darah yang diambil dari setiap ekor tikus adalah 2 mL. Sebelumnya tabung telah
disiapkan sesuai perlakuan. Stopwatch dijalankan setelah darah dimasukkan ke dalam tabung. Setiap 30 detik sekali, tabung dimiringkan untuk mengamati
terbentuknya clotgumpalan. Waktu dihentikan ketika mulai terbentuk clot yang cukup besar. Hasil yang diperoleh pada uji aktivitas koagulan berupa parameter
waktu pembekuan darah dapat dilihat pada Tabel 4.3 Tabel 4.3 Waktu pembekuan darah tikus secara in vitro
N o
Kelompok Waktu Menit
p Tabung
Rata-Rata ± SD
A B
C D
E 1 0,5 ml darah normal
5 4,5
4 4
6 4,7 ± 0,83
- 2 0,5 ml darah + 0,5 ml EDTA
120 120
120 120
120 120
- 3 0,5 ml darah +
100μl EEDK 1 2
1 3
1,5 2
1,9 ± 1,11 0,424
4 0,5 ml darah + 0,5 ml EDTA +
100μl EEDK 1 22
37 26
30 29
28,8 ± 5,54 0,000
Keterangan Tabel 4.3 Berbeda tidak bermakna terhadap darah normal p 0,05
Berbeda bermakna terhadap darah + EDTA p 0,05 p Signifikansi
Universitas Sumatera Utara
43 Darah pada tabung perlakuan normal mengalami pembekuan dengan
waktu rata – rata 4,7 ± 0,83 menit. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa waktu pembekuan darah normal adalah 4 – 8 menit.
Darah pada tabung yang ditambahkan dengan EDTA tidak mengalami pembekuan setelah diamati selama 120 menit. EDTA merupakan suatu
antikoagulan yang bekerja dengan cara mengikat kalsium, yang merupakan salah satu faktor pembekuan darah Dewoto, 2007, sehingga tidak terjadi pembekuan
sama sekali pada tabung 2, karena kalsium telah diikat oleh EDTA. Darah pada tabung yang ditambahkan dengan EEDK 1 memiliki rata–
rata waktu pembekuan selama 1,9 ± 1,11 menit, hal ini menunjukkan bahwa EEDK mampu mempersingkat waktu koagulasi darah yang lebih cepat bila
dibandingkan dengan waktu pembekuan normal. Menurut Sodamade 2013, kandungan kalsium daun kelor cukup tinggi, yaitu 723 mg 100 g. Menurut
Mutschler 2010, kandungan kalsium yang tinggi dapat mempercepat terbentuknya trombin dan akan merangsang terbentuknya benang fibrin, sehingga
darah dapat membeku. Darah pada tabung yang ditambahkan dengan EDTA dan EEDK memiliki
rata-rata waktu pembekuan selama 28,8 ± 5,54 menit. Hal ini menunjukkan EEDK mampu bekerja sebagai koagulan walaupun dengan adanya EDTA. Dapat
dikatakan bahwa EDTA yang digunakan belum mengikat semua kalsium yang ada pada darah ataupun pada EEDK, sehingga darah masih tetap mampu membeku
walaupun memiliki waktu di atas pembekuan darah normal. Bekuan darah tidak padat dan berbentuk seperti serat.
Universitas Sumatera Utara
44 Berdasarkan analisis menggunakan ANOVA satu arah, terdapat perbedaan
yang signifikan antar ke empat perlakuan tersebut, yaitu darah normal, darah + EDTA, darah + EEDK, dan darah + EDTA + EEDK p 0,05.
Perbandingan waktu pembekuan dapat ditunjukkan pada grafik garis dengan parameter waktu pembekuan darah secara in vitro pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Waktu pembekuan darah secara in vitro
Maka dari keempat perlakuan tersebut, perlakuan yang paling cepat dalam mengkoagulasikan darah adalah kelompok darah + EEDK, diikuti
kelompok darah normal, kemudian kelompok darah + EDTA + EEDK, dan yang tidak mampu mengkoagulasikan darah adalah kelompok darah + EDTA.
4.4.1.2 Koagulasi secara mikroskopik dengan teknik Eustrek hapusan darah
Metode ini dilakukan untuk melihat keadaan sel darah setelah pengamatan 2 jam dengan metode Lee-White secara mikroskopik. Sel darah diambil sebanyak
1 tetes menggunakan pipet tetes dan diteteskan pada object glass, kemudian dibuat sediaan hapusan darah dan ditutup atasnya dengan deck glass sehingga
20 40
60 80
100 120
140
Tabung Darah Darah Normal
Darah + EDTA Darah + EEDK
Darah + EDTA + EEDK
Wa k
tu Pe
m be
kua n
m en
it
Keterangan :
- -
- -
- -
-
-
- -
-
4,7 ± 0,83
120
1,5 ± 1,11
28,8 ± 5,54
Universitas Sumatera Utara
45
hasilnya akan melebar. Hasil pengamatan bentuk sel darah secara mikroskopik
dengan menggunakan suspensi EEDK dapat dilihat pada Tabel 3.4
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan bentuk sel darah secara mikroskopik dengan 4
perlakuan berbeda No Perlakuan
Hasil Pengamatan
1 Darah Normal
Sel darah membeku ditandai dengan mengalami lisis sel darah pecah dan tidak berbentuk oval dan
saling melekat membentuk kelompok yang padat satu sama lain
2 Darah + EDTA
Sel darah tidak mengalami pembekuan ditandai dengan bentuk sel darah yang normal dan tidak
terdapat perlekatan satu sama lain 3
Darah + EEDK Sel darah membeku ditandai dengan tampak padat
dan berkelompok, terlihat adanya benda mikroskopik lain selain sel darah
4 Darah + EDTA +
EEDK Sel darah tampak mengalami lisis dan melekat satu
sama lain dan terdapat bagian di mana darah tidak membeku
Universitas Sumatera Utara
46 Berikut adalah gambar mikroskopik pengamatan sel darah tabung 1 hingga
4 pada perbesaran 10x10 dan 10x100 yang dapat dilihat pada Gambar 4.2
1a 1b
2a 2b
3a 3b
Sel darah membeku
Sel darah tidak
membeku
Gambar 4.2 Bentuk Mikroskopik sel darah
Sel darah membeku
4a 4b
Keterangan : a = perbesaran 10 x 10 b = perbesaran 10 x 100
Sel darah membeku
Sel darah tidak
membeku
1 darah normal
2 darah + EDTA
3 darah + EEDK
4 darah+EDTA+EEDK
Universitas Sumatera Utara
47 Berdasarkan Gambar 4.2 dapat diamati bahwa pada gambar 1a darah
normal, sel darah tampak saling melekat satu sama lain dan membentuk kelompok. Pada gambar 1b, sel darah tampak lisis dan saling melekat satu sama
lain. Menurut Majerus 2008, proses pembekuan darah mula–mula diawali dengan melekatnya platelet pada makromolekul di sekitarnya, diikuti dengan
terjadinya agregasi platelet dan membentuk agregat platelet. Tangkery 2013, mengemukakan bahwa pada saat terjadi pembekuan, sel darah merah saling
melekat satu sama lain, dinding sel dapat hancur dan tidak memiliki bentuk lagi. Berdasarkan Gambar 4.2 juga dapat diamati bahwa pada gambar 2a darah
+ EDTA, sel darah tampak seperti titik kecil dan tidak jelas, tetapi pada gambar 2b, sel darah tampak normal dan tidak melekat satu sama lain. Menurut Majerus
2008, Pembekuan darah dapat dicegah jika ke dalamnya ditambahkan senyawa pengkelat seperti asam etilendiamintetraasetat EDTA untuk mengikat ion Ca
2+
kalsium. Di mana kalsium merupakan salah satu faktor pembekuan darah. Pada gambar 3a darah + EEDK, sel darah tampak padat dan
berkelompok, serta memiliki warna kecoklatan. Pada gambar 3b perbesaran difokuskan pada daerah di mana sel darah tidak terlalu padat atau dapat diamati,
terdapat ekstrak dan sel darah tampak mengalami lisis dan terbentuk agregasi
platelet pada daerah di sekitar kristal jarum tersebut.
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat diamati bahwa pada gambar 4a darah + EDTA + EEDK, sel darah tampak padat dan besar. Pada gambar 4b terdapat
daerah sel darah yang lisis pada gambar 4b bagian kanan dan sel darah yang tidak mengalami lisis gambar 4b bagian kiri, menunjukkan bahwa ekstrak etanol
daun kelor mampu mengkoagulasikan darah pada keadaan adanya EDTA bila
Universitas Sumatera Utara
48 diberikan bersamaan dengan EDTA sebagai antikoagulan.
4.4.2 Uji Aktivitas Koagulan Secara in vivo
Berikut adalah hasil uji waktu perdarahan dengan metode Duke secara in vivo.
4.4.2.1 Hasil waktu perdarahan dengan metode Duke
Pengujian aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor secara in vivo dilakukan dengan metode Duke dengan mengukur waktu perdarahan menit.
Hasil yang diperoleh pada uji aktivitas koagulan berupa parameter waktu perdarahan dapat dilihat pada Tabel 3.5 dengan 5 perlakuan pada parameter waktu
perdarahan normal sebelum diinduksi dengan heparin, perlakuan 1 jam setelah induksi heparin, 1 jam setelah perlakuan, dan 2 jam setelah perlakuan.
Universitas Sumatera Utara
49
Tabel 4.5 Hasil waktu perdarahan tikus secara in vivo
Keterangan Tabel 4.5 Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif p 0,05
Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol negatif p ≥ 0,05
Berbeda bermakna terhadap kontrol positif p 0,05 Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol positif p
≥ 0,05 p Signifikansi
No Kelompok
Waktu Perdarahan ± SD menit Normal
Perlakuan 1 jam
setelah perlakuan
p 2 jam
setelah perlakuan
P
1 Kontrol Negatif
CMC-Na 4 ± 0,71
8,17 ± 0,61 14,92 ±
2,01 0,000
11,17 ± 0,98
0,000
2 Kontrol Positif
Asam Traneksamat
4,75 ± 1,08
7,67 ± 0,5 5,17 ±
0,61 0,000
4,75 ± 0,52 0,000
3 EEDK 100
mgKgBB 4 ± 0,68
9,42 ± 1,47 9,67 ±
2,16 0,001
0,001 8 ± 0,89
0,057 0,000
4 EEDK 150
mgKgBB 4 ± 0,57
7,67 ± 1,25 6,42 ±
1,07 0,000
0,032 6,33 ± 0,88
0,000 0,000
5 EEDK 200
mgKgBB 4,83 ±
0,41 8,17 ± 1,21
5,75 ± 0,94
0,000 0,229
4,92 ± 0,67 0,000
0,640
Universitas Sumatera Utara
50 Gambar grafik dari rata–rata hasil pengukuran waktu perdarahan secara in
vivo dapat diamati pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Waktu perdarahan secara in vivo
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diketahui bahwa terjadi penurunan lama waktu perdarahan pada tikus kelompok kontrol negatif, yaitu
tikus tanpa perlakuan dan hanya diinduksi dengan heparin. Waktu perdarahan terus meningkat dari 1 jam setelah induksi perlakuan hingga 1 jam setelah
perlakuan dimulai dari normal 4 ± 0,71 menit, lalu meningkat berturut - turut menjadi 8,17 ± 0,61 menit dan 14,92 ± 2,01 menit, tetapi waktu perdarahan mulai
menurun pada 2 jam setelah perlakuan, menjadi 11,17 ± 0,98 menit. Menurut Mutschler 2010, lama waktu perdarahan menurun pada 2 jam setelah perlakuan
yang dapat disebabkan karena heparin memiliki waktu paruh yang singkat dan diuraikan dengan cepat dalam tubuh organisme. Hal ini didukung oleh Sydney
South West Area Health Service 2007 yang menyatakan bahwa waktu paruh
4 8,17
14,92 11,17
4,75 7,67
5,17 4,75
4 9,41
9,67 8
4 7,67
6,42 6,33
4,83 8,17
5,75 4,91
2 4
6 8
10 12
14 16
Normal Heparin
1 jam setelah induksi 1 jam
setelah perlakuan 2 jam
setelah perlakuan Kontrol Negatif
Kontrol Positif EEDK
dosis 100mgKgBB EEDK
dosis 150mgKgBB EEDK
dosis 200mgKgBB
- -
- -
- -
- -
- -
- -
Wa k
tu P
erd a
ra h
a n
m en
it
Universitas Sumatera Utara
51 heparin sangat singkat, yaitu sekitar 60 menit, sehingga parameter pengamatan
setelah perlakuan hanya dilakukan 2 jam, berarti parameter pengamatan setelah induksi adalah 3 jam.
Hasil uji normalitas menunjukkan tidak adanya perbedaan pada pengukuran waktu perdarahan normal p
≥ 0,05 dan waktu perdarahan setelah induksi heparin 1 jam p
≥ 0,05 pada kelima kelompok, dengan kata lain data terdistribusi normal sebelum diberi perlakuan.
Setelah dilakukan analisa statistik terhadap kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif, terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan p
≤ 0,05 antara waktu perdarahan hewan uji kelompok kontrol negatif yang diberikan
suspensi CMC-Na 0,5 yang memiliki lama waktu perdarahan 11,17 ± 0,98 menit, dengan kelompok kontrol positif yang diberikan asam traneksamat 10
yang memiliki lama waktu perdarahan 4,75 ± 0,52 menit pada 2 jam setelah perlakuan. Perbedaan yang bermakna ini diakibatkan karena pada perlakuan
kontrol negatif hanya diberikan CMC-Na yang tidak memiliki aktivitas koagulasi dalam penurunan waktu perdarahan pada hewan bila dibandingkan dengan kontrol
positif yang merupakan asam traneksamat yang biasanya digunakan untuk pembekuan darahhemostatik. Menurut Hart 1990, CMC-Na karboksi metil
selulosa natrium merupakan turunan selulosa yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan dikarenakan tidak adanya enzim untuk menghidrolisis ikatan β -
glukosidase pada selulosa, sehingga CMC-Na dapat dipakai sebagai kontrol negatif karena tidak akan memberikan perubahan efek terhadap obat atau ekstrak
bahan uji apabila diberikan secara oral. Sedangkan menurut Rang 2013, asam traneksamat termasuk obat golongan antifibrinolitik dan hemostatik. Obat ini
Universitas Sumatera Utara
52 bekerja dengan cara mengaktikan plasminogen dan mencegah fibrinolisis,
sehingga asam traneksamat dapat digunakan sebagai kontrol positif. Berdasarkan hasil analisa statistik ini juga terdapat perbedaan yang
bermakna secara signifikan antara kelompok kontrol negatif dengan EEDK dosis 100, 150 dan 200 mgKgBB p 0,05 pada 1 jam setelah perlakuan. Untuk
EEDK dosis 150 dan 200 mgKgBB tetap memiliki nilai p 0,05 pada 2 jam setelah perlakuan yang artinya terdapat perbedaan yang bermakna secara
signifikan, tetapi kelompok kontrol negatif memiliki perbedaan yang tidak bermakna secara signifikan dengan dosis 100 mgKgBB p
≥ 0,05 pada 2 jam setelah perlakuan. Menurut Setiawati 2007, potensi menunjukkan kisaran dosis
obat yang menimbulkan efek. Besarnya potensi ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor dan afinitas obat terhadap reseptor. Dalam hal ini yang dibahas
adalah efek kandungan kimia dari EEDK yang memiliki aktivitas sebagai koagulan, yaitu pyrocatechol. Pada 1 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100
mgKgBB memberikan efek koagulan, tetapi pada 2 jam setelah perlakuan, analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak signifikan dengan
kontrol negatif. Hasil yang diperoleh ini dapat disebabkan efek EEDK dosis 100 mgKgBB telah mengalami proses farmakokinetik dan kadarnya telah menurun
pada 2 jam setelah perlakuan sehingga efek yang ditimbulkan tidak begitu kuat bila dibandingkan dengan EEDK dosis 150 dan 200 mgKgBB pada 2 jam setelah
perlakuan.
Perbandingan kelompok kontrol positif dengan kelompok variasi dosis EEDK 100 dan 150 mgKgBB memberikan perbedaan yang bermakna secara
signifikan dengan nilai p 0,05 antara waktu perdarahan hewan uji kelompok
Universitas Sumatera Utara
53 kontrol positif yang diberikan asam traneksamat 10 yang memiliki lama waktu
perdarahan 4,75 ± 0,98 menit, dengan kelompok uji yang diberikan EEDK dosis 100 mgkgBB dan 150 mgKgBB p 0,05 yang memiliki lama waktu
perdarahan berturut-turut 8 ± 0,89 menit dan 6,33 ± 0,88 menit. Perbedaan ini dapat disebabkan karena efek asam traneksamat sebagai kontrol positif memiliki
efek yang lebih kuat sebagai koagulan bila dibandingkan dengan EEDK dosis 100 mgKgBB dan 150 mgKgBB. Kelompok kontrol positif memiliki perbedaan yang
tidak bermakna secara signifikan dengan EEDK dosis 200 mgKgBB p ≥ 0,05,
hal ini menunjukkan bahwa EEDK dosis 200 mgKgBB memiliki aktivitas koagulan yang hampir menyamai efek asam traneksamat pada pengamatan waktu
perdarahan 2 jam setelah perlakuan. Daun kelor memiliki kandungan tanin terkondesasi, khususnya pyrocatechol, di mana menurut Dandjesso 2012, tanin
merupakan salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang memiliki efek dalam pro-koagulasi darah pada suatu ekstrak. Tanin apabila digunakan secara
oral dapat bersifat vasoprotektif. Tanin juga memiliki efek adstringen, yaitu vasokonstriksi pada pembuluh darah kecil yang merupakan salah satu parameter
penting dalam hemostasis, sehingga tanin dapat bermanfaat sebagai hemostatik. Berdasarkan hasil penelitian ini juga telah dilakukan analisa statistik
menggunakan ANOVA satu arah, di mana EEDK variasi dosis 100, 150 dan 200 mgKgBB berbeda secara signifikan p 0,05 pada 1 jam setelah perlakuan dan 2
jam setelah perlakuan, yang berarti ketiga variasi dosis tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara signifikan baik pada 1 jam setelah
perlakuan maupun 2 jam setelah perlakuan.
Universitas Sumatera Utara
54 Pada 1 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100 mgKgBB memberikan
waktu perdarahan berupa 9,67 ± 2,16 menit, EEDK dosis 150 mgKgBB berupa 6,42 ± 1,07 menit, dan EEDK dosis 200 mgKgBB berupa 5,75 ± 0,94 menit. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis, semakin besar efek koagulan yang dimiliki oleh EEDK, karena semakin banyak kandungan pyrocatechol yang
dioralkan pada hewan percobaan. Pada 2 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100 mgKgBB memberikan waktu perdarahan berupa 8 ± 0,89 menit, EEDK dosis 150
mgKgBB berupa 6,33 ± 0,88 menit, dan EEDK dosis 200 mgKgBB berupa 4,92 ± 0,67 menit.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka perlakuan yang paling baik dalam menurunkan waktu perdarahan baik 1 jam dan 2 jam setelah diinduksi
heparin adalah kontrol positif asam traneksamat, EEDK dosis 200 mgKgBB, lalu EEDK dosis 150 mgKgBB, dan EEDK 100 mgKgBB, sedangkan kontrol negatif
walaupun mengalami penurunan waktu perdarahan, dianggap karena efek heparin telah habis.
Universitas Sumatera Utara
55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan