Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel ketika cinta bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM NOVEL

KETIKA CINTA BERTASBIH

KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.)

Oleh:

ARIEF MAHMUDI

NIM: 106011000075

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H./2011 M.


(2)

(3)

(4)

(5)

i ABSTRAK

Nama : Arief Mahmudi

NIM : 106011000075

Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam

Judul : “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy”

Manusia dapat dianggap sebagai makhluk yang beradab jika memiliki akhlak terpuji. Tanpa akhlak terpuji, derajat manusia akan lebih rendah daripada hewan. Untuk menumbuhkan akhlak terpuji diperlukan pembiasaan secara terus-menerus melalui bimbingan dan pendidikan. Salah satu faktor lingkungan pendidikan menurut Imâm al-Ġazâlî adalah lingkungan kesusastraan. Karya sastra berupa buku-buku yang berisi cerita yang baik, benar dan mulia akan membawa pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak perilaku dan kepribadian anak.

Salah satu bentuk karya sastra yang berkembang pesat dan populer di Indonesia adalah novel. Salah satu novel populer yang digemari masyarakat Indonesia adalah novel berjudul Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Novel tersebut merupakan sebuah novel yang sarat dengan pesan-pesan akhlak terpuji yang direfleksikan dari sikap dan perilaku para tokoh di dalamnya. Berangkat dari latar belakang ini penulis ingin membahasnya dalam skripsi dan mengambil judul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy”.

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu suatu jenis penelitian yang mengacu pada khazanah kepustakaan seperti buku-buku, artikel, atau dokumen-dokumen lainnya. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami dan menangkap isi karya sastra, serta metode deskriptif, yaitu metode yang membahas objek penelitian secara apa adanya sesuai dengan data-data yang diperoleh.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy meliputi: akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya yang terdiri dari syukur, sabar, tobat, ikhlas, sunnah, dan salawat; akhlak terhadap orang tua yang terdiri dari perkataan lemah lembut kepada orang tua, perbuatan baik kepada orang tua, dan pemuliaan kepada teman-teman orang tua; akhlak terhadap diri sendiri yang terdiri dari kerja keras, cita-cita tinggi, giat belajar, disiplin, dan pemeliharaan kesucian diri; serta akhlak terhadap sesama manusia yang terdiri dari tolong-menolong, rendah hati, pemaafan, penepatan janji dan pemuliaan tamu. Adapun bentuk perilaku akhlak yang dominan ditampilkan oleh pengarang meliputi sabar, kerja keras, dan giat belajar.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâhi Rabb al-

‘âlamîn, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat beriring salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy” ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari sumbangsih berbagai pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik moril maupun materil. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Sri Purwiyati dan Iswandi HS (almarhum) yang telah merawat, mendidik, dan mendukung penulis dengan kasih sayang tulus sepanjang masa.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. beserta para pembantu dekan dan segenap jajarannya.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Bahrissalim, M.Ag. dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag. beserta pengadministrasi jurusan, Bapak Faza Amri, S.Th.I.

4. Dosen penasihat akademik penulis, Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. atas bimbingan yang selama ini telah diberikan.

5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak Drs. E. Kusnadi yang telah memberi saran dan arahan dalam penulisan skripsi.

6. Kepala Pusat Penjaminan Mutu dan Pengembangan Kerjasama (PPMPK) FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Sururin dan Sekretaris PPMPK, Bapak Abdul Muin, S.Si., M.Pd. yang telah mempercayakan penulis sebagai salah satu mahasiswa yang membantu beliau berdua di unit tersebut sejak Juli 2010 lalu.


(7)

iii

7. Teman-teman mahasiswa PAI, khususnya kelas B angkatan 2006 atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan saat berinteraksi dengan mereka. Terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada Ahmad Syahroni, S.Pd.I., Abdul Goni Jamal, S.Pd.I., Abdul Azis, S.Pd.I., Ach. Hidayatul Wahyudi, S.Pd.I., Ahmad Nasehuddin, S.Pd.I., Ansori, S.Pd.I., Deden Rahman Budiman, S.Pd.I., dan Ahmad Sidrotul Muntaha, S.Pd.I. yang telah mengawal, mengingatkan dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

8. Teman-teman mahasiswa yang pernah (dan sedang) terlibat di PPMPK: Muhammad Alimudin, Abu Salam, S.Pd.I., Rahmawati, S.Pd., Lilis Komariah, S.Pd., Naeli Zakiyah, S.Pd., Ika Rifqiawati, S.Pd., Zaenal Umar, Lilis Marina Angraini, S.Pd., Desy Bangkit Arihati, S.Pd., Endang Erika, S.Pd.I., Aji Payumi, Junaedi, S.Pd.I., Andi Basyuni, S.Pd.I., Lia Kurniawati, dan Wiwin Pratiwi.

9. Teman-teman PPKT SMP Darul Ma’arif, Cipete angkatan Februari – Mei 2010, Pendidikan Fisika angkatan 2006, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006, Karang Taruna RT. 001 RW. 07 Cijantung, Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Ciputat, Lingkar Sastra Tarbiyah dan Tongkrongan Sastra Senjakala.

10. Adinda Kelly Aprilla yang dengan sabar telah menyertai, mendukung dan menyemangati penulis.

11. Serta kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dari Allah Swt. Âmîn yâ Rabb al-’âlamîn.

Jakarta, 20 Juni 2011 Penulis,


(8)

iv DAFTAR ISI

COVER

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 6

C.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

D.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 9

BAB II KAJIAN TEORI ... 11

A.Konsep Pendidikan Akhlak ... 11

1. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 11

2. Dasar Pendidikan Akhlak ... 15

3. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 18

4. Metode Pendidikan Akhlak ... 19

B.Konsep Novel ... 24

1. Pengertian Novel ... 24

2. Macam-macam Novel ... 26


(9)

v

BAB III TINJAUAN NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH ... 34

A.Tinjauan Internal ... 34

1. Sinopsis ... 34

2. Tema ... 37

3. Alur ... 38

4. Penokohan ... 38

5. Latar ... 44

6. Sudut Pandang ... 51

B.Tinjauan Eksternal ... 52

1. Biografi Pengarang... 52

2. Lingkungan Sosial Budaya ... 55

3. Lingkungan Pendidikan ... 56

4. Lingkungan Ekonomi ... 56

5. Pandangan Hidup Pengarang ... 57

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 58

A.Akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya ... 59

1. Syukur ... 59

2. Sabar ... 62

3. Tobat ... 64

4. Ikhlas ... 66

5. Sunnah ... 68

6. Salawat ... 70

B.Akhlak terhadap Orang Tua ... 72

1. Perkataan Lemah Lembut kepada Orang Tua ... 72

2. Perbuatan Baik kepada Orang Tua ... 74

3. Pemuliaan kepada Teman-teman Orang Tua ... 76

C.Akhlak terhadap Diri Sendiri ... 78

1. Kerja Keras ... 78

2. Cita-cita Tinggi ... 80

3. Giat Belajar ... 82


(10)

vi

5. Pemeliharaan Kesucian Diri ... 85

D.Akhlak terhadap Sesama Manusia ... 87

1. Tolong-Menolong ... 87

2. Rendah Hati ... 90

3. Pemaaf ... 91

4. Penepatan Janji ... 93

5. Pemuliaan Tamu ... 95

BAB V PENUTUP ... 98

A.Kesimpulan ... 98

B.Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ...100 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Unsur-unsur Novel ... 33 Tabel 2 Penokohan dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman

El Shirazy ... 43 Tabel 3 Temuan dan Pembahasan Penelitian ... 96


(12)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pengajuan Proposal Skripsi Lampiran 2 Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 3 Surat Pernyataan Uji Referensi Lampiran 4 Daftar Uji Referensi


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati posisi yang teramat penting, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan bangsa, sebab jatuh-bangunnya sebuah masyarakat bergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya. Namun, bila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya.

Untuk mencapai akhlak yang baik, manusia bisa mencapainya melalui dua cara. M. Yatimin Abdullah menjabarkannya sebagai berikut.

Pertama, melalui karunia Tuhan yang menciptakan manusia dengan fitrahnya yang sempurna, akhlak yang baik, serta nafsu syahwat yang tunduk kepada akal dan agama. Manusia tersebut dapat memperoleh ilmu tanpa belajar dan tanpa melalui proses pendidikan. Manusia yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah para nabi dan rasul Allah. Kedua, melalui cara berjuang secara bersungguh-sungguh (mujahadah) dan latihan (riyadhah), yakni membiasakan diri melakukan akhlak-akhlak mulia. Ini yang dapat dilakukan oleh manusia biasa, yaitu dengan belajar dan terus-menerus berlatih.1

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa salah satu cara untuk mencapai akhlak yang baik adalah melalui pendidikan.

1M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 21.


(14)

2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”2

Dari definisi di atas tampak bahwa pendidikan akhlak merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem pendidikan nasional. Sehingga sama penting dan tidak terpisahkan dengan aspek-aspek lainnya seperti spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan.

Pendidikan akhlak dalam agama Islam mendapat perhatian yang serius. Dalam ajaran Islam, kaidah untuk mengerjakan perbuatan baik dan buruk telah tertera di dalam Alquran dan hadis. Nabi Muhammad Saw. adalah teladan ideal dalam hal ini. Beliau adalah sosok manusia utama yang menjadi sumber rujukan akhlak umat Islam. Firman Allah Swt.:

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Q.S. al-Ahzâb/33: 21)3

Pembentukan kepribadian muslim dalam pendidikan akhlak merupakan pembentukan kepribadian yang utuh, menyeluruh, dan berimbang. Pembentukan kepribadian muslim sebagai individu adalah bentuk kepribadian yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan faktor dasar (bawaan) dan faktor ajar (lingkungan), dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman.4

2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2010), Cet. I, h. 2-3.

3Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 420.


(15)

3

Untuk mencapai konsep ideal tersebut dibutuhkan sistem yang paripurna. Dalam hal ini, pendidikan memiliki posisi penting dan strategis. Karena pendidikan merupakan upaya untuk mengoptimalkan semua potensi manusia, yaitu dalam masalah moral (akhlak), intelektual, juga jasmani. Dalam proses pendidikan, segala potensi tersebut dibina dan diarahkan ke dalam koridor positif, melalui pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan.5

Pendidikan juga merupakan bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar setelah menerima bimbingan dan asuhan tersebut, para peserta didik mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Lebih dari itu, peserta didik juga menjadikan ajaran agama tersebut sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun akhirat.6 Karena

proses pendidikan memang diselenggarakan untuk memupuk jiwa agama dengan berupaya menanamkan rasa cinta kasih kepada Allah, menanamkan itikad dan kepercayaan yang benar dalam jiwa, agar menjadi orang yang bertakwa, membiasakan dan membimbing peserta didik untuk berakhlak mulia serta memiliki adat kebiasaan yang baik.7 Dengan demikian, eksistensi manusia sebagai

khalifah Allah di muka bumi bisa terwujud.

Akan tetapi, jika diamati bagaimana keadaan nyata dunia pendidikan dewasa ini, tampak adanya gejala-gejala yang menunjukkan rendahnya kualitas akhlak para peserta didik. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus, misalnya, maraknya perilaku seks bebas para remaja, menggejalanya tawuran antarsekolah, dan mewabahnya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di dalam dunia remaja usia sekolah.

Masalah di atas sudah tentu memerlukan solusi. Dalam hal ini, tindakan preventif perlu ditempuh agar dapat mengantarkan individu kepada terjaminnya akhlak generasi penerus yang menjadi tumpuan dan harapan bangsa di masa

5Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1998), h. 4.

6Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 23.

7Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Depag RI, Kurikulum Madrasah Tsanawiyah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 1975), h. 22-27.


(16)

4

depan serta dapat menciptakan dan sekaligus memelihara ketenteraman dan kebahagiaan di tengah-tengah masyarakat.

Mengingat pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan akhlak dalam kaitan ini berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan pada gilirannya dapat menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk, serta menerapkan perilaku yang baik dan meninggalkan perilaku yang buruk tersebut. Selain Alquran dan hadis yang merupakan acuan utama dalam pendidikan akhlak terpuji, karya sastra juga dapat dijadikan rujukan, mengingat di dalam karya sastra sering termuat pesan atau amanat untuk berbuat baik.

Apa yang tertulis dalam karya sastra merupakan observasi yang tajam dari pengarangnya terhadap realitas yang terjadi di sekelilingnya. Membaca karya sastra memungkinkan seseorang mendapatkan masukan tentang manusia atau masyarakat dan menimbulkan pikiran dan motivasi untuk berbuat sesuatu bagi manusia atau masyarakat itu; dalam diri manusia sebagai pribadi dan anggota masyarakat timbul kepedulian terhadap apa yang dihadapi masyarakat.

Imâm al-Ġazâlî, sebagaimana dikutip oleh Zainuddin, dkk., berpendapat bahwa kesusastraan termasuk ke dalam salah satu faktor lingkungan pendidikan. Karya sastra berupa buku-buku yang berisi cerita yang baik, benar dan mulia akan membawa pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak perilaku dan kepribadian anak.8

Salah satu bentuk karya sastra yang berkembang pesat di Indonesia adalah novel. Jakob Sumardjo menyatakan bahwa novel merupakan bentuk karya sastra yang paling banyak dibaca daripada bentuk yang lainnya, semisal puisi.9

Novel merupakan salah satu bentuk dari prosa fiksi, mempunyai arti sebuah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian kehidupan seseorang bersama orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

8Zainuddin, dkk., Seluk-beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet. I, h. 93.


(17)

5

Novel dibangun atas dua unsur pembentuknya, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri, yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur-unsur tersebut adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, yang secara tidak langsung turut mempengaruhi bangunan atau sistem organisasi karya sastra. Unsur-unsur tersebut, misalnya, pendidikan, psikologi, politik, ekonomi dan sosial.10

Novel sejatinya bukan hanya sekadar bacaan, melainkan mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Di dalam novel tergambar lingkungan kemasyarakatan serta jiwa tokoh yang hidup di suatu masa dan di suatu tempat. Secara sosiologis, manusia dan peristiwa dalam novel adalah pantulan realitas yang ditampilkan oleh pengarang dari suatu keadaan tertentu.11

Gambaran-gambaran kehidupan tersebutlah yang pada gilirannya dapat memengaruhi pembaca.

Salah satu novel yang cukup populer di tengah masyarakat adalah novel berjudul Ketika Cinta Bertasbih. Novel ini ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy, seorang sarjana lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang lahir pada tanggal 30 September 1976 di Semarang. Ia dikenal secara nasional sebagai dai, novelis, penyair, penerjemah, dosen dan baru-baru ini sebagai sutradara.

Sebelum menulis novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy telah dikenal lewat sejumlah karyanya yang fenomenal dan laris terjual di pasaran, seperti novel Ayat Ayat Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, novelet Dalam Mihrab Cinta, dan kumpulan kisah Di Atas Sajadah Cinta. Bahkan, novel Ayat Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, serta novelet Dalam Mihrab Cinta kemudian difilmkan dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat.

10Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), Cet. VIII, h. 23-24.


(18)

6

Dalam kapasitasnya sebagai penulis, Habiburrahman El Shirazy berhasil meraih beberapa penghargaan, di antaranya: Pena Award Tahun 2005, The Most Favorite Book and Writer Tahun 2005, dan IBF Award Tahun 2006.

Pada tahun 2007 silam, Habiburrahman El Shirazy dipilih oleh harian umum Republika sebagai salah satu Tokoh Perubahan Indonesia Tahun 2007 dengan predikat “The Sound of Moral”.12 Dari penghargaan ini, dapat dilihat bahwa

Habiburrahman El Shirazy dan karyanya dinilai telah membawa pengaruh positif dalam gerakan perbaikan moral di Indonesia.

Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy mengisahkan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir. Melalui tokoh utama bernama Azzam dalam novel tersebut, ia berupaya menyampaikan berbagai pesan akhlak kepada para pembaca.

Maka, untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel tersebut, dalam skripsi ini penulis akan membahasnya dengan judul: “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya

Habiburrahman El Shirazy”. B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Banyaknya kemerosotan akhlak yang terjadi di tengah masyarakat, mulai dari kalangan generasi muda hingga tua.

2. Banyaknya peserta didik usia sekolah yang terlibat tawuran, seks bebas dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap nilai-nilai pendidikan akhlak terpuji.

3. Pentingnya upaya pendidikan akhlak terpuji melalui media yang mampu menarik minat peserta didik, antara lain melalui bahan bacaan berupa novel.

12Lihat “Pengantar”, dalam Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih, Jilid I, (Jakarta: Penerbit Republika, 2008), Cet. X, h. 8.


(19)

7

C.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan tidak melebar, maka dalam penelitian ini dibatasi hanya pada nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Yang dimaksud dengan akhlak dalam penelitian ini adalah sikap yang mengakar dalam jiwa yang mampu melahirkan berbagai perbuatan dengan mudah, tanpa perlu dipikirkan dan dipertimbangkan kembali.13 Jika sikap tersebut melahirkan perbuatan yang

baik dalam pandangan Islam, maka hal itu disebut akhlak terpuji. Sedangkan bila yang timbul dari sikap tersebut adalah perilaku tercela dalam pandangan Islam, maka hal demikian disebut akhlak tercela. Adapun yang dimaksud dengan akhlak dalam skripsi ini ialah akhlak terpuji.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy”.

D.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk:

1. Mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

Sedangkan kegunaan penelitian ini yaitu:

1. Kegunaan bagi penulis adalah untuk memperkaya wawasan keilmuan, khususnya dalam bidang pendidikan akhlak.

2. Bagi para pembaca, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan dalam mengembangkan pendidikan akhlak di Indonesia.

13Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. dari Tahżîb al-Akhlâq wa Taţhîr al


(20)

8

3. Bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan Islam.

E.Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan akhlak.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara tentang pendidikan, akhlak dan teori fiksi. 3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya14.

4. Teknik Analisis Data

a. Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami dan menangkap isi karya sastra. Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang disampaikan pengarang melalui karya sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang

14Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet. XIII, h. 231.


(21)

9

bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada para pembacanya.15

b. Metode Deskriptif

Yaitu suatu cara yang digunakan untuk membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan data-data yang diperoleh.16 Adapun teknik

deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dengan analisis kualitatif akan diperoleh gambaran sistematik mengenai isi suatu dokumen. Dokumen tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut kriteria atau pola tertentu. Yang hendak dicapai dalam analisis ini adalah menjelaskan pokok-pokok penting dalam sebuah manuskrip atau dokumen.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah pemaparan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti lainnya atau para ahli. Dengan adanya tinjauan pustaka ini penelitian seseorang dapat diketahui keasliannya.

Setelah penulis melakukan tinjauan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis tidak menemukan judul skripsi yang sama dengan yang penulis kaji. Adapun yang penulis temukan hanya beberapa judul yang hampir sama. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti mencontek hasil karya orang lain, penulis perlu mempertegas perbedaan di antara masing-masing judul dan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:

1. “Analisis Isi Pesan Dakwah pada Novel Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Siti Maryam,

15Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarya: Medpress, 2008), h. 160. 16Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 163.


(22)

10

mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2009. Penelitiannya dibatasi pada analisis isi pesan dakwah yang meliputi akidah, akhlak dan syariah.

Persamaan penelitian Siti Maryam dengan penelitian ini terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Habiburrahman El Shirazy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajian. Penelitian Siti Maryam mengkaji aspek pesan dakwah dan menggunakan objek kajian novel Dalam Mihrab Cinta, sedangkan dalam penelitian ini penulis mengkaji aspek pendidikan akhlak dan menggunakan objek kajian novel Ketika Cinta Bertasbih.

2. “Nilai Moral dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Hena Khaerunnisa, mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011. Penelitiannya dibatasi pada kajian nilai moral dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Hena mengungkapkan delapan nilai moral dalam novel Ketika Cinta Bertasbih yang meliputi optimis, toleransi, santun, memelihara lisan, sabar, tanggung jawab, kuasai emosi, dan tolong-menolong.

Persamaan penelitian Hena Khaerunnisa dengan penelitian ini terletak pada objek kajiannya, yaitu sama-sama mengkaji novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajiannya. Penelitian Hena Khaerunnisa mengkaji aspek moral yang menggunakan tolak ukur norma Pancasila, sedangkan dalam penelitian ini penulis mengkaji aspek pendidikan akhlak yang menggunakan tolak ukur ajaran Islam, meliputi Alquran dan hadis.

Perbedaan lainnya adalah dalam penelitian Hena Khaerunnisa, ia tidak berusaha mengaitkan nilai moral dengan pendidikan, sedangkan dalam penelitian ini penulis mengaitkan nilai-nilai akhlak dengan konteks pendidikan, khususnya kebermanfaatan gambaran akhlak yang ditunjukkan dalam novel tersebut bagi peserta didik.


(23)

11 BAB II KAJIAN TEORI

A.Konsep Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan Akhlak

Istilah pendidikan berasal dari kata dasar “didik”, yang artinya “memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”.1

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.2

Sedangkan arti pendidikan menurut istilah yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan beraneka ragam. Di antaranya sebagai berikut:

Menurut Muzayyin Arifin pendidikan adalah “menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi

1Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Edisi IV, h. 425.

2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2010), Cet. I, h. 2-3.


(24)

12

manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia”.3

Sementara itu, Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan sebagai “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”. Dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Jelasnya pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal.4

Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata berpendapat bahwa:

Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk kesalamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.5

M. Ngalim Purwanto mendefinisikan pendidikan sebagai “segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.” Atau lebih jelas lagi, pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.6

Dari definisi-definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses atau usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya

3Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet. I, h. 7.

4Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 26-27.

5Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), Cet. II, h. 11. 6M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. XVII, h. 10.


(25)

13

menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakiki dan ciri-ciri kemanusiaannya.

Selanjutnya pengertian akhlak. Ditinjau dari segi bahasa, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab akhlâq yang berarti “perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama”.7

Secara linguistik, kata akhlâq merupakan isim jamid atau isim ġair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlâq adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti kata akhlâq sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlâq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam Alquran maupun hadis sebagaimana terlihat di bawah ini:

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”8

(Q.S. al-Qalam/68: 4)

“(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu.”9 (Q.S. asy-Syu’arâ'/26: 137)

“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya.”(H.R. Tirmiżî)

“Bahwasanya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.” (H.R. Ahmad)

Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keanekaragaman tersebut.10

“Sungguh, usahamu memang beraneka macam.”11 (Q.S. al-Lail/92: 4)

7Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia, 2005), Cet. II, h. 25.

8Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 564.

9Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya…, h. 373.

10M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. IV, h. 253-254. 11Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya…, h. 595.


(26)

14

Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat kedua menggunakan kata akhlâq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang pertama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua menggunakan kata akhlâq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata akhlâq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru'ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi.12

Adapun pengertian akhlak menurut istilah dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar berikut.

Menurut Imâm al-Ġazâli, akhlak ialah:

13

“Sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.”

Sedangkan Ibn Miskawaih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai:

14

“Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”

Adapun Ibrâhîm Anîs, dkk. dalam al-Mu’jam al-Wasîţ menyatakan bahwa akhlak ialah:

15

12Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf…, h. 26.

13Abû Hâmid al-Ġazâlî, Ihyâ' ‘Ulûm ad-Dîn, Jilid III, (Kairo: Dâr ar-Rayyân, 1987), h. 58.

14Ibn Miskawaih, Tahżîb al-Akhlâq wa Taţhîr al-A’râq, (Mesir: al-Maţba’ah al-Mişriyah, 1934), Cet. I, h. 40.


(27)

15

“Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”

Jika diperhatikan dengan saksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana dipaparkan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi, yakni suatu sikap yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.

Dari definisi pendidikan dan akhlak di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan akhlak ialah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada peserta didik sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah.

2. Dasar Pendidikan Akhlak

Dasar secara bahasa berarti “fundamen, pokok atau pangkal suatu pendapat (ajaran, aturan), atau asas”.16 Lebih lanjut dikatakan bahwa dasar adalah “landasan

berdirinya sesuatu yang berfungsi memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai”.17

Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga setiap ajaran yang ada dalam Islam memiliki dasar pemikiran. Begitu pula dengan pendidikan akhlak. Adapun yang menjadi dasar pendidikan akhlak dalam Islam ialah Alquran dan sunnah.

a. Alquran

Alquran ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan

15Ibrâhîm Anîs, dkk., al-Mu’jam al-Wasîţ,Jilid I, (Tt.p.: t.p., t.t.), h. 252.

16Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 318. 17Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. I, h. 12.


(28)

16

yang disebut akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syariah.18

Alquran diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Sebab pada dasarnya Alquran banyak membahas berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan tema terpenting yang dibahasnya. Setiap ayat yang terkandung di dalamnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan manusia.

Di antara ayat Alquran yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah seperti ayat di bawah ini:

“Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”19

(Q.S. Luqmân/31: 17-18)

Menurut M. Quraish Shihab, Alquran secara garis besar memiliki tiga tujuan pokok yaitu:

1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepastian akan adanya hari pembalasan.

2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.

3. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. 20

18Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h. 21. 19Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya…, h. 412.


(29)

17

b. Sunnah

Dasar pendidikan akhlak berikutnya adalah sunnah. Menurut bahasa, sunnah berarti “perjalanan atau sejarah, baik atau buruk masih bersifat umum”. Sedangkan menurut istilah, sunnah berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau kepada seorang sahabat atau seorang setelahnya (tâbi’în), baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat”.21

Mengingat kebenaran Alquran dan sunnah adalah mutlak, maka setiap ajaran yang sesuai dengan Alquran dan sunnah harus dilaksanakan dan apabila bertentangan harus ditinggalkan. Dengan demikian, berpegang teguh kepada keduanya akan menjamin seseorang terhindar dari kesesatan. Sebagaimana diterangkan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis berikut:

22

“Dikabarkan dari Abû Bakar bin Ishâq al-Faqîh diceritakan dari Muhammad bin ‘Îsâ bin Sakr al-Wâsiţî diceritakan dari Dâwûd bin ‘Umar dan Đabî diceritakan dari Şâlih bin Mûsâ aţ-Ţalahî dari ‘Abdul Azîz bin Rafî’ dari putra Şâlih dari Abû Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua (pusaka), kamu tidak akan sesat apabila (berpegang) pada keduanya, yaitu Kitab Alah dan sunnahku dan tidak akan tertolak oleh hauđ.” (H.R. Hâkim) Dari ayat serta hadis tersebut dapat dipahami bahwa ajaran Islam serta pendidikan akhlak terpuji sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. harus diteladani agar manusia dapat hidup sesuai dengan tuntunan syariat, yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia itu sendiri. Sesungguhnya Rasulullah Saw. adalah contoh serta

21Abdul Majid Khon, dkk., Ulumul Hadits, (Jakarta: PSW UIN Jakarta), h. 4-5.

22Imâm Hâkim, Mustadrak ‘alâ aş-Şahîhain, Juz III, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, t.t.), h. 93.


(30)

18

teladan sempurna bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji kepada umatnya.

3. Tujuan Pendidikan Akhlak

Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang berproses dan terencana sudah tentu mempunyai tujuan. Tujuan tersebut berfungsi sebagai titik pusat perhatian dalam melaksanakan kegiatan serta sebagai pedoman guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan.

Begitu pula halnya dengan pendidikan akhlak. Menurut Muhammad ‘Aţiyyah al-Abrâsyî, tujuan pendidikan akhlak adalah “untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku serta beradab”.23

Adapun menurut Imâm al-Ġazâlî, tujuan pendidikan akhlak dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, dapat membentuk kepribadian muslim yang memiliki sifat terpuji, sehingga setiap perbuatan baik yang dilakukan terasa nikmat, dan pada akhirnya dapat mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sehingga tujuan pendidikan akhlak dirumuskan sebagai pendekatan diri kepada Allah, yaitu untuk membentuk manusia yang saleh, yang mampu melaksanakan kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya.24

Rumusan yang sederhana namun cukup mengena ditawarkan oleh Zakiah Daradjat. Menurutnya, tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk karakter muslim yang memiliki sifat-sifat terpuji. Zakiah berpendapat bahwa dalam ajaran Islam, akhlak tidak dapat dipisahkan dari iman. Iman merupakan pengakuan hati, dan akhlak adalah pantulan iman tersebut pada perilaku, ucapan

23Muhammad ‘Aţiyyah al-Abrâsyî, Dasar-dasar Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Cet. III, h. 103.


(31)

19

dan sikap. Iman adalah maknawi, sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam perbuatan, yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata.25

Dalam hal ini, Zakiah menekankan bahwa akhlak adalah implementasi dari iman. Tujuan pendidikan akhlak dengan demikian adalah untuk membuat peserta didik mampu mengimplementasikan keimanan dengan baik.

4. Metode Pendidikan Akhlak

Berbicara mengenai masalah pembinaan dan pembentukan akhlak sama dengan berbicara mengenai tujuan pendidikan. Karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pembinaan akhlak terpuji.

Ada dua pendapat terkait dengan masalah pembinaan akhlak. Pendapat pertama mengatakan bahwa akhlak tidak perlu pembinaan. Menurut aliran ini akhlak adalah insting yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, atau dengan kata lain tanpa perlu dibentuk (ġair muktasabah).

Selanjutnya pendapat kedua mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang mendukung pendapat kedua ini umumnya berasal dari ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibn Miskawaih, Ibn Sînâ, dan al-Ġazâlî termasuk di antara kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (muktasabah).26

Imâm al-Ġazâlî, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, misalnya mengatakan bahwa:

25Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1993), h. 67-70.


(32)

20

“Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis Nabi yang mengatakan ‘perbaikilah akhlak kamu sekalian’”.27

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ada banyak usaha yang dilakukan oleh manusia untuk membentuk akhlak yang terpuji. Bermunculannya lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka pembinaan akhlak semakin memperkuat pendapat bahwa akhlak memang perlu dibina dan dilatih.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai “cara yang teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud”.28

Adapun metode pendidikan akhlak adalah sebagai berikut: a. Metode Keteladanan

Yang dimaksud dengan metode keteladanan adalah “suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan”.29

Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah Saw. dan paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan penyampaian misi dakwahnya. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil. ‘Abdullâh Nâşih ‘Ulwân, sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly, misalnya mengatakan bahwa “pendidik akan merasa mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya”.30

Hal ini disebabkan karena secara psikologis anak adalah seorang peniru. Peserta didik cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal.

27Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf…, h. 157.

28Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 1022. 29Syahidin, Metode Pendidikan Qurani: Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Misaka Galiza,1999), Cet. I, h. 135.


(33)

21

b. Metode Pembiasaan

Pembiasaan menurut M.D. Dahlan, seperti dikutip oleh Hery Noer Aly, merupakan “proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis (hampir tidak disadari oleh pelakunya)”.31

Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk memudahkan peserta didik dalam melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda sulit untuk diubah dan akan tetap berlangsung sampai tua.

c. Metode Memberi Nasihat

‘Abdurrahmân an-Nahlâwî, sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah “penjelasan kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat”.32

Dalam metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Di antaranya dengan menggunakan kisah-kisah Qurani, baik kisah nabawi maupun umat terdahulu yang banyak mengandung pelajaran yang dapat dipetik.

d. Metode Motivasi dan Intimidasi

Metode motivasi dan intimidasi dalam bahasa Arab disebut uslûb at-tarġîb wa at-tarhîb. Tarġîb berasal dari kata kerja raġġaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata ini diubah menjadi kata benda tarġîb yang bermakna suatu harapan untuk memperoleh

31Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 134. 32Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 190.


(34)

22

kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan yang mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya”.33

Metode motivasi akan sangat efektif apabila dalam penyampaiannya pendidik menggunakan bahasa yang menarik dan bisa meyakinkan pendengar. Oleh karena itu hendaknya pendidik bisa meyakinkan peserta didiknya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya, apabila bahasa yang digunakan kurang meyakinkan maka peserta didik akan malas memperhatikannya.

Sedangkan metode tarhîb berasal dari kata rahhaba yang berarti “menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancam di sini sebagai reaksi bila peserta didik melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah”.34

Metode intimidasi atau hukuman baru bisa digunakan apabila metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan.

e. Metode ‘Ibrah

Secara sederhana, ‘ibrah berarti merenungkan dan memikirkan. Dalam arti umum dapat diartikan dengan “mengambil pelajaran dari setiap peristiwa”. ‘Abdurrahmân an-Nahlâwî mendefinisikan ‘ibrah sebagai “suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui intisari dari suatu peristiwa yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimang-timang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku berpikir sosial yang sesuai”.35

f. Metode Kisah

Metode kisah merupakan salah satu upaya untuk mendidik murid agar mengambil pelajaran dari kejadian di masa lampau. Apabila kejadian

33Syahidin, Metode Pendidikan Qurani…, h. 121. 34Syahidin, Metode Pendidikan Qurani…, h. 121.

35‘Abdurrahmân an-Nahlâwî, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. II, h. 289.


(35)

23

tersebut merupakan kejadian yang baik, maka harus diikutinya. Sebaliknya, apabila kejadian tersebut bertentangan dengan ajaran Islam maka harus dihindari.

Metode ini sangat digemari khususnya oleh anak kecil, bahkan sering kali digunakan oleh seorang ibu ketika anak tersebut akan tidur. Apalagi jika metode ini disampaikan oleh orang yang pandai bercerita, akan menjadi daya tarik tersendiri. Namun perlu diingat bahwa kemampuan setiap peserta didik dalam menerima pesan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesulitan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, hendaknya setiap pendidik bisa memilih bahasa yang mudah dipahami oleh setiap anak. Lebih lanjut an-Nahlâwî menjabarkan dampak penting dari pendidikan melalui kisah yaitu:

Pertama, kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembaca tanpa cerminan kesantaian dan keterlambatan sehingga dengan kisah, setiap pembaca akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti berbagai situasi kisah tersebut sehingga pembaca terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut.

Kedua, interaksi kisah Qur’ani dan Nabawi dengan diri manusia dalam keutuhan realitasnya tercermin dalam pola terpenting yang hendak ditonjolkan oleh al-Qur’an kepada manusia di dunia dan hendak mengarahkan perhatian pada setiap pola yang selaras dengan kepentinganya.

Ketiga, kisah-kisah Qur’ani mampu membina perasaan ketuhanan melalui cara-cara berikut: 1) Mempengaruhi emosi, seperti takut, perasaan diawasi, rela dan lain-lain. 2) Mengarahkan semua emosi tersebut sehingga menyatu pada satu kesimpulan yang menjadi akhir cerita. 3) Mengikutsertakan unsur psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita sehingga pembaca, dengan emosinya, hidup bersama tokoh cerita. 4) Kisah Qur’ani memiliki keistimewaan karena, melalui topik cerita, kisah dapat memuaskan pemikiran seperti pemberian sugesti, keinginan, dan keantusiasan, perenungan dan pemikiran.36

36‘Abdurrahmân an-Nahlâwî, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1992), Cet. II, h. 242.


(36)

24

B.Konsep Novel 1. Pengertian Novel

Karya sastra dapat digolongkan sebagai salah satu sarana pendidikan dalam arti luas. Pendidikan dalam arti ini tidak terbatas pada buku-buku teks (text book) pelajaran dan kurikulum yang diajarkan di sekolah, namun dapat berupa apa saja, termasuk karya sastra, baik yang berbentuk novel, cerpen, puisi, pantun, gurindam, dan bentuk karya sastra lainnya.

Kata sastra menurut A. Teeuw, sebagaimana dikutip oleh Atmazaki, “berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi’. Akhiran -tra biasanya menunjuk alat, sarana. Maka dari itu, sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran’”.37

Dunia kesusastraan secara garis besar mengenal tiga jenis teks sastra, yaitu teks naratif (prosa), teks monolog (puisi), dan teks dialog (drama).38 Salah satu

dari ragam prosa adalah novel.

Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen; Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah, novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.39

Menurut Alterbernd dan Lewis, sebagaimana dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, fiksi—sebagai sinonim dari novel—adalah:

Prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara

37Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (T.tp.: Angkasa Raya, t.t.), h. 16-17.

38Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), Cet. I, h. 14.

39Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), Cet. VIII, h. 9.


(37)

25

selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.40

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel diartikan sebagai “karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku”.41

Novel menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, diri sendiri, serta dengan Tuhan. Novel merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupannya. Walau berupa khayalan, tidak benar jika novel dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penuh penghayatan dan perenungan secara intens terhadap hakikat hidup dan kehidupan, serta dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.42

Bagi pembaca, kegiatan membaca karya fiksi seperti novel berarti menikmati cerita dan menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah novel haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik.

Daya tarik inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk membacanya. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap orang senang dengan cerita, baik yang diperoleh dengan cara membaca maupun mendengarkan. Melalui sarana cerita ini pembaca secara tidak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkan oleh pengarang. Oleh karena itu, cerita, fiksi, atau karya sastra pada umumnya sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”.43

40Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 2-3.

41Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 1079. 42Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 3.


(38)

26

2. Macam-macam Novel

Dilihat dari segi mutunya, novel dibagi menjadi dua, yaitu: a. Novel Serius

Novel serius atau disebut juga novel literer merupakan novel yang memerlukan daya konsentrasi yang tinggi dan kemauan jika ingin memahaminya.44 Novel ini merupakan makna sastra yang sebenarnya.

Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disorot dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga secara implisit bertujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya, unsur kebaruan diutamakan. Novel ini mengambil realitas kehidupan sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus.

Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca. Oleh karena itu, pembaca novel jenis ini tidak banyak. Namun demikian, meskipun jumlah novel dan pembacanya tidak terlalu banyak, novel ini akan mempunyai gaung dan bertahan dari waktu ke waktu.

Novel serius mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Karya sastra ini tidak hanya berputar-putar dalam masalah cinta asmara muda-mudi saja, namun membuka diri terhadap masalah penting untuk menyempurnakan hidup manusia. Masalah cinta dalam novel serius kadang hanya berperan untuk menyusun plot cerita saja, sedangkan permasalahan yang sebenarnya berkembang di luar itu.

2) Karya sastra ini tidak berhenti pada gejala permukaan saja, tetapi selalu mencoba memahami suatu masalah secara mendalam dan mendasar. Hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan kematangan pribadi pengarang sebagai seorang intelektual.

3) Kejadian atau pengalaman yang diceritakan dalam karya sastra ini bisa dialami oleh manusia mana saja dan kapan saja. Karya sastra ini


(39)

27

membicarakan hal-hal yang universal dan nyata, serta tidak membicarakan kejadian yang artifisial (dibuat-buat) dan bersifat kebetulan.

4) Isi cerita penuh inovasi, segar dan baru. Sastra adalah penafsiran hidup yang jitu, merekam alam kehidupan dan menyajikan kembali dengan serba kemungkinan.

5) Mementingkan tema, karakteristik, plot, dan unsur-unsur cerita lainnya dalam membangun cerita.45

b. Novel Populer

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan.46

Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Biasanya novel ini akan cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya. Novel jenis ini lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Ia tidak berpretensi mengejar efek estetis, melainkan memberi hiburan langsung dari aksi ceritanya. Adapun ciri-ciri novel populer sebagai berikut:

1) Tema dalam novel ini selalu hanya menceritakan kisah percintaan saja, tanpa menyentuh permasalahan lain yang lebih serius.

2) Meskipun utuh, alurnya datar dan sering mengabaikan karakterisasi tokoh sehingga terasa dangkal.

3) Menggunakan bahasa yang aktual, lincah, dan gaya bercerita yang sentimental.

4) Bertujuan hiburan sehingga cerita disuguhkan dengan cara yang ringan, mengasyikkan, namun tetap memiliki ketegangan, penuh aksi, warna dan humor.

45Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia…, h. 44. 46Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 19.


(40)

28

5) Karena cerita berorientasi untuk konsumsi massa saja, maka pengarang novel populer rata-rata tunduk pada hukum cerita konvensional, sehingga jarang dijumpai usaha pembaharuan dalam novel jenis ini, sebab yang demikian itu akan ditinggalkan oleh massa pembacanya.47

3. Unsur-unsur Novel

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat.

Unsur-unsur pembangun sebuah novel dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering digunakan para kritikus dalam mengkaji dan membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya.48

Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai oleh pembaca saat membaca karya sastra. Kepaduan antarunsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.49

Unsur intrinsik dalam novel terdiri dari: tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang.

1) Tema

Tema adalah dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel. Gagasan dasar umum inilah—yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang—yang digunakan untuk mengembangkan cerita. Tema dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah makna yang mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga cerita itu hadir sebagai sebuah kesatuan yang padu.50 Berbagai unsur fiksi seperti alur,

47Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia…, h. 43. 48Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 23.

49Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 23. 50Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 70.


(41)

29

penokohan, sudut pandang, latar, dan lain-lain akan berkaitan dan bersinergi mendukung eksistensi tema.

Dalam sebuah cerita, tema jarang diungkapkan secara eksplisit, tetapi menjiwai keseluruhan cerita. Adakalanya memang dapat ditemukan sebuah kalimat, alinea, atau percakapan yang mencerminkan tema secara keseluruhan. Namun, walaupun demikian, tema harus ditemukan lewat pembacaan mendalam dan pemahaman yang kritis dari pembaca.

2) Alur

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Atau lebih jelasnya, alur merupakan peristiwa-peristiwa yang disusun satu per satu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita.51

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa tiap peristiwa tidak berdiri sendiri. Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain, peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa berikutnya dan seterusnya sampai cerita tersebut berakhir. 3) Penokohan

Penokohan merupakan unsur penting dalam karya fiksi. Dalam kajian karya fiksi, sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang sama, atau paling tidak serupa. Namun dalam skripsi ini penulis tidak akan terlalu membahas perbedaan tersebut secara fokus, sebab inti kajian skripsi ini bukan terletak pada masalah tersebut.

Istilah penokohan lebih luas cakupannya daripada tokoh. Sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh dalam cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada

51Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 26.


(42)

30

pembaca. Masalah penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita utuh.52

4) Latar

Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, pada hakikatnya berhadapan pula dengan sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni serta permasalahannya. Namun, tentu saja, hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana kehidupan manusia di dunia nyata.

Robert Stanton mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.53

Latar atau yang sering disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa di mana peristiwa-peristiwa itu diceritakan.54

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk menunjukkan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca, dengan demikian, merasa dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya.

Burhan Nurgiyantoro membagi latar yang terdapat dalam karya fiksi ke dalam tiga kategori, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.55

Latar tempat adalah latar yang menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata.

52Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 166. 53Robert Stanton, Teori Fiksi…, h. 35.

54Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 216. 55Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 227.


(43)

31

Sedangkan latar waktu Latar waktu berkaitan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

Adapun latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia bisa berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong dalam latar spiritual. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, dan atas.

5) Sudut Pandang

Menurut M.H. Abrams, seperti dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, “sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk karya fiksi kepada pembaca”.56

Sudut pandang merupakan tempat atau posisi pencerita terhadap kisah yang dikarangnya, apakah ia berada di dalam cerita atau di luar cerita. Dengan kata lain, pengarang bebas menentukan apakah dirinya ikut terlibat langsung dalam cerita itu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.

Secara garis besar, sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu persona pertama (gaya “aku”) dan persona ketiga (gaya “dia”).57

Pada sudut pandang yang menggunakan persona pertama (gaya “aku”), pengarang ikut terlibat dalam cerita. Pengarang masuk ke dalam cerita menjadi si “aku” yaitu tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, serta segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar,

56Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 248. 57Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 256.


(44)

32

dilihat, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh “aku”. Sebagai konsekuensinya, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas apa yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.

Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan lagi ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan tokoh “aku” dalam cerita. Yaitu “aku” sebagai tokoh utama jika ia menduduki peran utama atau menjadi tokoh utama protagonis, dan “aku” sebagai tokoh tambahan jika ia hanya menduduki peran tambahan, menjadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi.

Adapun pada sudut pandang persona ketiga (gaya “dia”), pengarang menjadi seseorang yang berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, terus-menerus disebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.

Sudut pandang persona ketiga dapat dibedakan lagi ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Yaitu sudut pandang “dia” mahatahu jika pengarang mengetahui segala hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya, dan sudut pandang “dia” sebagai pengamat jika pengarang hanya menceritakan secara apa adanya dan tidak sampai mengetahui detil-detil yang khas.

b. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme


(45)

33

karya sastra.58 Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai

unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Pemahaman terhadap unsur ekstrinsik suatu karya akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat bahwa karya sastra tidak muncul dari kekosongan budaya.

Bagian yang termasuk dalam unsur ekstrinsik yaitu keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup, serta biografi pengarang. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karyanya. Serta unsur ekstrinsik yang lain, seperti pandangan hidup suatu bangsa dan sebagainya.59

Komponen-komponen unsur intrinsik dan ekstrinsik dapat penulis sarikan dalam bentuk tabel berikut.

Tabel 1 Unsur-unsur Novel

No. Unsur Intrinsik Unsur Ekstrinsik

1. Tema Biografi pengarang

2. Alur Lingkungan sosial budaya

3. Penokohan Lingkungan pendidikan

4. Latar Lingkungan ekonomi

5. Sudut pandang, dll. Pandangan hidup pengarang, dll.

58Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 23. 59Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 24.


(46)

34 BAB III

TINJAUAN NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH

A.Tinjauan Internal 1. Sinopsis

Abdullah Khairul Azzam adalah seorang pemuda tampan dan cerdas yang berusia 28 tahun, berasal dari sebuah desa di pinggiran Surakarta, Jawa Tengah. Sejak kecil, Azzam sudah terlihat sebagai seorang anak yang sangat baik budi pekertinya. Atas usahanya yang gigih ia berhasil memperoleh beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo selepas menamatkan pendidikan menengah di desanya.

Baru setahun di Kairo ia berhasil memperoleh predikat jayyid jiddan (lulus dengan nilai sangat memuaskan). Namun pada tahun kedua, ayahnya meninggal dunia. Sebagai anak tertua, Azzam mau tidak mau harus bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya, dikarenakan ibunya mulai menua dan kerap sakit-sakitan, sementara ketiga adiknya masih kecil. Sementara itu, ia sendiri harus menyelesaikan studinya. Akhirnya ia mulai membagi waktu untuk belajar dan mencari nafkah. Ia mulai membuat tempe dan bakso yang ia pasarkan di lingkungan warga Indonesia yang tinggal di Kairo. Berkat keuletan dan keahliannya dalam memasak, Azzam menjadi populer dan dekat dengan kalangan staf Kedutaan Besar Republik Indonesia


(47)

35

(KBRI) di Kairo. Namun hal ini berimbas pada lamanya masa kuliah Azzam. Sudah sembilan tahun ia menimba ilmu di Negeri Seribu Menara tersebut, namun belum juga selesai.

Berkat seringnya Azzam menerima order dari KBRI Kairo, ia pun kemudian kenal dengan Eliana Pramesthi Alam, putri duta besar Republik Indonesia untuk Mesir. Eliana adalah seorang lulusan EHESS Prancis yang sedang melanjutkan pendidikan pascasarjananya di American University in Cairo. Selain cerdas, Eliana juga tersohor di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo karena kecantikannya. Segudang prestasi dan kecantikan Eliana membuat Azzam menaruh hati pada Eliana. Tetapi dalam perkembangannya kemudian Azzam urung menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Eliana, selain karena sifat dan gaya hidup Eliana yang bertolak belakang dengan prinsip hidupnya, juga karena nasihat dari Pak Ali, supir KBRI yang telah lama bekerja untuk keluarga Eliana.

Nasihat dari Pak Ali agar Azzam segera melamar seorang gadis yang lebih cocok untuknya terus terngiang-ngiang di kepalanya. Gadis yang dimaksud bernama Anna Althafunnisa, alumnus Kulliyatul Banat di Alexandria dan kini sedang melanjutkan pendidikan pascasarjananya di Kulliyatul Banat Al-Azhar Kairo. Menurut Pak Ali, kelebihan Anna dari Eliana adalah bahwa Anna memakai jilbab dan salehah. Bapaknya adalah Kiai Lutfi Hakim, pengasuh pondok pesantren Daarul Quran, Polanharjo, Klaten. Ada keinginan dari dalam diri Azzam untuk melamar Anna meskipun ia belum pernah mengenal dan bertemu secara langsung dengannya. Karena tidak punya biaya untuk pulang ke Indonesia, Pak Ali menyarankan Azzam agar melamar Anna melalui pamannya yang bernama Ustadz Saiful Mujab, yang juga sedang belajar di Kairo. Kebetulan Azzam sudah sangat mengenal Ustadz Mujab.

Dengan kesungguhan hati dan niat yang tulus, Azzam pun mendatangi Ustadz Mujab. Tapi ternyata lamarannya ditolak karena Anna sudah terlebih dahulu dilamar oleh orang lain, yaitu Furqan. Furqan tak lain adalah sahabat Azzam. Selain itu, status Azzam yang belum juga lulus kuliah dan pekerjaannya sebagai penjual tempe dan bakso menjadi alasan kedua mengapa


(48)

36

lamarannya ditolak. Ustadz Mujab menilai Azzam tidak cukup layak meminang Anna yang dikenal lebih berprestasi secara akademis ketimbang Azzam. Azzam pun bisa menerima alasan itu, meski hatinya cukup perih. Di sisi lain, Furqan terkena musibah yang menghancurkan segala rencananya. Ia menjadi korban penipuan seorang wanita agen intelijen Israel yang membuat dirinya harus rela divonis positif mengidap virus HIV. Hal tersebut membuat dirinya mengalami dilema antara harus tetap menikahi Anna yang telah dilamarnya, tetapi itu juga sekaligus akan menghancurkan kehidupan Anna.

Sementara itu, Ayatul Husna, adik Azzam yang sering berkirim surat dengannya dari tanah air, membawa berita yang cukup membahagiakan Azzam. Azzam tidak perlu lagi mengirim uang ke kampung halamannya di Kartasura sehingga ia dapat berkonsentrasi dalam menyelesaikan kuliahnya. Selain karena Husna telah lulus kuliah, ia juga sudah bekerja sebagai asisten dosen dan pengisi acara konsultasi psikologi remaja di sebuah radio. Keahlian Husna dalam menulis juga telah membuahkan hasil. Penghasilan Husna sudah cukup untuk membiayai kebutuhan dua adiknya yang lain, yaitu Lia dan Sarah. Azzam yang sudah sangat rindu dengan keluarganya karena sembilan tahun tidak pulang ke Indonesia memutuskan untuk serius belajar hingga akhirnya berhasil lulus. Azzam pun menepati janjinya untuk kembali ke tanah air dan segera mencari jodoh guna memenuhi amanat ibunya. Walau sebenarnya terbersit sedikit harapan untuk mendapatkan Anna.

Setelah kuliahnya selesai Azzam segera pulang ke Indonesia. Beruntung, di dalam pesawat ia bertemu kembali dengan Eliana sehingga menjadi teman seperjalanan. Namun ketika sampai di Bandara Soekarno-Hatta, segera tersiar kabar kedekatan Eliana dengan Azzam yang diakibatkan dari gosip media massa yang meliput kedatangan Eliana ke Indonesia untuk bermain dalam sebuah sinetron.

Sesampainya di tanah air, Azzam mulai mengamalkan ilmunya di pondok pesantren Daarul Quran sebagai pengganti Kiai Lutfi dalam pengajian rutin yang membahas kitab al-Hikam. Karena ulasannya mengenai isi kitab


(49)

al-37

Hikam sangat mudah dicerna oleh jamaah, ia sangat disayang oleh Kiai Lutfi. Namun, meskipun telah menjadi sosok ustaz, jiwa wirausaha (enterpreneur) Azzam tidak lantas mati. Ia memulai usaha pengiriman buku-buku mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Al-Azhar, ke seantero pulau Jawa. Selain itu, ia mulai membuka usaha baksonya sampai meraih kesuksesan.

Namun di sisi lain, ketenangannya kembali terusik karena usianya yang semakin tua namun belum juga menikah. Akhirnya dengan tekad yang kuat ia kembali berikhtiar mencari istri. Pintu harapannya terhadap Anna yang ia rasa sudah terkunci rapat, membawanya untuk bertindak realistis: mencari wanita lain. Mulai dari Rina, Tika, Mila, Afifa, Eva, Seila, hingga Vivi. Barulah sampai di Vivi ia menemukan tambatan hati yang ia rasa cocok dan disetujui pula oleh ibunya.

Cobaan pun kembali datang melanda Azzam. Dalam kegembiraannya menyambut hari pernikahannya dengan Vivi, ibunda Azzam meninggal dunia karena kecelakaan. Azzam sendiri menderita patah tulang yang mengharuskannya beristirahat penuh selama beberapa bulan di rumah sakit. Namun Azzam menghadapi cobaan ini dengan sabar. Ia juga ikhlas melepas Vivi yang didesak orang tuanya untuk mencari pengganti Azzam. Azzam percaya bahwa Allah berkehendak lain pada dirinya.

Akhirnya kesabaran Azzam membuahkan kebahagiaan. Ia kembali dipertemukan dengan Anna yang sudah menjanda karena sebelumnya telah ditalak oleh Furqan. Dalam kepasrahannya mencari istri, Kiai Lutfi yang juga ayahanda Anna menjodohkannya dengan Anna Althafunnisa, seorang wanita yang sebenarnya telah lama diidam-idamkan oleh Azzam. Begitu pula bagi Anna, Azzam adalah seorang pemuda yang mengisi hatinya sejak pertama kali bertemu. Setelah perjalanan hidup yang berliku-liku, akhirnya Allah menjadikan bidadari Daarul Quran itu sebagai jodohnya.

2. Tema

Tema yang diangkat dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy adalah “cinta dan bakti seorang pemuda kepada keluarganya”. Hal ini dapat diketahui dari karakter tokoh utama, yaitu Azzam.


(50)

38

Melalui tokoh Azzam, Habiburrahman El Shirazy menampilkan perwujudan cinta dan bakti seorang pemuda kepada keluarganya, khususnya kepada sang ibu. Dari perwujudan cinta dan bakti inilah yang kemudian melahirkan perbuatan-perbuatan terpuji pada diri Azzam, seperti giat bekerja, bercita-cita tinggi dan tekun dalam beribadah.

3. Alur

Alur yang digunakan oleh pengarang dalam novel Ketika Cinta Bertasbih adalah alur maju atau progresif. Hal ini dapat dilihat dari kejadian-kejadian yang dikisahkan berjalan secara kronologis (sesuai dengan urutan waktu). Peristiwa pertama diikuti atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa berikutnya.

4. Penokohan

Tokoh yang berperan penting dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy adalah:

a. Azzam

Nama lengkapnya ialah Abdullah Khairul Azzam. Ia adalah mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dibesarkan di keluarga yang sederhana dari sebuah kampung di Jawa Tengah. Ia pandai berwira usaha di Kairo, antara lain sebagai pembuat tempe dan bakso untuk membantu perekonomian keluarganya.

Berikut adalah kutipan dari novel Ketika Cinta Bertasbih yang menggambarkan tokoh Azzam.

Meskipun ia di kalangan mahasiswa Cairo dikenal sebagai penjual tempe, ia tidak mau diperlakukan seenaknya. Ia sangat sensitif terhadap hal-hal yang terasa melecehkan harga dirinya. Memberi perintah seenaknya kepadanya adalah bentuk dari penjajahan atas harga dirinya. Azzama adalah orang yang sangat menghargai kemerdekaannya sebagai manusia yang hanya menghamba kepada Allah Swt.1

… Saya memang harus bekerja keras Pak. Bagi saya ini bukan beban. Saya tidak merasakannya sebagai beban. Meskipun orang lain mungkin melihatnya sebagai beban. Saya memang harus bekerja untuk


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)