Campur Kode Analisis campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy

terlebih masyarakat multilingual, kelompok masyarakat bahasa multilingual memiliki kemampuan menggunakan lebih dari dua bahasa. Dilihat dari sempit luasnya verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur, yaitu 1 masyarakat tutur yang repertoire pemakainya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula; dan 2 masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilihan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya. Kedua jenis masyarakat bahasa masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisonal maupun masyarakat besar dan modern. Hanya, seperti yang dikatakan Fishman dan juga Gumprez, masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkan, masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi bahasa dan beberapa bahasa yang berlainan.

E. Campur Kode

Sebelum membahas campur kode, ada baiknya kita mengetahui pengertian kode. Kode biasanya berbentuk variasi bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa. Kode bahasa ialah sistem bahasa dalam suatu masyarakat. Campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah code mixing dalam bahasa Inggris. Nababan menjelaskan campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain yaitu bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam dalam suatu tindak berbahasa speech act atau discourse tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu menuntut percampuran bahasa itu. 11 Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat 11 P.W.J Nababan, Sosiolinguistik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 32. dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seseorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa. Abdul Syukur Ibrahim dan H. Suparno menjelaskan perbedaan Alih kode dan campur kode. Bahwa, pada alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun bahasa yang berbeda. Pada campur kode, yang terjadi bukan peralihan kode, tetapi bercampurya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh penutur. Hal itu juga berarti bahwa campur kode dapat terjadi dalam dimensi intrabahasa dan dapat pula terjadi dalam dimensi antarbahasa. 12 Thalender mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode, menurutnya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran hybrid clauses, hybrid phrases, dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode. Fasold menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatikal satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut stuktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. 13 12 Abdul Syukur Ibrahim dan Suparno, Sosiolinguistik, Jakarta: Universitas Terbuka, 2007, Cet. Ke-6, h. 4.16. 13 Abdul Chaer dan Leonie Aguistina, Op. Cit., h. 115. Beberapa wujud campur kode adalah dapat berupa penyisipan kata, frasa, klausa, penyisipan ungkapan atau idom, dan penyisipan baster gabungan pembentukan asli dan asing. 14 1. Kata Kata dalam tataran morfologi adalah satuan gramatikal yang bebas dan terkecil. Dalam tataran sintaksis kata dibagi dua yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh fullword adalah kata yang termasuk kategori nomina, verba, ajektiva, adverbial, dan numeralia, sebagai kata penuh memiliki makna leksikal masing-masing dan mengalami proses morfologi. Sebaliknya, kata tugas adalah kata yang berkategori preposisi dan konjungsi, tidak mengalami proses morfologi dan merupakan kelas tertutup, dalam pertuturan tidak dapat berdiri sendiri. 15 2. Frasa Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dan tidak memiliki unsur predikat. Pembentukan frasa itu harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat. Contoh belum makan dan tanah tinggi adalah frasa, sedangkan tata boga dan interlokal bukan frasa, karena boga dan inter adalah morfem terikat. 3. Klausa Klausa adalah satuan sintaksis berbentuk rangkaian kata-kata yang berkontruksi predikatif, di dalam klausa ada kata atau frasa yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam kontruksi klausa ini, fungsi subjek boleh dikatakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib. 16 4. Idiom Idiom adalah bahasa yang telah teradatkan, artinya, bahasa yang sudah biasa dipakai seperti itu dalam suatu bahasa oleh para pemakainya. Idiom ini sudah tidak dapat lagi menanyakan mengapa begitu kata itu dipakai, mengapa 14 http:anaksastra.blogspot.com200902alih-kode-dan-campur-kode.html, diakses tanggal 13 Oktober 2010. 15 Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, Cet. Ke-2, h. 219. 16 Abdul Chaer, ibid., h.231. begitu susunannya atau mengapa begitu artinya. Hubungan makna idiom itu bukanlah makna sebenarnya kata itu, idiom tidak dapat diartikan secara harfiah ke dalam bahasa lain. 17 Idiom dewasa ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah ungkapan. Unsur suatu idiom membentuk kesatuan yang padu. Idiom harus muncul seperti itu, tidak boleh dikurang-kurangi karena seperti dikatakan tadi sudah merupakan bahasa teradatkan. 5. Baster Pembentukan Asli dan Asing Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda, membentuk satu makna. Istilah bentuk baster mengacu pada bentuk campuran antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang digunakan dalam kalimat bahasa Indonesia yang merupakan bahasa inti. 18 misalnya handphon-nya, dairy-nya, me- murajaah, di-ghosob dan lain-lain. 6. Perulangan Kata Proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak. Misalnya, sepeda-sepeda diulang seluruhnya tanpa variasi fonem dan tanpa kombinasi afiks. memukul-mukul diulang sebagaian; gerak-gerik diulang seluruhnya dengan variasi fonem buah-buahan diulang seluruhnya dengan kombinasi afiks. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada fenomena campur kode adalah seorang penutur pada dasarnya menggunakan sebuah varian suatu bahasa. Pada penggunaan itu, dia menggunakan serpihan-serpihan kode dari bahasa yang lain. Serpihan-serpihan unsur bahasa tersebut dapat berupa kata sampai klausa, dapat juga berupa kata ulang, idiom maupun baster. Menurut Suwito dalam Dwi Sutana, ciri-ciri campur kode ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peran dan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya. Berdasarkan pendapat Suwito 17 J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, Jakarta: PT Gramedia, 1993, Cet. Ke-2, h. 47 —48. 18 http:repository.usu.ac.idbitstream12345678913466108E01506.pdf, Mayerni Sitepu, Skripsi: Campur Kode dalam Majalah Aneka Yes, Medan, Universitas Sumatra Selatan, 2007, h. 34. Diakses tanggal 13 Februari 2010. tersebut, Dwi Sutana membagi beberapa fungsi campur kode yaitu 1 untuk penghormatan, 2 untuk menegaskan suatu maksud tertentu, 3 untuk menunjukkan identitas diri, dan 4 karena pengaruh materi pembicaraan. 19 Ciri-ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa formal jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing. 20 Dalam bahasa tulisan, hal ini kita nyatakan dengan mencetak miring atau mengarisbawahi kataungkapan bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicara ingin memamerkan ―keterpelajarannya‖ atau kedudukannya. Campur kode merupakan fenomena yang terjadi karena masuknya serpihan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada sebab terjadinya campur kode. Ada kemungkinan campur kode terjadi karena faktor individu, seperti ingin menunjukkan status, peran, dan kepakaran. Ada juga kemungkinan sebab kurangnya unsur bahasa yang digunakan.

F. Pengertian Novel