Deskripsi dan Dialog a. Deskripsi

G. Deskripsi dan Dialog a. Deskripsi

Pada karya sastra bentuk fiksi umumnya dikembangkan dengan bentuk deskripsi dan dialog, kedua bentuk tersebut saling melengkapi silih berganti sehingga cerita yang ditampilkan bervariatif dan tidak menoton. Ismail Marahimin dalam bukunya Menulis Secara Populer menjelaskan bahwa deskripsi ialah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat, suasana atau keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya, melalui tulisannya, dapat ‗melihat‘ apa yang dilihatnya, dapat ‗mendengar‘ apa yang didengarnya, ‗mencium bau‘ yang diciumnya, ‗mencicipi‘ apa yang dimakannya, ‗merasakan‘ apa yang dirasakannya, serta sampai kepada ‗kesimpulan‘ yang sama dengannya. Dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan hasil observasi melalui pancaindera yang disampaikan dengan kata- kata. 26 Deskripsi dapat merupakan tulang punggung penulisan yang hidup dan menawan jika penulisnya mempunyai pengamatan yang tajam dengan semua alat inderanya kemudian penulis menuliskan dengan kata-kata yahng tepat atau dengan perbandingan yang tepat. Oleh sebab itu dalam menuliskan deskripsi perlu mengamati dengan tajam dengan cara memanfaatkan semua pancaindera yang dimiliki. Ada berbagai cara menuliskan deskripsi dan perbedaan-perbedaan ini timbul karena pada dasarnya tidak ada dua orang manusia yang mempunyai pengamatan sama, dan lagi pula tujuan pengamatan itu pun berbeda-beda pula. Secara garis besar macam-macam bentuk deskripsi dibedakan dua macam saja, yaitu deskripsi ekspositoris dan deskripsi impresionistis. 1. Deskripsi Ekspositoris Deskripsi ekspositoris adalah yang sangat logis, yang isinya biasanya merupakan daftar rincian, semuanya atau yang menurut penulisnya hal yang 26 Ismail Marahimin, Menulis Secara Populer, Jakarta: Pustaka Jaya, 2001, Cet. Ke-3, h. 45. penting-penting saja, yang disusun menurut sistem dan urutan-urutan logis objek yang diamati itu. Setiap benda, setiap tempat, setiap suasana tentu mempunyai urutan-urutan sendiri. Misalnya jika kita mendeskripsikan rangakain kereta api, maka urutan logisnya pastilah dari depan, lokomotifnya, ke belakang, gerbong-gerbong yang mengekori lokomotif tadi. Jika kita mengembangkan pengamatan atau observasi kita menurut ruang, artinya dari satu ruang atau ke ruang atau sisi lainnya, maka deskripsi ini dikatan sebgai deskripsi dengan pengembangan ruang atau spasi. Jika kita mendeskripsikan suatu proses, cara menanak nasi misalnya, maka dengan sendirinya harus mengikuti tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan, kita mengembangkan deskripsi bentuk lain yang kita namakan pengembangan waktu. 2. Deskripsi Impresionistis Deskripsi impresonistis bisa juga disebut deskripsi stimulatif, adalah untuk menggambarkan impresi penulisnya, atau untuk menstimulir pembacanya. Berbeda dengan deskripsi ekspositori yang biasanya hanya terikat pada objek dan proses yang dideskripsikannya. Deskripsi impresionistis ini lebih menekankan impresi atau kesan penulisnya ketika melakukan observasi. Deskripsi ekspositoris memakai urutan logika atau urutan-urutan peristiwa objek yang dideskripsikan itu, maka dalam deskripsi impresionistis urutan-urutan yang dipakai adalah menurut kuat lemahnya kesan penulis terhadap bagian-bagian objek itu. Seseorang yang mendeskripsikan kamar asrama tempat temannya tinggal dan bermaksud menonjolkan kejorokan yang dilihatnya di sana mulai dengan bau yang diciumnya lalu ke penglihatan yaitu apa yang dilihatnya di sana kemudian beralih ke pencahayaan di dalam kamar. Urutan-urutan deskripsi impresionistis bisa saja mulai dari yang kurang jorok berangsur-angsur ke yang paling jorok, dan diakhiri dengan bau. 27 Jakob Sumardjo dalam bukunya Catatan Kecil Menulis Cerpen menjelaskan dua teknik sebuah karya fiksi jenis karya fiksi menurut bahasan beliau adalah cerpen diceritakan kepada pembaca, yaitu menggunakan teknik naratif dan teknik dramatik. Teknik naratif berpusat pada si pencerita semua 27 Ismail Marahimin, Ibid., h. 46 —47. peristiwa dikisahkan melalui mata si pencerita dengan teknik ini penulis ibarat bercerita kepada pendengar, mula-mula begini, lalu begini dan akhirnya begini. Mungkin pendengar cerita terpesona karena cara bercerita penulis memang menarik. Teknik kedua adalah teknik dramatik, penulis cerita ibaratnya ingin menceritakan sebuah peristiwa kepada pendengar-pendengarnya, tetapi bukan melalui mulut si pencerita, peristiwa itu penulis cerita lukiskan dengan peragaan drama, yaitu menghadirkan peristiwa dalam teknik tersebut. 28 Penulis cerita menciptakan kembali peristiwa di depan pendengar, efek yang tajam yang dapat diberikan oleh pengarang adalah apabila teknik dramatik lebih diutamakan daripada teknik naratif, dalam teknik naratif penulis cerita bercerita berdasarkan persepsinya sendiri, teknik ini tak jarang dijumpai komentar cerita: ―dengan perasaan sedih ia duduk lemas di kursi‖, atau ia tertawa karena bahagia‖, pernyatan-pernyataan ―ia bahagia‖, ―Didit amat sedih‖ jelas kurang memberikan kesan kepada pembaca, pembaca lebih banyak diminta untuk ―mendengarkan‖ daripada menyaksikan‖. Sedangkan teknik dramatik tugas pengarang adalah menyajikan gambaran-gambaran konkret tanpa komentar langsung dari pengarang. Konkritisasi adegan dilakukan dengan melukiskan adegan-adegan yang sebanyak mungkin terserap oleh indera pembaca. Teknik dramatik, pembaca tidak hanya diajak melihat apa yang terjadi, tetapi dimana peristiwa itu terjadi lengkap dengan letak, keadaan cahaya, bau-bauan yang ada di tempat kejadian. Pada prinsipnya teknik dramatik adalah melukiskan peristiwa seperti apa adanya, pembaca diminta menyaksikan sendiri, seperti kita menghadapi peristiwa dalam panggung teater, seperti kita diajak menonton film, pembaca bisa melihat, mendengar, membau, meraba apa yang terjadi, pembaca tidak dibiarkan hanya mendengarkan apa yang kita ceritakan. Keunikan penggambaran watak, tempat kejadian cerita, suasana yang dilakukan dengan teknik dramatik lebih mencekam ingatan pembacanya. Tugas sastrawan bukan ―bercerita‖ belaka, melainkan 28 Jakob Sumardjo, Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007, Cet. ke-4, h.150. mengidupkan ceritanya seperti aktor bermain di panggung, bagaimana membuat pembaca melihat, mendengar, merasakan, membaui, itulah yang penting.

b. Dialog

Dialog adalah percakapan di antara tokoh-tokoh dalam narasi, ada narasi atau cerita yang penuh dengan dialog, jalan cerita, karakteristik tokoh, konflik dan sebagainya, kita ketahui melaui dialog-dialog. Dalam pengungkapan bahasa percakapan, seolah-olah pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi percakapan atau dialognya. 29 Gaya dialog dapat memberikan kesan realistis, sungguh-sungguh dan memberikan penekanan terhadap cerita atau kejadian yang dituturkan dengan gaya narasi. Ada ungkapan-ungkapan perasaan yang tajam rasanya dan lebih dalam maknanya jika diucapkan dengan dialog, dibandingkan jika hanya diceritakan narator saja. Dialog juga dapat mengemban tugas memberikan warna lokal, penulis yang baik dalam membuat dialog adalah hendaknya dijaga konsistensi masing-masing tokoh. Seseorang biasanya menggunakan bahasa yang sama untuk suasana yang sama, yang khas pada orang itu. Ini harus dipelihara, harus memperhatikan laras bahasa yang dibergunakan di dalam dialog. Pakailah bahasa lisan yang lazim untuk tempat dan waktu berlakunya cerita menurut laras yang sesuai. Penuturan bentuk dialog tidak mungkin hadir tanpa disertai dengan narasi atau deskripsi. Sebaliknya, bentuk narasi atau deskripsi dapat hadir tanpa dialog, walau mungkin terasa dipaksakan, misalnya sebuah cerita yang relatif pendek. Percakapan yang terjadi baru akan efektif jika telah jelas konteks berlangsungnya sebuah penuturan, misalnya yang menyangkut masalah: di mana, kapan, antarsiapa, masalah apa, dalam situasi apa, situasi bagaimana dan sebagainya. Sebuah percakapan yang hadir dalam kalimat pertama sebuah novel, bahkan di awal bab-bab sebuah novel, tidak akan begitu saja dapat dipahami pembaca sebelum mereka mengetahui konteks situasinya, dan hal itu baru diceritakan pada kalimat-kalimat berikutnya yang biasanya berbentuk narasi. 29 Ismail Marahimin, Op.Cit., h. 104. Dengan mengetahui konteks situasi pembicaraan, pembaca pun dapat mempertimbangkan apakah sebuah percakapan itu efektif, hidup, segar, wajar, atau bahkan sebaliknya. Dengan demikian bentuk deskripsi atau narasi dan dialog saling mendukung dan menghidupkan karya fiksi bentuk novel maupun cerpen.

H. Jenis-Jenis Novel